Berkas suara ini dibuat berdasarkan revisi dari artikel ini per tanggal 2 Maret 2022 (2022-03-02), sehingga isinya tidak mengacu pada revisi terkini.
Solusi dua negara (bahasa Inggris: two-state solution) merupakan salah satu opsi solusi konflik Israel–Palestina menyerukan untuk dibuatnya "dua negara untuk dua warga." Dengan solusi dua negara, Negara Palestina berdampingan dengan Israel, di sebelah barat Sungai Yordan. Perbatasan antarnegara masih dipersengketakan dengan pemimpin Palestina dan negara Arab menginginkan "perbatasan pada tahun 1967", yang tidak disepakati oleh Israel. Wilayah bekas Mandat atas Palestina tidak akan menjadi bagian dari Negara Palestina, dan akan menjadi bagian dari wilayah Israel.
Sejarah dari kerangka solusi telah tertulis dalam resolusi PBB mengenai "penyelesaian damai tentang masalah Palestina" yang ada sejak tahun 1974.[1][2][3] Resolusi tersebut menyerukan untuk "kedua negara, Israel dan Palestina ... hidup berdampingan dengan batas negara yang diakui" dengan "sebuah resolusi masalah sesuai dengan resolusi PBB 194". Batas negara Palestina "berdasarkan dengan batas negara sebelum tahun 1967". Resolusi terbaru pada bulan November 2013 disahkan dengan suara 165-6, dengan 6 abstain.[4] Negara yang menentang adalah Kanada, Israel, Amerika Serikat, Negara Federasi Mikronesia, Kepulauan Marshall dan Palau.[5]
Palestina telah "menunjukkan niat yang serius" untuk solusi dua negara sejak pertengahan tahun 1970an, dan pemimpin negara lainnya telah mendukung konsep sejak tahun 1982 KTT Arab di Fez.[6]
Selama bertahun-tahun, hasil jajak pendapat "Israel dan Palestina mendukung solusi dua-negara."[7]
Usulan awal untuk pembentukan negara Yahudi dan Arab di Mandat Britania atas Palestina Mandat Britania atas Palestina diajukan pada laporan Komisi Peel tahun 1937, dengan Mandat Britania tetap menguasai wilayah kecil termasuk Yerusalem. Usulan itu ditolak oleh masyarakat Arab di Palestina,[8][9] namun diterima oleh sebagian besar pemimpin Yahudi.
Pemisahan diusulkan kembali pada Rencana Pembagian PBB 1947 untuk Palestina. Rencana ini mengusulkan untuk dibagi menjadi tiga wilayah, dengan Yerusalem di bawah kuasa internasional. Rencana pemisahan tersebut diterima oleh para pemimpin Yahudi. Namun, ditolak oleh pemimpin negara-negara Arab dan Palestina, yang menentang setiap pemisahan Palestina dan adanya negara Yahudi di daerah tersebut. Perang Arab-Israel 1948 untuk menguasai wilayah sengketa pecah pada akhir Mandat Britania, yang diakhiri dengan Perjanjian Gencatan Senjata 1949.[butuh rujukan]
Resolusi PBB 242 dan pengakuan hak-hak Palestina
Setelah Perang Arab-Israel 1967, Dewan Keamanan PBB mengesahkan resolusi 242 yang menyerukan penarikan tentara Israel dari wilayah yang diduduki selama perang, dengan timbal balik "pengakuan kedaulatan, integritas teritorial, dan kemerdekaan setiap negara di wilayah tersebut". Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) mengkritik resolusi tersebut, dengan mengatakan bahwa hal itu membuat masalah Palestina hanya menjadi masalah pengungsi biasa.[10]:18
Pada bulan September 1974, 56 Negara Anggota mengusulkan "masalah Palestina" akan dimasukkan dalam agenda Majelis Umum. Dalam sebuah resolusi yang diadopsi pada 22 November 1974, Majelis Umum menegaskan hak-hak Palestina, yang termasuk "hak untuk menentukan nasib sendiri tanpa intervensi eksternal", "hak untuk kemerdekaan dan kedaulatan nasional", dan "hak untuk kembali ke rumah mereka". Hak-hak ini telah ditegaskan kembali setiap tahunnya.[10]:24[2]
Dukungan PLO dari solusi dua negara
Tanda pertama PLO bersedia untuk menerima solusi dua negara, disampaikan oleh Said Hammami di pertengahan 1970an.[11][12]
Resolusi Dewan Keamanan mengenai solusi dua negara dapat ditilik kembali dari bulan Juni 1976 dengan berdasarkan batas negara sebelum 1967 namun diveto oleh Amerika Serikat,[13] yang mendukung solusi dua-negara, tetapi berpendapat bahwa batas negara harus dinegosiasikan langsung oleh kedua pihak. Gagasan tersebut medapat dukungan penuh di Majelis Umum PBB sejak pertengahan 1970an.[14]
Deklarasi Kemerdekaan Palestina 15 November 1988, yang didasarkan pada Rencana Pembagian PBB 1947 dan "resolusi PBB sejak tahun 1947" ditafsirkan sebagai pengakuan tidak langsung dari Israel, dan dukungan untuk solusi dua negara. Rencana Pembagian kembali diajukan untuk memberikan legitimasi bagi negara Palestina. Selanjutnya, beberapa klarifikasi dilakukan untuk pengakuan Palestina atas Israel secara langsung pertama kalinya.[15][16]
Upaya diplomatik
Pada tahun 1975, Majelis Umum membentuk Komisi Pelaksanaan Hak Asasi Rakyat Palestina. Pada tahun 1976, Komisi menyampaikan dua rekomendasi, yang pertama adalah Hak kembali Palestina ke rumah mereka dan mendapat seluruh hartanya, dan yang kedua adalah hak mereka untuk menentukan nasib sendiri, kemerdekaan dan kedaulatan nasional. Dewan Keamanan membahas rekomendasi tersebut namun gagal untuk menetapkan keputusan karena diveto Amerika Serikat.[10]:25
Setelah Intifadhah Pertama dimulai pada tahun 1987, berbagai upaya diplomatik dilakukan untuk menegosiasikan solusi dua negara antara kedua pihak, yang diawali dengan Konferensi Madrid tahun 1991. Negosiasi yang paling berpengaruh adalah Perjanjian Oslo, yang secara resmi membagi wilayah Palestina menjadi tiga pembagian administratif dan menciptakan dasar batas negara Israel dengan wilayah Palestina saat ini. Perjanjian ini ditegaskan pada Pertemuan Camp David 2000, dan ditindaklanjuti pada Pertemuan Taba di Januari 2001, tetapi tidak ada kesepakatan akhir yang dicapai. Pecahnya Intifadhah Kedua pada tahun 2000 telah menunjukkan kekecewaan rakyat Palestina dengan Perjanjian Oslo dan meyakinkan warga Israel bahwa perundingan menjadi sia-sia.
Kemungkinan solusi dua negara telah dibahas oleh pemimpin Saudi dan AS.[17] Pada tahun 2002, Putra Mahkota (Raja sampai Kanuari 2015) Abdullah dari Arab Saudi mengusulkan Prakarsa Perdamaian Arab, yang mendapatkan dukungan penuh dari Liga Arab, sementara pemimpin Israel terus menolak membahas prakarsa tersebut. Presiden Bush mengumumkan dukungannya bagi negara Palestina, membuka jalan bagi Resolusi Dewan Keamanan PBB 1397,[18] yang mendukung solusi dua negara.
Pada Konferensi Annapolis bulan November 2007, tiga pihak utama—PLO, Israel, dan AS—setuju pada solusi dua negara sebagai poin utama negosiasi. Namun, pertemuan tersebut gagal untuk mencapai kesepakatan.
Prakarsa terbaru pada tahun 2013-14 di bawah panduan John Kerry, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat. Pertemuan ini juga gagal untuk mencapai kesepakatan.
Viabilitas
Pada tahun 2010, ketika pertemuan langsung dijadwalkan akan dimulai kembali, permukiman di Tepi Barat semakin berkembang dan dukungan kuat dari Pemerintah Israel telah mengurangi lahan dan sumber daya yang ada untuk Palestina membuat Palestina dan Israel sayap kiri ragu bahwa solusi dua negara dapat dilakukan.[19] Pada bulan Januari 2012, laporan Ketua Misi Uni Eropa di Yerusalem Timur menemukan bahwa Israel melanjutkan kegiatan pembangunan permukiman dan situasi yang tidak stabil bagi penduduk Palestina di Yerusalem Timur, dan juga di area C, membuat solusi dua negara kurang memungkinkan untuk terlaksana.[20] Kementerian Luar Negeri Israel menyangkal laporan Uni Eropa dan mengklaim laporan itu "berdasarkan penggambaran kenyataan di lapangan yang parsial, bias dan memihak satu sisi.".[21] Pada Mei 2012, Dewan Uni eropa menekankan "perhatian mendalam mengenai perkembangan di lapangan yang mengancam solusi dua-negara menjadi mustahil untuk dilakukan'.[22]
Pada 29 November 2012, Majelis Umum PBB mengakui Palestina sebagai "negara pengamat non-anggota" dengan suara 138-9 dan 46 abstain. Keesokan harinya, PM Israel Benjamin Netanyahu mengumumkan akan membangun 3.000 rumah baru di atas tanah sebelah timur di Yerusalem Timur, di daerah yang mereka sebut "E-1".[23] langkah itu segera dikritik oleh beberapa negara, termasuk Amerika Serikat, dengan duta besar Israel menjadi dipanggil untuk bertemu dengan perwakilan pemerintah Britania Raya, Prancis dan Jerman, dan lainnya. Keputusan Israel untuk membangun rumah disebut oleh pemerintahan Obama sebagai "kontraproduktif", sementara Australia mengatakan bahwa rencana pembangunan "mengancam viabilitas dari solusi dua negara". Hal ini karena mereka mengklaim usulan permukiman E-1 akan membagi wilayah yang berada di bawah kendali Otoritas Nasional Palestina menjadi dua, dan wilayah Otoritas tidak akan bisa mencapai Sungai Yordan dan Laut Mati secara langsung dan harus melewati wilayah Israel.[24][25][26][27][28]
Permukiman di Tepi Barat
Resolusi PBB menegaskan tidak sahnya pemukiman di Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur.[29] Beberapa usulan ditawarkan untuk kompensasi pemukim yang rumahnya ditinggalkan, seperti yang terjadi setelah Israel menarik permukiman dari Gaza pada tahun 2005 dan dari Semenanjung Sinai pada tahun 1982.[30][oleh siapa?]
Opini publik di Israel dan Palestina
Banyak warga Palestina dan Israel, serta Liga Arab,[31] telah menyatakan bahwa mereka akan menerima solusi dua negara berdasarkan Perjanjian Gencatan Senjata 1949, atau lebih sering disebut "perbatasan 1967". Pada tahun 2002, jajak pendapat yang dilakukan oleh PIPA menunujukkan 72% responden Palestina dan Israel mendukung penyelesaian masalah berdasarkan perbatasan 1967 asalkan masing-masing pihak dapat memastikan bahwa pihak lain akan bersikap kooperatif dalam membuat konsesi yang diperlukan untuk suatu penyelesaian.[32] Jajak pendapat Gallup pada tahun 2013 menunjukkan 70% warga Palestina di tepi Barat dan 48% warga Palestina di Jalur Gaza, serta 52% warga Israel mendukung "Negara Palestina yang merdeka hidup berdampingan dengan Israel".[33]
Dukungan untuk solusi dua negara akan berbeda-beda tergantung kata-kata yang terdapat pada pertanyaan. Beberapa jurnalis Israel menunjukkan bahwa Palestina tidak siap untuk menerima sebuah Negara Yahudi.[34][35] Menurut suatu jajak pendapat, " kurang dari 2 dari 10 orang-orang Arab, baik Palestina dan negara lain, yakin pada hak Israel untuk ada sebagai bangsa dengan mayoritas Yahudi."[36] Pada jajak pendapat lain, yang diadakan oleh Departemen Luar Negeri AS, menunjukkan bahwa 78% warga Palestina dan 74% warga Israel meyakini kesepakatan damai yang akan menjadikan kedua negara hidup berdampingan sebagai tetangga yang baik sebagai hal yang penting atau diinginkan.[37]
Dalam sebuah jajak pendapat pada tahun 2007, 72% responden Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza menyetujui solusi satu negara atau dua negara; 46% memilih solusi dua-negara, dan 26% memilih solusi satu negara.[38] Dukungan solusi tersebut lebih rendah di kalangan muda Palestina, Menteri Luar Negeri ASCondoleezza Rice menyatakan: "Semakin banyak warga Palestina yang membahas tentang solusi dua-negara adalah warga di usia saya."[39] Sebuah survei yang dilakukan sebelum pecahnya pertempuran di 2014 oleh Washington Institute for Near East Policy menunjukkan 60% warga Palestina menganggap tujuan dari gerakan nasional harus "bekerja mengklaim kembali semua sejarah Palestina dari sungai hingga laut" dibandingkan dengan hanya 27% yang mendukung gagasan bahwa mereka harus bekerja "untuk mengakhiri pendudukan di Tepi Barat dan Gaza dan mencapai solusi dua negara." WINEP mengatakan bahwa "ini adalah temuan baru jika dibandingkan dengan pertanyaan yang serupa (namun tak sama) yang diajukan terdahulu, ketika dukungan untuk solusi dua negara biasanya berkisar antara 40-55 persen".[40]
Solusi dua negara juga didukung dalam jajak pendapat di Israel jajak pendapat meskipun terjadi penurunan dukungan dari waktu ke waktu.[41] Jajak pendapat Haaretz pada tahun 2014 menanyakan "Dengan mempertimbangkan kerangka kerja dalam sebuah kesepakatan, dengan sebagian besar pemukim dikuasai Israel, Yerusalem akan dibagi, pengungsi tidak kembali ke Israel, dan akan ada keamanan yang ketat, apakah anda akan mendukung perjanjian ini?", hanya 35% dari Israel mengatakan setuju.[40]
Solusi lain
Solusi lain adalah solusi satu negara yang berupa negara federal atau kesatuan,[42] dan Rencana Allon, yang juga dikenal sebagai "solusi tanpa negara."
Solusi tiga negara
Solusi tiga negara diusulkan sebagai alternatif lain. The New York Times[43] memberitakan bahwa Mesir dan Yordania berniat untuk mengambil alih Gaza dan Tepi Barat. Dampaknya, Gaza akan dikuasai Mesir, dan Tepi Barat dikuasai Yordania.[44]
Usulan kewarganegaraan ganda
Sejumlah usulan mengenai pemberian kewarganegaraan Palestina atau izin tinggal untuk warga Yahudi dengan timbal balik Israel menyingkirkan instalasi militer dari Tepi Barat telah diajukan oleh berbagai tokoh[45] seperti Yasir Arafat[46]
Menteri Israel Moshe Ya'alon mengatakan di bulan April 2010 bahwa "sama seperti orang Arab yang tinggal di Israel, maka seharusnya orang Yahudi dapat tinggal di Palestina." ... "Jika kita berbicara tentang perdamaian, mengapa [Palestina] bersikukuh agar wilayah yang mereka terima akan dibersihkan dari orang-orang Yahudi?".[47]
Gagasan tersebut diungkapkan oleh pendukung dari solusi dua negara[48] dan pendukung dari konservatif atau fundamentalis di Israel.[pranala nonaktif]
^Swedenburg, Ted (1988) "The Role of the Palestinian Peasantry in the Great Revolt 1936–1939". in Islam, Politics, and Social Movements, edited by Edmund Burke III and Ira Lapidus.
^Pappé Ilan (2004) A History of Modern Palestine: One Land, Two Peoples, Cambridge University Press, ISBN 0-521-55632-5
^Quandt, William B. (1993). Peace Process: American Diplomacy and the Arab-Israeli conflict since 1967. Washington: Brookings Institution. hlm. 367–375, 494. ISBN0-520-08390-3.