Prof. Dr. K.H. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.Ed., M.Phil. (lahir 13 September 1958) adalah seorang akademisi dan cendekiawan Muslim asal Indonesia dengan spesialisasi dalam bidang Teologi Islam dan Filsafat Islam.[1] Ia merupakan pendiri dan direktur eksekutif Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS).[2] Ia juga memimpin Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI).[3] Saat ini ia menjabat sebagai rektor Universitas Darussalam Gontor.[4][5]
Riwayat hidup
Hamid Fahmy Zarkasyi lahir di Ponorogo pada tanggal 13 September 1958 sebagai putra kesembilan[6][7] dari K.H. Imam Zarkasyi, pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor. Ia menyelesaikan pendidikan menengah di Kullyyatul Mu'allimin al-Islamiyyah, Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo. Pendidikan sarjana ia selesaikan di Institut Pendidikan Darussalam (IPD; sekarang Universitas Darussalam Gontor) pada tahun 1982 pada jurusan Ilmu Pendidikan. Hamid kemudian melanjutkan ke jenjang magister dalam bidang pendidikan menengah (secondary education) di Universitas Punjab, Lahore, Pakistan, dan selesai pada tahun 1986. Ia memperoleh beasiswa dari pemerintah Inggris melalui British Council[3][8] untuk melanjutkan pendidikan magister keduanya dalam bidang Filsafat di Departemen Teologi, Universitas Birmingham, Inggris dan lulus pada tahun 1998 dengan tesis berjudul "Ibn Taymiyyah's Critique of Philosophy".[9]
Dari Inggris, Hamid kemudian melanjutkan pendidikan doktoral di International Institute of Islamic Thought and Civilization (Institut Internasional Pemikiran dan Peradaban Islam; ISTAC), Kuala Lumpur, Malaysia[3]. Ia mengambil fokus penelitian dalam bidang filsafat Islam dengan spesialisasi filsafat kausalitas dengan studi tokoh Al-Ghazali. Disertasinya ia selesaikan dibawah bimbingan Alparslan Açıkgenç, pakar filsafat Islam dan Barat[10], dengan judul "Al-Ghazali's Concept of Causality with Reference to His Interpretations of Reality of Knowledge."[11] Disertasi tersebut telah diterbitkan kembali untuk konsumsi publik dengan judul "Kausalitas: Hukum alam atau Tuhan? Membaca pemikiran Religio-Saintifik Al-Ghazali."[12]
Karier
Pada tahun 2003, Hamid Fahmy Zarkasyi bersama dengan rekan-rekan pelajar Indonesia di ISTAC mendirikan Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (Institut Studi Pemikiran dan Peradaban Islam; INSISTS) sebagai pusat studi kajian pemikiran Islam.[13] INSISTS berorientasi kepada pemurnian kajian Islam dari pengaruh hegemoni Barat di masa kontemporer.[14] Sebagai upaya diseminasi hasil kajian dan penelitian, INSISTS menerbitkan jurnal Islamia, yang juga dipimpin oleh Hamid, bersama dengan Syamsuddin 'Arif.[15]
Ia juga mengembangkan aktivitas penelitan dan kajian Islam dan Barat di Universitas Darussalam Gontor dengan mendirikan Centre for Islamic and Occidental Studies (Pusat Studi Islam dan Oksidental; CIOS) yang menjadi wadah penelitian isu-isu Islam di masa kontemporer.[16]
Dalam ruang publik, Hamid Fahmy Zarkasyi memimpin ragam komunitas dan organisasi non-pemerintah yang umumnya bergerak dalam bidang akademik Islam. Di antara komunitas dan organisasi non-pemerintah tersebut antara lain adalah menjadi ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Pusat.[17] Ia juga aktif berpartisipasi dalam kegiatan internasional, salah satunya adalah Public Diplomacy Campaign yang diselenggarakan oleh Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia di Universitas Wina dan Universitas Salzburg, Austria.[8]
Pada tahun 2020, Amal Fathullah Zarkasyi mengundurkan diri dari jabatan rektor Universitas Darussalam Gontor. Pengunduran diri tersebut ialah untuk memenuhi penunjukkan dirinya sebagai pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor[18] setelah wafatnya K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi[19] dan K.H. Syamsul Hadi Abdan[20] pada tahun yang sama. Melalui musyawarah Badan Wakaf Pondok Modern Darussalam Gontor dan Senat Universitas Darussalam Gontor, Hamid Fahmy Zarkasyi terpilih untuk menggantikan Amal Fathullah Zarkasyi, sebagai rektor kedua Universitas Darussalam Gontor.[5]
Pemikiran dan karya tulis
Kritik terhadap Westernisasi (Dewesternisasi)
Hamid menekankan problem konsep Tuhan yang terdapat dalam tradisi intelektual Barat, ia menggaris bawahi sikap manusia Barat yang meletakkan posisi teologi sebagai hal yang hanya bisa dipahami lewat iman, sementara filsafat hanya dengan akal.[8] Sebagai hasil, intelektualitas di peradaban Barat diskusi filsafat dan sains berdiri saling berlawanan. Dalam bukunya, Misykat, Hamid menulis:
Sejak awal era modern, Francis Bacon (1561-1626) menggambarkan mindset manusia Barat begini: Theology is known by faith but philosophy should depend only upon reason. Maknanya, teologi di Barat tidak masuk akal dan berfilsafat tidak bisa melibatkan keimanan pada Tuhan....Tuhan tidak lagi berkaitan dengan ilmu, dunia empiris...Akhirnya Barat kini, dalam bahasa Nietzsche, sedang "menempuh ketiadaan yang tanpa batas."[a]
Ketika pemikiran Barat masuk ke dalam semesta intelektualitas Muslim Indonesia, dalam pandangan Hamid, yang terjadi ialah diskursus teologi yang menggugat sifat Tuhan sebagai entitas maha kuasa, dan diskursus memisahkan antara ketuhanan sebagai akar peradaban dengan peradaban itu sendiri. Pemisahan ini lazim dikenal dengan istilah sekularisasi.[21]
Hamid menegaskan, bahwa sekularisasi menggeser wahyu dan intelek dari epistemologi. Tergesernya 2 hal ini juga ikut menggeser kesakralan agama sebagai sumber ilmu, sehingga kebenaran agama pun diragukan, seperti juga hal-hal lain yang mengajarkan nilai kebenaran yang mutlak, semua kebenaran menjadi relatif.[21] Orang beragama yang sekuler, menurut Hamid, akhirnya mengikuti logika relativis, membujuk manusia beragama menjadi ateis epistemologi, yang menolak peran Tuhan pada tingkat keilmuan. Hamid menulis:
Mungkin karena tidak ada ilmu dalam teologi akhirnya tidak ada Tuhan dalam ilmu (godless). Jadi ateis di zaman modern adalah ateis epistemologi...Orang menjadi ateis bukan hanya karena lemah iman, tapi juga salah ilmu. Ilmunya tidak menambah imannya. Epistemologinya tidak teologis dan teologinya tidak epistemologis. Dalam Islam, hati yang tak berzikir adalah mati, dan otak yang tidak bertafakkur akan kufur.[b]
Untuk "membalik" efek liberalisasi dan westernisasi ini, Hamid mengajukan dewesternisasi dan deliberalisasi dengan program Islamisasi[22] yang berasal dari pandangan hidup (worldview) Islam yang pertama kali digagas oleh Al-Attas dan cendekiawan Muslim lain, seperti Ismail Raji al-Faruqi.[23]
Deliberalisasi
Istilah "Islam Liberal" mulai populer sejak tahun 2004 melalui kajian keislaman di kampus-kampus besar Islam di Indonesia.[24] Beberapa sumber juga menyebutkan bahwa corak Islam Liberal sudah terlihat sejak tahun 1990 - 2000 dengan polemik teologi rasional Mu'tazilah yang dikemukakan oleh Harun Nasution,[25] yang kemudian memperoleh kritik dari Mohammad Rasjidi.[26]
Leonard Binder menerangkan bahwa "Islam Liberal" adalah Muslim yang menganut faham penafsiran yang tidak tekstual terhadap Qur'an, melainkan menafsirkan dengan pencarian esensi makna yang dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman.[27]Kurzman, dalam bukunya Liberal Islam (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Wacana Islam Liberal[28])—yang secara aktif dikaji oleh akademisi Indonesia[29]—berpendapat bahwa Islam Liberal adalah Muslim yang kritis terhadap tradisi Islam adat dan Islam Revivalis yang menyebabkan keterbelakangan umat Islam, di samping dengan memiliki semangat untuk mengedepankan nilai Islam yang sejalan dengan nilai liberalisme barat seperti demokrasi, kemajuan ekonomi, hak asasi manusia dan lain sebagainya.[30]
Hamid Fahmy Zarkasyi mengkorelasikan antara pemikiran liberal cendekiawan Islam dengan tren pemikiran Barat untuk mewujudkan masyarakat sipil (civil society) dan menegaskan bahwa metodologi, kerangka kerja, konsep dan teori yang digunakan untuk mewujudkan gagasan masyarakat sipil bertentangan secara diametrikal dengan apa yang telah ada dalam tradisi intelektual Islam.[31] Ia menekankan bahwa pengkaji Islam Liberal terkesan "memaksakan" pembacaan Islam menggunakan metodologi dan teori Barat, tanpa proses epistemologis yang jelas.[31] Hamid kemudian merelasikan pemaksaan ini dengan teori Foucault mengenai ilmu dan kekuasaan. Menurut Foucault, ilmu merupakan kekuasaan dan saat digunakan ia akan mengatur perilaku orang lain.[32] Dalam pandangan Hamid, teori tersebut terpenuhi dalam pemaksaan pembacaan Islam menggunakan perspektif (metodologi dan teori) Barat[31]. Secara tersirat, ia menganggap bahwa liberalisasi Islam merupakan upaya melanggengkan penjajahan Barat yang sudah terejawantahkan sebelumnya dalam bentuk hegemoni keilmuan Orientalisme, sebagaimana yang dipaparkan oleh Said[33] dan kemudian Hallaq.[34]
Untuk "membalik" efek liberalisasi dan westernisasi ini, Hamid mengajukan dewesternisasi dan deliberalisasi dengan program Islamisasi[35] yang berasal dari pandangan hidup (worldview) Islam.[23]
Pandangan hidup dan epistemologi Islam
Istilah pandangan hidup (worldview), sejauh literatur menyebutkan[36][37], pertama kali digunakan oleh Immanuel Kant dalam bukunya Kritik atas Nalar Murni (Critique of Pure Reason) dengan istilah Weltanschauung[38][39] (bahasa Jerman: pandangan-dunia). Istilah ini kemudian dikembangkan oleh ragam pemikir, seperti Hegel[40], Dilthey[41], dan Husserl[36]. Pandangan hidup terbentuk dari akumulasi pengetahuan dalam pikiran manusia, baik pengetahuan a priori maupun a posteriori, konsep-konsep, serta sikap mental yang ia kembangkan semasa hidupnya.[42] Akumulasi pengetahuan ini—disebut Thomas F. Wall disebut sebagai epistemological beliefs—membentuk pandangan hidup, bersama dengan peranan besar dari kepercayaan metafisik (metaphysical beliefs) yang ia anut.[43]
Dalam kajian keislaman, konsep pandangan hidup sudah dibahas oleh ragam cendekiawan Muslim seperti Abu al-A'la al-Mawdudi[44], Samih 'Atif al-Zayn[45], Sayyid Qutb,[46] dan Syed Muhammad Naquib al-Attas.[47] Hamid mengikuti konsep pandangan hidup Islam menurut al-Attas[c] yang baginya, tidak memisahkan antara kepercayaan dengan pengetahuan.[48] Menurut Alparslan Açikgenç, pandangan hidup lahir dari kristalisasi konsep-konsep dalam pikiran manusia yang membentuk kerangka berfikir (mental framework).[49] Hamid Fahmy Zarkasyi menyimpulkan, bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh seseorang itu terdiri dari ide-ide, kepercayaan, aspirasi, dan lain sebagainya yang seluruhnya membentuk suatu totalitas konsep yang saling berkaitan dan terorganisasi dalam sebuah jaringan dalam pikiran manusia.[42] Pengetahuan ini, dalam tradisi intelektual Islam, adalah terbantuk dari konsep dan ajaran dalam agama Islam. Mengikuti Alparslan[49], Hamid berpendapat bahwa pandangan hidup Islam adalah termasuk pandangan hidup transparan (transparent worldview[d]) karena ia tidak lahir di antara masyarakat ilmiah yang memiliki mekanisme canggih untuk menghasilkan ilmu pengetahuan. Pandangan hidup Islam, muncul dari wahyu Ilahi (divine revelations) yang diterima oleh Nabi Muhammad, dan kemudian olehnya dijelaskan dan disebarkan ke masyarakat.[42]
Hamid kemudian memberikan penjelasan terkait pandangan hidup Islam dan epistemologi Islam, dengan bermula dari tesis dan pemikiran Al-Attas. Berfikir dengan pandangan hidup Islam berarti berfikir dengan didasari keyakinan atau keimanan serta pengertian tentang Tuhan (Allah), dengan mengikuti konsep ketuhanan dengan sifat-sifatnya yang telah didefinisikan oleh Islam. Dengan demikian, proses keilmuan seluruhnya berorientasi terhadap ibadah kepada Tuhan, sehingga seluruh konsep, teori dan paradigma keilmuan harus bermuara pada konsep Tuhan yang Maha Esa. Proses keilmuan tersebut berkulminasi kepada peningkatan pengetahuan terhadap Tuhan dan keimanan kepada-Nya.[48]
Orientasi proses keilmuan kepada Tuhan meniscayakan wahyu (revelation) beserta perangkat penjelasnya sebagai sumber ilmu. Dalam Islam, wahyu ini adalah al-Qur'an, dan perangkat penjelasnya berupa pendalilan (istidlal) dengan menggunakan Hadits, Ijma' dan Qiyas. Qur'an dan Hadits diposisikan sebagai teks sakral (dalil naqliy) dan Ijma' serta Qiyas sebagai penjelas rasio (dalil aqliy).[42] Rangkaian wahyu dan perangkat penjelasnya ini juga digunakan dalam melakukan pembaharuan dalam kajian keislaman.[48]
Dengan orientasi dan perangkatnya, berfikir dalam pandangan hidup Islam bersifat integralistik (tawhidi). Sifat integralistik ini bermakna bahwa Islam tidak hanya melibatkan keadaan sosial maupun natural yang empiris, namun juga melibatkan aspek non-empiris. Kombinasi ini merukunkan antara aspek dunia dan aspek akhirat. Sifat integralistik ini juga memposisikan kebenaran objektif tidak terpisah dengan kebenaran subjektif. Sesuatu yang riil secara objektif, tidak bisa disebut kebenaran objektif apabila bertentangan dengan kebenaran dalam Islam.[48]
Berfikir dengan pandangan hidup Islam dengan demikian juga bermakna berfikir tentang hal yang nampak (empirik dan fisik) dan hal yang tidak nampak (non-empirik dan metafisik) dengan berbasis pada wahyu. Ketika seorang Muslim melihat makanan, misalnya, maka yang dilihat bukanlah sekedar apa yang dapat dicerap oleh panca indera, namun, apa yang juga ada dalam realitas metafisik: apa realitas kehalalan dan keharamannya. Pandangan hidup tersebut pada akhirnya dapat mengembalikan ukuran dari manusia, kembali ke Tuhan. Dengan demikian, standar moralitas dapat dirukunkan dengan sifat absolut pada aspek Ketuhanan yang Maha Esa, namun juga tetap menghargai aspek relatif dari ruang dan waktu.[48] Dalam Islam, kebenaran sudah turun dari Tuhan [e], hal ini kemudian ditegaskan oleh Hamid dalam Misykat:
"Dari Tuhanmu" berarti berasal dari sana dan sudah berada di sini di masa kini dalam ruang dan waktu kehidupan manusia. Yang manusiawi dan menyejarah sebenarnya bisa mutlak ... (ungkapan) "Semua adalah relatif" bisa berarti semua tidak ada yang tahu Tuhan yang mutlak dan kebenaran firmanNya yang mutlak. [f]
Karya tulis
Adapun karya tulis Hamid Fahmy Zarkasyi adalah antara lain:
Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990)[51]
Tantangan sekularisasi dan liberalisasi di dunia Islam (Jakarta: Khairul Bayan, 2004)
Liberalisasi pemikiran Islam: Gerakan bersama missionaris, orientalis dan kolonialis (Ponorogo: CIOS-ISID, 2010)
Peradaban Islam: Makna dan Strategi Pembangunannya (Ponorogo: CIOS-ISID, 2010)
Al-Ghazali's Concept of Causality: With Reference to His Interpretations of Reality and Knowledge (Kuala Lumpur: IIUM Press, 2010)[52]
Misykat: Refleksi tentang Islam, Westernisasi dan Liberalisasi (Jakarta: INSISTS, 2012)[8]
Kausalitas antara Hukum Alam dan Tuhan: Membaca Pemikiran Religio Saintifik Imam al-Ghazali (Ponorogo: UNIDA Press, 2018)[53]
Minhaj: Berislam dari Ritual hingga Intelektual (Jakarta, INSISTS, 2020)[23]
^Al-Attas mendefinisikan pandangan hidup Islam (Islamic worldview sebagai ru'yatul Islam lil wujud atau pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang tampak oleh mata hati kita dan yang menjelaskan hakikat wujud [47])
^Alparslan membagi pandangan hidup menjadi dua, berdasarkan bagaimana ia muncul. Pandangan hidup pertama disebut dengan pandangan hidup alami (natural worldview) yang merupakan hasil kerja akal tanpa disadari, mengikuti keadaan mental berfikir, kebudayaan dan kehidupan masyarakat. Pandangan hidup kedua disebut dengan pandangan hidup transparan (transparent worldview) yang merupakan hasil kerja akal yang disadari untuk mencari pengetahuan, sehingga ia secara sadar memikirkan konsep-konsep yang dapat dilihat (transparan) bagi akalnya.[50]
^Zarkasyi, Hamid Fahmy (2018). Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan. Ponorogo: Universitas Darussalam Gontor Press.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^"Latar Belakang". INSISTS (dalam bahasa Inggris). 2015-12-22. Diakses tanggal 2024-07-09.
^"Program Kegiatan". INSISTS (dalam bahasa Inggris). 2015-12-22. Diakses tanggal 2024-07-09.
^Armayanto, Harda (2024-06-10). "Profil CIOS UNIDA Gontor". Centre for Islamic and Occidental Studies - Universitas Darussalam Gontor (CIOS UNIDA Gontor). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2024-07-09. Diakses tanggal 2024-07-09.
^Kant, Immanuel; Kant, Immanuel (2007). Weigelt, Marcus, ed. Critique of pure reason. Penguin classics. Diterjemahkan oleh Müller, Friedrich Max. London: Penguin Books. ISBN978-0-14-044747-7.
^Makkreel, Rudolf (2008-01-16). "Wilhelm Dilthey" (dalam bahasa Inggris).
^ abcdMuslih MK, et al. (2021). Epistemologi Islam(PDF). Ponorogo: Universitas Darussalam Gontor Press.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^al-Zayn, Samih 'Atif (1989). al-Islam wa Idulujiyyat al-Insan(PDF) (dalam bahasa Arab). Beirut: Dar al-Kitab al-Lubnani.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Qutb, Sayyid (1997). Muqawwamat at-Tasawwur al-Islami (dalam bahasa Arab). Beirut: Dar al-Syuruq.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)