Paul Ricœur
Paul Ricœur adalah filsuf dari Prancis pada abad ke-20.[1] Selain sebagai filsuf, dia juga menyumbangkan pemikiran dalam bidang politik, sosial, kultural, edukatif, dan teologis.[1] Dia termasuk cendekiawan Protestan yang sangat terkenal di Prancis.[1] Riwayat HidupPaul Ricœur dilahirkan di Valence, Prancis Selatan, tahun 1913 dan menjadi yatim piatu dua tahun kemudian.[1] Ia berasal dari keluarga Kristen Protestan yang saleh dan dipandang sebagai cendikiawan di Prancis.[2] Dibesarkan sebagai yatim piatu di Rennes.[2] Pada tahun 1930 ia mendaftarkan diri sebagai mahasiswa Universitas Sorbonne sebagai mahasiswa S-2 dan pada tahun 1935 memperoleh agregasi filsafat secara resmi di sana.[2] Dia menggeluti bidang filsafat karena bekenalan dengan R. Dalbiez, kemudian melanjutkan studi di Universitas Sorbonne dan lulus tahun 1935 dengan agregasi filsafat.[1] Kariernya dimulai dari perkenalannya dengan Dalbiez di Lycee, seorang filsuf beraliran Thomistis yang terkenal, karena dialah salah seorang Kristen pertama yang mengadakan studi mengenai psikoanalisa Freud (1936).[2] Pada tahun 1937 hingga 1939 mengikuti wajib militer Prancis dan menjadi tahanan perang hingga 1945.[1] Dalam tahanan di Jerman dia justru belajar filsafat dari karya Husserl, Heidegger, Jaspers yang lebih beraliran eksistensialis pada waktu itu.[1] Kemudian dia meraih gelar doktornya di Universitas Strausbourg tahun 1950.[1][2] Dia terus mempelajari dan membaca filsafat dari para filsuf besar sehingga dia benar-benar ahli dalam filsafat.[1] Kemudian selain bidang filsafat, pandangannya meluas kepada politik, sosial, kultural, pendidikan dan teologi.[1] Berkat pemikiran teologinya, dia dianugerahi doktor teologi honoris dari Universitas Katolik Nijmegen di Belanda pada tahun 1968.[1] Dia juga memperoleh gelar profesof filsafat dari Universitas di Sorbonne pada 1959.[1] Karya-karyanya terus saja terbit, baik dalam bidang filsafat maupun teologi.[1] Dia berpindah ke Universitas Nanterre untuk melakukan kontak lebih erat dengan mahasiswa di sana, namun justru dalam gerakan mahasiswa melawan pemerintahan Jenderal Gaulle dia mengundurkan diri karena trauma dengan kekerasan yang terjadi dalam lingkup kampus.[1] Lalu dia hanya menjadi dosen undangan di Universitas Lauven, Universitas Chicago dan menjadi direktur di Pusat studi tentang fenomenologi dan hermeneutika.[1] Dia terus berkarya dalam filsafat, bahasa dan hermeneutika.[1] PemikiranPemikiran Paul Rocoeur dipengaruhi oleh Gabriel Marcel, fenomenologi dari Husserl, Heidegger dan Jaspers.[1] Selain itu hobi membaca karya Plato, Aristoteles, Kant, Hegel dan Nietzsche sehingga ia mempunyai pengetahuan yang luas terhadap filsafat barat.[2] Dalam karnya-karyanya, di tampak memiliki perspektif filsafat yang beralih ke analisis-eidetik (pengamatan yang sedemikian mentail), fenomenologis, historis, hermeneutik hingga pada akhirnya semantik, namun pada akhirnya konsentrasi Ricœur mengarah pada hermeneutika.[2] HermeneutikaHermeneutika bagi Ricœur adalah usaha menafsirkan yang dilakukan manusia dengan kemampuannya untuk menerobos jarak budaya di mana seseorang akan sampai pada konteks historis sesuatu yang ditafsirnya.[2] Proses menerobos itu memakai pendekatan bahasa dengan metode fenomenologi.[3] Hermeneutika Ricœur menyangkut teori-teori tentang manusia dan Tuhan dalam pendekatan strukturalisme, Psikoanalis, fenomenologi, Simbol, agama dan iman.[3] Hermeneutika menurut Ricœur berfungsi untuk mengadakan pemahaman tentang "yang lain" - dan dari tanda-tanda yang diperoleh dari berbagai budaya - bertepatan dengan pengertian dari dirinya dan keberadaannya.[4] Di sini hermeneutika harus menyadari keterbatasan manusia dalam menafsirkan sesuatu sehingga dia akan menghormati hasil tafsirnya.[4] Hasil tafsir itu disebut "tanda-tanda" dan diikutinya untuk memperoleh arah kehidupannya.[4] Salah satu hasil tanda itu adalah simbol yang di dalamnya terdapat karya seni, sastra yang merupakan hasil usaha manusia untuk mencari kemungkinan-kemungkinannya, memanifestasikan "universalitas abstrak gagasan kemanusiaan melalui universalitas konkretnya".[4] Hermeneutika selalu mengimplikasikan suatu momen reflektif atau momen eksistensial, yaitu pemahaman diri secara implisit dan eksplisit.[4] Hermenetutika adalah tafsir tentang "aku", "aku" yang dibentuk oleh hubungan dengan Ada (bisa dikatakan Tuhan bagi orang beragama).[4] SimbolismeSimbolisme menurut Paul Ricouer dapat dilihat dari kutipan:
Sombolisme adalah hasil pemikiran Rocoeur dalam hal fenomenologi.[5] Hal ini berbicara problem kejahatan yang dicari dari kegiatan hermeneutika. Dalam esai tiga volume yang berjudul Filsafat dan Kehendak, tahun 1980.[5] Dalam bukunya tentang Esai Alkitab dan Tafsir dia berbicara tentang perbedaan cara dalam teks-teks religius menunjuk pada Allah yang tersembunyi.[5] Dia ingin mendemonstrasikan seberapa berbeda posisi tetang keduanya "lebih dari" atau "kurang dari" pada simbol dan yang disimbolkannya.[5] Dalam pemikiran Ricouer tentang hubungan manusia dan Tuhan, dia mengajak manusia untuk membangun suatu antropologi filosofis melalui penggalian makna bahasa sebagai simbol.[4]
Ricœur bertolak dari pemikiran tentang manusia, dalam masyarakat kontemporer, dia mencari sumber makna selain yang dikontruksi manusia sendiri, atau sumber yang terberikan oleh manusia sendiri yaitu bahasa mitik-simbolik.[4] Dia menolah pemutlakan bahasa dalam kategori-kategori dan ucapan tunggalnya, sebab jika hal ini dilakukan, maka hanya akan mereduksi kekayaan bahasa itu menjadi kosong secara mutlak.[4] Simbolisme yang baik akan bisa dimaknai dengan pemikiran yang bukan hanya rasional, melainkan juga meditatif atau perenungan, jika perenungan itu hilang maka dia bukan simbol lagi.[4] Simbol memberikan makna kepada kita jika kita memikirkannya dan menafsirkannya.[4] Simbol memiliki intensionalitas ganda:
Simbolisme kejahatanRicouer mengorganisasi pengalaman dan ekspresi kejahatan di sekitar tiga arketipe simbol: "penodaan", "dosa", dan "rasa salah".[4] Ketiga hal itu didapatkan dari hermeneutika dalam bahasa ketika memikirkan kejahatan.[4] Tiga tipe bahasa dalam diskursus mengenai kejahatan:
Bentuk kejahatan menurut Ricœur terhubung dengan noda, kotor dan cemar yang dilakukan manusia.[4] Hal-hal itu dilakukan manusia ketika dia terhubung dengan kejahatan, berasal dari luar dan menulari.[4] Di sini kejahatan digambarkan dalam skema ekterioritas.[4] Kejahatan adalah pelanggaran tertib sakral dan berdampak pada kebutuhan untuk menghilangkannya, sebab kejahatan identik dengan bernoda, kotor dan cemar.[4] Dengan melacak apa yang dibalik simbol, seseorang yang merasa bernoda, berdosa di hadapan yang transenden pasti akan merasa bersalah.[4] Maka manusia mencari kemurnian atau purifikasi sehingga menusia kembali kepada dirinya sendiri di dalam "Ada" yang ditemukannya.[4] Referensi
Bacaan Lanjutan
Pranala luar
|