Mohammad Reza Pahlavi
Mohammad Reza Pahlavi (bahasa Persia: محمدرضا پهلوی Moḥammad Rez̤ā Pahlavī) (26 Oktober 1919 – 27 Juli 1980), juga dikenal sebagai Mohammad Reza Shah (bahasa Persia: محمدرضا شاه), adalah Syah Iran dari 16 September 1941 hingga digulingkan dalam Revolusi Iran pada 11 Februari 1979. Ia merupakan raja kedua dari Dinasti Pahlavi dan syah terakhir dari monarki Iran. Ia memegang gelar kerajaan Shahanshah (Raja Segala Raja),[1] dan Aryamehr (Cahaya Bangsa Arya), dan Bozorg Arteshtārān (Kepala Pejuang).[2] Syah naik takhta pada Perang Dunia II, setelah invasi Anglo-Soviet yang memaksa ayahnya, Mohammad Reza Shah, turun takhta. Pada masa pemerintahan Mohammad Reza Shah terjadi nasionalisasi industri minyak Iran di bawah Perdana Menteri Mohammad Mosaddegh hingga terjadi kudeta yang didukung Amerika Serikat dan Inggris pada tahun 1953.[3] Pada masa pemerintahannya, Iran merayakan kesinambungan monarki selama 2.500 tahun sejak didirikannya Kekaisaran Persia oleh Koresy Agung dengan mengubah awal kalender Iran dari Kalender Hijriyah ke tahun penobatan Koresy Agung.[4] Ia mencanangkan Revolusi Putih, serangkaian pembaruan ekonomi dan sosial yang dimaksudkan untuk mentransformasikan Iran menjadi suatu kekuatan global. Ia berhasil dalam memodernisasi negara itu dengan menasionalisasikan banyak sumber alam, dan memberikan hak pilih kepada kaum perempuan. Namun, kegagalan sepihak dari reformasi agraria, tidak adanya demokratisasi seperti yang dikritik oleh sebagian lawannya, serta kemerosotan kekuatan tradisional dari para rohaniwan Syiah yang sebagian disebabkan oleh berbagai pembaharuan yang terjadi kemudian meningkatkan oposisi terhadap kekuasaannya. Meskipun ia sendiri adalah seorang Muslim, Syah perlahan kehilangan dukungan dari para rohaniwan Syiah di Iran, khususnya karena kebijakan pembaratan yang kuat dan pengakuannya terhadap Israel. Bentrokan dengan golongan radikal keagamaan, meningkatnya aktivitas pihak komunis, campur tangan pihak barat dalam ekonomi Iran, dan perbedaan pandangan politik dengan Mohammad Mossadegh pada tahun 1953 menghasilkan pemerintahan yang kian otoriter. Syah dan Mossadegh saling menuduh dan pihak lain berusaha melakukan kudeta yang akhirnya menyebabkan kejatuhan Mossadegh. Berbagai kebijakan yang kontroversial diberlakukan, termasuk larangan terhadap Partai Tudeh dan penindasan terhadap kaum pembangkang oleh dinas rahasia Iran, SAVAK. Amnesty International melaporkan bahwa Iran mempunyai 2.200 tahanan politik pada 1978.[4] Pada 1979, gejolak politik telah berubah menjadi revolusi hingga pada 16 Januari 1979 berhasil memaksa Syah untuk meninggalkan Iran setelah berkuasa selama 37 tahun. Tak lama setelah itu, kekuatan-kekuatan revolusioner mengubah pemerintahnya menjadi suatu Republik Islam yang dipimpin oleh Ayatollah Rohullah Khomeini, seorang pemuka agama Syiah di Iran. Mohammad Reza Pahlavi beserta seluruh keluarganya mengasingkan diri ke Mesir, tempat ia memperoleh suaka politik dari Presiden Anwar Sadat hingga akhir hayatnya. Kehidupan awalMohammad Reza dilahirkan di Teheran, Persia sebagai anak dari Reza Khan (kemudian Reza Shah Pahlavi) dan istri keduanya, Tadj ol-Molouk. Mohammad Reza merupakan anak lelaki pertama dan anak ke-3 dari 11 putra-putri Reza Shah. Ia memiliki seorang saudara kembar perempuan, Ashraf Pahlavi. Sebenarnya, Shams, Mohammad Reza, Ashraf, Ali Reza, dan kakak tiri mereka, Fatemeh, tidak dilahirkan sebagai keturunan bangsawan karena ayah mereka belum menjadi Syah hingga penobatannya pada tahun 1925. Namun demikian, Reza Shah selalu yakin bahwa keberuntungannya yang mendadak telah muncul dengan kelahiran putranya pada tahun 1919 yang dijuluki khoshghadam (burung pertanda baik).[5] Ketika Mohammad Reza berumur 11 tahun, ayahnya menerima rekomendasi Abdolhossein Teymourtash untuk mengirimkan putranya ke Institut Le Rosey, sekolah berasrama di Swiss. Ia pun menjadi pangeran dan putra mahkota Iran pertama yang disekolahkan ke luar negeri dan ia bersekolah di sana selama 4 tahun sebelum kembali ke Iran untuk menyelesaikan sekolah menengah atasnya pada tahun 1936. Setelah kembali ke tanah airnya, sang Putra Mahkota melanjutkan pendidikannya ke akademi militer Teheran hingga lulus pada tahun 1938.[6] Awal kekuasaanPemakzulan ayahnyaDi tengah berkecamuknya Perang Dunia II pada tahun 1941, Nazi Jerman melancarkan Operasi Barbarossa dan menginvasi Uni Soviet serta melanggar Pakta Molotov-Ribbentrop. Konflik ini berdampak besar terhadap Iran yang sebenarnya bersikap netral.[7] Belakangan, pasukan Inggris dan Uni Soviet menginvasi militer Iran dan memaksa Reza Shah untuk turun tahta.[8] Mohammad Reza menggantikannya pada 16 September 1941.[9] Setelah bertahta sebagai raja, Iran menjadi jalur utama Inggris dan Amerika Serikat dalam mengirimkan bantuan ke USSR selama perang. Bantuan besar-besaran ini kemudian dikenal sebagai Koridor Persia.[10] Peralihan kekuasaan yang mulus dari Reza Shah kepada Putra Mahkota ini terjadi berkat upaya Mohammad Ali Foroughi.[11] Meskipun sedang menderita angina, Foroughi dipanggil ke Istana dan ditunjuk sebagai Perdana Menteri ketika Reza Shah khawatir akan berakhirnya Dinasti Pahlavi ketika Sekutu menginvasi Iran pada tahun 1941.[12] Ketika Reza Shah meminta bantuannya untuk memastikan bahwa Sekutu tidak akan menjatuhkan Dinasti Pahlavi, Foroughi mengesampingkan sentimen negatif pribadinya lantaran disisihkan dari arena politik sejak tahun 1935. Putra Mahkota berbicara kepada Duta Besar Inggris bahwa Foroughi "tidak mengharapkan anak-anak Shah cukup beradab",[12] tetapi Foroughi justru berhasil mengalihkan pemikiran Sekutu untuk melakukan perubahan drastis dalam politik Iran.[13] Amnesti umum dikeluarkan dua hari setelah penobatan Mohammad Reza Shah pada 19 September 1941. Seluruh aktivis politik yang mengalami pengucilan selama masa kekuasaan ayahnya direhabilitasi dan kebijakan pembukaan paksa yang dibuat oleh ayahnya pada tahun 1935 dicabut. Berdasarkan keputusan sang raja muda tersebut, Duta Besar Inggris di Tehran melaporkan ke London bahwa "Syah muda menerima sambutan yang cukup spontan dalam pengalaman pemerintahannya yang pertama, mungkin lebih karena pemakzulan ayahnya ketimbang kecintaan rakyat kepada dirinya". Syah muda bisa menunjukkan temperamen yang lebih baik, citra buruk yang akan menghantuinya selama menjadi raja hanyalah pengucilan politik yang dilakukan ayahnya terhadap Teymourtash, pemecatan Foroughi pada pertengahan 1930-an, dan penghukuman mati kepada Ali Akbar Davar pada tahun 1937.[14] Keputusan yang lebih signifikan yang membayang-bayangi adalah keputusan sepihak ayahnya yang kacau yang dinegosiasikan dengan APOC pada tahun 1933, salah satunya yaitu mengkompromi kemauan negara untuk menerima keuntungan yang lebih dari penambangan minyak bumi di negara tersebut. Nasionalisasi minyak dan kudeta 1953Pada awal 1950-an, krisis politik yang terjadi di Iran menarik perhatian Inggris dan Amerika Serikat. Pada tahun 1951, Mohammad Mosaddegh terpilih sebagai Perdana Menteri dan bermaksud melakukan nasionalisasi industri minyak Iran yang dikontrol oleh Anglo-Persian Oil Company (AIOC).[15] Di bawah kepemimpinan Mosaddegh, parlemen Iran memutuskan secara bulat untuk melakukan nasionalisasi industri minyak—yang tentu saja menutup operasi AIOC, yang menjadi pilar ekonomi dan kepentingan politik regional Inggris.[16] Pada awal konfrontasi, Presiden Amerika Serikat, Harry Truman, menunjukkan simpatinya.[17] Mosaddegh menerima saran dan masukan dari Duta Besar Amerika di Teheran, Henry F. Grady. Namun, tiba-tiba para pengambil keputusan di AS kehilangan kesabarannya, dan ketika Partai Republik berkuasa, muncul paranoid bahwa kaum komunis akan menggulingkan kekuasaan. Sesaat setelah pemilihan presiden AS pada tahun 1952, Inggris mengundang petugas Central Intelligence Agency (CIA), Kermit Roosevelt, Jr., ke London untuk berkolaborasi menyusun rencana rahasia penggulingan Mossadegh dari jabatannya.[18] Ini merupakan satu dari tiga operasi "penggantian rezim" yang dipimpin oleh Allen Dulles (operasi lainnya adalah kudeta yang berhasil di Guatemala pada tahun 1954 dan Invasi Teluk Babi di Kuba yang gagal). Di bawah arahan Kermit Roosevelt, Jr., petugas senior CIA dan cucu dari mantan Presiden AS Theodore Roosevelt, Dinas Rahasia AS CIA dan Dinas Rahasia Inggris Secret Intelligence Service (SIS) mendanai dan memimpin operasi rahasia untuk menurunkan Mossaddegh dengan bantuan militer Iran yang tidak setia kepada pemerintahan demokratis. Dengan kode Operasi Ajax,[19] sebuah plot dimulai dengan mengeluarkan perintah yang ditandatangani Mohammad Reza untuk memecat Mosaddegh sebagai perdana menteri dan menggantikannya dengan Jenderal Fazlollah Zahedi, tokoh yang disetujui oleh Inggris dan AS. Sebelum upaya kudeta pertama, Kedutaan Besar Amerika Serikat di Teheran melaporkan bahwa dukungan rakyat kepada Mosaddegh tetap kuat. Perdana Menteri mengajukan kontrol langsung terhadap angkatan bersenjata kepada Parlemen (Majlis). Mengantisipasi situasi tersebut, dengan dukungan personal yang kuat dari pemimpin Partai Konservatif Inggris Anthony Eden dan Perdana Menteri Winston Churchill untuk melakukan operasi rahasia, pemerintah Amerika Serikat memberikan lampu hijau kepada komite yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri John Foster Dulles, Direktur CIA Allen Dulles, Kermit Roosevelt, Henderson, dan Menteri Pertahanan Charles Erwin Wilson. Kermit Roosevelt kembali ke Iran pada 13 Juli 1953, dan kemudian pada 1 Agustus 1953, dalam pertemuan pertamanya dengan Syah. Pada tengah malam, sebuah mobil menjemputnya dan membawanya ke Istana. Ia berbaring di atas kursi mobil dan menutupi dirinya dengan selimut, ketika penjaga Istana melambaikan tangan kepada pengemudi mobilnya ketika melintasi gerbang Istana. Syah keluar istana dan memasuki mobil tersebut dan Roosevelt menjelaskan misinya. CIA menyuapnya sebanyak US$1 juta dalam mata uang Iran, yang disimpan Roosevelt di dalam brankas yang aman. Jumlah uang saat itu terbilang sangat besar, mengingat kurs saat itu adalah 1,000 rial untuk 15 dolar.[20] Kelompok Komunis melancarkan demonstrasi besar-besaran untuk menghentikan inisiatif Mossaddegh. Amerika Serikat berupaya aktif menjatuhkannya. Pada 16 Agustus 1953, sejumlah perwira sayap kanan Angkatan Darat Iran pun melancarkan serangan. Berbekal dengan perintah dari Syah, gerakan ini mengangkat Jenderal Fazlollah Zahedi sebagai Perdana Menteri. Koalisi massa dan perwira pensiunan yang dekat dengan Istana melancarkan kudeta ini. Upaya ini ternyata gagal dan Syah melarikan diri ke luar negeri dengan rasa malu. Bahkan penerbit Ettelaat, koran harian terbesar di Iran, yang pro-Syah, Abbas Masudi, juga menentangnya.[21] Selama dua hari berikutnya, Komunis berbalik melawan Mosaddegh. Gelombang oposisi berkembang secara cepat. Mereka membanjiri Tehran, mengibarkan bendera merah dan menurunkan patung-patung Reza Shah. Hal ini ditolak oleh ulama konservasi seperti Abol-Ghasem Kashani dan pemimpin Front Nasional seperti Hossein Makki, yang berpihak kepada raja. Pada 18 Agustus 1953, Mosaddegh mempertahankan pemerintahan melawan serangan baru ini. Aktivis partai Tudeh dipukuli dan ditangkapi.[22] Partai Tudeh mau tidak mau menerima kekalahan ini. Sementara itu, berdasarkan plot yang disusun CIA, Zahedi mengajukan banding kepada militer, mengklaim dirinya sebagai perdana menteri yang sah dan menuntut Mosaddegh dengan tuduhan kudeta karena mengabaikan dekret Shah. Putra Zahedi, Ardeshir, bertindak sebagai kontak antara CIA dan ayahnya. Pada 19 Agustus 1953, massa pro-Syah (yang dibayar sebesar US$100,000 dari dana CIA) akhirnya muncul dan berbaris dari Teheran Selatan memasuki pusat kota, di mana massa lainnya bergabung. Geng-geng penjahat dengan tongkat pemukul, pisau, dan batu menguasai jalanan, menghadang truk-truk berisikan massa Tudeh dan memukuli aktivis anti-Syah. Ketika Roosevelt menyelamati Zahedi di ruang bawah tanah tempat persembunyiannya, pendukung Perdana Menteri baru merangsek masuk dan mengusungnya di bahu mereka. Malam itu Henderson menyarankan kepada Ardashir bahwa Mossaddegh jangan sampai dianiaya. Roosevelt memberi uang kepada Zahedi sebesar US$ 900,000 yang berasal dari dana Operasi Ajax.[butuh rujukan] Aksi-aksi AS selanjutnya menguatkan sentimen bahwa Barat terlalu ikut campur dalam kancah politik Iran. Pada tahun 2000, Menteri Luar Negeri AS, Madeleine Albright, merefleksikan gagasan ini dengan berpidato sebagai berikut:
Mohammad Reza Pahlavi kembali berkuasa, tetapi tidak pernah mengembalikan status elit pengadilan terhadap para teknokrat dan intelektual yang bangkit dari universitas-universitas Iran dan Barat. Tentu saja, sistem ini menjengkelkan kelas sosial yang baru, yang dilarang mengambil bagian dalam pemerintahan yang sesungguhnya.[24] Percobaan pembunuhanMohammad Reza Pahlavi menjadi target paling tidak dua upaya pembunuhan. Pada 4 Februari 1949, ia sedang menghadiri perayaan ulang tahun Universitas Teheran.[25] Di tengah-tengah acara, Fakhr-Arai menembak sebanyak lima kali ke arahnya dari jarak 19 kaki. Hanya satu tembakan yang berhasil mengenai dagu Syah. Fakhr-Arai langsung ditembak mati oleh petugas di dekatnya. Setelah investigasi, diduga bahwa Fakhr-Arai adalah anggota Partai Tudeh[26] yang sudah dilarang oleh pemerintah.[27] Namun, ada bukti bahwa si calon pembunuh ini bukanlah anggota Partai Tudeh, melainkan anggota kelompok fundamentalis religius Fada'iyan-e Islam.[28][29] Meskipun demikian, tetap Partai Tudeh yang dijadikan kambing hitam dan dihukum.[30] Percobaan pembunuhan kedua terjadi pada 10 April 1965.[31] Seorang prajurit menembak sambil berlari ke arah Istana Marmer (Marble Palace). Si calon pembunuh berhasil ditembak mati sebelum mencapai pekarangan istana. Dua petugas sipil tewas tertembak.[32] Menurut Vladimir Kuzichkin—mantan petugas KGB yang membelot ke SIS—Syah juga menjadi sasaran pembunuhan oleh Uni Soviet, yang berusaha menggunakan pengendali jarak jauh televisi untuk meledakkan bom mobil Volkswagen Beetle. Pengendali TV tersebut gagal berfungsi.[33] Seorang pembelot tingkat tinggi Rumania, Ion Mihai Pacepa, juga mendukung klaim tersebut, menyatakan bahwa Syah telah menjadi sasaran berbagai percobaan pembunuhan oleh agen-agen Soviet selama bertahun-tahun. Masa kejayaanPenobatan sebagai maharajaPada 26 Oktober 1967, 26 tahun setelah menjadi syah, Mohammad Reza mengambil gelar kuno Syahansyah ("Kaisar" atau "Maharaja") dalam penobatan yang sangat mewah di Teheran. Ia berkata bahwa ia memilih untuk menunggu hingga saat itu untuk melanjutkan gelar tersebut karena menurut opininya sendiri ia "tidak merasa pantas" hingga saat itu, ia juga menekankan bahwa "tidaklah terhormat menjadi Kaisar sebuah negeri yang miskin" (sebagaimana pandangannya terhadap Iran hingga saat itu).[34] Simbol-simbol kerajaanKeluarga Pahlavi menggunakan simbol-simbol kerajaan yang kaya untuk melambangkan kejayaannya dan warisan Persia kuno. Gambar mahkota kerajaan muncul di setiap dokumen dan simbol resmi negara, mulai dari lencana tentara sampai ke uang kertas dan logam. Gambar mahkota biasanya menjadi pusat dari simbol standar kerajaan Syah (Syahansyah). Standar-standar pribadi—untuk Syahansyah, untuk istrinya Syahbanu dan untuk putra sulungnya yang akan menjadi pewaris tahta (Putra Mahkota)—memiliki latar biru pucat (warna tradisional keluarga kerajaan Iran) di tengah-tengah motif heraldik setiap individu. Bendera nasional Negara Imperial Iran diletakkan di sudut kiri atas dari setiap simbol. Standar kerajaan dikibarkan di samping bendera nasional di depan Istana ketika sang raja/ratu/putra mahkota sedang berada di Istana. Hubungan luar negeriMohammad Reza Shah mendukung kerajaan Yaman melawan pasukan republik dalam Perang Saudara Yaman (1962–1970) dan membantu Sultan Oman dalam memadamkan pemberontakan di Dhofar (1971). Mengenai status Bahrain (yang dikuasai Inggris sejak abad ke-19, tetapi diklaim Iran sebagai wilayah teritorialnya) dan tiga pulau-pulau kecil di Teluk Persia, Syah membuat kesepakatan dengan Inggris untuk memberikan kemerdekaan kepada Bahrain melalui referendum, yang bertentangan dengan keinginan kaum nasionalis Iran. Sebagai imbalannya, Iran menguasai sepenuhnya pulau-pulau Tunbs Besar, Tunbs Kecil dan Abu Musa di Selat Hormuz, tiga pulau strategis yang juga diklaim oleh Uni Emirat Arab. Selama periode ini, Syah menjalin hubungan baik dengan negara-negara Teluk Persia dan hubungan diplomatik yang erat dengan Arab Saudi. Hubungan dengan negara tetangganya, Irak, sering kali sulit dipertahankan lantaran ketidakstabilan politik yang kerap terjadi di negara tersebut. Mohammad Reza Pahlavi tidak percaya baik kepada pemerintahan Sosialis pimpinan Abdul Karim Qasim maupun Partai Ba'ath. Pada April 1969, ia membatalkan pakta Iran-Irak 1937 yang mengatur pengontrolan Irak atas Shatt al-Arab, dan Iran berhenti membayar pungutan kepada Irak ketika kapal-kapalnya berlayar melintasi Shatt al-Arab.[35] Ia menjustifikasi tindakanya dengan pendapat bahwa hampir seluruh perbatasan sungai di seluruh dunia memlintang sepanjang thalweg (alur terdalam), dan dengan mengklaim bahwa kapal-kapal yang melintasi alur tersebut adalah kapal-kapal Iran, maka pakta 1937 tersebut tidaklah adil untuk Iran.[36] Irak mengancam perang terhadap tindakan sepihak Iran, tetapi ketika pada 24 April 1969 sebuah kapal tanker Iran dikawal kapal perang Angkatan Laut Iran melintasi Shatt al-Arab, maka Irak tak berkutik karena kemampuan militernya ternyata lebih lemah.[37] Pembatalan sepihak Iran atas pakta tahun 1937 menandai dimulainya ketegangan antara kedua negara yang akut yang berlangsung hingga Perjanjian Aljir pada tahun 1975.[37] Ia mendanai pemberontakan kaum separatis Kurdi, dan untuk menutupi jejak, ia mempersenjatai dengan persenjataan buatan Uni Soviet yang dirampas Israel dari rezim-rezim Arab dukungan Uni Soviet, dan kemudian dialihkan kepada Iran atas perintah Syah. Operasi awal mengalami kegagalan yang parah, tetapi Syah melanjutkan usahanya mendukung pemberontak untuk melemahkan Irak. Kemudian pada tahun 1975, kedua negara menandatangani Perjanjian Aljir, yang memberikan Irak hak navigasi yang setara di Sungai Shatt al-Arab. Sementara itu, Syah sepakat untuk mengakhiri dukungannya kepada pemberontak Kurdi Irak.[38] Syah juga menjalin hubungan dekat dengan Raja Hussein dari Yordania, Anwar Sadat dari Mesir dan Raja Hassan II dari Maroko.[39] Pondasi diplomatik Syah adalah dukungan Amerika Serikat yang akan melindunginya, sehingga ia berani menghadapi musuh yang lebih kuat. Ketika kesepakatan tidak menghalangi kerjasama-kerjasama dan pakta-pakta lainnya, dukungan ini akan menciptakan situasi politik yang stabil di mana Pahlavi dapat melaksanakan reformasinya. Faktor lain yang menuntun Pahlavi dalam kebijakan luar negerinya adalah keinginannya akan stabilitas finansial yang membutuhkan hubungan diplomatik yang kukuh. Faktor ketiga adalah janjinya bahwa komunisme bisa dihalangi di perbatasan Iran jika monarkinya dipertahankan. Pada tahun 1977, kas negara, otokrasi Pahlavi, dan aliansi-aliansi strategisnyalah yang melindungi Iran.[40] Pada bulan Juli 1964, Syah, Presiden Turki Cemal Gürsel, dan Presiden Pakistan Ayub Khan mengumumkan di Istanbul pembentukan organisasi Regional Cooperation for Development (RCD) untuk mempromosikan proyek-proyek kerjasama perhubungan dan ekonomi. Inisiatif ini juga mempertimbangkan keterlibatan Afghanistan di kemudian hari. Syah Iran merupakan pemimpin Timur Tengah pertama yang mengakui Israel secara de facto, meskipun ketika diwawancarai dalam acara 60 Minutes oleh reporter Mike Wallace, ia mengkritik Yahudi Amerika untuk kontrol mereka atas media dan keuangan Amerika Serikat.[41] Meskipun Amerika Serikat bertanggung jawab dalam menempatkan Syah di puncak kekuasaannya, ia tidak selalu bersikap menjadi sekutu dekat Amerika Serikat. Di awal 1960-an, ketika staf perencanaan kebijakan AS, termasuk William R. Polk, mendorong Syah untuk menyebarkan pendapatan Iran yang bertumbuh secara lebih merata, memperlambat militerisasi, dan membuka pemerintahannya terhadap proses-proses politik, ia menjadi berang dan menganggap Polk sebagai "musuh utama rezimnya." Hubungan AS-Iran tumbuh lebih kontroversial ketika AS menjadi bergantung kepadanya untuk menjadi kekuatan penjaga kestabilan politik dan keamanan di Timur Tengah. Ketika Penasihat Keamanan Nasional Presiden AS Richard Nixon, Henry Kissinger, mengunjungi Teheran pada bulan Mei 1972, Syah berusaha meyakinkan Kissinger untuk mengambil peran yang lebih besar dalam operasi utama Israel-Iran untuk membantuk pemberontak Kurdi Irak melawan pemerintah Irak, mengabaikan peringatan-peringatan CIA dan Kementerian Luar Negeri AS bahwa Syah pada akhirnya akan mengkhianati kelompok Kurdi. Hal ini ia lakukan pada bulan Maret 1975 ketika menandatangani Perjanjian Aljir yang menyelesaikan perselisihan perbatasan Irak-Iran, yang diputuskannya tanpa konsultasi terlebih dahulu dengan AS. Kemudian Syah menghentikan seluruh bantuan kepada kelompok Kurdi dan mencegah AS dan Israel menggunakan wilayah Iran untuk membantu mereka.[42] Syah juga memanipulasi ketergantungan AS atas minyak dari Timur Tengah. Meskipun Iran tidak ikut dalam embargo minyak pada tahun 1973, ia justru sengaja menaikan produksi minyaknya selama embargo untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi. Pada bulan Desember 1973, hanya dua bulan setelah harga minyak meningkat hingga 70 persen, ia memaksa negara-negara anggota OPEC untuk menaikkan harga lebih tinggi lagi, yang mereka setujui dan bahkan naik hingga lebih dari dua kali lipat. Harga minyak meningkat 470 persen dalam waktu 12 bulan, yang juga meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) Iran sebesar 50 persen. Menanggapi surat permohonan pribadi dari Presiden AS Richard Nixon, Syah mengabaikan setiap komplain, mengklaim bahwa AS mengimpor minyak lebih banyak daripada sebelumnya, dan menyatakan bahwa "dunia industri akan menyadari bahwa era perkembangan mereka yang menakjubkan dan pendapatan dan kesejahteraan yang mengagumkan akibat murahnya harga minyak sudah berakhir."[42] Modernisasi dan evolusi pemerintahanDengan kekayaan minyak Iran yang luar biasa, Syah menjadi pemimpin utama di Timur Tengah, dan mengaku sebagai "Penjaga" Teluk Persia. Pada tahun 1961, ia membela gaya pemerintahannya, dengan "jika Bangsa Iran belajar berperilaku seperti Bangsa Swedia, saya akan berperilaku seperti Raja Swedia".[43] Selama tahun-tahun terakhir kekuasaannya, pemerintahan Syah menjadi lebih sentralistik. Dalam laporan yang dikirimkan oleh Kedutaan Besar AS di Teheran, "Gambar Syah ada dimana-mana. Pembukaan film di bioskop-bioskop umum menyajikan liputan tentang Syah dalam berbagai pose kerajaan diiringi lagu nasional... Sang Raja juga aktif meluaskan pengaruhnya ke berbagai macam kegiatan sosial... hampir tidak ada kegiatan atau acara yang tidak dihadiri oleh Syah atau anggota keluarganya atau teman dekatnya atau perwakilan kerajaan. Dulu ia mengklaim akan menerapkan sistem dua partai secara serius dan mendeklarasikan, "Bila saya lebih seorang monarki diktator ketimbang konstitusional, maka saya mungkin akan cenderung menyeponsori satu partai yang dominan seperti yang dilakukan Hitler".[44] Pada tahun 1975, ia menghapus sistem multi partai menjadi satu partai di bawah Partai Rastakhiz (Kebangkitan). Kata-kata Mohammad Reza Shah sendiri dalam justifikasi tindakan ini adalah; "Kita harus merapatkan barisan Bangsa Iran. Untuk itu, kita membagi bangsa ini menjadi dua kategori: mereka yang percaya kepada monarki, konstitusi, dan Revolusi Enam Bahman dengan mereka yang tidak percaya ... Mereka yang tidak masuk ke partai politik baru ini dan tidak percaya dengan tiga prinsip utama hanya akan punya dua piihan. Apakah ia akan menjadi anggota dari organisasi ilegal, atau yang terkait dengan Partai Tudeh, atau dalam kata lain pengkhianat. Orang semacam ini akan dipenjarakan, atau diasingkan ke luar negeri atas keinginan sendiri besok, tanpa dikenakan fiskal; ia bisa pergi ke mana pun ia suka, karena ia bukan seorang Iran, ia tidak punya negara, dan aktivitasnya adalah ilegal dan akan dihukum menurut undang-undang.[45] Sebagai tambahan, Shah mengeluarkan dekrit bahwa seluruh warga Iran dan beberapa partai politik yang tersisa menjadi bagian dari Rastakhiz.[46] PrestasiDalam Revolusi Putih[47] yang dimulai pada tahun 1960-an, Mohammad Reza Pahlavi melakukan perubahan-perubahan besar untuk memodernisasi Iran. Ia membatasi kekuasaan faksi-faksi elite kuno tertentu dengan mengambil alih perkebunan-perkebunan besar dan menengah untuk kepentingan lebih dari 4 juta petani kecil. Ia mengambil sejumlah langkah besar, termasuk memberikan hak suara kepada kaum perempuan dan kesempatan bagi pekerja di pabrik-pabrik untuk membeli saham dan langkah-langkah lainnya. Pada tahun 1970-an, ia meluncurkan program pemerintah untuk menyalurkan makanan bergizi gratis kepada anak-anak di sekolah-sekolah ("Taghzieh e RāigānI"). Di masa pemerintahannya, pendapatan nasional Iran menunjukkan peningkatan yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk jangka waktu yang lama.. Perbaikan sistem pendidikan dilakukan melalui pembukaan sekolah-sekolah dasar baru dan kursus-kursus pengentasan buta huruf di desa-desa terpencil, yang dilaksanakan oleh Angkatan Bersenjata Kerajaan Iran, dan disebut "Sepāh e Dānesh" (Tentara Pengetahuan). Angkatan Bersenjata juga terlibat dalam proyek-proyek infrastruktur dan penddiikan di seluruh penjuru negeri ("Sepāh-e Tarvij va Âbādāni") serta pendidikan dan promosi ("Sepāh-e Behdāsht"). Syah menerapkan ujian-ujian untuk guru-guru agama Islam agar menjadi pengajar yang mapan. Banyak mahasiswa Iran dikirim belajar ke luar negeri, seperti ke negara-negara Barat dan India. Dalam bidang diplomasi, Iran menyadari dan memelihara hubungan bersahabat dengan negara-negara Eropa Barat dan Eropa Timur, Israel dan China, terutama melalui hubungan erat dengan Amerika Serikat, menjadi kekuatan yang makin hegemoni di Teluk Persia dan Timur Tengah. Salah satunya adalah pelibatan Angkatan Bersenjata Iran dalam pemberantasan gerakan gerilya komunis di Dhofar, Oman atas permintaan resmi Sultan Qaboos. Dalam mengembangkan infrastruktur dan teknologi, Syah melanjutkan dan mengembangkan lebih lanjut kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh ayahnya. Berbagai proyek teknologi, seperti baja, telekomunikasi, petrokimia, pembangkit listrik, bendungan dan otomotif dikembangkan. Universitas Teknologi Aryamehr dibangun sebagai institusi akademik utama yang baru.[48][49][50] Dalam bidang seni budaya, kerjasama internasional didorong dan diorganisir, melalui salah satunya Festival Seni Syiraz. Sebagai bagian dari program dukungan finansial di bidang seni dan budaya, Syah bersama Raja Hussein dari Yordania menyumbangkan dana kepada Chinese Muslim Association untuk pembangunan Masjid Agung Taipei.[51] Kritik atas kekuasaanya dan penyebab kejatuhannyaDalam Federasi Ilmuwan Amerika, John Pike menulis:
Alasan mengapa Mohammad Reza Pahlavi sampai meletakkan jabatan adalah kenyataan bahwa ia adalah seorang diktator yang dipasang oleh kekuatan Barat non-Muslim, yaitu Amerika Serikat,[53][54] yang kebudayaan luar negerinya sangat menonjol dan berpengaruh di Iran. Faktor penting lainnya termasuk laporan-laporan penindasan, kekejaman,[55][56] korupsi dan pemborosan [55][57] Kegagalan fungsi-fungsi dasar rezim juga disalahkan, seperti kemandegan, kemerosotan dan inflasi ekonomi; program ekonomi yang terlalu ambisius;[58] kegagalan pasukan keamanan mengatasi aksi protes dan demonstrasi;[59] struktur kekuasaan kerajaan yang terlalu sentralistik.[60] Kebijakan internasional yang dikejar oleh Syah dalam rangka meningkatkan pendapatan nasional dengan peningkatan harga minyak yang gila-gilaan melalui kepemimpinannya dalam Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak Bumi (OPEC) menjadi penyebab utama pergeseran kepentingan dan prioritas Barat dan pengurangan aktual dukungan mereka terhadapnya yang tercermin dalam posisi kritis politisi-politisi dan media Barat, terutama pemerintahan Presiden AS, Jimmy Carter, yang mempertanyakan hak asasi manusia di Iran dan menguatnya hubungan ekonomi antara AS dan Arab Saudi pada tahun 1970-an.[61] Pada bulan Oktober 1971, Mohammad Reza Syah Pahlavi merayakan 2500 tahun berdirinya monarki Iran. Harian New York Times melaporkan bahwa acara tersebut menghabiskan dana AS $100 juta.[62] Berikutnya di kota kuno Persepolis, Syah memerintahkan pembangunan tenda raksasa seluas 160 ekar (0,65 km2), ditambah dengan 3 tenda kerajaan yang besar dan 59 tenda yang lebih kecil yang berpola bintang dan garis-garis. Koki-koki Prancis dari Maxim Paris memasak dada merak untuk keluarga dan kerabat kerajaan dari segala penjuru dunia, bangunan didekorasi oleh Maison Jansen (perusahaan yang sama yang membantu Jacqueline Kennedy mendekorasi ulang White House), para tamu makan di atas piring porselen Limoges dan minum dengan gelas kristal Baccarat. Acara ini menjadi skandal utama lantaran kontras antara perayaan yang glamor dengan kondisi desa sekitar yang miskin yang tidak bisa diabaikan. Beberapa bulan sebelum acara tersebut, mahasiswa melakukan protes. Memang, biaya acara tersebut cukup mengesankan hingga Syah melarang rekan-rekannya mengungkapkan angka sebenarnya.[63][64] Bagaimanapun, ia dan pendukungnya berpendapat bahwa acara ini membuka investasi baru di Iran, memperbaiki hubungan dengan para pemimpin dan bangsa-bangsa lain di dunia, dan membuat Iran diakui di dunia. [butuh rujukan] Tindakan lain yang dianggap berkontribusi dalam kejatuhannya termasuk mengantagoniskan warga Iran yang apolitis—khususnya pedagang-pedagang di pasar-pasar—dengan pembentukan sistem satu partai (Partai Rastakhiz) pada tahun 1975, dengan keanggotaan dan iuran wajib, dan campur tangan yang agresif dalam kehidupan politik, ekonomi dan keagamaan masyarakat;[65] dan pada tahun 1976 saat mengubah kalender yang digunakan di Iran dari Kalender Hijriah menjadi Kalender Kerajaan, menandai penaklukan Babylon oleh Koresy Agung sebagai hari pertama, daripada peristiwa hijrah Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah. Tanggal ini dirancang sedemikian rupa bahwa tahun 2500 akan jatuh pada tahun 1941, tahun ketika kekuasaan Syah dimulai. Dalam semalam, kalender berubah dari tahun 1355 menjadi 2535.[66] Selama perayaan 2500 tahun monarki Iran yang mewah, Syah mengutip tulisan di nisan makam Koresy: "Beristirahat dalam damai, Koresh, karena kita berjaga".[67] Ada pendapat bahwa Revolusi Putih "tidak direncanakan dengan baik dan dilakukan secara serampangan", telah mengecewakan kelompok kaya atau menawarkan kebebasan politik yang lebih besar kepada rakyat miskin.[68] Beberapa prestasi Syah—seperti memperluas pendidikan—memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan. Ketika jumlah siswa bersekolah meningkat (pada tahun 1966 persentase siswa bersekolah usia 7 hingga 14 tahun di perkotaan diperkirakan mencapai 75.8%), maka lapangan kerja di Iran tidak akan cukup menampung jumlah tenaga kerja muda berpendidikan tersebut. Pada tahun 1966, lulusan sekolah menengah atas lebih banyak yang menganggur ketimbang yang buta huruf, dan pengangguran terdidik sering kali mendukung revolusi.[69] Jumat Hitam (1978)Struktur komando yang terpusat dalam militer Iran, dan kurangnya keterampilan dalam menangani kerusuhan sipil, ditandai dengan bencana dan pertumpahan darah. Ada beberapa contoh di mana unit-unit tentara Iran menembakkan senjatanya, salah satu yang paling mengerikan terjadi pada 8 September 1978. Pada hari itu, yang kemudian dikenal sebagai Jumat Hitam,[70] ribuah orang berkumpul di Lapangan Jaleh di Teheran untuk demonstrasi religius. Dengan rakyat menolak undang-undang darurat, tentara melepaskan tembakan, menewaskan dan melukai sejumlah besar demonstran. Jumat Hitam memainkan peranan penting dalam mendorong gerakan protes yang lebih radikal. Pembantaian ini mengurangi peluang rekonsiliasi hingga meletusnya revolusi menjadi tak terelakkan lagi.[71][72][73][74][75][76][77] Revolusi IranPemakzulan Syah mengagetkan hampir semua pengamat politik.[78][79] Demonstrasi militan anti-Syah pertama oleh beberapa ratus mahasiswa dimulai pada Oktober 1977, selepas kematian putra Khomeini, Mostafa.[80] Setahun kemudian pemogokan melumpuhkan negara, dan pada awal Desember, sekitar 6–9 juta orang (lebih dari 10% populasi) berunjuk rasa melawan Syah di seluruh Iran.[81] Pada 2 Oktober 1978, Syah mengumumkan pemberian amnesti untuk para oposannya di luar negeri, termasuk Ayatollah Khomeini.[82] Pada 16 Januari 1979, ia membuat kontrak dengan Farboud dan meninggalkan Iran dan menyerahkan kekuasaan kepada Perdana Menteri Shapour Bakhtiar (seorang pemimpin oposisi), untuk meredam situasi.[83] Serangan-serangan spontan massa terhadap patung-patung Pahlavi merebak, dan dalam hitungan jam saja, seluruh simbol-simbol dinasti Pahlavi sudah hancur.[84] Bakhtiar membuubarkan dinas polisi rahasia SAVAK,[85] membebaskan seluruh tahanan politik, dan mengizinkan Ayatollah Khomeini pulang ke Iran setelah bertahun-tahun diusir ke luar negeri. Ia meminta Khomeini untuk membuat "negara seperti Vatikan" di Qom, menjanjikan pemilihan umum yang bebas, dan memanggil pihak oposisi untuk membantunya menyelamatkan konstitusi, mengajukan pemerintahan "persatuan nasional" yang meliputi pengikut-pengikut Khomeini. Khomeini menolak permintaan Bakhtiar dan menunjuk pemerintahan sementaranya sendiri, dengan Mehdi Bazargan sebagai perdana menteri, dan menyatakan, "Saya akan membentuk negara. Saya akan bertindak melawan pemerintahan ini. Dengan dukungan seluruh bangsa, saya akan membentuk negara."[86] Pada bulan Februari, gerilya revolusioner dan pasukan pemberontak pro-Khomeini unggul dalam pertempuran jalanan, dan militer mengumumkan netralitasnya. Pada malam hari tanggal 11 Februari 1979, pembubaran monarki Iran pun telah tuntas. Dalam pengasinganSelama pengasingannya yang kedua kalinya ini, Mohammad Reza Pahlavi berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain, mencari tempat tinggal sementara. Pertama-tama ia terbang ke Aswan, Mesir dan menerima sambutan hangat dan ramah dari Presiden Mesir Anwar Sadat. Kemudian ia pindah ke Maroko sebagai tamu dari Raja Hassan II, kemudian ke Bahama, dan ke Cuernavaca, dekat Kota Meksiko, sebagai tamu Presiden Meksiko José López Portillo. Richard Nixon, mantan Presiden AS, mengunjunginya pada musim panas 1979 di Meksiko.[87] Syah menderita sakit batu empedu yang perlu segera dioperasi. Ia ditawari pengobatan di Swiss, namun ia memaksa berobat ke Amerika Serikat. Pada 22 Oktober 1979, Presiden AS Jimmy Carter enggan mengizinkan Syah datang ke AS untuk dioperasi di RS New York-Weill Cornell Medical Hospital. Di RS Cornell Medical Center, Mohammad Reza Shah Pahlavi menggunakan nama samaran "David D. Newsom", nama Wakil Menteri Luar Negeri AS bidang Politik saat itu, tanpa sepengetahuan yang bersangkutan. Syah kemudian dibawa dengan pesawat jet Angkatan Udara Amerika Serikat ke Pangkalan Udara Kelly di Texas dan dari sana dibawa ke ke Wilford Hall Medical Center di Pangkalan Udara Lackland.[88] Hal ini untuk mengantisipasi masa tinggalnya di AS akan singkat; namun, ternyata terjadi komplikasi saat operasi, yang memerlukan perawatan inap di RS hingga 6 minggu. Keberadaannya yang diperpanjang di AS sangat tidak disukai oleh gerakan revolusioner di Iran, yang masih membenci usaha AS menggulingkan PM Mossaddegh dan saat-saat mereka mendukung pemerintahan Syah. Pemerintah Iran meminta AS untuk memulangkan Syah ke Iran, tetapi ia tetap bertahan di RS.[89] Ada pendapat hal inilah yang menyebabkan penyerbuan massa ke Kedutaan Besar AS di Teheran dan penculikan diplomat, personel militer, dan petugas intelijen Amerika di sana, yang kemudian dikenal dengan Krisis Sandera Iran.[90] Dalam memoarnya, Answer to History, Syah menulis bahwa AS tidak pernah memberikan perawatan kesehatan dan memintanya meninggalkan negeri itu.[91] Ia meninggalkan AS pada 15 Desember 1979 dan tinggal sebentar di Isla Contadora, Panama. Hal ini ternyata menimbulkan aksi protes oleh warga Panama yang menolak keberadaan Shah di negeri mereka. Pemerintah sementara Iran tetap meminta Shah dan istrinya, Farah Diba, segera diekstradisi ke Iran. Sesaat setelah tiba di Panama, Duta Besar Iran mengirimkan surat permohonan ekstradisi sebanyak 450 halaman ke negara-negara Amerika Tengah. Surat resmi ini memperingatkan Shah dan penasihat-penasihatnya. Sekiranya pemerintah Panama bermaksud menurutinya masih menjadi spekulasi di antara para sejarawan.[butuh rujukan] Setelah kejadian itu, Syah mencari dukungan kepada Presiden Mesir Anwar Sadat, yang menawarinya kembali dengan suaka politik permanen di Mesir. Ia tiba di Mesir pada Maret 1980 dan menerima pengobatan darurat termasuk splenektomi (operasi limpa) Michael DeBakey.[92] KematiannyaMohammad Reza Pahlavi meninggal dunia di Kairo, Mesir dalam usia 60 tahun akibat komplikasi makroglobulinemia Waldenström, jenis limfoma non-Hodgkin pada 27 Juli 1980.[93][94] Presiden Sadat memberikan pemakaman kenegaraan baginya.[95] Selain dihadiri oleh seluruh Dinasti Pahlavi, Presiden Mesir Anwar Sadat, mantan Presiden AS Richard Nixon, dan mantan Raja Yunani Konstantin II juga menghadiri pemakamamnya di Kairo.[96] Jenazah Mohammad Reza Pahlavi dimakamkan di Masjid Al Rifa'i di Kairo, masjid yang bernilai simbolik tinggi. Dua raja terakhir dari dua monarki yang sudah runtuh dimakamkan di sana, yaitu Mohammad Reza Shah Pahlavi dari Iran dan Raja Farouk dari Mesir, yang juga merupakan mantan kakak iparnya. Makamnya terletak di sebelah kiri pintu masuk utama. Beberapa tahun sebelumnya, ayahnya dan pendahulunya, Reza Shah, juga pernah dimakamkan di masjid ini. WarisannyaPada tahun 1969, Mohammad Reza Pahlavi mengirimkan salah satu dari 73 Pesan Jasa Baik (Goodwill Message)[97] Apollo 11 ke NASA untuk pendaratan manusia pertama ke bulan.[98] Pesan ini masih tertinggal di permukaan bulan saat ini. Pesannya berbunyi, "kami berdoa demi Tuhan Yang Maha Esa untuk menuntun manusia menghadapi keberhasilan yang meningkat dalam pembentukan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan peradaban manusia". Awak Apollo 11 menemui Mohammad Reza Pahlavi selama tour keliling dunia selepas pendaratan tersebut. Sesaat setelah kejatuhannya, Mohammad Reza Pahlavi menulis otobiografinya berjudul Réponse à l'histoire (Answer to History).[99] Buku ini diterjemahkan dari bahasa Prancis ke dalam bahasa Inggris, bahasa Persia (Pasokh be Tarikh), dan bahasa-bahasa lainnya. Namun, ketika diterbitkan pertama kalinya, Syah sudah meninggal. Buku ini merupakan kenang-kenangan atas kejayaan dan pencapaiannya, sebagaimana pula halnya dengan perspektifnya tentang isu-isu terkait dengan Revolusi Iran dan kebijakan luar negeri Barat terhadap Iran. Ia melempar beberapa kesalahan kepada SAVAK, dan kegagalan berbagai reformasi demokrasi dan sosial (terutama melalui Revolusi Putih), kepada pemerintahan Perdana Menteri Amir Abbas Hoveyda. Saat ini reputasi Syah mengalami pemulihan di Iran, di mana orang-orang melihat kembali masa-masa ketika rakyat Iran hidup lebih sejahtera[100][101] dan pemerintah belum terlalu opresif.[102] Wartawan Afshin Molavi melaporkan bahwa warga miskin yang kurang berpendidikan—pendukung utama tradisional revolusi yang menggulingkan Syah—memberikan catatan seperti, "Tuhan memberkati arwah Syah, ekonomi saat itu lebih baik", dan menemukan fakta bahwa "buku-buku tentang mantan Syah (meskipun yang sudah disensor) laris terjual", sedangkan "buku-buku tentang Rightly Guided Path tidak laku".[103] Tulisan-tulisan SyahMohammad Reza Pahlavi menerbitkan beberapa buku tentang kekuasaannya dan dua buku setelah ia lengser. Beberapa di antaranya, adalah:
Hak-hak perempuanDi masa pemerintahan ayahnya, pemerintah Iran mendukung kemajuan hak-hak perempuan melawan pernikahan dini, poligami, pengucilan dari masyarakat, dan pemisahan pendidikan. Akan tetapi, kelompok-kelompok politik feminis independen dibubarkan dan dipaksa bergabung dengan suatu lembaga bentukan pemerintah, yang dikelola secara paternalistik. Meskipun ada oposisi kuat dari para ulama agama Syiah, kelompok feminis Iran, dipimpin oleh aktivis Fatemah Sayyeh, mencapai kemajuan yang berarti di bawah Mohammad Reza Pahlavi. Perubahan rezimnya terfokus pada bidang kemasyarakatan, dan hukum keluarga berorientasi pribadi tetap dibatasi, meskipun Undang-undang Perlindungan Keluarga tahun 1967 dan 1975 berusaha mereformasi ini.[104] Secara khusus, perempuan diizinkan menjadi menteri, seperti Farrokhroo Parsa, dan hakim pengadilan, seperti Shirin Ebadi, dan profesi-profesi lainnya tanpa memandang gender. Perkawinan-perkawinan dan anak-anaknyaMohammad Reza Pahlavi menikah sebanyak tiga kali. Putri Fawzia dari MesirPresiden Turki Mustafa Kemal Ataturk suatu kali pernah menyarankan kepada Reza Shah dalam kunjungannya ke Turki bahwa perkawinan antara Kerajaan Iran dan Kerajaan Mesir akan menguntungkan bagi kedua negara dan dinasti.[105] Berangkat dari situ, Reza Shah menjodohkan putranya, Mohammad Reza Pahlavi, dengan Putri Fawzia dari Mesir. Putri Dilawar Fawzia dari Mesir (5 November 1921 – 2 Juli 2013), adalah putri dari Raja Fuad I dari Mesir dan Ratu Nazli Sabri, dan sekaligus saudara perempuan dari Raja Farouk I. Mereka menikah pada 15 Maret 1939 di Istana Abdeen di Kairo.[105] Reza Shah tidak hadir dalam pesta perkawinannya ini.[105] Mereka resmi bercerai pada tahun 1945 (menurut hukum Mesir) dan pada tahun 1948 (menurut hukum Iran). Mereka memiliki seorang putri, Putri Shahnaz Pahlavi (lahir 27 Oktober 1940). Soraya Esfandiary-BakhtiariIstri keduanya adalah Soraya Esfandiary-Bakhtiari (22 Juni 1932 – 26 Oktober 2001), perempuan berdarah campuran Jerman-Iran dan putri satu-satunya dari Khalil Esfandiary, Duta Besar Iran di Jerman Barat, dengan istrinya yang berkebangsaan Jerman, Eva Karl. Mereka menikah pada 12 Februari 1951,[105] ketika Soraya berusia 18 tahun menurut pengumuman resmi pemerintah, namun ada rumor bahwa ia sebenarnya masih berusia 16 tahun, sementara Syah berusia 32 tahun.[106] Semasa kecil, ia berguru dan diasuh oleh Frau Mantel, dan karenanya kurang memiliki pengetahuan tentang Iran, seperti diakuinya dalam buku memoarnya, "Saya bodoh—saya tidak tahu menahu tentang geografi, legenda, sejarah tentang negeri saya, bahkan tentang agama Islam."[107] Pernikahan kontroversial antara Shah dan Soraya berakhir pada tahun 1958 ketika diketahui bahwa Soraya tidak mungkin memiliki anak (mandul), meskipun sudah diupayakan secara medis. Soraya di kemudian hari mengatakan kepada harian The New York Times bahwa Syah tidak punya pilihan selain menceraikannya, dan bahwa Syah pun berat hati dengan keputusannya tersebut.[108] Akan tetapi, setelah bercerai, dilaporkan bahwa Syah masih sangat mencintai Soraya, dan dilaporkan bahwa mereka beberapa kali bertemu setelah bercerai dan Soraya hidup makmur, meskipun ia tak pernah menikah lagi setelah itu;[109] tetap menerima gaji bulanan sekitar US$7,000 dari Iran.[110] Setelah kematiannya pada tahun 2001 dalam usia 69 tahun di Paris, sebuah lelang harta peninggalannya mencakup properti lahan di Paris senilai US$ 3 juta, cincin intan 22.37 karat dan sebuah mobil Rolls-Royce tahun 1958.[111] Mohammad Reza Pahlavi beberapa kali bermaksud menikahi Putri Maria Gabriella dari Savoy, putri dari Raja Italia yang digulingkan, Umberto II. Paus Johannes XXIII dilaporkan memveto keinginan tersebut. Dalam sebuah editorial mengenai rumor di sekitar pernikahan ini "Raja Muslim dan putri Katolik", harian terbitan Vatikan, L'Osservatore Romano, menggambarkan perjodohan ini berbahaya,[112] terutama mengingat bahwa berdasarkan berdasarkan Hukum Kanon 1917, seorang penganut Katolik Roma yang menikahi orang yang sudah pernah bercerai akan otomatis, dan bisa juga secara formal, dikucilkan oleh Gereja Katolik Roma. Farah DibaIstri ketiga dan terakhir Mohammad Reza Pahlavi adalah Farah Diba (lahir 14 Oktober 1938), putri satu-satunya Sohrab Diba, Kapten Angkatan Darat Kerajaan Iran (putra dari Duta Besar Iran di Dinasti Romanov di Moskwa, Kekaisaran Rusia), dan istrinya Farideh Ghotbi. Mereka menikah pada tahun 1959, dan Ratu Farah dinobatkan sebagai Shahbanu, atau Maharatu, gelar yang diciptakan khusus untuknya pada tahun 1967. Gelar permaisuri kerajaan sebelumnya adalah "Malakeh" (Bahasa Arab: Malika), atau Ratu. Pasangan ini menikah selama 21 tahun, hingga Shah meninggal dunia dan memiliki empat orang anak:
KekayaanMohammad Reza Pahlavi mewarisi kekayaan yang dibangun ayahnya Reza Shah yang menjadi raja Iran sebelumnya dan orang terkaya di Iran selama masa kekuasaannya, dengan nilai kekayaan diperkirakan lebih dari 600 juta rial[113] dan termasuk sejumlah besar properti tanah dan perkebunan besar, terutama di provinsi Mazandaran[114] yang sebagian dibeli dengan harga di bawah harga aslinya.[115] Reza Shah menghadapi kritik atas kekayaannya dengan mewariskan seluruh tanah dan kekayaannya kepada putra tertuanya Mohammad Reza Pahlavi dengan imbalan bongkahan gula, dalam budaya Iran disebut habbe kardan.[116] Akan tetapi, sejenak setelah memperoleh kekayaannya, Mohammad Reza Pahlavi diperintah oleh ayahnya untuk mentransfer jutaan tooman atau US$500.000 kepada setiap saudaranya.[117] Pada tahun 1958, diperkirakan bahwa perusahaan-perusahaan yang dikuasai oleh Mohammad Reza Pahlavi telah bernilai of US$157 juta (dalam kurs tahun 1958) dengan tambahan sekitar US$100 juta yang disimpan di luar Iran.[118] Rumor dan pergunjingan mengenai korupsi yang dilakukan Syah dan keluarganya telah merusak reputasinya dan menyebabkan pembentukan Pahlavi Foundation pada tahun yang sama dan pengembalian 2000 desa yang diwariskan ayahnya kepada rakyat dengan harga yang sangat rendah dan murah,[119] namun hal itu dapat diperdebatkan bahwa sudah sedikit terlambat mengingat kekayaan dan korupsi keluarga kerajaan sudah dianggap sebagai salah satu faktor penyebab meletusnya Revolusi Iran pada tahun 1979. Kekayaan Mohammad Reza Pahlavi bahkan masih berlimpah pada saat ia diasingkan ke luar negeri. Ketika menetap di Bahama ia menyatakan minatnya untuk membeli pulau tempatnya tinggal senilai US$425 juta (dalam kurs tahun 1979), namun tawarannya ditolak oleh pemerintah Bahama yang mengklaim bahwa nilai pulau tersebut lebih mahal daripada angka tersebut.[120] Pada 17 Oktober 1979, saat ia menyadari kondisi kesehatannya yang kian memburuk, ia membagi kekayaannya kepada anggota keluarganya: 20% untuk Farah Diba, 20% untuk putra sulungnya Reza, 15% untuk Farahnaz, 15% untuk Leila, 20% untuk Ali Reza, 8% untuk Shahnaz dan 2% untuk cucunya Mahnaz Zahedi. Pada 14 Januari 1979, sebuah artikel berjudul "Little pain expected in exile for Shah" di surat kabar The Spokesman Review menulis bahwa Dinasti Pahlavi telah mengumpulkan salah satu kekayaan pribadi terbesar di dunia; diperkirakan lebih dari US$1 miliar.[121] Sebuah daftar yang dibuat oleh Kementerian Kehakiman yang memprotes penetrasi keluarga kerajaan di setiap lini ekonomi nasional merinci bahwa Dinasti Pahlavi telah mendominasi ekonomi Iran. Daftar tersebut mendata aset-aset Dinasti Pahlavi termasuk 17 bank dan perusahaan asuransi, meliputi 90 persen saham di perusahaan asuransi ketiga terbesar di Iran, 25 perusahaan logam, 8 perusahaan tambang, 10 perusahaan bahan bangunan, termasuk 25 persen saham perusahaan semen terbesar, 45 perusahaan konstruksi, 43 perusahaan makanan, dan 26 perusahaan dagang, termasuk penyertaan modal di hampir setiap hotel utama di Iran. Menurut sumber-sumber lainnya, keluarga Pahlavi memiliki 70 persen kapasitas hotel di seluruh negeri. Sebagian besar kekayaan dinasti Pahlavi wajib ditransfer ke "Pahlavi Foundation", organisasi amal dan dana abadi keluarga . Organisasi ini menolak menyebutkan jumlah asetnya atau pendapatan tahunannya, tetapi sebuah buku yang diterbitkan di Iran wartawan Inggris Robert Graham, menghitung berdasarkan kepemilikan yang diketahui, aset lembaga tersebut mencapai lebih US$2.8 miliar. Pahlavi Foundation diketahui memiliki 4 hotel besar: Hilton, Vanak, Evin dan Darband. Yayasan ini mendapat perhatian international ketika membeli gedung DePinna di Fifth Avenue, New York, yang pada tahun 1975 bernilai US$14.5 juta. Investasi di pasar luar negeri oleh Pahlavi Foundation tersebut mendapat perhatian media karena untuk melakukan investasi tersebut yayasan terdaftar sebagai lembaga amal Amerika yang bertujuan untuk menggunakan uang hasil penyewaan gedung untuk membiayai mahasiswa-mahasiswa Iran yang belajar di Amerika. Kelebihan dari status lembaga amal Amerika adalah bahwa pemerintah AS tidak berwenang menginvestigasi pembukuan Pahlavi Foundation di Iran.[122] Mohammad Reza Shah Pahlavi juga dikenal memiliki hobi otomotif dan memiliki koleksi pribadi 140 mobil-mobil klasik dan sport, termasuk Mercedes-Benz 500K coupe, salah satu dari 6 unit yang pernah dibuat.[123] PenghargaanDalam Negeri
Luar Negeri
Galeri
Bacaan lebih lanjut
Referensi
Pranala luar
|