Rumah Baanjung (Ba'anjung) adalah nama kolektif untuk rumah tradisional suku Banjar dan suku Dayak Bakumpai.[1] Suku Banjar biasanya menamakan rumah tradisonalnya dengan sebutan Rumah Banjar atau Rumah Bahari.
Umumnya, rumah tradisional Banjar dibangun dengan beranjung (bahasa Banjar: ba-anjung), yaitu sayap bangunan yang menjorok dari samping kanan dan kiri bangunan utama, karena itulah disebut Rumah Ba'anjung (ber-anjung).
Anjung merupakan ciri khas rumah tradisional Banjar, walaupun ada pula beberapa jenis Rumah Banjar yang tidak beranjung. Rumah tradisional Banjar pada umumnya beranjung dua yang disebut Rumah Ba-anjung Dua, namun kadangkala rumah banjar hanya hanya beranjung satu, biasanya rumah tersebut dibangun oleh pasangan suami isteri yang tidak memiliki keturunan.
Sebagaimana arsitektur tradisional pada umumnya, demikian juga rumah tradisonal Banjar berciri-ciri antara lain memiliki perlambang, memiliki penekanan pada atap, ornamental, dekoratif dan simetris.
Rumah tradisional Banjar adalah jenis rumah khas Banjar dengan gaya dan ukirannya sendiri sejak sebelum tahun 1871 sampai tahun 1935. Pada tahun 1871, pemerintah kota Banjarmasin mengeluarkan segel izin pembuatan Rumah Bubungan Tinggi di kampung Sungai Jingah yang merupakan rumah tertua yang pernah dikeluarkan segelnya.[2]
Jenis rumah yang bernilai paling tinggi adalah Rumah Bubungan Tinggi yang diperuntukan untuk bangunan Dalam Sultan (kedaton) yang diberi nama Dalam Sirap.[3] Dengan demikian, nilainya sama dengan rumah joglo di Jawa yang dipakai sebagai kedhaton (istana kediaman Sultan).[4]
Keagungan seorang penguasa pada masa pemerintahan kerajaan diukur oleh kuantitas ukuran dan kualitas seni serta kemegahan bangunan-bangunan kerajaan khususnya istana raja (Rumah Bubungan Tinggi). Dalam suatu perkampungan suku Banjar, terdapat berbagai jenis rumah Banjar yang mencerminkan status sosial maupun status ekonomi sang pemilik rumah. Dalam kampung tersebut, rumah dibangun dengan pola linier mengikuti arah aliran sungai maupun jalan raya terdiri dari rumah yang dibangun mengapung di atas air, rumah yang didirikan di atas sungai maupun rumah yang didirikan di daratan, baik pada lahan basah (alluvial) maupun lahan kering. Rumah Banjar terdiri Rumah Banjar masa Kesultanan Banjar dan Rumah Banjar masa kolonial.
Jenis-jenis Rumah Adat Banjar
Bentuk bangunan rumah menunjukan status penghuninya.[5]
Jenis-jenis Rumah Adat Banjar, antara lain:[6]
Namun perkembangannya kemudian bentuk segi empat panjang tersebut mendapat tambahan di samping kiri dan kanan bangunan dan agak ke belakang ditambah dengan sebuah ruangan yang berukuran sama panjang. Penambahan ini dalam bahasa Banjar disebut disumbi.
Bangunan tambahan di samping kiri dan kanan ini tamapak menempel (dalam bahasa Banjar: Pisang Sasikat) dan menganjung keluar.
Bangunan tambahan di kiri dan kanan tersebut disebut juga anjung; sehingga kemudian bangunan rumah adat Banjar lebih populer dengan nama Rumah Ba-anjung.
Sekitar tahun1850 bangunan-bangunan perumahan di lingkungan keraton Banjar, terutama di lingkungan keraton Martapura dilengkapi dengan berbagai bentuk bangunan lain.
Namun Rumah Ba-anjung adalah bangunan induk yang utama karena rumah tersebut merupakan istana tempat tinggal Sultan.
Bangunan-bangunan lain yang menyertai bangunan rumah ba-anjung tersebut ialah yang disebut dengan Palimasan sebagai tempat penyimpanan harta kekayaan kesultanan berupa emas dan perak.
Balai Laki adalah tempat tinggal para menteri kesultanan, Balai Bini tempat tinggal para inang pengasuh, Gajah Manyusu tempat tinggal keluarga terdekat kesultanan yaitu para Gusti-Gusti dan Anang.
Selain bangunan-bangunan tersebut masih dijumpai lagi bangunan-bangunan yang disebut dengan Gajah Baliku, Palembangan, dan Balai Seba.
Pada perkembangan selanjutnya, semakin banyak bangunan-bangunan perumahan yang didirikan baik di sekitar kesultanan maupun di daerah-daerah lainnya yang meniru bentuk bangunan rumah ba-anjung.
Sehingga pada akhirnya bentuk rumah ba-anjung bukan lagi hanya merupakan bentuk bangunan yang merupakan cirikhas kesultanan (keraton), tetapi telah menjadi ciri khas bangunan rumah pendudukdaerah Banjar.
Rumah Adat Banjar di Kalteng dan Kaltim
Kemudian bentuk bangunan rumah ba-anjung ini tidak saja menyebar di daerah Kalimantan Selatan, tetapi juga menyebar sampai-sampai ke daerah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
Sekalipun bentuk rumah-rumah yang ditemui di daerah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur memiliki ukuran yang sedikit berbeda dengan rumah Ba-anjung di daerah Banjar, namun bentuk bangunan pokok merupakan ciri khas bangunan rumah adat Banjar tetap kelihatan.
Sultan Musta’inbillah memerintah sejak tahun 1650 sampai 1672, kemudian ia digantikan oleh Sultan Inayatullah.
Kerajaan Kotawaringin yang merupakan pemecahan wilayah Kerajaan Banjar tersebut diperintah oleh Pangeran Dipati Anta Kesuma sebagai sultannya yang pertama.
Menyebarnya bentuk rumah adat Banjar sampai ke daerah Kalimantan Timur disebabkan oleh banyaknya penduduk daerah Banjar yang merantau ke daerah ini, yang kemudian mendirikan tempat tinggalnya dengan bentuk bangunan rumah ba-anjung sebagaimana bentuk rumah di tempatasalmereka.
Demikianlah pada akhirnya bangunan rumah adat Banjar atau rumah adat ba-anjung ini menyebar ke mana-mana, tidak saja di daerah Kalimantan Selatan, tetapi juga di daerah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
Di luar Kalimantan juga dibangun replika rumah adat Banjar seperti di Kisaran, Kabupaten Asahan yang dibangun oleh organisasi warga Kalimantan yaitu Paduan Masyarakat Keluarga Kalimatan (PMKK) Asahan.[7][8][9][10][11][12] dan juga di Serdang Bedagai oleh Ikatan Masyarakat Banjar Indonesia (IMBAI) Sergai[13]
Kondisi Rumah Adat Banjar
Akan tetapi sekarang dapat dikatakan bahwa rumah ba-anjung atau rumah Bubungan Tinggi yang merupakan arsitekturklasik Banjar itu tidak banyak dibuat lagi.
Sejak tahun 1930-an orang-orang Banjar hampir tidak pernah lagi membangun rumah tempat tinggal mereka dengan bentuk rumah ba-anjung.
Masalahbiaya pembangunan rumah dan masalah areal tanah serta masalah mode tampaknya telah menjadi pertimbangan yang membuat para penduduk tidak mau membangun lagi rumah-rumah mereka dengan bentuk rumah ba-anjung.
Banyak rumah ba-anjung yang dibangun pada tahun-tahun sebelumnya sekarang dirombak dan diganti dengan bangunan-bangunan bercorak modern sesuai selera zaman.
Tidak jarang dijumpai di Kalimantan Selatan si pemilik rumah ba-anjung justru tinggal di rumah baru yang (didirikan kemudian) bentuknya sudah mengikuti mode sekarang.
Apabila sekarang ini di daerah Kalimantan Selatan ada rumah-rumah penduduk yang memiliki gaya rumah adat ba-anjung, maka dapatlah dipastikan bangunan tersebut didirikan jauh sebelum tahun 1930.
Masing-masing rumah adat tersebut sudah dalam kondisi yang amat memprihatinkan, banyak bagian-bagian rumah tersebut yang sudah rusak sama sekali.[14]
Pemerintah sudah mengusahakan subsidi buat perawatan bangunan-bangunan tersebut. Namun tidak jarang anggotakeluarga pemilik rumah menolak subsidi tersebut karena alasan-alasan tertentu, seperti malu atau gengsi. Karena merasa dianggap tidak mampu merawat rumahnya sendiri.
Bagaimanapun keadaan rumah-rumah tersebut, dari sisa-sisa yang masih bisa dijumpai dapat dibayangkan bagaimana artistiknya bangunan tersebut yang penuh dengan berbagai ornamen menarik.
Bagian dan Konstruksi Rumah Tradisonal Banjar
Pondasi, Tiang dan Tongkat
Keadaan alam yang berawa-rawa di tepi sungai sebagai tempat awal tumbuhnya rumah tradisional Banjar, menghendaki bangunan dengan lantai yang tinggi.
Pondasi, tiang dan tongkat dalam hal ini sangat berperan.
Pondasi sebagai konstruksi paling dasar, biasanya menggunakan kayu Kapur Naga atau kayu Galam.
Tiang dan tongkat menggunakan kayu ulin, dengan jumlah mencapai 60 batang untuk tiang dan 120batang untuk tongkat.
Kerangka
Kerangka rumah ini biasanya menggunakan ukuran tradisional depa atau tapakkaki dengan ukuran ganjil yang dipercayai punya nilaimagis / sakral.
Bagian-bagian rangka tersebut adalah:
Di samping lantai biasa, terdapat pula lantai yang disebut dengan Lantai Jarang atau Lantai Ranggang.
Lantai Ranggang ini biasanya terdapat di Surambi Muka, Anjung Jurai dan Ruang Padu, yang merupakan tempat pembasuhan atau pambanyuan.
Sedangkan yang di Anjung Jurai untuk tempat melahirkan dan memandikan jenazah.
Biasanya bahan yang digunakan untuk lantai adalah papan ulin selebar 20 cm, dan untuk Lantai Ranggang dari papan Ulin selebar 10cm.
Dinding
Dindingnya terdiri dari papan yang dipasang dengan posisi berdiri, sehingga di samping tiang juga diperlukan Turus Tawing dan Balabad untuk menempelkannya.
Bahannya dari papan Ulin sebagai dinding muka.
Pada bagian samping dan belakang serta dinding Tawing Halat menggunakan kayu Ulin atau Lanan.
Pada bagian Anjung Kiwa, Anjung Kanan, Anjung Jurai dan Ruang Padu, kadang-kadang dindingnya menggunakan Palupuh.
Atap
Atap bangunan biasanya menjadi ciri yang paling menonjol dari suatu bangunan. Karena itu bangunan ini disebut Rumah Bubungan Tinggi. Bahan atapnya terbuat dari sirap dengan bahan kayu Ulin atau atap rumbia.
Ornamentasi (Ukiran)
Penampilan rumah tradisional Bubungan Tinggi juga ditunjang oleh bentuk-bentuk ornamen berupa ukiran.
Penempatan ukiran tersebut biasanya terdapat pada bagian yang konstruktif seperti tiang, tataban, papilis, dan tangga.
Sebagaimana pada kesenian yang berkembang di bawah pengaruh Islam, motif yang digambarkan adalah motiffloral (daun dan bunga).
Motif-motif binatang seperti pada ujung pilis yang menggambarkan burung enggang gading dan naga juga distilir dengan motif floral. Disamping itu juga terdapat ukiran bentuk kaligrafi. Kaligrafi Arab merupakan ragam hias yang muncul belakangan yang memperkaya ragam hias suku Banjar. (Museum Lambung Mangkurat - Banjarbaru, "Rumah Tradisional Bubungan Tinggi dan Kelengkapannya", 1992/1993)
Ornamen sebagai suatu aspek seni rupa telah mengalami perkembangan yang cukup maju dalam budaya tradisional orang Banjar. Ornamen sebagai ragam hias banyak ditemukan di rumah-rumah adat Banjar dan karya seni ini ternyata tak hanya sebagai hiasan tetapi juga sarat filosofi.
Ornamen dalam arsitektur tradisional Banjar dikenal dengan istilah Tatah yang berbentuk Tatah Surut (ukiran berupa relief), Tatah Babuku (ukiran dalam bentuk tiga dimensi) dan Tatah Baluang (ukiran berlubang).
Dalam buku Arsitektur Tradisional Banjar Kalimantan Selatan, Drs H Syamsiar Seman, mengatakan, dalam sebuah rumah adat Banjar terutama tipe bubungan tinggi, gajah baliku dan palimbangan terdapat dua belas bagian bangunan yang diberi ornamen khas.
Pertama, pucuk bubungan berbentuk lancip yang disebut layang-layang. Layang-layang dalam jumlah yang ganjil (lima) dengan ukiran motif tumbuhan paku alai, bogam, tombak atau keris.
Pada rumah tipe palimasan ornamen berbentuk sungkul dengan motif anak catur, piramida dan bulan bintang. Ukiran jamang sebagai mahkota bubungan terdapat pada rumah adat tipe palimbangan, balai laki, balai bini dan cacak burung. Jamang dalam bentuk simetris ini biasanya bermotif anak catur dengan kiri kanan bermotif paku alai, halilipan atau babalungan ayam.
Kedua, tawing layar atau tampuk bubungan (penutup kuda-kuda). Terutama terdapat pada rumah adat Banjar tipe palimbangan, balai laki dan cacak burung (anjung surung) yang memiliki bubungan atap pelana dengan puncak depan yang tajam. Karena ruangannya terbatas, hiasannya pun tak banyak. Umumnya berupa bundaran yang diapit segitiga dalam komposisi dedaunan. Ornamen di sini selalu dalam komposisi simetris.
Ketiga, pilis atau papilis (listplank). Terdapat pada tumbukan kasau yang sekaligus menjadi penutup ujung kasau bubungan tersebut. Juga pada banturan (di bawah cucuran atap) serta pada batis tawing (kaki dinding) bagian luar. Banyak motif digunakan antara lain rincung gagatas, pucuk rabung, tali bapintal, dadaunan, dalam berbagai kreasi, kumbang bagantung (distiril), paku alai, kulat karikit, gagalangan, i-itikan, sarang wanyi, kambang cangkih, teratai, gigi haruan dan lainnya.
Keempat, tangga. Pada puncak tangga terdapat ornament buah nenas. Adapula motif kembang melati yang belum mekar, tongkol daun pakis, belimbing, manggis, payung atau bulan sabit. Pada panapih tangga biasanya terdapat motif tali bapintal, dadaunan, buang mingkudu dan sulur-suluran. Pada pagar tangga digunakan ukiran tali bapintal atau garis geometris, pada kisi-kisi pagar tangga digunakan motif bunga melati, galang bakait, anak catur, motif huruf S dan berbagai motif campuran.
Kelima, palatar (teras). Bagian depan rumah yang mendapat sentuhan ukiran pada jurai samping kiri dan kanan atas, batis tawing dan kandang rasi. Ornamen pada jurai bisasnya mengambil motif hiris gagatas, pucuk rabung, daun paku atau sarang wanyi. Pada batis tawing bermotif dadaunan, sulur- suluran atau buah mingkudu.
Keenam, lawang (pintu). Bagian-bagian lawang yang diberi ornamen adalah dahi lawang (bagian atas pintu, semacam ventilasi), berukiran tali bapintal dalam bentuk lingkaran bulat telur. Komposisi bagiannya dilengkapi dengan motif suluruluran dan bunga-bungaan dengan kaligrafi Arab antara lain bertulis Laa ilaaha illallah, Muhammadarrasulullah, Allah dan Muhammad.
Kemudian jurai lawang (ornamen mirip tirai terbuka), berbentuk setengah lingkaran atau bulan sabit dengan kombinasi tali bapintal, sulur-suluran, bunga-bunga dan kaligrafi Arab. Tulisan dengan bentuk berganda atau berpantulan dengan komposisi dapat dibaca dari arah kiri ke kanan dan arah kanan ke kiri.
Selanjutnya, daun lawang (daun pintu), selalu menempatkan motif tali bapintal, baik pada pinggiran kusen pintu, maupun hiasan bagian dalam, tali bapintal pada bagian dalam dalam bentuk bulat telur atau hiris gagatas. Keempat sudut daun lawang banyak ornament bermotif pancar matahari dengan kombinasi dedaunan, di antaranya motif daun jaruju.
Ketujuh, lalungkang (jendela). Umumnya menempatkan ornamen sederhana pada dahi atau pula daun lalungkang berupa tatah bakurawang dengan motif bulan penuh, bulan sahiris, bulan bintang, bintang sudut lima, daun jalukap atau daun jaruju.
Kedelapan, watun. Sebagai sarana pinggir lantai terbuka yang diberi ornamen pada panapih yaitu dinding watun tersebut. Ornamen biasanya untuk panapih watun sambutan, watun jajakan dan watun langkahan yang ada pada ruangan panampik kacil, panampik tangah dan panampik basar. Terdapat ukiran dengan motif tali bapintal, sulur-suluran, dadaunan, kambang taratai, kacapiring, kananga, kambang matahari, buah-buahan dan lainnya.
Kesembilan, tataban. Terletak di sepanjang kaki dinding bagian dalam ruang panampik basar. Ukiran di situ adalah pada panapih tataban tersebut. Umumnya sepanjang tataban tersebut mempergunakan ornamen dengan motif tali bapintal pada posisi pinggir. Motif lain pada dedaunan dan sulur-suluran dalam ujud kecil sepanjang jalur tataban tersebut.
Kesepuluh, tawing halat (dinding pembatas). Ornamen di dua daun pintu kembar ini harus seimbang dengan ragam hias. Biasanya motif tali bapintal tak ketinggal, buah dan dedaunan dengan kombinasi kaligrafi Arab.
Kesebelas, sampukan balok (pertemuan balok). Rumah adat Banjar tidak mengenal plafon, sehingga tampak adanya pertemuan dua balok pada bagian atas. Ukiran bermotif dedaunan dan garis-garis geometris.
Keduabelas, gantungan lampu. Balok rentang yang ada di atas pada posisi tengah dipasang pangkal tali untuk gantungan lampu. Sekeliling pangkal gantungan diberi ukiran bermotif dedaunan dan bunga dalam komposisi lingkaran berbentuk relief.[15]
Pengaruh Sistem Religi dan Sistem Pengetahuan
Meskipun orang Banjar sudah memeluk Islam, namun dalam kegiatan sehari-hari yang sehubungan dengan kebudayaan masih melekat unsur animisme, Hindu-Buddha yang berkembang sebagai dasar adat pada masa lalu. Akan tetapi hal itu tidak secara keseluruhan. Religi yang dianggap asal adalah dari Kaharingan yang dikembangkan oleh orang Dayak. Pengaruh Hindu, Buddha, Islam maupun Kristen tidak berarti kepercayaan nenek moyang dengan segala upacara religinya hilang begitu saja. Orang-orang Dayak yang telah memeluk Islam dianggap sebagai Suku Bangsa Banjar dan tidak lagi menganggap dirinya sebagai suku Dayak. Suku Banjar hampir semua sendi keagamaanya didasarkan pada sentimen keagamaan yang bersumber pada ajaran Islam. Jadi setiap setiap rumah tangga memiliki peralatan yang berhubungan dengan pelaksanaan keagamaan. Demikian pula pada rumah tradisional Banjar banyak dilengkapi dengan ukiran yang berkaitan dengan persaudaraan, persatuan, kesuburan, maupun khat-khat kaligrafi Arab yang bersumber dari ajaran Islam seperti dua kalimat syahadat, nama-nama Khalifah, Shalawat, atau ayat-ayat tertentu dalam Al-Qur'an. Ornamen kaligrafi Arab ini merupakan ornamen paling akhir yang muncul pada rumah tradisional Banjar.
Cara Menentukan Ukuran Rumah Adat Banjar dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain:
Panjang dan lebar rumah ditentukan ukuran depa suami dalam jumlah ganjil. (Depdikbud, Brotomoeljono, Rumah Tradisional Kalimantan Selatan, 1986: 87)
Dihitung dengan mengambil gelagar pilihan, kemudian dihitungkan dengan perhitungan gelagar, geligir, gelugur. Bila hitungannya berakhir dengan geligir atau gelugur maka itu pertanda tidak baik sehingga harus ditutup dengan gelagar. Hitungan gelagar akan menyebabkan rumah dan penghuninya mendapatkan kedamaian dan keharmonisan. (Depdikbud, Brotomoeljono, Rumah Tradisional Kalimantan Selatan, 1986: 87)
Cara lain menurut Alfani Daud, MA. (1997: 462); Ukuran panjang dan lebar rumah dilambangkan delapan ukuran lambang binatang yaitu naga, asap, singa, anjing, sapi, keledai, gajah, gagak. Panjang ideal dilambangkan naga dan lebarnya dilambangkan gajah.Yang tidak baik ialah lambang binatang asap, anjing, keledai, atau gagak. (Jumlah) panjang depa seseorang yang membangun rumah dibagi delapan mewakili binatang berturut-turut seperti tersebut terdahulu. (Tiap depa dikalikan 12). Bila panjang rumah 6 depa, berarti 6 x 12 ukuran atau 72 ukuran, maka jika ukurannya dilambangkan oleh binatang naga, haruslah ditambah 1/12 depa lagi. Untuk memperoleh ukuran lambang gajah, panjang itu harus ditambah 7/12 depa atau dikurangi 1/12 depa. (Alfani Daud, MA, Islam dan Masyarakat Banjar, 1997: 462)
Pada peradaban agraris, rumah dianggap keramat karena dianggap sebagai tempat bersemayam secara ghaib oleh para dewata seperti pada rumah Balai suku Dayak Bukit yang berfungsi sebagai rumah ritual. Pada masa Kerajaan Negara Dipa sosok nenek moyang diwujudkan dalam bentuk patung pria dan wanita yang disembah dan ditempatkan dalam istana (Hikayat Banjar). Pemujaan arwah nenek moyang yang berwujud pemujaan Maharaja Suryanata dan Puteri Junjung Buih merupakan simbol perkawinan (persatuan) alam atas dan alam bawah Kosmogoni Kaharingan-Hindu. Suryanata (surya= matahari; nata= raja) sebagai manifestasi dewa Matahari dari unsur kepercayaan Kaharingan-Hindu, matahari yang menjadi orientasi karena terbit dari ufuk timur (orient) selalu dinantikan kehadirannya sebagai sumber kehidupan, sedangkan Puteri Junjung Buih berupa lambang air, sekaligus lambang kesuburan tanah berfungsi sebagai Dewi Sri di Jawa. Pada masa tumbuhnya kerajaan Hindu, istana raja merupakan citra kekuasaan bahkan dianggap ungkapan berkat dewata sebagai pengejawantahan lambang Kosmos Makro ke dalam Kosmos Mikro. Puteri Junjung Buih sebagai perlambang "dunia bawah" sedangkan Pangeran Suryanata perlambang "dunia atas". Pada arsitektur Rumah Bubungan Tinggi pengaruh unsur-unsur tersebut masih dapat ditemukan. Bentuk ukiran naga yang tersamar/didestilir (bananagaan) melambangkan "alam bawah" sedangkan ukiran burung enggang gading melambangkan "alam atas".
Pohon Hayat
.
Wujud bentuk rumah Banjar Bubungan Tinggi dengan atapnya yang menjulang ke atas merupakan citra dasar dari sebuah "pohon hayat" yang merupakan lambang kosmis. Pohon Hayat merupakan pencerminan dimensi-dimensi dari satu kesatuan semesta. Ukiran tumbuh-tumbuhan yang subur pada Tawing Halat (Seketeng) merupakan perwujudan filosofi "pohon kehidupan" yang oleh orang Dayak disebut Batang Garing dalam kepercayaan Kaharingan yang pernah dahulu berkembang dalam kehidupan masyarakat Kalimantan Selatan pada periode sebelumnya.
Payung
Wujud bentuk rumah Banjar Bubungan Tinggi dengan atapnya yang menjulang ke atas merupakan sebuah citra dasar sebuah payung yang menunjukkan suatu orientasi kekuasaan ke atas. Payung juga menjadi perlambang kebangsawanan yang biasa menggunakan "payung kuning" sebagai perangkat kerajaan. Payung kuning sebagai tanda-tanda kemartabatan kerajaan Banjar diberikan kepada para pejabat kerajaan di suatu daerah.
Simetris
Wujud bentuk rumah Banjar Bubungan Tinggi yang simetris, terlihat pada bentuk sayap bangunan atau anjung yang terdiri atas Anjung Kanan dan Anjung Kiwa. Hal ini berkaitan dengan filosofi simetris (seimbang) dalam pemerintahan Kerajaan Banjar, raja sebagai kepala negara dibantu oleh mangkubumi sebagai kepala pemerintahan, sedangkan mangkubumi dibantu oleh dua orang asisten yaitu Mantri Panganan (Asisten Kanan) dan Mantri Pangiwa (Asisten Kiri). Mangkubumi juga membawahi 2 kelompok menteri utama yang terdiri 4 orang menteri yang disebut Mantri Ampat (menteri berempat) yang bergelar Patih dan 4 menteri lainnya yang bergelar Sang, sehingga terdapat 8 menteri utama (menteri berdelapan), dimana setisp menteri tersebut memiliki pasukan masing-masing. Konsep simetris ini tercermin pada rumah bubungan tinggi seperti terlihat pada jumlah Tihang Pitugur (bahasa Jawa: saka guru) yang berjumlah delapan serta dua buah pintu kembar pada Tawaing Halat.
Kepala-Badan-Kaki
Bentuk rumah Bubungan Tinggi diibaratkan tubuh manusia terbagi menjadi 3 bagian secara vertikal yaitu kepala, badan dan kaki. Sedangkan anjung diibaratkan sebagai tangan kanan dan tangan kiri yaitu anjung kanan dan anjung kiwa (kiri).
Tata Nilai Ruang
Pada rumah Banjar Bubungan Tinggi (istana) terdapat ruang Semi Publik yaitu Serambi atau surambi yang berjenjang letaknya secara kronologis terdiri dari surambi muka, surambi sambutan, dan terakhir surambi Pamedangan sebelum memasuki pintu utama (Lawang Hadapan) pada dinding depan (Tawing Hadapan ) yang diukir dengan indah. Setelah memasuki Pintu utama akan memasuki ruang Semi Private. Pengunjung kembali menapaki lantai yang berjenjang terdiri dari Panampik Kacil di bawah, Panampik Tangah di tengah dan Panampik Basar di atas pada depan Tawing Halat atau "dinding tengah" yang menunjukkan adanya tata nilai ruang yang hierarkis. Ruang Panampik Kecil tempat bagi anak-anak, ruang Panampik Tangah sebagai tempat orang-orang biasa atau para pemuda dan yang paling utama adalah ruang Panampik Basar yang diperuntukkan untuk tokoh-tokoh masyarakat, hanya orang yang berpengetahuan luas dan terpandang saja yang berani duduk di area tersebut. Hal ini menunjukkan adanya suatu tatakrama sekaligus mencerminkan adanya pelapisan sosial masyarakat Banjar tempo dulu yang terdiri dari lapisan atas adalah golongan berdarah biru (bangsawan) disebut Tutus Raja (Purih Raja) dan lapisan bawah adalah golongan Urang Jaba (rakyat) serta di antara keduanya adalah golongan rakyat biasa yang telah mendapatkan jabatan-jabatan dalam Kerajaan yang disebut Nanang-nanangan Raja (Kiai dan para Menteri).
Tawing Halat
Ruang dalam rumah Banjar Bubungan Tinggi terbagi menjadi ruang yang bersifat private dan semi private. Di antara ruang Panampik Basar yang bersifat semi private dengan ruang Palidangan yang bersifat private dipisahkan oleh Tawing Halat artinya "dinding pemisah", kalau di daerah Jawa disebut Seketeng. Jika ada selamatan maupun menyampir (nanggap) Wayang Kulit Banjar maka pada Tawing Halat ini bagian tengahnya dapat dibuka sehingga seolah-olah suatu garis pemisah transparan antara dua dunia (luar dan dalam) menjadi terbuka. Ketika dilaksanakan "wayang sampir" maka Tawing Halat yang menjadi pembatas antara "dalam" (Palidangan) dan luar (Paluaran/Panampik Basar) menjadi terbuka. Raja dan keluarganya serta dalang berada pada area "dalam" menyaksikan anak wayang dalam wujud aslinya sedangkan para penonton berada di area "luar" menyaksikan wayang dalam bentuk bayang-bayang.
Denah Cacak Burung
Denah Rumah Banjar Bubungan Tinggi berbentuk "tanda tambah" yang merupakan perpotongan dari poros-poros bangunan yaitu dari arah muka ke belakang dan dari arah kanan ke kiri yang membentuk pola denah Cacak Burung yang sakral. Di tengah-tengahnya tepat berada di bawah konstruksi rangka Sangga Ribut di bawah atap Bubungan Tinggi adalah Ruang Palidangan yang merupakan titik perpotongan poros-poros tersebut. Secara kosmologis maka disinilah bagian paling utama dari Rumah Banjar Bubungan Tinggi. Begitu pentingnya bagian ini cukup diwakili dengan penampilan Tawing Halat (dinding tengah) yang penuh ukiran-ukiran (Pohon Hayat) yang subur makmur. Tawing Halat menjadi fokus perhatian dan menjadi area yang terhormat. Tawang Halat melindungi area "dalam" yang merupakan titik pusat bangunan yaitu ruang Palidangan (Panampik Panangah).
^(Indonesia) Mohamad Idwar Saleh, Rumah tradisional Banjar, rumah bubungan tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Proyek Pengembangan Permuseuman Kalimantan Selatan, 1980
Tim Depdikbud, Rumah Adat Banjar dan Ragam Hiasnya, Proyek Rehabilitasi dan Perlusan Museum Kalsel, Depdikbud, 1977/1978.
Tim Museum Lambung Mangkurat, Rumah Tradisonal Banjar Rumah Bubungan Tinggi, P3 Kalsel, Depdikbud, 1980/1981.
Seman, Symasiar, Drs.H. Rumah Adat Banjar Arsitektur Tradisional Kalimantan Selatan, Direktorat Perumahan, Dirjen Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum, Pusat Informasi Teknik Pembangunan, Proyek Pembinaan Umum Pembangunan Perumahan Kalsel, 1983.
Tim Depdikbud, Album Seni Budaya Kalimantan Selatan, Proyek Media Kebudayaan, Depdikbud, 1983/1984.
Tim Depdikbud, Arsitektur Tradisional Daerah Kalimantan Selatan, Proyek Inventarisasi dan Dolumentasi Kebudayaan Daerah, Depdikbud, Jakarta, 1986.
Sjarifuddin, Drs, Pengantar Pameran Khusus Rumah Tradisional Bubungan Tinggi dan Kelengkapannya, Depdikbud, Dirjen Kebudayaan, Direktorat Permuseuman, Museum Negeri Provinsi Kalsel Lambung Mangkurat, 1992/1993.
Tim KKL Angkatan '90 Arsitektur Undip, Laporan "Kuliah Kerja Lapangan Banjar Kalimantan Selatan" 23-28 September 1993, Jurusan Arsitektur Universitas Diponegoro, 1993.
Azan, Seminar Tata Ruang dan Karaktaristik Rumah Tradisional Suku Banjar di Kalimantan Selatan, Jurusan Arsitektur Universitas Diponegoro, Juni 1994.
Hakim, Tedy Avianto, Seminar Pengaruh Arsitektur Tradisional Bubungan Tinggi pada Bangunan Kantor Pemerintah di Banjarmasin, Jurusan Arsitektur Universitas Diponegoro, Februari 1997.