Pascakolonialisme atau studi pascakolonial adalah disiplin akademik dengan metode diskursus intelektual yang mempelajari, menjelaskan, dan menilai warisan budaya kolonialisme dan imperialisme serta dampak kemanusiaan dari penjajahan suatu negara dan permukiman pendatang yang bertujuan memanfaatkan penduduk pribumi dan tanahnya. Diturunkan dari aliran pascamodernisme, studi pascakolonial menganalisis politik pengetahuan (penciptaan, pengendalian, dan penyebaran) dengan mempelajari hubungan fungsional kekuasaan sosial dan politik yang memungkinkan kolonialisme dan neokolonialisme bertahan—persoalan gambaran penjajah dan terjajah (sosial, politik, budaya).
Sebagai genre dari sejarah kontemporer, pascakolonialisme mempertanyakan dan menemukan kembali mode-mode persepsi budaya—cara memandang dan dipandang. Dalam antropologi, pascakolonialisme mempelajari hubungan manusia di negara-negara kolonial dan masyarakat subaltern yang dieksploitasi oleh pemerintahan kolonial.[1] Dalam teori kritis, pascakolonialisme memaparkan, menjelaskan, dan menggambarkan ideologi dan praksis neokolonialisme dengan mengambil contoh dari ilmu-ilmu humaniora—sejarah, dan ilmu politik, filsafat dan teori Marxis, sosiologi, antropologi, dan geografi manusia; perfilman, agama, dan teologi; feminisme, ilmu bahasa, dan sastra pascakolonial, dengan genre anti-penjajahan yang memaparkan kisah-kisah penaklukan orang-orang subaltern pada masa kolonial.
Definisi
Sebagai suatu epistemologi (studi pengetahuan, sifatnya, dan ketersahkannya), etika (filsafat moral), dan politik (urusan kewarganegaraan), bidang pascakolonialisme menangani politik pengetahuan—permasalahan yang mencakup identitas pascakolonial sebuah bangsa yang mengalami dekolonisasi yang berasal dari: (i) penciptaan pengetahuan budaya tentang bangsa terjajah oleh bangsa penjajah; dan (ii) bagaimana pengetahuan budaya Barat digunakan untuk menundukkan bangsa non-Eropa agar bisa dijadikan koloni negara induk Eropa yang diberlakukan setelah serangan awal lewat identitas budaya "penjajah" dan "terjajah".
Identitas pascakolonial
Bangsa yang didekolonisasi memiliki identitas pascakolonial yang didapat dari interaksi budaya dengan berbagai macam identitas (budaya, bangsa, etnis) dan hubungan sosial seks, kelas, dan kasta; ditentukan oleh gender dan ras orang terjajah; dan rasisme yang tertanam dalam struktur masyarakat kolonial. Dalam sastra pascakolonial, sikap anti-penjajahannya mempelajari politik identitas yang menjadi sudut pandang sosial dan budaya para penduduk kolonial subaltern—pemberontakannya yang kreatif terhadap kebudayaan penjajah; bagaimana pemberontakan budaya mengganggu pembentukan masyarakat kolonial; bagaimana penjajah mengembangkan identitas pascakolonialnya; dan bagaimana neokolonialisme menggunakan hubungan sosial biner Kami-dan-Mereka untuk memahami bahwa dunia non-Barat dihuni oleh Orang Lain (The Other).
Diskursus kehomogenan geopolitik dalam neokolonialisme menggabungkan bangsa dekolonial, kebudayaannya, dan negaranya dengan tempat khayalan seperti "Dunia Ketiga", sebuah istilah berlebihan yang biasanya mencakup benua dan lautan, i.e. Afrika, Asia, Amerika Latin, dan Oseania. Kritik pascakolonial mempelajari diskursus neokolonialisme yang membenarkan diri sendiri serta fungsi istilah-istilahnya yang berlebihan (secara filosofis atau politis) untuk menentukan kekurangan konsep-konsep homogen (misalnya "bangsa Arab", "Dunia Pertama", "Dunia Kristen", dan "Dunia Islam") yang sebenarnya terdiri dari bangsa, kebudayaan, dan geografi yang heterogen, dan fakta bahwa penggambaran realistis bangsa, tempat, dan benda di dunia membutuhkan istiilah yang lebih beragam dan akurat.[2]
At the Risk of Being Heard: Indigenous Rights, Identity, and Postcolonial States (2003), B. Dean and J. Levi, Eds. University of Michigan Press. ISBN 0-472-06736-2.
Prospero and Caliban, the Psychology of ColonizationOctave Mannoni and P. Powesland.
The Intimate Enemy: Loss and Recovery of Self Under Colonialism (1983), oleh Ashis Nandy.
Traditions, Tyranny, and Utopias: Essays in the Politics of Awareness (1987), oleh Ashis Nandy.
On the Postcolony (2000), oleh Achille Mbembe. The Regents of the University of California.
"The Angel of Progress: Pitfalls of the Term 'Postcolonialism' " (1994), oleh Anne McClintock, in Colonial Discourse/Postcolonial Theory (1994), M. Baker, P. Hulme, and M. Iverson, Eds.
Beginning Postcolonialism (2010), oleh J. McLeod, second edition, Manchester University Press.
"Coloniality and Modernity/Rationality" (1991), in Globalizations and Modernities (1999), oleh Aníbal Quijano.
"Calibán: Apuntes sobre la cultura de Nuestra América" (Caliban: Notes About the Culture of Our America, 1971), in Calibán and Other Essays (1989), oleh Roberto Fernández Retamar
Fischer-Tiné, Harald (2011). "Postcolonial Studies". European History Online.Hapus pranala luar di parameter |title= (bantuan); Tidak memiliki atau membutuhkan |url= (bantuan)
Kumaraswamy, P. R. (March 2006). "Who am I?: The Identity Crisis in the Middle East". The Middle East Review of International Affairs. 10 (1, Article 5)