Posfeminisme (dikenal juga sebagai pascafeminisme atau feminisme pasca-modern) adalah ideologi atau gerakan yang menggambarkan kontradisiksi dalam feminisme, terutama gelombang feminisme kedua dan ketiga.
Ikhtisar
Gerakan ini muncul akibat dari kritik di dalam dan luar feminisme. Istilah "pos" senantiasa berasosiasi dengan konsep "reaksioner" terhadap kata yang mendahuluinya. Namun, hal ini sama sekali tidak membenarkan adanya pemutusan hubungan begitu saja dengan "periode" sebelum keadaan pos itu. Sebagaimana ideologi posmodernisme yang masih berada di zaman modern, yang berarti klaim-klaim modernisme—diakui atau tidak—tetap berlaku juga di sana. Begitu pula poskolonialisme, postrukturalisme, dan tentu saja posfeminisme. Ia berkembang dalam atmosfer feminisme, khususnya feminisme gelombang kedua.
Posfeminisme tercipta pada periode antara tercapainya hak pilih perempuan di Amerika Serikat dan kebangkitan feminisme gelombang kedua selama tahun 1960-an. Hal ini ditunjukkan oleh perjuangan hak pilih oleh kaum perempuan yang berhasil menempati kantor publik dan pilihan untuk menggunakan lebih banyak ruang personalnya.[1]
Lebih lanjut, posfeminisme berbicara tentang pergeseran konseptual di dalam feminisme, dari debat sekitar persamaan ke debat yang berfokus pada perbedaan. Ia mengekspresikan persimpangan feminisme dengan posmodernisme, postrukturalisme, dan poskolonialisme yang merepresentasikan suatu gerakan dinamis yang menentang kaum modernis, patriarki, serta imperialis. Di dalam prosesnya, posfeminisme memfasilitasi konsep pluralisme, feminisme, serta budaya yang dimarjinalkan, diaspora dan terkoloni.
Pesan paling persuasif dari posfeminisme bahwa feminisme telah mendorong perempuan untuk menginginkan terlalu banyak. Posfeminisme ditawarkan sebagai pelarian dari beban untuk menjadi "perempuan super" dalam rangka memenuhi citra sukses kaum feminis.[1] Sementara feminis modern berusaha untuk menegaskan sebuah identitas wanita otentik dan terintegrasi sebagai dasar dari kelas gender perempuan, feminism posmodernis menekankan sifat sementara, multi, dan tidak otentik dari sebuah gender.[2]
Sebenarnya, tidak ada patokan baku seputar posfeminisme, seakan-akan ada penyakralan gerakan berembel-embel “pos” agar jangan pernah didefinisikan. Keadaan ini semakin diperumit dengan penggawa-penggawa posfeminisme yang ternyata adalah orang-orang yang sama dengan tokoh-tokoh feminisme gelombang kedua.
Dalam beberapa referensi, ternyata terdapat pula gerakan yang menamakan diri gelombang feminisme ketiga. Kesamaannya dengan posfeminisme adalah, ia juga terinspirasi dari pemikiran-pemikiran posmodern yang mendukung pluralisme serta dibangun dari teori-teori postruktural (misalnya dari Michel Foucault dan Jacques Derrida).
Ciri-ciri Posfeminisme
Menurut Julia T. Wood, ada setidaknya empat ciri dari feminisme gelombang ketiga (atau posfeminisme, feminisme plural, atau feminisme posmodern):[3]
- Sifatnya yang solider terhadap perbedaan-perbedaan yang terjadi di antara perempuan. Perbedaan tersebut mencakup ras, kelas, orientasi seksual, fisik, selera, dsb. Posfeminisme selalu menentang asumsi-asumsi hegemonik dalam feminisme gelombang kedua bahwa penindasan patriarki dan imperialis adalah penindasan yang universal.[1]
- Kesediaannya dalam membangun koalisi dan hubungan dekat yang positif dengan kubu pria atau kelompok lain yang sama-sama melawan pengekangan. Namun, istilah "koalisi" dan "hubungan dekat" ini tidak untuk dimaknai sebagai kesediaan bekerja demi pria, sekalipun hanya untuk menyesuaikan diri dengan kubu itu.
- Hasratnya untuk menerapkan teori dalam praktik keseharian. Di sini, apa yang dicapai feminisme gelombang kedua dianggap tidak berdampak konkret pada kehidupan sehari-hari. Posfeminis melihat bahwa hukum memang tidak lagi mempersoalkan ras dan gender. Hanya, beberapa kalangan perempuan dan kaum minoritas ternyata masih mengalami ketidakadilan hukum di suatu tempat. Selalu ada ketimpangan antara teori dan praktik.
- Adanya keyakinan bahwa kekuasaan tersebar dalam situasi lokal yang konkret. Jika di gelombang kedua dikenal jargon Personal is Political, maka motto para feminis gelombang ketiga ini adalah Political is Personal. Maksudnya, aksi-aksi personal—seperti menikmati makanan sambil tidak terlalu peduli terhadap ukuran fisik ideal dalam masyarakat—merupakan kunci perubahan, baik di level kehidupan individual maupun kolektif.
Referensi