Khoirudin
Khoirudin (lahir 8 Juli 1966) adalah seorang politikus dari Partai Keadilan Sejahtera dan seorang guru. Saat ini ia menjabat sebagai anggota dan Ketua DPRD DKI Jakarta. Ia pertama kali terpilih menjadi anggota DPRD DKI Jakarta pada tahun 2019. Kehidupan awalKhoirudin lahir dari keturunan betawi di Jakarta. Ia lahir pada tanggal 8 Juli 1966.[1] Kakek dari Khoirudin adalah seorang guru mengaji. Khoirudin bersekolah di sekolah negeri di Jakarta hingga berkuliah di Universitas Negeri Jakarta pada tahun 1986. Dia lulus pada tahun 1992.[2] KarirLulus dari UNJ, Khoirudin menjadi guru di salah satu sekolah menengah pertama di Jakarta Barat . Ia kemudian berpindah ke SMP lain di Jakarta Selatan. Pada tahun 1999 ia dipercayai menjadi kepala sekolah dan menjabat hingga tahun 2012. Selain mengajar dan menjadi kepala sekolah, ia juga menjadi dosen di sebuah Sekolah tinggi Agama Islam di Depok.[3] Khoirudin terdaftar menjadi anggota Partai Keadilan Sejahtera pada tahun 2006. Pada tahun 2015 ia diamanahi sebagai Ketua DPD PKS DKI Jakarta. [4] Pada tahun 2013, ia memimpin demonstrasi menentang keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menaikkan harga bensin bersubsidi. [5] Pada Pemilihan umum legislatif Indonesia 2019, Khoirudin mencalonkan diri di DPRD DKI Jakarta dari daerah pemilihan DKI Jakarta 7 yang meliputi Kecamatan Setiabudi, Kecamatan Mampang Prapatan, Kecamatan Kebayoran Baru, Cilandak, dan Kecamatan Pancoran . Ia memperoleh 16.431 suara dan terpilih sebagai satu-satunya wakil PKS di dapil tersebut.[6] Pada tanggal 2 Juni 2022, ia ditunjuk menggantikan Abdurrahman Suhaimi sebagai wakil ketua DPRD DKI Jakarta. [7] Menurut salah satu petinggi PKS mengungkapkan bahwa penggantian tersebut sebagai bentuk penyegaran. Saat itu, Khoirudin menjabat Ketua DPD PKS DKI Jakarta. [8] Ia terpilih kembali dari dapil yang sama pada tahun 2024, dengan meraih 23.377 suara.[9] Sebagai legislator, Khoirudin telah meminta pemerintah provinsi Jakarta untuk meningkatkan subsidi untuk pendidikan, makanan, dan buruh, dengan alasan tingginya biaya hidup. [10] Sejarah elektoral
Referensi
|