Perang Tondano

Perang Tondano adalah perang yang berlangsung antara suku Minahasa dengan Pemerintah Kolonial Belanda yang berlangsung pada tahun 1661–1664 dan 1808–1809 di Tondano.[1]

Perang Tondano I

Perang ini terjadi pada periode tahun 1661 sampai 1664. Perang ini terjadi karena ambisi Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) untuk memonopoli beras di semua kawasan Walak Minahasa yang akhirnya ditandai dengan pembangunan pusat pemukiman yang bernama Minawanua pada tahun 1644.[1] Minawanua memiliki makna "bekas wanua" yakni kata mina bermakna 'sudah tiada' sebagai penggambaran bahwa wilayah ini telah tiada akibat keganasan perang yang terjadi kala itu. [2] Peperangan ini dimulai pada tanggal 1 Juni 1661 dengan beranggotakan 1400 pasukan yang juga diikuti para perempuan Minahasa yang berlangsung di atas perairan dan rawa.[3] Para pasukan ini menaiki ratusan perahu yang mampu ditumpangi empat sampai lima orang beserta peralatan perang, tapi tetap mampu bergerak di atas air serta rumput-rumput rawa dengan kencang dan sigap.[4] Selain perahu-perahu yang juga dilengkapi meriam-meriam di atasnya, pasukan Tondano ini juga memiliki rakit-rakit yang berukuran besar sebagai transportasi dalam peperangan yang berlangsung selama berbulan-bulan dan mengorbankan banyak korban jiwa dari kedua pihak. Ada beberapa tokoh Tondano yang menjadi terkenal dalam peperangan ini yaitu, Kawengian, Wengkang, Gerungan, Nelwan, Tawaluyan, dan Rumambi. Namun, tak hanya Tondano, tokoh wilayah Remboken seperti Kentei, Tellew, Tarumetor, serta Wangko dari kakas juga merupakan tokoh dalam peperangan ini.[5] Selain diperangi dengan beberapa pasukan, VOC juga melakukan pembendungan Sungai Temberan sehingga membanjiri tempat tinggal masyarakat. Masyakarat Minahasa pun melawan usaha ini dengan membangun tempat tinggal mereka menjadi rumah apung di sekitar Danau Tondano.[6]

Suatu hari, sebagai upaya untuk menekan Tondano agar menghentikan perang dan menjadikan mereka sebagai pihak yang kalah, pihak VOC mengirimkan sebuah ekspedisi yang dipimpin oleh Simon Cos. Dia yang ditemani beberapa pemimpin wilayah Minahasa yang ikut membelot mengunjungi beberapa walak untuk mencari bantuan sekaligus membawa kora-kora hingga ke wilayah perbentengan Tondano. Sesudah sampai di Tondano, pihak VOC pun menyampaikan tiga ultimatum yang berisi:[7]

  1. Memerintahkan masyarakat Tondano untuk memindahkan tempat tinggal mereka dari wilayah rawa ke daratan.
  2. Menyerahkan para pemimpin-pemimpin pemberontakan rakyat kepada pihak VOC.
  3. Mengganti rugi semua kerugian yang terjadi selama perang sekaligus pasokan beras yang berkurang akibat perang yang terjadi.

Pihak Tondano tidak menerima ultimatum ini dan kembali mengobarkan perang yang sempat berhenti dan berakhir dengan kekalahan Cos yang mundur kembali ke Manado.[6]

Pada tahun 1663, masyarakat Tondano melakukan serangan balasan yang dibantu oleh Pendeta Yesuit dari Spanyol, Pater de Miedes yang memasok bubuk mesiu serta keperluan lain untuk melakukan penyerangan ini. Tondano menyerang VOC dengan membawa 5 kapal penyerang menuju Manado. Akan tetapi, pihak Spanyol harus kembali ke Filipina karena harus menghadapi ancaman bajak laut Tionghoa, sehingga pada tanggal 2 Juni 1663, pihak Spanyol kembali ke Manila. Mundurnya Spanyol serta pasokan beras yang menumpuk membuat pihak Tondano akhirnya menuruti ultimatum poin pertama dengan memindahkan kampung mereka yang berada di atas air setelah membakarnya ke tempat yang telah ditentukan Belanda.[8]

Perang Tondano II

Penyebab perang

Verbond 16 Januari 1679

Asal usul penyebab perang ini bermula dari sebuah Verbond atau perjanjian antara para ukung Minahasa dan Belanda pada tanggal 10 Januari 1679 di Benteng Amsterdam.[9] Perjanjian ini mengandung beberapa poin yang akan disetujui oleh beberapa perwakilan ukung Minahasa, seperti Ukung dari Walak Ares, Klabat, Bantik, Klabat-Atas (Maumbi), Kakaskasen, Tomohon, Tombariri, Sarongsong, Tounkimbut Bawah (Sonder), Tounkimbut-Atas (Kawangkoan), Rumoong, Tombasian, Langoan, Kakas, Remboken, Tompasso, Tondano, Tonsea, Manado, Tonsawang, Pasan, Ratahan, dan Ponosakan[10] Pada saat perjanjian berlangsung, ada tiga orang yang bertugas sebagai juru bicara, yaitu Ukung Maondi (Mandey), Pacat Supit Sahiri Macex, dan Pedro Rantij (Ranti), serta dari pihak Belanda, yaitu Robertus Padtbrugge yang mewakili Rijckloff van Goens dan Dewan Hindia yang mewakili de Nederlandsche Goctroyeerde Oost Indische dengan Bastian Sawaij selaku penerjemah.[11]

Perjanjian ini diketahui hanya dibuat sebanyak satu salinan naskah dan menurut E.C. Godee Molsbergen dalam bukunya yang berjudul Geschiedenis van de Minahasa tot 1829, naskah perjanjian ini hilang saat proses penerjemahan oleh pihak Minahasa. Namun, menurut Bert Supit, alasan hilangnya naskah ini sulit diterima karena para ukung pada saat itu tidak mampu menulis dan berbahasa dengan huruf Latin yang juga diperkuat dengan bentuk tanda tangan para ukung yang hanya berbentuk coretan. Lagipula, berdasarkan perjanjian-perjanjian yang dilakukan sebelumnya atau kebiasaan yang dimiliki oleh Minahasa, mereka tidak terlalu memperdulikan tentang keberadaan suatu naskah. Fakta ini juga diperkuat dengan pernyataan Molsbergen pada buku yang sama, bahwa pihak VOC tidak terlalu memperdulikan perjanjian wilayah-wilayah kecil seperti wilayah Minahasa dan hanya memperdulikan hubungan antar kerajaan-kerajaan seperti Kesultanan Tidore dan Ternate. Maka dari itu, Supit menyimpulkan bahwa naskah ini hilang dalam penyimpanan VOC. [12]

Perang pertama dimulai pada tahun 1681, dikarenakan munculnya kesempatan masyarakat Tondano untuk menyerang VOC di tengah kerusuhan yang terjadi di Ternate yang terjadi kepada VOC dengan mengirimkan kora-kora kembali ke Danau Tondano. Serangan ini berlangsung sengit sehingga pada tahun 1682, pihak VOC mencari siasat lain dengan meminta bantuan kepada pemimpin Walak Tonsea yang mengirimkan puluhan pasukan serta 70 orang dari watervalvolken untuk menyerang Tondano. Sembari menunggu bantuan datang, pihak VOC telah membendung kembali Sungai Temberan untuk membanjiri tempat tinggal masyarakat Tondano yang berakhir dengan kekalahan di pihak Tondano.[13]

Verdrag 10 September 1699

Karena salinan yang telah hilang, pada tanggal 23 April 1683, muncullah dokumen pengganti yang dikutip dari jurnal Padtbrugge setelah pada tanggal 2 September 1682 telah diserah terima jabatan dengan Jacob Lobs sebagai Gubernur Ternate karena pergi ke Banda Neira untuk menjabat sebagai Komisaris tiga provinsi di Maluku. Namun sebelum dokumen ini diumumkan, pasal satu dari kutipan ini telah diumumkan sebelumnya yang berisi keganjilan yang menyatakan bahwa masyarakat Minahasa sebagai ondersaeten (bawahan) dan pihak VOC sebagai weetigeenig en eeeuwich opperheer (satu-satunya yang dipertuan yang sah dan berdaulat selama-selamanya) yang dinilai sebagai upaya untuk menerapkan domein verklaring.[14] Domein verklaring merupakan sebuah hukum yang menyatakan bila suatu tanag tidak memiliki surat keterangan kepemilikan, maka surat akan menjadi milik negara.[15]

Tentu saja pernyataan pasal 1 yang juga disampaikan pada Verdrag 10 September 1699 yang direncanakan menjadi pengganti Verbond 16 Januari 1679 mengundang kecurigaan ketidakjujuran Belanda atas ketidaksesuaian isi dalam perjanjian ini. Ketidaksesuaian isi perjanjian ini diperkuat dengan pernyataan bahwa pada naskah serah terima jabatan yang dilakukan oleh Jacob Claaszoon kepada David van Peterson bahwa orang Minahasa bukan merupakan bawahan atau daerah taklukan, melainkan melakukan perjanjian persahabatan dengan pihak VOC yang mereka lakukan dengan Padtbrugge. Pernyataan dari Johann Gerard Friedrich Riedel juga memperkuat bahwa masyarakat Minahasa tidak akan pernah menerima seseorang di atas kekuasan mereka jika bukan bagian dari suku mereka. Lagipula, bila isi pasal ini merupakan hasil kemufakatan, seharusnya masyarakat Minahasa menerima perubahan pada 10 September 1699 dan tidak bersikukuh dengan hanya mengikuti isi perjanjian Verbond 16 Januari 1679 yang terus menerus dilakukan hingga pemerintahan Gubernur Ternate, Jacob Schoonderwoerd yang memerintah dari tahun 1765 dan Paulus Jacob Balckeenar yang memerintah tahun 1778.[16] Selain perubahan pada pasal 1, perubahan lain juga dilakukan Belanda pada perjanjian tersebut. Pada pasal 9, Belanda merubah kebijakan pemilihan kepala Walak dengan merubahnya sistem pergantian dengan mengubahnya dari sistem pemilihan secara demokratis menjadi bersifat keturunan.[17] Perjanjian ini juga meminta penghapusan terhadap sistem penghukuman pengganti pelaku pidana, yaitu sebuah sistem pergantian pelaku pidana dengan orang lain yang berasal dari keluarga, saudara, atau satu Walak serta sebuah tata cara penghukuman yang bernama toktoken yakni pencincangan sampai halus.[18]

Akhirnya perjanjian ini ditandatangani oleh tiga orang walak yang semuanya berasal dari Toumbulu, yaitu Supit yang merupakan kepala Walak Tombariri, Pa'at Kolano sebagai kepala Walak Tomohon, dan Lontoh Tu'unan sebagai kepala Walak Sarongsong dari pihak Minahasa serta dari pihak Belanda yang diwakili oleh Paulus Brieving dan Samuel Hartingh sebagai residen.[19] Setelah perjanjian ini juga, Belanda mengangkat tiga orang tersebut sebagai Hukum Mayoor yang kemungkinan diangkat pada periode tahun 1700-1706.[20] Menurut Bert Supit, Supit merupakan yang pertama dipecat dari gelar ini, yaitu pada tanggal 10 Januari 1711 yang diikuti Lontoh Tuunan pada tanggal 12 Januari 1712 dan Paat pada tanggal 3 Februari 1722.[11]

Beberapa tahun setelah perjanjian disahkan, Tondano melakukan peperangan kembali dengan Belanda pada tahun 1707 karena tipu daya yang muncul akibat Verdrag 10 September 1699 dikarenakan VOC tidak hanya membuat kehidupan masyarakat Minahasa menjadi lebih buruk, VOC juga memaksa mereka untuk tunduk pada Belanda.[21] Pada peperangan ini, Tondano dibantu oleh Kakas dan Remboken, dan berlangsung hingga pada tahun 1711 yang menyebabkan banyak korban serta mengakibatkan hilangnya kepercayaan Belanda kepada para mayor yang memimpin di Minahasa.[22]

Setelah ketiga mayor dipecat dari jabatan Hukum Mayoor, VOC mengulangi sistem pemilihan jabatan ini untuk kedua kalinya. Pemilihan ini dilakukan oleh Marten Lelievelt yang menjabat sebagai Gubernur Maluku dengan saran dari Residen Manado, yaitu Jan Smit di tahun 1739. Lelievelt memilih Tololiu Supit yang merupakan anak dari Pacat Supit dari istri Suanen bernama yang juga saat itu juga menjabat Kepala Balak Ares.[11] Kali ini Belanda memilih Tololiu Supit pada tanggal 27 Agustus 1740 di Fort Amsterdam. Tololiu merupakan Walak Ares yang cukup disegani di kalangan masyarakat. Tetapi seperti sebelumnya, jabatannya ini tidak terlalu berpengaruh terhadap walak-walak lain. [23] Pada akhirnya, meskipun posisi Tololiu ini selalu dibela oleh Residen Manado Johannes Pauwen agar tidak dicopot. Tololiu Supit pun tetap dicopot pada tanggal 30 Juli 1743.[11]

Karena taktik pengangkatan jabatan Hukum Mayoor tidak berhasil, maka VOC melakukan perubahan taktik untuk meningkatkan perdagangan beras yang dilakukan selama ini. Mereka mulai memberikan fasilitas kepada kepala-kepala walak yang menjabat serta mendorong para kepala-kepala walak untuk menguasai wilayah-wilayah sengketa antar walak untuk memperbesar daerah produksi beras. VOC memanfaatkan kelemahan walak ini karena mereka tahu bahwa bagi para walak, luas wilayah kekuasaan berbanding lurus dengan kehormatan dan kebesaran kepala walak. Taktik ini berhasil menimbulkan beberapa konflik:[24]

  1. Tonsea dan Tondano (1755)
  2. Tonsea dan Tomohon (1760)
  3. Tomohon, Koka, Sawangan dengan Ares, Klabat, Titiwungen (1760)
  4. Lotta dan Tateli dengan Bantik (1760)
  5. Walak sekitar Fort Amsterdam dan Tonsea (1773)
  6. Kakaskasen dan Bantik (1789)
  7. Langowan dan Tompaso dengan Pasan dan Ratahan (1789)

Karena konflik yang terus berlangsung, VOC berusaha mendamaikan salah satu konflik. Usaha perdamaian ini dilaporkan dari sebuah laporan oleh J.D. Schierstein pada tanggal 8 Oktober 1789 yang mendamaikan Bantik dan Tombulu (Tateli) yang dikenal dengan nama Perang Tateli[25] serta kelompok Toulour dan kelompok Tonsawang.[26] Pada perdamaian ini juga, nama Minahasa muncul pertama kali dari kata Min'hasa sebagai kata yang dipakai oleh Landraad. Karena keberhasilan Schierstein dalam meredakan konflik yang terjadi di Minahasa, dia pun melakukan musyawarah kembali pada tahun 28 Juli 1790 di Fort Amsterdam. Namun, usahanya digagalkan oleh Pangalila selaku kepala Walak Tondano serta Ukung Sumondak dan kepala walak lainnya karena mereka hanya menyetujui Verbond 10 Januari 1679 sebagai satu-satunya perjanjian yang disetujui. Berkat pemberontakan ini, Schierstein melancarkan rencana untuk menangkap Pangalila dan teman-temannya sehingga perjanjian pada tanggal 5 Agustus 1790 berhasil. Mereka berhasil ditangkap dan Pangalila meninggal di tahanan, sedangkan teman-temannya dibawa keluar daerah dengan kapal Belona.[27] Menurut Taulu dalam buku Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme Kolonialisme Sulawesi Utara, Pangalila ditangkap oleh Puluwang karena terlambat mengumpulkan beras ke Puluwang sebelum diserahkan kepada Kepala Balak Tonsea. Puluwang merupakan seorang perwakilan residen dalam mengumpulkan beras kepada VOC.[28]

Perang Tondano II (1808–1809)

Perang Tondano yang terjadi pada tahun 1808-1809 adalah perang yang melibatkan orang Minahasa di Sulawesi Utara dan pemerintah kolonial Belanda pada permulaan abad XIX. Perang pada permulaan abad XIX ini terjadi akibat dari implementasi politik pemerintah kolonial Hindia Belanda oleh para pejabatnya di Minahasa, terutama upaya mobilisasi pemuda untuk dilatih menjadi tentara.[29]

Perang Tondano II sudah terjadi ketika memasuki abad ke-19, yakni pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Perang ini dilatarbelakangi oleh kebijakan Gubernur Jenderal Daendels. Daendels yang mendapat mandat untuk memerangi Inggris, memerlukan pasukan dalam jumlah besar. Untuk menambah jumlah pasukan maka direkrut pasukan dari kalangan pribumi. Mereka yang dipilih adalah dari suku-suku yang memiliki keberanian berperang. Beberapa suku yang dianggap memiliki keberanian adalah orang-orang Madura, Dayak, dan Minahasa. Atas perintah Daendels melalui Kapten Hartingh, Residen Manado Prediger segera mengumpulkan para ukung. Dari Minahasa ditarget untuk mengumpulkan calon pasukan sejumlah 2.000 orang yang akan dikirim ke Jawa. Ternyata orang-orang Minahasa umumnya tidak setuju dengan program Daendels untuk merekrut pemuda-pemuda Minahasa sebagai pasukan kolonial. Banyak di antara para ukung mulai meninggalkan rumah. Mereka justru ingin mengadakan perlawanan terhadap kolonial Belanda. Mereka memusatkan aktivitas perjuangannya di Tondano, Minawanua. Salah seorang pemimpin perlawanan itu adalah Ukung Lonto. Ia menegaskan rakyat Minahasa harus melawan kolonial Belanda sebagai bentuk penolakan terhadap program pengiriman 2.000 pemuda Minahasa ke Jawa serta menolak kebijakan kolonial yang memaksa agar rakyat menyerahkan beras secara cuma-cuma kepada Belanda.

Dalam suasana yang semakin kritis itu tidak ada pilihan lain bagi Gubernur Prediger kecuali mengirim pasukan untuk menyerang pertahanan orang-orang Minahasa di Tondano, Minawanua. Belanda kembali menerapkan strategi dengan membendung Sungai Temberan. Prediger juga membentuk dua pasukan tangguh. Pasukan yang satu dipersiapkan menyerang dari Danau Tondano dan pasukan yang lain menyerang Minawanua dari darat. Pada tanggal 23 Oktober 1808 pertempuran mulai berkobar, pasukan Belanda yang berpusat di Danau Tondano berhasil melakukan serangan dan merusak pagar bambu berduri yang membatasi danau dengan perkampungan Minawanua, sehingga menerobos pertahanan orang-orang Minahasa di Minawanua. Walaupun sudah malam, para pejuang tetap dengan semangat yang tinggi terus bertahan dan melakukan perlawanan dari rumah ke rumah. Pasukan Belanda merasa kewalahan. Setelah pagi hari tanggal 24 Oktober 1808 pasukan Belanda dari darat membombardir kampung pertahanan Minawanua. Serangan terus dilakukan Belanda sehingga kampung itu seperti tidak ada lagi kehidupan. Pasukan Prediger mulai mengendorkan serangannya. Tiba-tiba dari perkampungan itu orang-orang Tondano muncul dan menyerang dengan hebatnya sehingga beberapa korban berjatuhan dari pihak Belanda. Pasukan Belanda terpaksa ditarik mundur. Seiring dengan itu Sungai Temberan yang dibendung mulai meluap sehingga mempersulit pasukan Belanda sendiri. Dari jarak jauh Belanda terus menghujani meriam ke Kampung Minawanua, tetapi tentu tidak efektif. Begitu juga serangan yang dari danau tidak mampu mematahkan semangat juang orang-orang Tondano, Minawanua. Bahkan terpetik berita kapal Belanda yang paling besar tenggelam di danau Perang Tondano II berlangsung cukup lama, bahkan sampai agustus 1809. Dalam suasana kepenatan dan kekurangan makanan mulai ada kelompok pejuang yang memihak kepada Belanda. Namun dengan kekuatan yang ada para pejuang Tondano terus memberikan perlawanan. Akhirnya pada tanggal 4-5 Agustus 1809, benteng pertahanan Moraya milik para pejuang hancur bersama rakyat yang berusaha mempertahankan. Para pejuang itu memilih mati daripada menyerah.

Akhir perang

Kekalahan rakyat Minahasa dan Tanah Minahasa kehilangan kemerdekaannya dan jatuh ke tangan Hindia Belanda.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b Supit 1991, hlm. 1.
  2. ^ Supit 1991, hlm. iv-v.
  3. ^ Igir, Biondy (4 Mei 2018). "Sejenak di Benteng "Genangan Darah" Moraya". pauddikmassulut.kemdikbud.go.id (dalam bahasa Indonesia). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-23. Diakses tanggal 23 Januari 2022. 
  4. ^ Lasut, Tommy A (10 Agustus 2016). Pratomo, Yulistyo, ed. "Sejarah Perang Tondano, kisah heroik warga Minahasa melawan Belanda". Merdeka.com. Diakses tanggal 23 Januari 2022. 
  5. ^ Wuntu 2002, hlm. 24-25.
  6. ^ a b Ningsih, Widya Lestari (10 Januari 2021). Nailufar, Nibras Nada, ed. "Perang Tondano I: Latar Belakang, Jalannya Perang, dan Akhir". Kompas.com. Diakses tanggal 22 Januari 2002. 
  7. ^ Wuntu 2002, hlm. 25-26.
  8. ^ Mukthi, M.F (9 September 2015). "Orang Tondano Melawan Kompeni". Historia. Diakses tanggal 23 Januari 2022. 
  9. ^ Wenas 2007, hlm. 44-45.
  10. ^ Lumoindong, David DS (14 Maret 2021). "Perjanjian VOC Dan Negara-Negara Perserikatan (Minahasa) dan Kerajaan di Minahasa Tenggara". Kanal Sulsel. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-25. Diakses tanggal 25 Januari 2022. 
  11. ^ a b c d Tanod, Meiyer (14 Januari 2018). "Kisah Supit Lontoh dan Paat". beritanusantara.co.id. Diakses tanggal 25 Januari 2021. 
  12. ^ Supit 1991, hlm. 9-11.
  13. ^ Wuntu 2002, hlm. 34-37.
  14. ^ Supit 1991, hlm. 11.
  15. ^ Permana, Rakhmad Hidayatulloh (23 September 2019). "Bahaya Konsep Domein Verklaring dalam RUU Pertanahan". detikcom. Diakses tanggal 26 Januari 2021. 
  16. ^ Supit 1991, hlm. 11-12.
  17. ^ Taroreh, Novy (6 Juli 2015). "Perang Tondano (1809): Kisah Heroik Orang Minahasa Melawan Pasukan Belanda (Bagian 2)". sulutpos.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-26. Diakses tanggal 26 Januari 2022. 
  18. ^ Supit 1991, hlm. 15.
  19. ^ Supit 1991, hlm. 14-15.
  20. ^ Wenas 2007, hlm. 46.
  21. ^ Resty, Errisha. Dewinta, Elsa, ed. "Latar Belakang Terjadinya Perang Tondano: Sejarah Perlawanan Rakyat Minahasa Melawan Belanda". PosKata. Diakses tanggal 26 Januari 2022. 
  22. ^ Wuntu 2002, hlm. 43.
  23. ^ Supit 1991, hlm. 17.
  24. ^ Supit 1991, hlm. 17-18.
  25. ^ irham, muhammad (31 Agustus 2020). Irham, Muhammad, ed. "Asal Muasal Suku Minahasa di Sulawesi Utara". Tribunnews.com. Diakses tanggal 29 Januari 2021. 
  26. ^ Kustiani, Rini, ed. (5 Januari 2021). "Tahukah Kamu Asal Kata Minahasa, Maknanya Sama Seperti Bhineka Tunggal Ika". Tempo.co. Diakses tanggal 30 Januari 2021. 
  27. ^ Supit 1991, hlm. 18.
  28. ^ Sejarah perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme di Sulawesi Utara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. 1981. hlm. 83. 
  29. ^ Taufik Abdullah & A.B. Lapian (2012), hlm. 375.

Sumber

Bacaan lanjutan

  • Kusen, Albert W.S. 2007. Makna Minawanua: Refleksi Atas Perjuangan Orang Minahasa-Tondano.
  • Mambu, Edy, 1986. Jalannya Perang Tondano. Jakarta: Yayasan Kebudayaan Minahasa.
  • Sendoh, Joutje, 1985. Perang Minahasa di Tondano.
  • Taulu, H.M.1961. Perang Tondano. Minahasa.
  • Umboh, Sam A.H.1985. Perang Tondano. Skripsi Jur. Sejarah Fakultas Sastra Unsrat.
  • Watuseke, Frans.S. 1968. Sedjarah Minahasa. Manado: Yayasan Minahasa Watuseke-Politon.
  • Weichhart, Gabriele, 2004. Identitas Minahasa: Sebuah Praktek Kuliner. Dalam Jurnal Antropologi Indonesia.

Pranala luar