Pemerintah Kota Padang
Pemerintah Kota Padang merupakan bagian dari sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia, yang menganut sistem desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekonsentrasi dalam mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan menjalankan otonomi seluas-luasnya serta tugas pembantuan di kota Padang. Pemerintahan kota Padang dipimpin oleh seorang wali kota, yang dipilih secara demokratis berdasarkan UUD 1945, dan dalam penyelenggaraan pemerintahan kota Padang terdiri atas pemerintah kota Padang dan DPRD kota Padang. Setelah keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2011 pada tanggal 18 April 2011, secara resmi pusat pemerintahan Kota Padang dipindahkan dari Kecamatan Padang Barat ke Kecamatan Kototangah.[5] Pada lokasi baru ini termasuk dalam zona yang relatif aman terhadap risiko bencana tsunami dan hal ini juga mengurangi konsentrasi masyarakat di kawasan pantai. SejarahMasa kolonialPertumbuhan beberapa kawasan yang sedemikian pesat telah menimbulkan masalah baru bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda. Meskipun mekanisme dan kegiatan pemerintahan telah bertambah maju, namun pemerintahan Hindia Belanda yang mencakup kepulauan yang terpencar-pencar dan saling berjauhan itu tidak dapat terawasi secara efektif. Keadaan tersebut akhirnya menyebabkan warga kolonial menginginkan pemodelan urusan pemerintahannya sebagaimana model di negeri Belanda sendiri, yaitu sistem kekotaprajaan yang diperintah oleh seorang wali kota dan bertanggung jawab kepada Dewan Kotapraja. Untuk memenuhi tuntutan tersebut, maka pada tanggal 1 Maret 1906, berdasarkan ordonansi (STAL 1906 No.151) yang ditandatangani oleh Gubernur Jenderal J.B. van Heutsz sistem pemerintahan desentralisasi mulai diperkenalkan di Hindia Belanda. Sejak 1 April 1906 termasuk Kota Padang telah berstatus gemeente (kota), yang kemudian diiringi dengan pembentukan Dewan Kotapraja. Tugas utamanya adalah perbaikan tingkat kesehatan masyarakat dan transportasi, termasuk penanganan masalah-masalah bangunan, pemeliharaan jalan dan jembatan serta penerangan jalan-jalan, begitu pula pengontrolan sanitasi, kebersihan selokan dan sampah-sampah, pengelolaan persediaan air, pengelolaan pasar dan rumah potong, perluasan kota dan kawasan permukiman, tanah pekuburan, dan pemadam kebakaran.[6] Pada tahun 1928 Mr. W.M. Ouwerkerk dipilih sebagai Burgemeester (wali kota) yang memerintah Kota Padang hingga tahun 1940. Ia kemudian digantikan oleh D. Kapteijn sampai masuknya tentara pendudukan Jepang tahun 1942. Dalam meningkatkan layanan pemerintahan pada tahun 1931 dibangunlah gedung Gemeente Huis (Balai Kota) dengan arsitektur gaya balai kota Eropa berciri khas sebuah menara jam yang berlokasi di Jalan Raaffweg (sekarang Jalan Mohammad Yamin, Kecamatan Padang Barat). Awal kemerdekaanSetelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Mr. Abubakar Jaar diangkat sebagai wali kota pertama Kota Padang dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Mr. Abubakar Jaar merupakan seorang pamong sejak zaman Belanda,[7] yang kemudian menjadi residen di Sumatera Utara.[8] Pada tanggal 15 Agustus 1946 dipilih Bagindo Azizchan sebagai wali kota kedua,[9] atas usulan Residen Mr. St. M. Rasjid,[10][11] seiring dengan keadaan negara dalam situasi darurat perang akibat munculnya agresi Belanda. Kemudian pada tanggal 19 Juli 1947, Belanda melancarkan sebuah serangan militer dalam Kota Padang. Bagindo Azizchan yang waktu itu berada di Lapai ikut tewas terbunuh sewaktu menjalankan tugasnya sebagai kepala pemerintahan Kota Padang.[12] Untuk menghindari kekosongan pemerintahan, Said Rasad dipilih sebagai pengganti, dan menjadi Wali kota ketiga. Kemudian ia memindahkan pusat pemerintahan ke Kota Padangpanjang.[13] Namun, pada bulan September 1947, Belanda menunjuk dr. A. Hakim, untuk menjadi wali kota Padang.[13] Pada awal tahun 1950-an, sewaktu dr. Rasidin menjadi wali kota Padang, ia mengeluarkan kebijakan pelarangan penggunaan becak sebagai sarana transportasi angkutan umum di Kota Padang, karena dianggap kurang manusiawi.[13] Kemudian pada tahun 1956 B. Dt. Pado Panghulu, seorang penghulu dari Kota Payakumbuh, terpilih sebagai wali kota Padang berikutnya.[7] Tidak lama kemudian, pecah ketegangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Ketegangan memuncak pada tanggal 15 Februari 1958, dan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dideklarasikan. Selanjutnya, PRRI yang dianggap sebagai pemberontak[14] oleh pemerintah pusat dihancurkan dengan pengiriman kekuatan militer terbesar yang tercatat dalam sejarah Indonesia.[15] Akibat peristiwa ini juga, terjadi eksodus besar-besaran suku Minangkabau ke daerah lain.[16] Setelah PRRI pada tanggal 31 Mei 1958, Z. A. St. Pangeran dilantik menjadi wali Kota Padang yang ketujuh, dengan setumpuk beban berat. Selain melanjutkan pembangunan, ia juga harus memulihkan kondisi psikologis masyarakat yang tercabik akibat perang saudara.[16] Namun pada pertengahan tahun 1966, dia dipaksa mundur dari jabatannya oleh para mahasiswa.[17] Orde Baru dan otonomi daerahSetelah runtuhnya demokrasi terpimpin pasca Gerakan 30 September, dan kemudian muncul istilah Orde Baru, pada tahun 1966, Drs. Azhari ditunjuk menjadi wali kota oleh pihak militer menggantikan wali kota sebelumnya yang dianggap cendrung berpihak kepada PKI waktu itu.[17][18] Pada tahun 1967, ia digantikan oleh Drs. Akhiroel Yahya sebagai wali kota berikutnya.[19] Pada tahun 1971, Drs. Hasan Basri Durin ditunjuk menjadi pejabat wali kota mengantikan wali kota sebelumnya. Tahun 1973 dia terpilih menjadi wali kota definitif, memimpin Kota Padang selama dua periode sampai tahun 1983,[20] sebelum digantikan oleh Syahrul Ujud S.H.,[21] yang menjadi wali Kota Padang selama dua periode berikutnya. Selanjutnya, pada tahun 1993, terpilih seorang mantan wartawan Drs. Zuiyen Rais, M.S.,[22] yang juga memimpin Kota Padang selama dua periode sampai pada tahun 2003. Dalam suasana reformasi pemerintahan dan era otonomi daerah, Drs. Fauzi Bahar, M.Si, terpilih kembali pada tahun 2009 untuk masa jabatan kedua kalinya sebagai wali Kota Padang dalam pemilihan langsung pada kali pertama, sedangkan pada masa jabatan sebelumnya pada tahun 2004 dia masih dipilih melalui sistem perwakilan di DPRD kota.[23] Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2011 pada tanggal 18 April 2011, pusat pemerintahan Kota Padang secara resmi dipindahkan dari Kecamatan Padang Barat ke Kecamatan Kototangah.[24] Di samping untuk mengurangi konsentrasi masyarakat di kawasan pantai dan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat di timur dan utara kota, pemindahan ini juga dilakukan mengingat lokasi pusat pemerintahan kota sebelumnya berada pada zona yang dikategorikan bahaya terhadap kemungkinan terjadinya bencana tsunami.[25] Kompleks pusat pemerintahan dibangun di kawasan eks Terminal Regional Bingkuang (TRB) di Air Pacah dan mulai diresmikan penggunaannya pada 30 September 2013.[26] PerwakilanBerikut ini adalah komposisi anggota DPRD Kota Padang dalam lima periode terakhir.
Sesuai dengan konstitusi yang berlaku, DPRD kota merupakan perwakilan rakyat. Untuk Kota Padang, anggota DPRD kota adalah sebanyak 45 orang.[23] Pengaruh reformasi politik dan pemerintahan juga membawa perubahan peta politik di Kota Padang. Walaupun sebelumnya pada pemilu periode 1999-2004, anggota DPRD Kota Padang masih didominasi oleh partai Golkar, selanjutnya pemilu legislatif 2004-2009, seiring dengan perubahan beberapa regulasi penyelenggaraan otonomi daerah, PAN mulai mengerogoti dominasi partai Golkar dan secara bersama menguasai parlemen kota.[32] Kemudian dari hasil pemilu legislatif 2009-2014, tersusun DPRD Kota Padang dari perwakilan sembilan partai. Hasil pemilu legislatif 2014, tersusun DPRD Kota Padang dari perwakilan sebelas partai. Hasil pemilu menunjukkan, Partai Gerindra dan PAN menguasai DPRD Kota Padang.[33] Pemerintah kotaPemerintah kota Padang terdiri atas kepala daerah (wali kota dan wakilnya) dan perangkat daerah yang terdiri atas sekretariat kota Padang, sekretariat DPRD kota Padang, dinas-dinas dan lembaga teknis kota Padang, serta 11 kecamatan yang terbagi atas 104 kelurahan, dan dengan luas keseluruhan wilayah administratifnya adalah 694,96 km².
Arti lambangLambang daerah kota Padang terdiri dari empat unsur simbol yaitu:
Pengertian dari sudut bentuk
Pengertian dari sudut warna
Referensi
Pranala luarWikisumber memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:
Wikisumber memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:
Wikisumber memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:
|