Ekstraversi dan introversi
Sifat ekstraversi (juga dieja ekstroversi[1]) dan introversi adalah dimensi sentral pada beberapa teori kepribadian manusia. Istilah introversi dan ekstraversi dicetuskan oleh Carl Jung,[2] walaupun pemahaman umum dan penggunaan sekarang dalam psikologi bervariasi. Secara umum, orang ekstrover berperilaku ramah, sering berbicara, dan bersemangat, sementara orang introver berperilaku reflektif dan pendiam.[3][4] Jung mendefinisikan introversi sebagai "jenis perilaku yang dicirikan oleh orientasi ke kehidupan melalui konten psikis subjektif", dan ekstraversi sebagai "jenis perilaku yang dicirikan oleh konsentrasi ketertarikan kepada objek eksternal".[5] Ekstraversi dan introversi biasanya dipandang sebagai sebuah kontinum (spektrum). Jung memberikan perspektif yang berbeda dan mengusulkan bahwa seluruh manusia memiliki sisi ekstrover dan introver, dimana salah satu sisi lebih dominan daripada sisi lainnya. Hampir semua model komprehensif kepribadian memasukkan konsep tersebut dalam berbagai bentuk. Contohnya antara lain model Big Five, psikologi analitis Jung, model 3-faktor Hans Eysenck, 16 faktor kepribadian Raymond Cattell, tes MMPI, dan Myers–Briggs Type Indicator. Di antara kecenderungan ekstrem introversi dan ekstraversi, terdapat ambiversi yang merupakan kepribadian penengah antara ekstrover dan introver.[3] Ketiga kepribadian tersebut memiliki pandangan berbeda dalam hal pengambilan keputusan, interaksi sosial, respon terhadap masalah, komunikasi verbal dan nonverbal, serta berbagai respons sosial lainnya.[6] SejarahPada September 1909, psikiater Swiss Carl Jung menggunakan istilah introverted dalam ceramah di Universitas Clark.[7] Transkrip ceramah tersebut kemudian dipublikasikan bersama 2 orang lain dalam jurnal tahun 1910;[8] itu merupakan pertama kali yang pertama kali istilah tersebut digunakan dalam kertas. Dalam ceramahnya dia menyebutkan bahwa cinta yang "introver", "diarahkan ke dalam subjek dan di situlah memicu peningkatan aktivitas imajinatif".[8] Buku tahun 1921 dia, Psychologische Typen,[9] dipublikasikan sebagai Personality Types (Jenis Kepribadian)[10] dalam bahasa Inggris pada 1923. Itu menggambarkan introversi dalam detail untuk yang pertama kalinya.[10] Dalam kertas dia nantinya, Psychologische Typologie, dia memberikan definisi introversi yang lebih ringkas, dan menulis:[10]
JenisWilliam McDougall mendiskusikan konsepsi Jung, dan meraih kesimpulan ini: "Introver adalah mereka yang pemikiran reflektifnya menahan dan menunda aksi dan ekspresi: ekstrover adalah mereka yang energinya yang dibebaskan pada pengadukan kecenderungan apa pun mengalir keluar dengan bebas dalam tindakan dan ekspresi keluar".[11] EkstraversiEkstraversi adalah keadaan memperoleh gratifikasi/gairah dari luar.[12][13] Ekstrover cenderung menikmati interaksi manusia dan antusias, banyak bicara, asertif, dan suka berteman. Ekstrover bersemangat dan suka berada sekitar orang lain. Mereka menikmati aktivitas yang melibatkan perkumpulan sosial yang besar, seperti pesta, kegiatan komunitas, demonstrasi publik, dan kelompok bisnis atau politik. Mereka juga cenderung bekerja dengan baik sebagai kelompok.[14] Seorang ekstrover akan menikmati waktu bersama orang lain dan tidak menikmati waktu sendirian. Saat sendirian, mereka cenderung lebih rawan terhadap kebosanan. IntroversiIntroversi adalah keadaan memperoleh gratifikasi/gairah dari diri sendiri.[12][13] Introver biasanya dipandang sebagai orang pendiam atau reflektif.[14] Sebagian psikolog populer mencirikan introver sebagai orang dimana energinya bertambah melalui renungan dan berkurang selama interaksi. Ini serupa dengan pandangan Jung, walaupun dia fokus pada energi mental, bukan energi fisik. Sedikit konsep modern membuat pembeda ini. Introver menikmati aktivitas sendirian seperti membaca, menulis, atau meditasi. Introver menikmati waktu sendirian dan tidak menikmati waktu bersama orang lain. Introver mudah kewalahan oleh stimulasi berlebihan dari perkumpulan dan pelibatan sosial, bahkan introversi kadang didefinisikan dalam hal preferensi untuk lingkungan eksternal yang diam dan tanpa stimulasi.[16] Mereka lebih suka berkonsentrasi pada satu aktivitas pada satu waktu dan mengamati situasi sebelum berpartisipasi, yang terutama terlihat pada anak-anak dan remaja.[17] Mereka lebih berpikir analitis sebelum berbicara.[18] Menganggap introversi sebagai sifat pemalu adalah kesalahan umum. Introversi merupakan pilihan, sementara sifat pemalu berasal dari kecemasan. Introver lebih menginginkan aktivitas sendirian daripada aktivitas sosial, namun tidak selalu takut terhadap pertemuan sosial seperti orang pemalu.[20] Susan Cain, pengarang buku Quiet: The Power of Introverts in a World That Can't Stop Talking, berargumen bahwa budaya Barat modern salah menilai kemampuan orang introver, dan karena itu mengurangi talenta, energi, dan kebahagiaan.[21] Cain mendeskripsikan bagaimana masyarakat meremehkan introver, dan bahwa, dengan orang diajarkan sejak kecil bahwa bergaul berarti bahagia, introversi sekarang dianggap "berada di antara kekecewaan dan patologi".[22] Sebaliknya, Cain mengatakan bahwa introversi bukan sifat "kelas kedua", tetapi introver dan ekstrover bersama memperkaya masyarakat; contohnya termasuk orang introver J. K. Rowling, Isaac Newton, Albert Einstein, Mahatma Gandhi, Dr. Seuss, W. B. Yeats, Steven Spielberg, dan Larry Page.[22][23] AmbiversiSebagian besar teori sifat kontemporer mengukur level ekstraversi-introversi sebagai bagian dari sebuah dimensi berkelanjutan kepribadian, dengan beberapa skor dekat salah satu ujung, dan yang lain dekat titik tengah.[24] Orang ambiver berada di tengah spektrum.[12][25] Prevalensi relatifCain melaporkan bahwa studi menunjukkan bahwa 33–50% penduduk Amerika Serikat merupakan introver.[27] Kelompok tertentu memiliki prevalensi introver yang lebih tinggi; studi 6.000 subjek berbasis MBTI yang menunjukkan bahwa 60% pengacara dan 90% pengacara kekayaan intelektual merupakan introver.[28] PengukuranTingkat ekstraversi dan introversi paling umum ditentukan melalui pengukuran sendiri, walaupun laporan rekan dan observasi pihak ketiga juga dapat digunakan. Pengukuran sendiri bersifat leksikal[29] atau berbasis pernyataan.[30] Jenis pengukur ditentukan oleh asesmen sifat-sifat psikometri, dan keterbatasan waktu dan ruang studi yang sedang dilakukan. Pengukuran sendiri leksikalPengukuran leksikal menggunakan kata-kata sifat yang menggambarkan sifat ekstrover dan introver, seperti ramah, sering berbicara dan pendiam. Kata-kata yang mewakili introversi dikode balik untuk membuat pengukuran gabungan dari ekstraversi-introversi dalam sebuah kontinum. Goldberg (1992)[31] mengembangkan pengukur 20-kata sebagai bagian dari penanda 100-kata Big Five dia. Saucier (1994)[32] mengembangkan pengukur 8-kata yang lebih singkat sebagai bagian dari penanda mini 40-kata dia. Namun, sifat psikometri penanda mini aslinya ternyata tidak optimal dengan sampel di luar Amerika Utara.[29] Oleh karena itu, sebuah pengukuran yang direvisi secara sistematis, bernama International English Mini-Markers (Pengukuran Mini Inggris Internasional), dikembangkan untuk memperbagus sifat psikometri.[29] Pengukuran ini memiliki reliabilitas konsistensi internal dan validitas yang tinggi dalam hal mengukur ekstraversi-introversi dan dimensi kepribadian 5-faktor lain, dengan atau tanpa penduduk Amerika Utara. Reliabilitas konsistensi internal pengukur ekstraversi untuk penutur asli bahasa inggris dilaporkan sebagai alpha Cronbach (α) 0,92, sementara untuk penutur tidak asli bahasa inggris adalah α 0,85. Pengukuran sendiri pernyataanPengukuran pernyataan cenderung mengandung lebih banyak kata, dan karena itu memakan lebih banyak ruang instrumen penelitian daripada pengukuran leksikal. Responden ditanya seberapa banyak mereka, misalnya, "Berbincang dengan banyak orang pada pesta atau Sering merasa tidak nyaman sekitar orang lain".[30] Walaupun beberapa pengukuran berbasis pernyataan ekstraversi-introversi memiliki sifat psikometri yang serupa dengan pengukuran leksikal untuk penduduk Amerika Utara, pengembangannya yang umumnya rendah membuatnya kurang cocok digunakan untuk penduduk lain.[33] Misalnya, pernyataan yang menanyakan keseringan berbicara pada pesta sulit dijawab oleh orang yang tidak mengikuti pesta, seperti anggapan orang Amerika. Selain itu, pernyataan yang kadang berbahasa Inggris Amerika Utara sehari-hari membuatnya kurang cocok digunakan di luar Amerika. Misalnya, pernyataan seperti "Keep in the background" (Tetap berada di latar belakang (tidak menarik perhatian)) dan "Know how to captivate people" (Tahu cara memikat hati orang) kadang-kadang sulit dimengerti penutur tidak asli bahasa Inggris, kecuali dalam arti harfiah. Teori EysenckHans Eysenck mendeskripsikan ekstraversi-introversi sebagai seberapa banyak seseorang bergaul dan berinteraksi dengan orang lain. Perbedaan perilaku tersebut diduga akibat perbedaan mendasar psikologi otak.[34] Eysenck mengaitkan penghambatan dan perangsangan korteks dengan sistem aktivasi retikuler naik (ARAS), yaitu jalur yang berada di batang otak.[35] Orang ekstrover mencari keseruan dan mengikuti aktivitas sosial untuk menaikkan kegairahannya yang rendah secara alami, sementara orang introver cenderung menghindari situasi sosial agar tidak terlalu banyak menaikkan kegairahannya yang tinggi secara alami. Eysenck memasukkan ekstraversi sebagai salah satu dari 3 sifat utama dalam model kepribadian P-E-N dia, yang juga termasuk psikotisisme dan neurotisisme. Eysenck awalnya mengusulkan bahwa ekstraversi adalah kombinasi 2 kecenderungan utama, impulsivitas dan sosiabilitas. Dia nantinya menambah beberapa sifat yang lebih spesifik, yaitu keaktifan, tingkat aktivitas, dan kesemangatan. Sifat tersebut selanjutnya terkait dengan respons kebiasaan yang lebih spesifik lagi dalam hierarki kepribadian dia, seperti berpesta pada akhir pekan. Eysenck membandingkan sifat ini dengan teori 4 temperamen dari kedokteran masa kuno; temperamen choleric dan sanguine sama dengan ekstraversi, dan temperamen melancholic dan phlegmatic sama dengan introversi.[36] Faktor biologisKepentingan relatif alam vs lingkungan dalam penentuan tingkat ekstraversi memicu kontroversi dan menjadi fokus banyak studi. Studi kembar menemukan komponen genetik sebesar 39% hingga 58%. Dalam hal komponen lingkungan, lingkungan keluarga terlihat sangat kurang penting dibandingkan dengan faktor lingkungan individual yang tidak dibagikan antara kembar.[37][38] Eysenck mengusulkan bahwa ekstraversi disebabkan oleh variabilitas rangsangan kortikal (kecepatan dan intensitas aktivitas otak. Dia menghipotesiskan bahwa introver dicirikan oleh tingkat aktivitas yang lebih tinggi daripada ekstrover, dan karena itu dalam jangka panjang korteksnya lebih terangsang daripada ekstrover. Bahwa ekstrover membutuhkan lebih banyak stimulasi eksternal daripada introver telah diinterpretasikan sebagai bukti untuk hipotesis ini. Bukti lain hipotesis "rangsangan" adalah introver mengeluarkan lebih banyak lendir daripada ekstrover sebagai respons terhadap setetes jus lemon. Ini dikarenakan peningkatan aktivitas pada ARAS, yang merespon ke rangsangan seperti makanan atau kontak sosial.[39][40][38] Ekstraversi telah dikaitkan dengan sensitivitas sistem dopamin mesolimbik yang lebih tinggi terhadap rangsangan yang berpotensi berhadiah.[41] Ini sebagian menjelaskan tingkat pengaruh positif yang tinggi pada ekstrover, karena mereka lebih merasakan keseruan hadiah potensial. Salah satu akibat dari ini adalah ekstrover dapat lebih mudah mempelajari kemungkinan-kemungkinan untuk penguatan positif, karena hadiahnya sendiri lebih dirasakan. Salah satu studi menemukan bahwa orang introver memiliki lebih banyak aliran darah pada lobus frontal otak dan talamus anterior atau depan mereka, yang berupa area yang berurusan dengan pemrosesan internal, seperti perencanaan dan pemecahan masalah. Orang ekstrover memiliki lebih banyak aliran darah pada girus cingulate anterior, lobus temporalis, dan talamus posterior, yang terlibat dalam pengalaman emosional dan indrawi.[42] Studi ini dan yang lain menandakan bahwa introversi-ekstraversi terkait dengan perbedaan individual fungsi otak. Sebuah studi volume otak regional menemukan korelasi positif antara introversi dan volume materi abu-abu pada korteks prefrontal kanan dan persimpangan temporoparietal kanan, serta korelasi positif antara introversi dan volume materi putih.[43] Pencitraan saraf fungsional terkait tugas menemukan bahwa ekstraversi diasosiasikan dengan peningkatan aktivitas pada girus cingulate anterior, korteks prefrontal, girus temporal tengah, dan amigdala.[44] Ekstraversi juga telah dikaitkan dengan faktor fisiologis seperti respirasi, melalui asosiasinya dengan surgensi.[45] Oleh hasil penelitian yang lain, ditunjukkan bahwa introver mempunyai aktivitas neuronal yang lebih tinggi pada daerah otak yang terasosiasi dengan belajar, kendali pergerakan, dan kendali keawasan.[39] PerilakuBerbagai perbedaan karakteristik perilaku terkait dengan ekstraversi dan introversi. Menurut satu studi, ekstrover cenderung memakai pakaian dekoratif, sementara introver menyukai pakaian praktis dan nyaman.[46][3] Ekstrover lebih menyukai musik yang lebih upbeat, konvensional, dan bersemangat daripada introver.[47] Kepribadian juga mempengaruhi penataan area kerja orang-orang. Umumnya, ekstrover lebih banyak mendekorasi kantor mereka, membiarkan pintu terbuka, menaruh kursi tambahan dekat mereka, dan lebih sering menaruh permen-permen di meja mereka. Ini usaha mengajak rekan kerja dan interaksi. Sebaliknya, introver jarang berdekorasi dan cenderung menata ruang kerjanya untuk menghindari interaksi sosial.[48] Ekstrover juga cenderung memberikan deskripsi abstrak terhadap suatu benda, sementara introver cenderung memberikan deskripsi konkret.[3] Ekstraversi terkait dengan pengambilan risiko yang lebih berani, seperti melakukan hubungan seks tanpa kontrasepsi.[3] Lebih jauh lagi, kepribadian ekstrover juga terkait dengan merokok ketika remaja.[3] Meskipun ada perbedaan tersebut, sebuah meta-analisis 15 studi sampel pengalaman mengusulkan bahwa ada banyak tumpah tindih perilaku ekstrover dan introver.[49] Dalam studi-studi tersebut, peserta menggunakan perangkat seluler untuk melaporkan sejauh mana tingkat ekstrover mereka (misalnya berani, sering berbicara, asertif, ramah) pada waktu-waktu tertentu dalam kehidupan sehari-hari. Fleeson dan Gallagher (2009) menemukan bahwa ekstrover sering berperilaku seperti introver, dan introver sering berperilaku seperti ekstrover. Dari itu, ditentukan bahwa ada lebih banyak variabilitas dalam-orang daripada antar-orang mengenai perilaku seperti ekstrover. Sifat utama yang membedakan orang ekstrover dan introver adalah orang ekstrover cenderung sekitar 5–10% lebih sering berperilaku agak seperti ekstrover daripada orang introver. Dari perspektif ini, ekstrover dan introver tidak "berbeda secara fundamental". Namun, "ekstrover" hanyalah seseorang yang lebih sering berperilaku ekstrover; itu mengusulkan bahwa ekstraversi lebih mengenai apa yang seseorang "lakukan" daripada apa yang seseorang "miliki". Pemilihan perilakuSebuah studi oleh Lippa (1978) menentukan sejauh mana individu mempresentasikan dirinya sendiri dengan cara yang berbeda. Ini dinamakan perilaku ekspresif, dan itu bergantung pada motivasi individu dan kemampuan mengontrol perilaku tersebut. Lippa (1978) memeriksa 68 siswa yang diminta untuk bermain peran melalui berpura-pura mengajar matematika. Level ekstraversi dan introversi siswa diukur berdasarkan perilaku eksternal/ekspresif mereka seperti jarak langkah, keluasan grafis, persentase waktu mereka berbicara, lamanya mereka membuat kontak mata dan waktu total setiap sesi. Studi ini menemukan bahwa introver sejati dikira dan dinilai mempunyai lebih banyak perilaku ekspresif seperti ekstrover karena mereka lebih banyak memantau diri sendiri.[50] Ini berarti introver lebih banyak berupaya secara sadar untuk menampilkan versi lebih seperti ekstrover dan diinginkan secara sosial dari diri sendiri. Dengan demikian, individu dapat mengatur dan mengubah perilaku mereka berdasarkan situasi lingkungan. Manusia itu kompleks dan unik, dan karena introversi-ekstraversi bervariasi sepanjang kontinum, individu mungkin memiliki campuran kedua orientasi. Seseorang yang berperilaku introver dalam suatu situasi mungkin berperilaku ekstrover dalam situasi lain, dan orang dapat berperilaku dengan cara "kontra disposisional" dalam situasi tertentu. Contohnya, teori sifat bebas oleh Brian Little[51][52] mengusulkan bahwa orang dapat mengadopsi "sifat bebas", berperilaku dengan gaya yang mungkin bukan "sifat alamiah pertama" mereka, namun melalui itu dapat memajukan projek yang penting bagi mereka secara strategis. Ini bersama menampilkan pandangan ekstraversi yang optimis. Daripada menetap dan stabil, individu bervariasi dalam perilaku ekstrover mereka sepanjang momen yang berbeda, dan dapat memilih untuk bertindak seperti ekstrover untuk memajukan projek personal yang penting atau bahkan meningkatkan kebahagiaan mereka, seperti yang disebutkan di atas. ImplikasiMengakui bahwa introversi dan ekstroversi adalah variasi perilaku yang normal dapat membantu meningkatkan penerimaan diri dan pemahaman orang lain. Contohnya, seorang ekstrover dapat menerima kebutuhan pasangan introver dia untuk menyendiri, sementara seorang introver dapat menerima kebutuhan pasangan introver dia untuk berinteraksi sosial. Peneliti telah menemukan korelasi antara ekstraversi dan kebahagiaan menurut laporan sendiri; orang yang lebih ekstrover cenderung melaporkan tingkat afek positif yang lebih tinggi daripada orang introver.[53][54] Studi lain menunjukkan bahwa orang yang diperintahkan bertindak seperti ekstrover mengalami peningkatan afek positif, bahkan untuk introver.[55] Ini tidak berarti introver tidak bahagia. Orang ekstrover hanya melaporkan mengalami lebih banyak emosi positif, sementara introver cenderung lebih netral. Ini mungkin karena ekstraversi lebih diinginkan secara sosial dalam budaya Barat kontemporer dan oleh karena itu introversi terasa kurang diinginkan. Selain penelitian kebahagiaan, studi lain telah menemukan bahwa ekstrover cenderung melaporkan tingkat harga diri yang lebih tinggi daripada introver.[56][57] Orang lain mengusulkan bahwa hasil tersebut merefleksikan bias sosio-kultural dalam surveinya sendiri.[18] Dr. David Meyers mengklaim kebahagiaan berupa hal memiliki 3 sifat: harga diri, optimisme, dan ekstraversi. Meyer mendasarkan kesimpulan dia pada studi yang melaporkan bahwa orang ekstrover lebih bahagia; penemuan tersebut diragukan berdasarkan fakta bahwa pertanyaan "kebahagiaan" yang diberikan ke para subjek studi, seperti "Saya suka bersama orang lain" dan "Saya menyenangkan untuk diajak berteman" hanya mengukur kebahagiaan ekstrover.[18] Menurut Carl Jung, introver juga lebih mudah mengakui kebutuhan dan masalah psikologis mereka, sementara ekstrover cenderung tidak menyadarinya karena mereka lebih fokus ke dunia luar.[2] Walaupun ekstraversi dipandang sebagai hal yang diinginkan dalam budaya Barat, itu tidak selalu menjadi keunggulan. Misalnya, ekstrover muda lebih sering melakukan perilaku antisosial atau nakal.[58][59] Sejalan ini, bukti tertentu mengusulkan bahwa sifat ekstraversi mungkin juga terkait dengan psikopati.[60][61] Sebaliknya, walaupun introversi dianggap kurang diinginkan secara sosial, itu terkait kuat dengan sifat positif seperti kecerdasan[62] dan "bakat/giftedness".[63][64] Selama bertahun-tahun, peneliti menemukan bahwa introver cenderung lebih sukses dalam lingkungan akademik, yang mungkin dianggap membosankan oleh ekstrover.[65] Penelitian menunjukkan bahwa sistem imun perilaku, yaitu proses psikologis yang menentukan risiko infeksi dari tanda perseptual dan meresponnya melalui aktivasi emosi aversif, mungkin mempengaruhi kesukaan berteman. Walaupun ekstraversi diasosiasikan dengan efek positif seperti tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi, orang ekstrover juga lebih sering terpapar penyakit menular, seperti infeksi udara, karena mereka cenderung memiliki lebih banyak kontak dengan orang. Ketika individu lebih rentan infeksi, biaya bersosialisasi relatif lebih besar. Oleh karena itu, orang cenderung kurang ekstraversif ketika merasa rentan dan sebaliknya.[66] Walaupun introversi dan ekstraversi tidak bersifat patologis, psikoterapis dapat memperhitungkan temperamen ketika merawat pasien. Pasien mungkin merespon lebih baik terhadap berbagai jenis perawatan tergantung pada tempat mereka dalam spektrum introversi-ekstraversi. Guru juga dapat mempertimbangkan temperamen ketika mengajar siswa mereka, misalnya mengakui bahwa anak introver perlu lebih banyak dorongan untuk berbicara dalam kelas, sementara anak ekstrover mungkin gelisah selama periode belajar dengan tenang yang lama.[butuh rujukan] Variasi regionalBeberapa orang mengklaim bahwa orang Amerika Serikat hidup dalam "masyarakat ekstrover"[67] yang menyukai perilaku ekstrover dan menolak introversi.[68] Ini karena budaya umum A.S. menilai kepribadian eksternal, sementara dalam budaya lain orang dihargai untuk "diri batin dan kejujuran moral mereka".[69] Budaya lain, seperti di Jepang, Tiongkok, dan wilayah lain yang umumnya beragama Kristen Ortodoks, Buddha, dan Sufisme, menghargai introversi.[70] Perbedaan budaya tersebut memprediksi kebahagiaan individu; orang ekstrover rata-rata lebih bahagia dalam budaya ekstrover dan sebaliknya.[71] Para peneliti telah menemukan bahwa orang yang hidup di pulau cenderung kurang ekstrover (lebih introver) daripada orang yang hidup di daratan dan orang yang nenek moyangnya telah mendiami pulau tersebut untuk 20 generasi cenderung kurang ekstrover daripada orang yang baru saja datang. Terlebih lagi, orang yang beremigrasi dari pulau ke daratan cenderung lebih ekstrover daripada orang yang tetap di pulau dan berimigrasi ke pulau.[71] Di Amerika Serikat, para peneliti menemukan bahwa masyarakat negara bagian barat tengah Dakota Utara, Dakota Selatan, Nebraska, Minnesota, Wisconsin, dan Illinois lebih tinggi tingkat ekstrovernya daripada rata-rata Amerika Serikat. Utah dan negara bagian tenggara Florida dan Georgia juga memiliki tingkat ekstrover yang tinggi. Negara bagian paling introver di Amerika Serikat adalah Maryland, New Hampshire, Alaska, Washington, Oregon dan Vermont. Masyarakat negara bagian barat laut Idaho, Montana, dan Wyoming juga relatif introver.[72] Keterkaitan dengan kebahagiaanSeperti yang telah disampaikan, ekstrover memiliki tingkat afek positif yang lebih tinggi daripada introver.[73][74][75] Namun, hubungan ini hanya telah ditemukan antara ekstraversi dan jenis aktif afek positif.[76][77] Tidak ada hubungan antara ekstraversi dan jenis tidak aktif (tenang) afek positif seperti kepuasan atau ketenangan, walaupun sebuah studi menemukan hubungan negatif antara ekstraversi dan afek positif tidak aktif (yaitu hubungan positif antara introversi dan afek positif tenang).[76] Terlebih lagi, hubungan ekstraversi dan afek positif aktif hanya berarti untuk ekstraversi agentik, yaitu tidak ada hubungan berarti antara ekstraversi afiliatif dan afek positif aktif, terutama setelah mengontrol untuk neurotisisme.[76][78] Sebuah artikel tinjauan influensial menyimpulkan bahwa kepribadian, khususnya ekstraversi dan kestabilan emosi, merupakan prediktor kesejahteraan subjektif terbaik.[79] Sebagai contoh, Argyle dan Lu (1990)[80] menemukan bahwa sifat ekstraversi, yang diukur dengan skala ekstraversi dari Daftar Pertanyaan Kepribadian Eysenck (EPQ), berkorelasi positif dan signifikan dengan afek positif, yang diukur dengan Inventori Kebahagiaan Oxford. Menggunakan skala ekstraversi dan afek positif yang sama, Hills dan Argyle (2001)[81] juga menunjukkan ini. Studi Emmons dan Diener juga menemukan bahwa ekstraversi berkorelasi positif dan signifikan dengan afek positif, tetapi tidak dengan afek negatif. Hasil serupa ditemukan dalam studi longitudinal besar oleh Diener, Sandvik, Pavot, dan Fujita (1992),[82] yang menilai 14.407 peserta dari 100 area Amerika Serikat kontinental. Menggunakan Jadwal Kesejahteraan Umum yang disingkat, yang mengukur afek positif dan negatif, dan versi singkat skala ekstraversi dari NEO oleh Costa dan McCrae (1986), pengarang melaporkan bahwa ekstrover lebih sejahtera pada 2 titik waktu; selama itu data dikumpulkan: pertama antara 1971–1975, dan kedua antara 1981–1984. Namun, studi tersebut tidak mengontrol untuk neurotisisme, sebuah kovariabel yang penting ketika menyelidiki hubungan antara ekstraversi dan afek positif atau kesejahteraan.[83] Larsen dan Ketelaar (1991)[84] menunjukkan bahwa ekstrover lebih banyak merespon ke afek positif daripada afek negatif, karena mereka lebih banyak bereaksi terhadap induksi afek positif, tetapi mereka tidak bereaksi lebih negatif terhadap induksi afek negatif.[85] Pandangan instrumentalPandangan instrumental mengusulkan bahwa sifat-sifat kepribadian menimbulkan kondisi dan aksi, yang memiliki konsekuensi afektif, dan dengan demikian memicu perbedaan emosionalitas individual.[85][86] Sifat kepribadian sebagai penyebab tingginya sosiabilitasMenurut pandangan instrumental, salah satu penjelasan kesejahteraan subjektif ekstrover yang lebih tinggi mungkin karena ekstraversi membantu menciptakan keadaan hidup, yang mendorong afek positif yang tinggi. Khususnya, sifat kepribadian ekstraversi dilihat sebagai fasilitator interaksi sosial,[74][85][87] karena rendahnya kegairahan korteks ekstrover membuat mereka mencari lebih banyak situasi sosial untuk meningkatkan kegairahan mereka.[88] Hipotesis aktivitas sosialMenurut hipotesis aktivitas sosial, partisipasi yang lebih sering dalam situasi sosial memicu afek positif yang lebih sering dan lebih tinggi. Oleh karena itu, diyakini bahwa karena ekstrover dicirikan lebih mudah bergaul daripada introver, tingkat afek positif mereka juga lebih tinggi, yang timbul dari interaksi sosial.[89][90][91] Khususnya, hasil penelitian Furnham dan Brewin (1990)[75] mengusulkan bahwa ekstrover lebih banyak menikmati dan mengikuti aktivitas sosial daripada introver, dan oleh karena itu ekstrover melaporkan tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi. Dalam studi Argyle dan Lu (1990),[80] ekstrover juga kurang menghindari partisipasi aktivitas sosial berisik, dan lebih berpartisipasi dalam aktivitas sosial seperti permainan pesta, bercanda, atau pergi ke sinema. Hasil serupa dilaporkan oleh Diener, Larsen, dan Emmons (1984)[92] yang menemukan bahwa ekstrover lebih sering mencari aktivitas sosial daripada introver, terutama ketika mengikuti aktivitas rekreasi. Namun, berbagai temuan menentang hipotesis aktivitas sosial:
Teori perhatian sosialPenjelasan lain korelasi tinggi antara ekstraversi dan kebahagiaan berasal dari studi oleh Ashton, Lee, dan Paunonen (2002).[94] Mereka mengusulkan bahwa elemen inti ekstraversi adalah kecenderungan bertindak dalam hal yang menarik, menjaga, dan menikmati perhatian sosial, dan tidak menghargai sensitivitas. Mereka mengklaim bahwa salah satu kualitas fundamental perhatian sosial adalah potensi berhadiahnya. Oleh karena itu, jika seseorang menampilkan emosi positif antusias, semangat, dan gembira, orang itu dipandang baik oleh orang lain dan dia mendapatkan perhatian orang lain. Reaksi baik dari orang lain ini mungkin mengajak ekstrover untuk lebih banyak bertindak ekstrover.[94] Studi Ashton, Lee, dan Paunonen (2002)[94] menunjukkan bahwa pengukuran perhatian sosial mereka, Social Attention Scale, lebih terkorelasi dengan ekstraversi daripada sensitivitas. Pandangan temperamentalPandangan temperamental berbasis gagasan bahwa ada hubungan langsung antara sifat kepribadian seseorang dan sensitivitas dia terhadap afek positif dan negatif.[74][84][85] Model reaktivitas afektifModel reaktivitas afektif menyatakan bahwa kekuatan reaksi seseorang terhadap peristiwa yang relevan dengan afek disebabkan oleh perbedaan afek orang.[84][95] Model ini berdasarkan teori penguatan sensitivitas oleh Jeffrey Alan Gray, yang menyatakan bahwa orang dengan sistem aktivasi perilaku (BAS) yang lebih kuat memiliki responsivitas hadiah tinggi dan cenderung memiliki sifat kepribadian ekstraversi, sementara orang dengan sistem penghambatan perilaku (BIS) yang lebih kuat memiliki responsivitas hadiah rendah dan cenderung memiliki sifat kepribadian neurotisisme dan introversi. Oleh karena itu, ekstrover dianggap memiliki kecenderungan temperamental terhadap afek positif karena induksi suasana hati positif berefek lebih besar kepadanya daripada introver, sehingga ekstrover lebih bereaksi terhadap efek menyenangkan.[41][84][95][96][97] Misalnya, Gabie, Reis, dan Elliot (2000)[98] menemukan dalam 2 studi berurutan bahwa orang dengan BIS yang lebih sensitif melaporkan tingkat afek negatif rata-rata yang lebih tinggi, sementara orang dengan BAS yang lebih sensitif melaporkan afek positif yang lebih tinggi. Zelenski dan Larsen (1999)[85] juga menemukan bahwa orang dengan BAS yang lebih sensitif melaporkan lebih banyak emosi positif selama induksi suasana hati positif, sementara orang dengan BIS yang lebih sensitif melaporkan lebih banyak emosi negatif selama induksi suasana hati negatif.[butuh rujukan] Teori reaktivitas sosialTeori reaktivitas sosial menduga bahwa semua manusia, suka atau tidak suka, harus berpartisipasi dalam situasi sosial. Karena ekstrover lebih suka terlibat dalam interaksi sosial daripada introver, mereka juga mendapatkan lebih banyak afek positif dari situasi tersebut daripada introver.[54][80] Dukungan teori ini berasal dari karya Brian R. Little, yang mempopulerkan konsep "restorative niches". Little mengklaim bahwa hidup sering mengharuskan orang untuk berpartisipasi dalam situasi sosial, dan karena bertindak sosial tidak sesuai dengan karakter introver, itu ditunjukkan mengurangi kesejahteraan mereka. Oleh karena itu, salah satu cara menjaga kesejahteraan introver adalah mengisi ulang energi mereka sesering mungkin di tempat di mana mereka dapat kembali ke jati diri sendiri—tempat yang disebut Little sebagai "ceruk restoratif".[99] Namun, juga ditemukan bahwa ekstrover tidak merespon lebih kuat terhadap situasi sosial daripada introver, atau melaporkan peningkatan afek positif yang lebih tinggi selama interaksi tersebut.[87][93] Regulasi afektifPenjelasan memungkinkan lain untuk kebahagiaan ekstrover yang lebih tinggi berasal dari fakta bahwa ekstrover mampu lebih baik mengatur keadaan afektif mereka. Ini berarti dalam situasi ambigu (situasi dimana ada suasana hati positif dan negatif dengan proporsi mirip) ekstrover menampilkan penurunan afek positif yang lebih lambat, dan, sebagai hasilnya mereka mempertahankan lebih banyak afek positif daripada introver.[100] Ekstrover mungkin juga lebih banyak memilih aktivitas yang memfasilitasi kebahagiaan (seperti mengingat kembali memori menyenangkan vs. tidak menyenangkan) daripada introver ketika mengantisipasi tugas sulit.[101] Model set-point aka model level afekMenurut model set-point, tingkat afek positif dan negatif kurang lebih tetap dalam setiap individu; oleh karena itu, setelah peristiwa positif atau negatif, suasana hati orang cenderung kembali ke tingkat yang telah ditetapkan sebelumnya (pre-set). Menurut model set-point, ekstrover mengalami lebih banyak kebahagiaan karena tingkat afek positif pre-set mereka lebih tinggi daripada tingkat afek positif pre-set introver, oleh karena itu ekstrover memerlukan lebih sedikit penguatan positif agar merasa bahagia.[97] Hubungan kesenangan-kegairahanPenelitian oleh Peter Kuppens (2008)[102] menunjukkan bahwa ekstrover dan introver melakukan perilaku yang berbeda ketika merasa senang, yang mungkin menjelaskan kurangnya estimasi frekuensi dan intensitas kebahagiaan introver. Khususnya, Kuppens (2008)[102] menemukan bahwa kegairahan dan kesenangan berkorelasi positif untuk ekstrover, yang berarti perasaan menyenangkan lebih cenderung disertai kegairahan tinggi untuk ekstrover. Di sisi lain, kegairahan dan kesenangan berkorelasi negatif untuk introver, sehingga introver memiliki kegairahan rendah ketika merasa senang. Dengan kata lain, jika seluruh hal berlangsung baik dalam kehidupan ekstrover, yang merupakan sumber perasaan senang, ekstrover melihat situasi tersebut sebagai kesempatan melakukan perilaku aktif dan mengejar tujuan, yang memicu keadaan aktif, senang, dan bergairah. Ketika semua hal berlangsung baik untuk introver, mereka melihatnya sebagai kesempatan untuk menurunkan kewaspadaan mereka, sehingga mereka merasa santai dan puas.[102] Komplikasi hubungan ekstraversi-kebahagiaanWalaupun ekstraversi secara konsisten terbukti memiliki korelasi kuat dengan kebahagiaan dan kesejahteraan, penemuan tersebut diperumit dengan adanya sifat kepribadian lain yang menjadi indikator kuat kebahagiaan. Neurotisisme dan ekstraversiDalam berbagai penelitian, neurotisisme terbukti memiliki dampak terhadap kebahagiaan dan kesejahteraan subjektif yang sama, atau bahkan lebih besar, daripada ekstraversi. Sebuah studi mengklasifikasikan anak-anak sekolah ke dalam 4 kategori berdasarkan skor mereka dalam penilaian ekstraversi dan kestabilan emosi (neurotisisme).[103] Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara tingkat kebahagiaan introver dan ekstrover stabil, sementara introver dan ekstrover tidak stabil menunjukkan kebahagiaan yang jauh lebih rendah daripada rekannya. Dalam studi ini, neurotisisme tampaknya menjadi faktor kesejahteraan secara keseluruhan yang lebih menonjol. Demikian pula, dalam penelitian selanjutnya, peneliti menggunakan skala asesmen untuk menguji kategori seperti harga diri dan orientasi tujuan hidup, yang berkorelasi positif dengan kebahagiaan. Tanggapan peserta terhadap skala tersebut mengusulkan bahwa neurotisisme sebenarnya memiliki dampak yang lebih besar daripada ekstraversi pada pengukur kesejahteraan.[104][105] Faktor Big 5 lain dan ekstraversiWalaupun ekstraversi dan neurotisisme tampaknya memiliki efek terbesar pada kebahagiaan pribadi, faktor kepribadian Big 5 lain juga telah terbukti berkorelasi dengan kebahagiaan dan kesejahteraan subjektif. Sebagai contoh, sebuah studi menunjukkan bahwa ketelitian (keinginan berbuat baik) dan kesetujuan berkorelasi sekitar 0,20 dengan kebahagiaan subjektif.[106] Meskipun efek sifat tersebut tidak sekuat ekstraversi atau neurotisisme, jelas bahwa mereka masih berdampak pada kebahagiaan. Demikian juga, interaksi antara ekstraversi, neurotisisme, dan ketelitian telah menunjukkan dampak signifikan terhadap kesejahteraan subjektif. Dalam sebuah studi, peneliti menggunakan 3 skala untuk menilai kesejahteraan subjektif. Mereka menemukan bahwa ekstraversi hanya berfungsi menjadi prediktor untuk 1 penilaian, bersama dengan neurotisisme, sementara kedua hasil penilaian lain lebih baik diprediksi oleh ketelitian dan neurotisisme.[106] Selain pentingnya memasukkan faktor lain dalam asesmen kebahagiaan, studi ini juga menunjukkan bagaimana definisi operasional kesejahteraan mengubah apakah ekstraversi muncul sebagai faktor prediktif yang menonjol. Faktor kepribadian lainAda juga bukti bahwa elemen kepribadian non-sifat lain mungkin berkorelasi dengan kebahagiaan. Contohnya, sebuah studi menunjukkan bahwa berbagai fitur tujuan seseorang, seperti kemajuan menuju tujuan penting atau konflik diantaranya, dapat mempengaruhi kebahagiaan emosional dan kognitif.[107] Berbagai peneliti lain juga mengusulkan bahwa, setidaknya dalam budaya yang lebih individualistis, memiliki pemahaman koheren tentang kepribadian diri sendiri (dan bertindak sesuai konsep diri tersebut) berhubungan positif dengan kesejahteraan.[108][109][110] Oleh karena itu, mengfokus hanya pada ekstraversi—atau bahkan ekstraversi dan neurotisisme—mungkin akan memberikan gambaran tidak lengkap tentang hubungan antara kebahagiaan dan kepribadian. BudayaSelain itu, budaya seseorang mungkin juga mempengaruhi kebahagiaan dan kesejahteraan subjektif secara keseluruhan. Tingkat kebahagiaan umum berfluktuasi dari satu budaya ke budaya lain, begitu juga ekspresi kebahagiaan yang disukai. Membandingkan berbagai survei internasional di berbagai negara mengungkapkan bahwa negara-negara dan kelompok-kelompok etnis dalam negara memiliki rata-rata kepuasan hidup yang berbeda. Misalnya, seorang peneliti menemukan bahwa antara 1958–1987, kepuasan hidup orang Jepang berfluktuasi sekitar 6 pada skala 10-poin, sementara orang Denmark berfluktuasi sekitar 8.[111] Membandingkan kelompok etnis di Amerika Serikat, penelitian lain menemukan bahwa orang Eropa Amerika melaporkan mereka "lebih bahagia secara signifikan" dengan kehidupannya daripada orang Asia Amerika.[112] Peneliti telah menghipotesis beberapa faktor yang mungkin bertanggung jawab untuk perbedaan tersebut antar negara, termasuk perbedaan nasional dalam tingkat penghasilan umum, bias mementingkan diri sendiri dan peningkatan diri, dan orientasi pendekatan dan penghindaran.[113] Secara keseluruhan, penemuan tersebut mengusulkan bahwa walaupun ekstraversi-introversi memang memiliki hubungan kuat dengan kebahagiaan, itu bukan prediktor kepribadian subjektif satu-satunya, dan faktor lain harus dipertimbangkan ketika mencoba menentukan penentu kebahagiaan. Lihat pulaReferensi
Pranala luar
|