Pada tahun 1533, Sultan Suleiman I memanggil Khairuddin Barbarossa dari Aljir, Aljazair dan memerintahkannya untuk membangun armada perang besar di galangan persenjataan Konstantinopel.[5] Selama musim dingin 1533-1534, Barbarossa secara keseluruhan berhasil membangun 70 galai, yang berawak budak-budak sebagai para pendayungnya, termasuk di antaranya 2.000 orang Yahudi.[6] Dengan armada ini, Barbarossa melakukan serangan agresif di sepanjang pantai Italia, hingga ia menaklukkan Tunis pada tanggal 16 Agustus 1534 dan mengusir Muley Hasan, penguasa setempat yang tunduk kepada Spanyol.[7][8] Barbarossa selanjutnya membuat pangkalan laut yang kuat di Tunis, yang dapat digunakan untuk melakukan serangan di wilayah tersebut, termasuk pada Malta yang letaknya juga dekat.
Kaisar Romawi Suci Charles V, salah satu penguasa terkuat di Eropa saat itu, membentuk pasukan besar berkekuatan kurang-lebih 30.000 tentara, 74 galai(berawak pendayung Protestan yang dirantai, didatangkan dari Antwerpen),[rujukan?]
[9] 300 kapal layar, kapal perang Santa Anna, dan galiung Portugis São João Baptista (juga dikenal dengan sebutan Botafogo) yang merupakan kapal terkuat di dunia saat itu, dengan 366 meriam perunggu untuk mengusir Utsmaniyah dari wilayah tersebut.[10] Biaya yang dikeluarkan Charles cukup besar, yaitu 1.000.000 dukat yang setara dengan biaya perang Charles terhadap Suleiman di Danube.[11] Secara tak terduga, pendanaan untuk penaklukan Tunis ini berasal dari galiung yang datang dari Dunia Baru, berupa harta senilai 2 juta dukat emas yang diperoleh dari Francisco Pizarro sebagai uang tebusan untuk pelepasan Raja IncaAtahualpa (yang tetap saja ia eksekusi pada 29 Agustus 1533).[11]
Charles V juga meminta dukungan dari Raja Prancis Francis I, tetapi Francis menolaknya dengan alasan ia sedang dalam periode gencatan senjata selama 3 tahun dengan Barbarossa setelah kedatangan duta Utsmaniyah ke Prancis tahun 1533.[12] Francis juga sedang bernegosiasi dengan Suleiman untuk melakukan serangan gabungan terhadap Charles, sebagai kelanjutan dari kedatangan duta Utsmaniyah ke Prancis tahun 1534. Francis hanya menyetujui permintaan Paus Paulus III agar tidak terjadi pertempuran antar orang-orang Kristen selama ekspedisi penaklukan tersebut berlangsung.[12]
Pertempuran
Pada tanggal 1 Juni 1535, dengan perlindungan dari armada Genoa, Charles V berhasil menghancurkan armada Barbarossa, dan setelah melalui pengepungan La Goletta yang sukses namun banyak memakan korban, ia pun dapat merebut Tunis. Di antara reruntuhan, Spanyol menemukan peluru-peluru meriam bersimbol Fleur-de-lys, suatu bukti adanya kontak yang terjadi karena persekutuan Prancis-Utsmaniyah.[10]
Pembantaian yang terjadi pada kota itu menyebabkan tewasnya sekitar 30.000 orang. Barbarossa berhasil melarikan diri ke Aljir bersama beberapa ribu pasukan Turki.[3] Muley Hasan dikembalikan pada kedudukannya yang sebelumnya.[3] Bau jenasah menyengat sedemikian kuatnya sehingga Charles V segera memindahkan markasnya dari Tunis ke Radès.
Pengepungan itu telah menunjukkan kekuatan bersama dari dinasti-dinasti Habsburg pada saat itu. Charles V mengontrol kekuasaan di Italia selatan, Sisilia, Spanyol, Amerika, Austria, Belanda, dan wilayah-wilayah di Jerman. Demikian pula ia sebagai Kaisar Romawi Suci memiliki kontrol de jure atas sebagian besar Jerman pula.
Kekalahan dahsyat dalam Penaklukan Tunis pada tahun 1535 terhadap Liga Romawi Suci kemudian memacu Kesultanan Utsmaniyah membentuk persekutuan resmi dengan Prancis untuk melawan Imperium Habsburg. Duta Besar Jean de La Forêt dikirim ke Konstantinopel, dan untuk pertama kalinya mampu menjadi duta permanen bagi Utsmaniyah dan menegosiasikan perjanjian-perjanjian.[13]
Charles V merayakan kemenangan "atas kaum kafir" secara neo-klasik di Roma pada tanggal 5 April 1536, untuk memperingati kemenangannya di Tunis.[14][15][16]
Barbarossa berhasil melarikan diri ke pelabuhan Bône, di mana sebuah armada sudah menunggunya. Dari sana, ia berlayar dan menyerang Mahón, di mana ia menawan 6.000 budak dan membawanya ke Aljir.[17]
Utsmaniyah menanggapi kekalahan tersebut dengan merebut kembali Tunis di 1574. Namun, gubernur Utsmaniyah di Tunis adalah para Bey yang berkuasa secara semi-otonom, yang bertindak sebagai penjarah terhadap kapal-kapal Kristen. Akibatnya, perampok di Mediterania berlanjut hingga Prancis menaklukan wilayah itu sebagai protektoratnya tiga abad kemudian, yaitu pada tahun 1830 melalui invasi yang kemudian membentuk Aljazair Prancis, serta terbentuknya wilayah protektorat Tunisia pada tahun 1881 melalui pendudukan Prancis di Tunisia.
^Juga ditulis Muleassen di Italia, dan Abu-Abd-Allah-Mohammed-el-Hasan di Tunis. Il Palazzo di Fabrizio Colonna a Mezzocannone, artikel oleh Bartolommeo Capasso di Napoli nobilissima: rivista di topografia ed arte napoletana, Volume 1-3, hlm. 100-104.