Psikologi positif pertama kali digagas pada tahun 1998 oleh Martin Elias Peter Seligman. Pemikiran-pemikiran di dalam psikologi positif amat dipengaruhi oleh pendekatan humanistik.[2] Kajian utamanya mengenai perilaku dan proses kejiwaan dari manusia.[3] Pandangan utama dari psikologi positif yaitu kebermaknaan harus menjadi sesuatu yang ada di dalam kehidupan.[4] Psikologi positif lebih mengutamakan pembahasan mengenai kelebihan dan kekuatan dibandingkan dengan kekurangan dan kelemahan manusia sebagai individu.[5] Lingkup pembahasan dalam psikologi positif pada dasarnya hanya mengenai peran manusia dalam artian positif. Pembahasan psikologi positif kemudian berkembang pada aspek lain yaitu biologi, personal, relasional, kelembagaan, budaya, dan dimensi kehidupan global.[6]
Sejarah
Psikologi positif merupakan salah satu bidang ilmu psikologi yang muncul sebagai akibat dari spesialisasi.[7] Gagasan awal mengenai psikologi positif telah ada dalam psikologi humanis. Pembahasannya meliputi penelitian, praktik dan teori mengenai kebahagiaan atau kehidupan yang positif dari individu. Gagasan-gagasan ini dikemukakan oleh beberapa tokoh, yaitu Abraham Maslow, Carl Roger dan Erich Fromm.[8]
Istilah "psikologi positif" diperkenalkan pertama kali dalam buku yang ditulis oleh Abraham Maslow. Buku ini berjudul Motivation and Personality. Istilah "psikologi positif" digunakan dalam bab terakhir dari buku tersebut sebagai bagian dari judul bab. Judul lengkap dari bab ini adalah “Toward a Positive Psychology”. Dalam bab ini, Maslow mengatakan bahwa potensi manusia tidak sepenuhnya akurat bila dipahami melalui psikologi. Perkembangannya juga cenderung tidak berubah. Maslow kemudian menjelaskan lebih lanjut bahwa keberhasilan psikologi adalah pada penjelasan mengenai sisi negatif manusia dan bukan pada sisi positif manusia. Menurut Maslow, psikologi terlalu banyak membahas tentang kekurangan, gangguan, dan dosa manusia. Namun, psikolgi hanya sedikit membahas tentang potensi manusia, bakat, aspirasi yang dapat diraihnya, atau kondisi psikologis tertingginya.[9]
Pada tahun 1988, Martin Elias Peter Seligman mengemukakan pendapatnya mengenai peran psikologi bagi kehidupan manusia. Psikologi dapat memberikan solusi kepada manusia dalam mencapai kehidupan yang bermakna. Kebermaknaan hidup ini dapat dicapai meskipun dunia berada dalam kondisi ketidak‐pastian dan persaingan. Salah satu organisasi ilmuwan internasional menerima gagasan ini, yaitu Asosiasi Psikologi Amerika. Pada tahun 1998 Seligman menjabat sebagai Presiden Asosiasi Psikologi Amerika. APA. Dalam konferensi tahunan Asosiasi Psikologi Amerika yang diadakan di San Fransisco pada tahun yang sama, Seligman mengatakan bahwa tugas kepresidenannya adalah menumbuhkan ilmu pengetahuan baru. Ia memperkenalkan ilmu pengetahun ini dengan nama psikologi positif.[10]
Ciri khas
Psikologi positif secara khusus membahas tentang emosi-emosi manusia yang bersifat positif. Perhatian utama dalam psikologi positif diberikan kepada upaya pemahaman dan penjelasan tentang kebahagiaan dan kesejahteraan subjektif. Psikologi positif menambahkan wawasan mengenai pengalaman manusia tanpa menghilangkan konsep mengenai penderitaan, kelemahan dan gangguan jiwa.[11] Keberadaan psikologi positif menjadi pelengkap bagi pelengkap pendekatan tradisional dalam mengurangi penderitaan dalam kehidupan manusia. Psikologi positif menjadi pelengkap bagi tradisi diagnosis dan pengobatan.[12]
Konsep
Kepuasan hidup
Kepuasan hidup sebagai salah satu kajian dalam psikologi positif, dikembangakn menggunakan ajaran-ajaran dari agama-agama besar di dunia. Agama-agama ini meliputi Islam, Kekristenan, agama Yahudi, agama Buddha dan agama Hindu.[13]
Potensi positif manusia
Psikologi positif mengambil gagasan-gagasan mengenai potensi positif manusia dari berbagai tradisi, agama, aliran keyakinan dan aliran filsafat yang pernah berkembang di dunia. Dalam tradisi Tiongkok, psikologi positif mengambil ajaran agama Konghucu dan Taoisme. Dari wilayah Asia Selatan, psikologi postitif mengambil ajaran agama Buddha dan agama Hindu. Psikologi positif juga mengambil ajaran dari para tokoh filsafat Yunani kuno khususnya Plato, Sokrates dan Aristoteles. Dari Dunia Barat, psikologi positif mengambil keyakinan agama Yahudi, Kekristenan dan Islam. Sedangkan dari Dunia Islam, psikologi positif mengambil gagasan dari pemikiran al-Farabi. Gagasan-gagasan ini kemudian dikumpulkan dan disatukan menjadi gagasan psikologi positif mengenai potensi manusia.[14]
Kebahagiaan sejati
Psikologi positif memberikan perhatian terhadap cara individu memanfaatkan kekuatan yang dimilikinya untuk menyelesaikan tugas yang bersifat tantangan. Tugas-tugas ini kemudian memberikan pengalaman yang membuat kehidupannya menjadi lebih bermakna. Kebermaknaan hidup akibat pengalaman ini dikenal sebagai kebahagiaan yang sejati.[15]
Peran kecerdasan emosional dalam psikologi positif
Kecerdasan emosional (EI) merupakan kemampuan untuk mengenali, memahami, mengelola, dan memanfaatkan emosi dengan bijaksana dalam kehidupan seharihari. Daniel Goleman, seorang ahli psikologi terkenal yang mempekenalkan konsep ini secara luas, menekankan bahwa kecakapan emosional memainkan peran penting dalam meningkatkan kebahagian, kesehatan mental, dan hubungan interpesonal seorang individu. Menurutnya kecerdasan emosional tidak hanya mendukung kemampuan kognitif seseorang, tetapi juga memberikan fondasi penting untuk keberhasilan hidup secara menyeluruh.
Kemampuan menata suasana hati
Goleman berpendapat bahwa suasana hati yang buruk dapat mempengaruhi cara seseorang berpikir dan mengingat sesuatu. Saat seseorang berada dalam keadaan emosi negatif, ingatannya cenderung terfokus pada pengalaman-pengalaman yang juga negatif, yang dapat menyebabkan bias dalam pengambilan keputusan. Individu yang berada dalam kondisi emosi yang tidak stabil seringkali mengambil keputusan yang telalu hati-hati atau didasari oleh rasa takut. Hal ini dapat menghambat mereka untuk bertindak dengan optimal, serta mengurangi kemampuan mereka untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Sementara itu, emosi yang lepas kendali dapat menghambat nalar dan pemikiran rasional. Dalam situasi seperti ini, seseorang mungkin bertindak impulsif, tanpa mempertimbangkan konsekuensi dari tindakan mereka. Namun kecerdasan emosional memungkinkan seseorang untuk menata kembali emosi yang keluar jalur, sehingga mereka dapat kembali berpikir jernih dan rasional. Dengan demikian, pegelolaan emosi yang baik merupakan fondasi bagi pengambilan keputusan yang lebih bijaksana dan tenang.
Kecakapan emosional sebagai induk kemampuan
Kecakapan emosional adalah induk kemampuan artinya ia merupakan kemampuan dasar yang mendasari berbagai bentuk kecerdasan lainnya. Misalnya, kecerdasan emosional dapat mengakomodasi kecerdasan dalam hal berpipkir positif, seperti harapan dan optimisme, yang merupakan faktor penting dalam menjaga kesehatan mental dan kebahagiaan.
Penelitian modern menunjukkan bahwa individu yang mempunyai harapan tinggi cenderung tidak terjebak dalalm kecemasan, kepasrahan, atau depresi. Orang dengan harapan yang kuat memiliki daya juang yang lebih baik, karena mereka percaya bahwa kesulitan dapat diatasi. Harapan lebih dari sekadar memberikan hiburan di tengah kesengsaraan. Harapan memainkan peran penting dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk prestasi belajar dan kemampuan untuk mengatasi tugas-tugas yang berat. Dari sudut pandang kecerdasan emosional, harapan dapat membuat seseorang tetap teguh meskipun menghadapi tantangan atau kemunduran.
Optimisme sebagai motivator utama psikologi positif
Optimisme merupakan salah satu kompenen penting dari kecerdasan emosional. Optimisme berfungsi sebagai motivator utama, yang menjaga seseorang agar tidak jatuh ke dalam rasa putus asa atau sikap masa bodoh ketika dihadapkan pada kesulitan. Seperti halnya harapan, optimisme juga memberikan keuntungan dalam kehiduapan, terutama dalam hal kemampuan seseorang untuk tetap bertahan dan berjuang mencapai tujuan mereka meskipun menghadapi berbagai hambatan.
Dari perspektik kecerdasan emosional, optimisme adalah sikap mental yang membantu seseorang mempertahankan semangat, bahkan disaat sulit. Optimisme dan harapan, yang merupakan kerabat dekat satu sama lain, dapat dipelajari dan dikembangkan. Goleman menjelaskan dasar dari keduanya adalah pendayagunaan diri yang merupakan keyakinan bahwa seseorang memiliki kendali atas peristiwa dalam hidupnya dan mampu menghadapi tantangan dengan percaya diri. Orang yang memiliki rasa pendayagunaan diri yang kuat akan lebih rela mengambil risiko dan menghadapi tantangan yang lebih berat, karena mereka yakin bahwa mereka dapat mengatasi rintangan tersebut.
Dampak kecerdasan emosional pada kesehatan mental
Kecerdasan emosional yang kuat sangat berpengaruh pada kesehatan mental dan hubungan interpersonal. Dengan mengembangkan kecakapan emosional, seseorang lebih mampu menghadapi stres, mengelola kecemasan, dan menghindari depresi. Individu dengan kecerdasan emosional yang lebih baik mampu memahami emosi mereka sendiri serta emosi orang lain, sehingga mereka lebih mahir dalam berkomunikasi dan membangun hubungan yang lebih baik.
Penerapan
Terapi kesejahteraan
Terapi kesejahteraan adalah sebuah metode intervensi yang memiliki kemampuan dalam meningkatkan kesejahteraan secara psikologi. Metode ini merupakan metode baru dalam psikologi dan menjadi bagian dari penerapan psikologi positif. Terapi kesejahteraan memberikan bantuan kepada individu untuk meningkatkan aspek positif dan mengembangkan kekuatan yang ada dalam dirinya. Proses peningkatannya dilakukan tanpa memperhatikan aspek negatif di dalam dirinya.[16]
Referensi
Catatan kaki
- ^ Yudhawati, Dian (2018). "Implementasi Psikologi Positif dalam Pengembangan Kepribadian Mahasiswa". Psycho Idea. 16 (2): 112. ISSN 1693-1076.
- ^ Garvin (21 April 2019). "Psikologi Positif". buletin.k-pin.org. Diakses tanggal 4 Maret 2022.
- ^ Nurfarhanah (2017). "Membangun Karakter dengan Terapi Positif" (PDF). Prosiding Semarak 50 Tahun Jurusan BK FIP UNP: 28.
- ^ Pamungkas, C., dkk. "Pengaruh Psikoterapi Positif terhadap Peningkatan Kesejahteraan Subjektif pada Wanita Dewasa Awal yang Belum Memiliki Pasangan". Jurnal Intervensi Psikologi. 9 (1): 7.
- ^ Augustiya, T., dkk. (2020). "The Bingah Scale: A Development of the Happiness Measurement Scale in the Sundanese". Jurnal Psikologi Islam dan Budaya. 3 (1): 61. ISSN 2615-8191.
- ^ Supratiknya, A. (2016). "Menegaskan Kedudukan Psikologi sebagai Ilmu dan Implikasinya terhadap Kurikulum Program Pendidikan Akademik Psikologi pada Jenjang S1, S2, dan S3 di Tanah Air" (PDF). Temu Ilmiah Nasional HIMPSI: Menelisik Perkembangan Psikologi Indonesia: 2.
- ^ Manurung, Rosida Tiurma (2010). "Kajian Maksim: Perilaku Tindak Tutur dengan Pendekatan Psikologi Positif" (PDF). Jurnal Sosioteknologi. 19 (9): 814.
- ^ Aulia, Farah (2015). "Aplikasi Psikologi Positif dalam Konteks Sekolah" (PDF). Seminar Psikologi dan Kemanusiaan: 121. ISBN 978-979-796-324-8.
- ^ Sumanto (2006). "Kajian Psikologis Kebermaknaan Hidup". Buletin Psikologi. 14 (2): 116.
- ^ Taufik (2012). "Positive Psychology: Psikologi Cara Meraih Kebahagiaan" (PDF). Prosiding Seminar Nasional Psikologi Islam 2012: 85.
- ^ Triwahyuningsih, Yeni (2015). "Children Well Being" (PDF). Seminar Nasional Educational Wellbeing: 21. ISBN 978-602-1180-20-4.
- ^ Diponegoro, Ahmad Muhammad (2008). Psikologi Konseling Islami dan Psikologi Positif (PDF). Yogyakarta: UAD Press. hlm. 178. ISBN 979-3812-08-7.
- ^ Hude, M. D., dkk. (2010). "Fondasi Psikologi Positif Qur'ani:Character Strengths dan Virtuedalam Tinjauan Psikologi Positif dan Al-Qur'an". Jurnal Al-Qalb. 11 (2): 68. ISSN 2085-8647.
- ^ Nihayah, U., dkk. (2021). "Konsep Memaafkan dalam Psikologi Positif". Konsep Memaafkan dalam Psikologi PositifIndonesian Journal of Counseling and Development. 3 (2): 113.
- ^ Hartato, I., dkk. (2017). "Terapi Well-Being untuk Meningkatkan Psychological Well-Being pada Remaja yang Tinggal di Panti SosialBina Remaja X". Jurnal Psikologi Psibernetika. 10 (1): 22.
Daftar pustaka
- Sarmadi, Sunedi (2018). Nurjan, Syarifan, ed. Psikologi Positif (PDF). Yogyakarta: Penerbit Titah Surga. ISBN 978-602-6981-70-7.
- Goleman, Daniel (1996). EMOTIONAL INTELLIGENCE Kecerdasan Emosional Mengapa EI Lebih Penting daripada IQ (terjemahan bahasa Indonesia). Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, ISBN 978-602-03-2313-8