Helene Deutsch (marga lahir: Rosenbach; 9 Oktober 1884 – 29 Maret 1982) adalah seorang psikoanalis wanita keturunan Amerika-Austria-Polandia, yang juga merupakan rekan dari psikoanalis kawakan Sigmund Freud. Ia bersama dengan Lou Andreas-Salomé, merupakan salah satu psikoanalis pertama yang memiliki spesialisasi terhadap wanita.
Kehidupan awal dan pendidikan
Helene Deutsch lahir di Przemysl, yang pada saat itu merupakan partisi Polandia dari Kerajaan Galisia, dari orang tua yang memiliki garis keturunan Yahudi; Wilhelm dan Regina Rosenbach, pada 9 oktober 1884.[3] Ia adalah anak bungsu dari empat bersaudara, dengan Malvina dan Gizela sebagai saudara perempuan, dan Emil (Rosenbach), sebagai saudara laki-laki.[4] Meskipun ayah Deutsch memiliki latar pendidikan bahasa jerman, Helene (Rosenbach) belajar di sekolah-sekolah swasta berbahasa Polandia. Pada akhir abad ke-18, Polandia mengalami pemisahan yang dilakukan oleh Rusia, Prusia dan Kekaisaran Austria-hungaria; Helene tumbuh besar bersamaan dengan masa-masa kebangkitan nasionalisme dan kreativitas seni Polandia, yang disebut Mloda Polska.[5] Akibatnya, Helene memiliki ketertarikan lebih terhadap karya-karya Frédéric Chopin, dan sastra Polandia, ia juga bersikeras dengan gagasannya terkait identitas nasional Polandia untuk keluar dari kekuasaan Rusia, Prusia dan Kekaisaran Austria-Hungaria, yang ia pandang bersama saudara-saudaranya sebagai penjajah. Selama masa mudanya, Helene terlibat hubungan asmara bersama Herman Lieberman, seorang politisi Polandia, dalam pergerakan terkait sosialisme. Hubungan mereka berlangsung selama lebih dari sepuluh tahun. Bersama Herman, Helene pergi untuk menghadiri Konferensi Internasional Sosialisme pada tahun 1910 dan bertemu tokoh-tokoh kunci dari pergerakan sosialisme pada masa itu, seperti: Angelica Balabanoff dan Rosa Luxemburg yang dikenal sebagai wanita-wanita sosialis karismatik.[6]
Helene Deutsch belajar ilmu kedokteran dan psikiatri di Wina dan München. Ia kemudian menjadi murid dan asisten Sigmund Freud, sekaligus menjadi wanita pertama yang memiliki kesibukan terkait psikologi wanita.[7] Setelah menjalani hubungan asmaranya dengan Herman Lieberman, Helene menikah dengan Dr. Felix Deutsch pada tahun 1912, dan setelah mengalami beberapa kali keguguran, ia kemudian melahirkan seorang putra yang diberi nama Martin. Pada tahun 1935, Helene pindah dari Jerman dan berimigrasi ke Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat. Suami dan anaknya kemudian ikut bermigrasi setahun kemudian. Di Massachussets, Helene kemudian bekerja sebagai psikoanalis hingga meninggal dunia di Cambridge pada tahun 1982. Ia terpilih sebagai anggota American Academy of Arts and Sciences pada tahun 1975.[8]
Keluarga
Ayah
Helene diketahui sering menceritakan bahwa, ayahnya merupakan sumber inspirasi awal bagi dirinya.[9] Ayah Helene, Wilhelm, adalah seorang pengacara keturunan Yahudi dan dikenal sebagi sosok 'liberal dan memiliki spesialisasi di bidang hukum internasional'. Pada masa ketika gerakan anti-semitisme merajalela, ayah Helene mampu menjadi perwakilan Galisia di pengadilan federal Wina, sekaligus menjadi keturunan Yahudi pertama di wilayah tersebut yang dapat mewakili kliennya di pengadilan. Serupa dengan Freud, Wilhelm juga menemui kliennya di suatu ruangan khusus dalam rumahnya, tetapi ia juga memiliki kantor resmi yang berjarak jauh dari rumahnya. Helene diketahui sangat mengidolakan ayahnya, dan sering terbayang-bayang sosoknya saat bersama kliennya.[10] Aktivitas ayahnya juga membuat Helene pernah bercita-cita untuk menjadi seorang pengacara, sampai ia mengetahui bahwa, wanita dilarang terlibat dalam praktik-praktik hukum. Hal ini membuatnya beralih kepada bidang psikologi, yang mana akan menjadi karier seumur hidupnya.
Dikenal di Przemysl sebagai putri cantik dari keluarga Rosenbach, Helene disebut 'cukup pintar untuk menjadi seorang anak laki-laki.' Pada awal masa kanak-kanaknya, hubungan Helene dan ayahnya mulai mengalami ketegangan. Didorong oleh keinginan Helene untuk memperoleh pendidikan dan ketidaksukaannya terhadap rencana yang dipersiapkan oleh ibunya, Helene kemudian berpaling kepada ayahnya. Namun, ayahnya ternyata tidak berkenan membantunya memperoleh pendidikan lebih lanjut setelah usianya lebih dari 14 tahun. Dalam karyanya, Psychology of Women (Psikologi Wanita), Helene mengidentifikasi satu aspek dalam masokisme feminin terkait dengan keterikatannya terhadap ayahnya dan konsekuensi yang mungkin diakibatkan oleh identifikasi tersebut. Helene menuliskan bahwa, seorang ayah terkadang akan menyudahi hubungannya dengan putrinya ketika putrinya mulai memasuki usia kematangan seksual. Helene kemudian mengaitkan penolakan ayahnya sebagai pengabdian terhadap istri, dan keinginan untuk memperoleh kedamaian dalam rumah tangga.[11]
Ibu
Hubungan Helene Deutsch dengan ibunya diketahui renggang dan dingin. Helene secara umum sangat mengagumi ayahnya, tetapi ia membenci ibunya, Regina. Menurut Helene, ibunya, 'tak mewarisi satu pun dari ketertarikan intelektual yang dimiliki oleh suaminya'. Helene juga menganggap pendapat ibunya sangat dipengaruhi oleh kehidupan sosial dan bersifat materialistis. Helene mengakui bahwa ibunya memiliki sifat yang kasar, sering memukul, menampar dan menyerangnya secara verbal. Helene berpendapat bahwa, kekasaran ibunya tersebut tidak bertujuan untuk menghukumnya, alih-alih 'sebagai pelarian terhadap amarahnya yang terpendam' karena Helene bukanlah anak laki-laki seperti yang ibunya harapkan.[12] Helene sering mengatakan bahwa, masa kecilnya dirumah didominasi oleh ibunya yang hanya peduli terhadap status dan kepatutan sosial pada masa itu.[13] Helene menganggap ibunya sebagai sosok yang 'tak berbudaya, secara intelektual tidak mumpuni, dan budak dari kepatutan sosial kalangan borjuis'.[14] Helene menganggap dirinya tidak pernah memperoleh kasih sayang dari seorang ibu. Sosok ibu bagi Helene digantikan oleh saudara perempuannya, Malvina, dan juga seorang wanita di sekitar rumahnya yang ia juluki sebagai 'bangsawan wanita yang pucat.'[15] Selama masa kecilnya, Helene mengingat bahwa dirinya 'diasuh oleh sembilan perawat,' dan membenci perasaan kebergantungan terhadap ibunya. Perasaan ini sering menyebabkannya melamun dan menghayalkan orang lain sebagai ibu kandungnya.[16]
Saudara kandung
Saudara perempuan Helene, yaitu Malvina, adalah sosok yang ia anggap memberikannya kasih sayang seorang ibu. Ketika sang ibu memukul Helene, Malvina merupakan orang satu-satunya yang mengarahkan pemukulan tersebut untuk menjauhi bagian kepala Helene.[17] Namun, Malvina kemudian menjadi contoh dari terbatasnya peran wanita dalam masyarakat sosial di masa itu. Helene Deutsch dan saudara perempuannya diharapkan untuk menikah lebih awal di usianya, serta memilih laki-laki yang secara status sosial layak untuk dinikahi. Meskipun memiliki bakat sebagai pematung dan pelukis, Malvina akhirnya terpaksa menikah dengan pria yang 'lebih layak' di mata orangtuanya, alih-alih yang merupakan pria idamannya.[18]
Saudara laki-laki Helene, Emil, disebutkan sering melakukan kekerasan terhadap Helene, alih-alih memberikan kasih sayang. Emil melakukan pelecehan seksual terhadap Helene ketika ia berusia sekitar empat tahun, dan terus melakukan kekerasan terhadap dirinya selama masa kecilnya. Di kemudian hari, Helene melihat peristiwa ini sebagai 'akar penyebab dari kecenderungannya berfantasi, tidak hanya sebagai fantasi, namun juga menyampaikan fantasi ini sebagai kebenaran.' Sebagai satu-satunya anak laki-laki di keluarganya, Emil seharusnya menjadi sosok penerus keluarga. Alih-alih, Emil diketahui merupakan seorang penjudi, pencatut nama keluarga, dan siswa yang bodoh, sekaligus menjadi sebuah kekecewaan untuk keluarganya. Sepanjang hidupnya, Helene mencoba untuk menutupi kekurangan sang kakak di keluarga. Namun, ia 'merasa tidak pernah berhasil menggantikan sosok Emil yang gagal di mata ibunya,' tetapi ia berhasil menggantikan sosok Emil di mata ayahnya.
Kepribadian "as-if"
Gagasan klinis Helene yang paling dikenal adalah gagasan tentang kepribadian "as if" (seolah-olah), gagasan yang kemudian memungkinkannya untuk menyoroti asal-usul dari kemampuan tertentu yang dimiliki seorang perempuan untuk mengidentifikasi dirinya terhadap orang lain.[19] Helene memilih subjek dengan skizofrenia yang menurutnya masih 'tampak cukup normal, karena telah berhasil mengganti berbagai jenis "kontak semu" dengan perasaan kontak yang nyata dengan orang lain; mereka bersikap "seolah-olah" mereka memiliki perasaan hubungan dengan orang lain — emosi yang tak nyata'.[20] Lebih luas lagi, ia menganggap bahwa 'orang yang "dingin" sebagai pribadi yang menghindari untuk terlibat dalam suatu emosi sama sekali — kemungkinan dapat belajar untuk menyembunyikan kekurangan tersebut, dan bersikap "seolah-olah" mereka memiliki perasaan yang nyata dan kontak dengan orang-orang'.[21]
Telah tersirat bahwasannya, 'Helene memiliki kecenderungan untuk mencintai, dengan mengidentifikasi dirinya terhadap suatu objek, kemudian saat perasaan tersebut seperti dikhianati dan ia beralih ke objek lainnnya—[yang] ia selidiki sendiri dalam berbagai kajian tentang kepribadian "as-if".[22]Lisa Appignanesi diketahui pernah menulis: 'memoar Helene terkadang mengisi suatu hal dengan suatu hal lainnya yang pernah ia alami di hidupnya sendiri sebagai pembawa kepribadian "as-if" — pengalaman "as-if" pertamanya yakni, saat Helene mengidentifikasi dirinya sebagai seorang aktivis sosialis bersama Lieberman; pengalaman "as-if" lainnya adalah saat menjadi istri Felix; "as-if" sebagai seorang ibu — dan "as-if" sebagai seorang psikoanalis yang diidentifikasikan dengan Sigmund Freud'.[23]
Pandangan terhadap wanita
'Helene Deutsch, yang dikenal sebagai sosok dengan tulisan-tulisannya yang berkaitan dengan seksualitas perempuan',[24] mengalami keganjilan dalam kariernya sebagai psikiater wanita. Ia menjadi target serangan (permainan Bibi Sally) 'di lingkaran aktivis-aktivis feminisme — namanya ternoda oleh sifat "misoginis" Sigmund Freud yang merupakan mentornya'.[25] Pada tahun 1925, Helene menjadi psikoanalis pertama yang menerbitkan sebuah buku tentang psikologi perempuan'; menurut Paulus Roazen, 'hal yang ingin Helene tunjukan bersama Karen Horney, dalam hal ini, atas dorongan dari Sigmund Freud, yang diketahui secara pribadi tidak suka menulis artikel tentang wanita'.[26] Pada tahun 1931, pada artikelnya tentang seksualitas perempuan, Sigmund Freud menulis ulasan yang menyetujui gagasan 'Helene Deutsch dalam essai terbarunya, yang berkaitan dengan masokisme feminin dan kaitannya dengan suatu sifat dingin (1930), di mana ia juga mengenali suatu aktivitas seorang gadis dalam kaitan seksual, dan kekuatan ikatan ibu-anak terhadap anak perempuannya '.[27]
Pada tahun 1944-1945, Helene Deutsch menerbitkan karyanya, Psychology of Women dalam dua volume; Volume I memiliki topik berkaitan dengan masa kecil, pubertas, dan remaja, dan volume II membahas masa-masa keibuan di berbagai aspek, termasuk ibu angkat, ibu yang tidak menikah, dan ibu tiri'.[28] Pendapat umum melihat volume pertama sebagai 'buku yang sangat sensitif yang ditulis oleh seorang psikoanalis berpengalaman — begitu juga dengan Volume II'.[29] Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa, 'pidato Helene tentang aspek-aspek keibuan dalam buku ini membuatnya begitu populer" pada tahun 1950-an, dan membuat gerakan-gerakan feminisme bereaksi melawan pendapatnya hingga dekade berikutnya' — ia juga dipandang oleh kaum feminis sebagai: 'pembela dari masokisme laki-laki, pengkumandang doktrin katekismus yang memandang wanita sebagai manusia yang gagal, sosok yang mengalami devaluasi pemikiran, dan spesies yang mengalami perasaan iri terhadap kemaluan laki-laki.[30]
Perkembangan zaman berakibat pada beragamnya pandangan pergerakan posfeminisme terkait Freud, feminisme, ataupun Helene. Hal ini menyebabkan, gagasan-gagasan Helene mulai mendapat apresiasi yang dulunya dianggap 'penuh dengan isu sensitif, kemudian dipandang sebagai wawasan terkait permasalahan yang dihadapi wanita di setiap tingkat kehidupan mereka'. Helene pernah mengatakan bahwa 'ia memiliki pemikiran serupa dengan para wanita yang terlibat dalam gelombang besar gerakan feminisme kedua di awal era 1970an ; pemberontakan—perjuangan untuk kemerdekaan dan pendidikan—konflik antara tuntutan karier dan keluarga,—konflik identitas yang terjadi dalam diri para ibu'.[31] Dengan cara yang sama, seseorang dapat melihat bahwa, untuk mengisi kekosongan yang terdapat dalam pergerakan-pergerakan tersebut, Helene melakukan kajian psikoanalisis terkait aspek-aspek penting lainnya pada seksualitas perempuan, seperti: menstruasi, keperawanan, hubungan seksual, kehamilan, infertilitas, melahirkan, menyusui, hubungan ibu dan anak perempuannya, menopause—yang menjadi agenda setiap majalah wanita kontemporer ; agenda yang tercipta akibat bantuan yang diperoleh dari tulisan-tulisan karya Helene'.
Pandangan terkait kehamilan
Helene menikah dengan Felix Deutsch pada bulan April 1912. Pascameletusnya Perang Dunia I, Helene mengalami beberapa kali keguguran.[32] Dalam Psikologi Wanita, Helene membahas konsep aborsi spontan dan keguguran sebagai akibat dari faktor-faktor psikologis, suatu faktor penting yang melibatkan ' penolakan yang tanpa disadari dialami oleh wanita hamil, akibat suatu identifikasi terhadap orang tua (ibu) dari wanita hamil tersebut.' Menggunakan nama samaran seorang pasien yang bernama Ny. Smith, Helene bercerita tentang seorang wanita yang memiliki kesulitan untuk mengandung bayi hingga proses bersalin. Helene menulis bahwa Mrs Smith merupakan anak bungsu dari sebuah keluarga besar, di mana terdapat kekecewaan yang terlihat jelas dari ibunya akibat ia bukanlah anak laki-laki. Ny. Smith, bagaimanapun, mengambil penghiburan dari cinta mendalam ayah dan kakak perempuannya. Ketika ia berkeinginan untuk menikah dan memiliki anak, Ny. Smith mengalami kesulitan mendamaikan keinginannya untuk memiliki anak dengan penolakan ibunya di masa lampau. Ketika hendak menjadi seorang ibu sendiri, Ny. Smith mengalami ketakutan akan memiliki sifat seperti ibunya. Ketakutan ini kemudian menjadi kenyataan ketika Ny. Smith melahirkan melahirkan anaknya satu bulan sebelum waktu seharusnya.[33]
Kisah Ny. Smith ini sangat mirip dengan yang Helene alami, seolah-olah ia, dirinya sendiri, berbicara melalui Ny Smith.[34] Melalui cerita Ny. Smith, Helene berpendapat bahwa suatu kehamilan yang sukses dapat terjadi ketika terdapat hubungan cinta antara ibu dan anak, yang mana ini akan 'melancarkan proses sosialisasi dari seorang anak perempuan untuk menjadi seorang ibu.' Berkaca dengan kehidupan Helene, masalah Ny Smith kemudian terselesaikan selama kehamilan berikutnya, ketika Ny Smith menemukan temannya yang juga tengah hamil, dan yang terpenting, menemukan ibu dari temannya tersebut. Helene menulis bahwa, ibu dari temannya tersebut memiliki sifat yang berkebalikan dengan ibu dari Ny. Smith. Ibu temannya tersebut merupakan sosok yang penuh dengan kehangatan, baik terhadap putrinya sendiri, ataupun terhadap Ny. Smith. Cinta yang berasal dari seorang ibu ini, yang kemudian menurut Helene mengijinkan Ny. Smith untuk menjadi seorang ibu. Menurut Helene, meskipun hubungan yang sehat antara ibu dan anak sangat penting untuk kehamilan yang sehat, hal lain yang sama pentingnya adalah kemampuan untuk bersandar pada seorang teman perempuan yang dapat bertindak sebagai saudara pengganti untuk wanita hamil tersebut. Ide ini kemudian ditindaklanjuti kembali ketika Ny. Smith dan temannya hamil lagi dalam waktu yang bersamaan. Saat ini, tidak ada kecemasan atau ketakutan seputar kehamilan, tetapi ketika Ny. Smith menjauhi temannya tersebut, ia kemudian mengalami keguguran. Diagnosa dari peristiwa ini, menurut Helene, adalah bahwa Ny. Smith menderita 'rangsangan-berlebih dari rahim.' Sehingga, kehamilan yang sukses, hanya bisa diperoleh jika ia memiliki sandaran pada wanita lain.
Pada tahun 1916, Helene berusaha masuk ke dalam pertemuan Rabu malam Wina Psychoanalytic Society , yang digagas Sigmund Freud. Sebagai syarat masuk, Helene harus memberi ulasan pada essai yang ditulis Lou Andreas-Salomé, yang berjudul : 'Vagina dan Anal.'
Helene Deutsch bekerja sebagai seorang dokter , dan selama Perang Dunia I, ia bekerja sebagai asisten di klinik milik Julius Wagner von Jauregg. Helene bertanggung jawab pada pasien wanita. Dalam pekerjaannya ini, ia bertemu ibu, istri, dan anak-anak perempuan dari tentara (Tréhel, G., 2007). Dalam tulisan-tulisannya ia membangkitkan semangat para wanita yang berjuang pada masa revolusi yang terjadi di Prancis. Dalam pekerjaan klinis sebagai seorang dokter, Helene bekerja dengan mengobati legiun tentara wanita Polandia (Tréhel, G., 2013).
Pada tahun 1919, di bawah pengawasan Sigmund Freud, Helene mulai melakukan analisis terhadap pasien pertamanya, Viktor Tausk, sementara, pada saat yang sama, Sigmund Freud melakukan analisis terhadap Helene. Tiga bulan kemudian, atas permintaan Sigmund Freud, Helene diberhentikan dari sesi bersama Viktor Tausk. Selama sesi analisis dengan Freud, Helene dilaporkan 'jatuh cinta terhadap Freud.'[35] Ia sering menganggap dirinya sebagai putri dari Freud, dan juga mengklaim bahwa, Freud merupakan sumber inspirasi dari karya-karyanya.[36] Helene menganggap, bagaimanapun, Freud cenderung untuk berfokus "terlalu banyak pada identifikasi yang terjadi antara dirinya dengan ayahnya", serta hubungan asmaranya dengan Lieberman. Pada salah satu sesi analisis bersama Freud, Helene pernah bermimpi bahwa dia memiliki organ vital perempuan dan laki-laki. Melalui sesi-sesi analisis lainnya bersama Freud, Helene menemukan bahwa, kepribadiannya sebagian besar ditentukan oleh "keinginan masa kecil untuk dapat secara bersamaan menjadi putri tercantik dan putra terpintar dari ayah[nya]."[37] Setelah satu tahun, Sigmund Freud menghentikan sesi analisis bersama Helene, untuk meladeni pasien lainnya yaitu Sergei Pankejeff
. Helene dikenal adalah dokter yang brilian, yang berani menentang Freud, sekaligus mengambil keputusan, ketika Sigmund Freud tidak setuju dengan pendapatnya terkait pasien-pasien yang dihadapinya.'
Setelah melihat presentasi Karl Abraham tentang feminitas di Kongres Den Haag pada tahun 1920, Helene meninggalkan pekerjaannya bersama Freud, untuk bekerja bersama Abraham.[38] Sementara di Kongres Den Haag, Helene dihadapkan pada essai yang berjudul The Psychology of Mistrust (Psikologi Ketidakpercayaan). Ia memberi ulasan bahwa, berbohong merupakan suatu bentuk pertahanan melawan suatu peristiwa yang nyata, yang juga dapat dipandang berkaitan dengan kreativitas. Pada tahun 1923, Helene pindah ke Berlin sendiri tanpa suaminya, Felix, ataupun anaknya, Martin, untuk bekerja bersama Abraham, yang ia anggap menyelidiki sesuatu yang lebih mendalam dibandingkan Freud.[39] Helene merasa nyaman saat bekerja dengan Abraham dan menikmati 'gaya analisisnya yang menarik serta wawasannya yang bersifat objektif, yang membuatnya tidak berputar-putar dalam menyampaikan informasi.' Sementara pada sesi analisis bersama Helene, Abraham menunjukkan surat dari Freud yang ditujukan kepadanya. Dalam hal ini, Freud berpendapat bahwa topik yang terkait pernikahan Helene dengan Felix harus dijauhkan dari pembahasan selama analisis. Abraham kemudian mengakui bahwa, ia tidak mampu untuk melakukan analisis lebih lanjut terhadap Helene karena ia "terlalu banyak memiliki perasaan terhadap Helene." Telah diduga sebelumnya bahwa, Sigmund Freud secara tiba-tiba mengakhiri sesi analisis Helene dan kemudian mengirimkan surat kepada Abraham, akibat keinginannya menghentikan tekanan-tekanan yang terjadi di dalam diri Helene untuk terulang kembali.
Pada tahun 1924, Helene pulang kembali dari Berlin dan ke Austria. Ia juga kembali bersama suaminya Felix dan mentor terdahulunya, Sigmund Freud. Ia melanjutkan hubunga baiknya dengan Freud, setelah sebelumnya sempat mengalami ketegangan. Setelah kematian Sigmund Freud, Helene sering menyebut dirinya sebagai hantu dari Freud. Pada tahun 1925, Helene menerbitkan The Psychoanalysis of Women's Sexual Functions (Psikoanalisis dari Fungsi Seksual Wanita). Dalam hal ini, ia keluar dari logika Freudian, dan berpendapat bahwa, pada suatu tahapan seksual dari kehidupan seorang gadis (tahapan phallic), zona seksual primer yang sensitif dari seorang gadis kecil adalah "klitoris maskulin," yang dalam hal ini kalah dari segi ukuran jika dibandingkan dengan penis laki-laki.[40] Ini merupakan suatu kesadaran terkait inferioritas klitoris terhadap penis, tulis Helene. Ini kemudian dapat memaksa seorang gadis kecil untuk tumbuh pasif, memendam diri dan berpaling dari 'keaktifan seksualitasnya'. Pada tahun yang sama, Helene ditunjuk menjadi Presiden pertama dari Institut Pelatihan Wina.[41] Pada tahun 1935, Helene keluarganya beremigrasi dari Wina ke Boston, Massachusetts, di mana ia tetap bekerja sebagai seorang psikoanalis hinhha meninggal dunia pada tahun 1982.
Teknik analisis
'Disuatu essai pada tahun 1926 — essai yang kemudian dikutip oleh Sigmund Freud — Helene menekankan bahwa intuisi terkait kemampuan untuk mengidentifikasi fantasi suatu pasien, adalah alat terapi yang ampuh', gagasannya ini nantinya akan menjadi cikal bakal karya berikutnya di bidang psikoanalisis; ' free-floating responsiveness' — sebagai elemen penting dalam gagasannya yang kemudian "berguna", yaitu kontratransferensi'.[42]
Helene menekankan sikap waspada terhadap suatu 'kepatuhan yang kaku dari sesuatu yang ia sebut sebagai "hantu metode Freudian". Ia menganggap metode Freudian sebagai subjek penelitian yang belum lengkap, dan masih terbuka untuk dipelajari melalui pengajaran atau pembelajaran yang teratur.[43] Helene sendiri dipandang sebagai 'salah satu mentor paling sukses dalam sejarah psikoanalisis — menghadiri seminar-seminarnya merupakan pengalaman yang dianggap luar biasa oleh setiap mahasiswa terkait. Siswa kelasnya mengenal dirinya sebagai sosok dengan penampilan unik, berkacamata. Helene merupakan sosok yang sangat menghormati dan mencintai terkait pekerjaannya, ia bahkan diketahui sering memulai/melakukan aktivitas terkait pekerjaannya di/hingga pagi buta.
1950 hingga wafat
Setelah tahun 1950, Helene Deutsch mengatakan bahwa dirinya menyesal karena dikenal akibat karya-karyanya yang berkaitan dengan psikologi perempuan.[44] Pada periode ini, Helene mulai mengalihkan kembali perhatiannya pada psikologi pria dan narsisme yang terjadi pada kedua jenis kelamin tersebut. Dari waktu ke waktu, Helene makin menghabiskan waktunya untuk mempelajari egoisme dan narsisme, sehingga ia kemudian menginggalkan pembelajaran seumur hidupnya pada bidang feminisme.[45]
Pada tahun 1963, Helene memutuskan pensiun dalam pekerjaannya sebagai pelatih analis, dikarenakan kesehatan suaminya, Felix, yang terus menurun, bahkan hingga kehilangan ingatan.[46] Pada tahun 1963, Felix Deutsch kemudian meninggal dunia. Pascakematian suaminya, Helene Deutsch mulai bernostalgia tentang hidupnya bersama Felix dan segala hal terkait pemberian Felix.[47] Ia menganggap hubungannya dengan Felix, selalu menjadi sedikit lebih tegang. Melalui hubungan asmara dengan lelaki lainnya, seperti dengan Sándor Rado, Helene mengungkapkan bahwa, ia merasa Felix lebih bisa menjadi sosok seorang ibu untuk anaknya ketimbang dirinya. Menurut Helene, "Felix tampaknya tidak memiliki masalah dan dapat secara 'natural' menampilkan sifat keibuannya dengan mudah. Bahkan dalam situasi di mana biasanya seorang anak memanggil ibunya, Martin ternyata lebih sering memanggil Felix ketimbangku."[48]
Pascakematian Felix pada tahun 1963, Helene Deutsch mengalihkan perhatiannya ke dalam pembahasan terkait pembebasan seksual di era 1960-an, serta fenomena Beatlemania.[49] Dia berpendapat bahwa kedua peristiwa tersebut terjadi dikarenakan para ayah " 'mengambil kursi belakang' saat membesarkan anak". Ketidakadaan sosok ayah menyebabkan anak-anak mengalami kesepian, dan kemudian mencari pelipur lara bersama dengan rekan-rekan mereka.
Pada 29 Maret 1982, Helene Deutsch meninggal di usia 97 tahun.[50] Pada hari-hari terakhir hidupnya, ia mengingat "tiga pria yang pernah sangat dekat dengannya, ia menggabungkan Lieberman, Freud dan ayahnya ke dalam sosok satu orang".[51] Dalam otobiografinya Helene menulis bahwa selama tiga peristiwa pergolakan terbesar dalam hidupnya yaitu: pencarian kebebasan dari ibunya; pergerakan sosialisme; dan saat menjadi psikoanalis, ia terinspirasi dan dibantu oleh ayahnya, Lieberman, dan juga Freud.[52]
Karya-karya
Psychoanalysis of the Sexual Functions of Women, Internationaler Psychoanalytischer
Verlag, Leipzig/Wien/Zürich, 1925 (Neue Arbeiten zur ärztlichen Psychoanalyse No. 5). diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada 1991, ISBN978-0-946439-95-9.
The Psychology of Women, Volume 1: Girlhood, Allyn & Bacon, 1943, ISBN978-0-205-10087-3.
The Psychology of Women, Volume 2: Motherhood, Allyn & Bacon, 1945, ISBN978-0-205-10088-0.
Neuroses and Character Types, International Universities Press, 1965, ISBN0-8236-3560-0 .
Selected Problems of Adolescence, International Universities Press, 1967, ISBN0-8236-6040-0.
A Psychoanalytic Study of the Myth of Dionysus and Apollo, 1969, ISBN0-8236-4975-X .
Helene Deutsch: Selbstkonfrontation. Eine Autobiographie. Fischer-TB, Frankfurt am Main 1994, ISBN3-596-11813-1
Jutta Dick & Marina Sassenberg: Jüdische Frauen im 19. und 20. Jahrhundert, Rowohlt, Reinbek 1993, ISBN3-499-16344-6
Paul Roazen: Helene Deutsch: A Psychoanalyst’s Life, N.Y., Doubleday, 1985, ISBN978-0-385-19746-5.
Paul Roazen: Freuds Liebling Helene Deutsch. Das Leben einer Psychoanalytikerin. Verlag Internat. Psychoanalyse, München, Wien 1989, ISBN3-621-26513-9
Gilles Tréhel : Helene Deutsch (1884-1982) : théorisations sur les troubles psychiatriques des femmes pendant la Première guerre mondiale, L’Information psychiatrique', 2007, vol. 83, n°4, p. 319-326.
Gilles Tréhel : Helene Deutsch, Rosa Luxemburg, Angelica Balabanoff, L’Information psychiatrique, 2010, vol. 86, n°4, p. 339-346.
Gilles Tréhel : Helene Deutsch (1884-1982) et le cas de la légionnaire polonaise, Perspectives Psy, 2013, vol. 52, n°2, p. 164-176.
Bacaan lebih lanjut
Marie H. Briehl, "Helene Deutsch: The Maturation of Woman", in Franz Alexander et al. eds., Psychoanalytic Pioneers (1995)