Soewandi lahir di Surabaya[a] pada tanggal 24 Oktober 1926. Dia mengawali pendidikannya di HIS dan lulus pada tahun 1939. Kemudian, Soewandi melanjutkan ke MULO dan lulus pada tahun 1942. Pada masa pendudukan Jepang, dia mengikuti kursus elektro pada tahun 1943, sebelum masuk PETA dan menjadi anggota Dai-san Daidan (Batalyon Tiga) hingga tahun 1945.[1] Saat menjadi anggota PETA, Soewandi pernah hampir dihukum mati oleh militer Jepang.[2]
Setelah pengakuan kedaulatan, Soewandi terlibat dalam penumpasan APRA di Bandung pada tahun 1950. Ia juga terlibat dalam operasi penumpasan DI/TII di Jawa Barat hingga tahun 1951 serta penumpasan gerombolan Malik di Pasuruan pada tahun yang sama. Pada tahun berikutnya, dia menjadi anggota Divisi I TNI Jawa Timur akibat penggabungan Divisi VII/Untung Suropati ke dalamnya, sebelum kemudian menjadi anggota KodamVII/Brawijaya. Pada tahun 1953, Soewandi lulus dari Sekolah Pendidikan Infanteri (SPI) Cimahi, kemudian melanjutkan di Sekolah Komando Satu (Kopaltu) dan lulus pada tahun 1956.[1]
Soewandi pernah menjadi pelatih dengan jabatan Komandan Kompi di Depot Pendidikan yang berkedudukan di Jember dari tahun 1954 hingga 1960. Dia kemudian menjadi Komandan Kursus Kompi di Rindam VII/Brawijaya di Malang hingga tahun 1964. Selain menjadi pengajar, Soewandi juga pernah menjabat sebagai Komandan Kodim (Dandim) 0833 di Malang dan Dandim 0321 di Lumajang hingga tahun 1973.[1][2]
Menjadi birokrat
Soewandi memulai karirnya sebagai birokrat ketika diangkat menjadi Bupati Lumajang pada tahun 1973 merangkap Perwira Koordinator Kekaryaan ABRI (Pakokarda) Tingkat II Kabupaten Lumajang. Sebagai bupati, ia terlibat dalam operasi penanggulangan banjir lahar dari Gunung Semeru di Lumajang Selatan pada tahun 1976 dan 1977. Saat menjabat sebagai bupati, ia lulus dari Kopalda pada tahun 1974. Pada tahun 1983, Soewandi ditunjuk menjadi Gubernur Kalimantan Timur dan menjabat hingga tahun 1988. Selain itu, ia juga terpilih menjadi anggota MPR pada tahun 1985 sebagai utusan daerah Kalimantan Timur.[2][3]
Saat menjabat sebagai Gubernur, Soewandi mengangkat Muhammad Ardans sebagai Wakil Gubernur pada tahun 1985. Pada masa jabatannya, ia melakukan berbagai perubahan, baik yang kecil seperti mengubah nama kediaman Gubernur Kalimantan Timur dari "pendopo" menjadi Lamin Etam (rumah kita),[2] maupun yang besar seperti membangun pusat perdagangan Citra Niaga pada tahun 1985 dan melanjutkan proyek pembangunan kantor gubernur baru yang dimulai pada masa Erry Soepardjan.[4][5] Meski demikian, Soewandi tidak memiliki basis dukungan yang kuat di tingkat regional, tak seperti Soepardjan yang mendapat dukungan kuat dari Jakarta dan Kodam IX/Mulawarman. Selain itu, tidak seperti Soepardjan yang sempat menjabat sebagai Pangdam IX/Mulawarman, Soewandi sama sekali tidak pernah bertugas di Kodam tersebut sekalipun sebelumnya ditempatkan di Kodam VII/Brawijaya, di mana sebagian besar perwira Kodam Mulawarman berasal.[6]
Pada tahun 1986, Soewandi terkena penyakit strok sehingga fisiknya menjadi lemah dan tidak mampu menjalankan tugasnya lagi. Pada bulan November 1987, ia menjalani cuti besar akibat penyakit yang ia derita.[7] Setahun berikutnya, pada bulan Juni, Soewandi digantikan oleh wakilnya, Muhammad Ardans. Ardans mendapat dukungan dari pusat dan Pangdam VI/Tanjungpura saat itu, Mayjen TNI Zaini Azhar Maulani, yang juga seorang Banjar sepertinya. Naiknya Ardans ke kursi wakil gubernur dan gubernur menandai kebangkitan kembali pengaruh etnis Banjar dalam percaturan politik daerah.[6] Meskipun dalam keadaan sakit, Soewandi menyempatkan diri untuk hadir secara langsung dalam acara serah terima jabatan pada tanggal 20 Juli 1988.[7]
Akhir kehidupan
Soewandi meninggal dunia di Malang pada tanggal 6 Juli 1990 di usia 63 tahun.[7]
Kehidupan pribadi
Soewandi menikah dengan seorang wanita bernama Soelastyaningsih. Pernikahan tersebut membuahkan sembilan anak. Dia dikenal sebagai pribadi yang ceplas-ceplos dan merakyat. Selama menjadi gubernur, ia kerap kali melakukan kunjungan ke berbagai perkampungan, bahkan sampai dijuluki "gubernur kampungan". Meski demikian, ia merasa bangga akan julukan tersebut. Soewandi juga menerima kunjungan dari rakyat ke rumahnya, selama tidak lewat tengah malam, dan tidak membatasi tamu-tamunya. Di kalangan terdekatnya, ia dijuluki "Wandi Londo" karena tubuhnya yang tinggi dan kulitnya yang putih.[2]
Warisan
Namanya diabadikan menjadi nama beberapa ruas jalan di Kelurahan Gunung Kelua, Kota Samarinda.
Catatan
^Sumber lain menyebutkan Lumajang sebagai tempat kelahirannya
Hassan, A. Moeis (2004). Kalimantan Timur: Apa, Siapa dan Bagaimana. Jakarta: Yayasan Bina Ruhui Rahayu. ISBN979-9222-88-5.
Magenda, Burhan Djabier (1991). East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy. Ithaca: Cornell University.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)