Darurat militer Korea Selatan 2024
Pada tanggal 3 Desember 2024 pukul 22:27 Waktu Standar Korea (20:27 WIB), Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol mengumumkan darurat militer dalam pidato larut malam yang disiarkan langsung di televisi YTN. Dalam pernyataannya, ia menuduh Partai Demokrat, yang memiliki suara mayoritas di Majelis Nasional, bersimpati dengan Korea Utara dan melakukan 'aktivitas antinegara', yang selanjutnya mengecap mereka sebagai organisasi kriminal yang bekerja sama dengan komunis untuk menghancurkan negara. Perintah tersebut mencakup larangan segala kegiatan politik termasuk kegiatan Majelis Nasional, dan penangguhan kebebasan pers. Deklarasi tersebut ditentang oleh Partai Demokrat dan Partai Kekuatan Rakyat yang saat itu merupakan partai berkuasa di negara tersebut, dan mengakibatkan aksi unjuk rasa besar-besaran. Sekitar pukul 01:01 dini hari WSK tanggal 4 Desember (3 Desember pukul 23:01 WIB), anggota parlemen yang hadir di Majelis Nasional dengan suara bulat meloloskan mosi untuk mencabut darurat militer dengan perolehan suara 190-0 meskipun ada upaya oleh pasukan keamanan untuk mencegah pemungutan suara. Yoon kemudian mencabut darurat militer setelah rapat Kabinet pada tanggal 4 Desember pukul 04:30 dini hari WSK (02:30 WIB), dan Komando Darurat Militer kemudian dibubarkan. Setelah darurat militer dicabut, pihak oposisi menyatakan bahwa mereka akan memulai proses pemakzulan terhadap Yoon jika ia tidak mengundurkan diri. Latar belakangKorea Selatan menganut sistem pemerintahan presidensial berdasarkan Konstitusi Korea Selatan 1987, yang menggantikan sistem parlementer dan semipresidensial yang sebelumnya dianut di zaman Republik Kedua dan Keempat Korea Selatan. Yoon Suk Yeol, anggota Partai Kekuatan Rakyat yang konservatif dan mantan Jaksa Agung, menjabat sebagai Presiden Korea Selatan setelah kemenangannya dalam Pemilihan Presiden 2022.[2] Pemerintahannya memiliki tingkat elektabilitas yang rendah, mencapai 17%, dengan survei bulan November 2024 menunjukkan 58% jumlah penduduk menuntut Yoon mengundurkan diri atau dimakzulkan.[3] Dia kesulitan mewujudkan agenda pemerintahannya karena adanya pertentangan dari Majelis Nasional, yang telah dikendalikan oleh Partai Demokratik sejak Pemilihan legislatif Korea Selatan 2020. Dalam Pemilihan Umum Legislatif April 2024, partai oposisi mempertahankan suara mayoritas di parlemen akan tetapi masih kekurangan jumlah anggota yang dibutuhkan (200 dari 300 orang) untuk memakzulkan Presiden.[4] Yoon memboikot pembukaan Majelis Nasional meskipun hal ini merupakan kebiasaan bagi presiden untuk menyampaikan pidato di acara tersebut.[5] Yoon juga menentang penyelidikan skandal yang melibatkan istrinya Kim Keon-hee dan berbagai pejabat tinggi,[6] memveto rancangan undang-undang pada tiga kesempatan terpisah yang menyerukan penyelidikan penasihat khusus terhadap istrinya, dimana hak veto yang ketiga terjadi pada 26 November 2024.[7] Parlemen yang dikuasai oposisi juga telah bergerak untuk memakzulkan Ketua Badan Audit dan Inspeksi Choe Jae-hae dan tiga jaksa yang terlibat dalam dua skandal yang melibatkan Kim pada tanggal 2 Desember tahun itu,[8] dan menolak usulan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).[9] Kim Yong-hyun, selama sidang konfirmasinya untuk Menteri Pertahanan Nasional di Majelis Nasional pada tanggal 2 September 2024, ditanya oleh anggota oposisi apakah ia akan mengumumkan darurat militer. Ia menepis pertanyaan itu, dengan mengatakan, "Menurut saya, pembicaraan tentang darurat militer sudah ketinggalan zaman. Jika diumumkan, siapa yang akan menerimanya? Apakah menurut Anda militer akan mematuhi perintah itu?" Selama tiga bulan berikutnya, ia diduga merencanakan pemerintahan militer di bawah darurat militer.[10] Ini adalah pertama kalinya darurat militer diberlakukan di Korea Selatan sejak Kudeta militer 17 Mei 1980 pasca pembunuhan mantan Presiden Park Chung Hee, dan pertama kali deklarasi tersebut diberlakukan sejak Pergolakan pro-Demokrasi pada bulan Juni 1987.[11] Ini adalah deklarasi darurat militer yang ke-17 sejak berdirinya Republik Korea (ROK) pada tahun 1948.[12] Berdasarkan Pasal 77 Konstitusi Korea Selatan, ketika mendeklarasikan darurat militer, presiden harus segera memberi tahu Majelis Nasional. Hal ini memungkinkan tindakan diambil untuk membatasi kebebasan, termasuk perlunya surat perintah penangkapan, hak imunitas anggota parlemen, dan termasuk diantaranya pembatasan kebebasan berbicara dan kebebasan berkumpul. Majelis Nasional berhak memberikan suara dan jika berhasil mengajukan tuntutan yang mengikat kepada presiden untuk membatalkan darurat militer.[13][14] PeristiwaWikisumber memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:
Situasi sebelum pemberlakuan darurat militerPada pukul 17:00 WSK, Unit pasukan khusus di bawah Komando Perang Khusus Angkatan Darat Republik Korea, seperti Grup Misi Khusus ke-707 dan Brigade Misi Khusus ke-13 menerima perintah untuk mempersiapkan kegiatan di area terpencil. Brigade Misi Khusus ke-707 menerima pesan untuk mempersiapkan pelaksanaan operasi sebenarnya dengan helikopter, dan pengerahan pasukan akan dilakukan atas perintah menteri pertahanan. Alasan yang digunakan adalah "Situasi serius yang terkait dengan Korea Utara." Seorang pejabat militer, dengan syarat anonim, melaporkan tidak ada pergerakan oleh militer Korea Utara pada saat itu, yang merupakan hal yang biasa dilakukan oleh unit pasukan khusus.[15][16] Dilaporkan pada pukul 18:20 WSK, Kepala Kepolisian Nasional Korea Selatan Komisaris Cho Ji-ho dilaporkan menerima perintah dari Kantor Kepresidenan untuk "bersiaga". Pada penyelidikan komite berikutnya oleh Majelis Nasional pada tanggal 5 Desember, Komisaris Cho mengklaim bahwa ia tidak mengetahui rencana darurat militer tersebut hingga diumumkan.[17] Pada pukul 21:50 WSK, stasiun televisi dan radio menerima pesan yang mengatakan, "Akan ada pengumuman darurat dari pemerintah, silakan terhubung dengan siaran langsung". Namun, wartawan yang meliput Kantor Kepresidenan dilarang memasuki ruang konferensi pers, tempat dimana pengarahan Presiden atau juru bicaranya dilakukan.[18] Deklarasi Darurat MiliterPada 3 Desember 2024 pukul 22:22 WSK (20:22 WIB), Presiden Yoon Suk Yeol mengumumkan darurat militer. Dalam pidato yang disiarkan di seluruh stasiun televisi nasional di negara tersebut, Yoon menuduh pihak oposisi "berusaha menggulingkan demokrasi bebas" dengan memakzulkan anggota kabinet dan menghalangi rencana anggarannya. Ia meminta warga untuk percaya padanya dan menoleransi "beberapa ketidaknyamanan",[19][20] dan juga mengklaim adanya konspirasi Pro-Korea Utara terhadap Pemerintah Korea Selatan.[21] Ini adalah pertama kalinya darurat militer diberlakukan di Korea Selatan sejak tahun 1979,[11] pasca Kudeta 12 Desember yang melahirkan pemerintahan diktator Chun Doo-hwan.[22][23] The Korea Times melaporkan bahwa rekomendasi Perdana Menteri Han Duck-soo dikesampingkan dalam deklarasi tersebut, menambahkan bahwa langkah tersebut tampaknya telah dilakukan setelah adanya komunikasi langsung antara Presiden Yoon dan menteri pertahanannya Kim Yong-hyun. Keduanya disebut sebagai "faksi Chungam" karena Kim merupakan kakak kelas Yoon di Sekolah Menengah Chungam di Seoul.[24] Kementerian Pertahanan kemudian mengidentifikasi Kim sebagai orang yang mengusulkan deklarasi tersebut kepada Yoon selama rapat kabinet pada tanggal 3 Desember.[25][26] Pada pertemuan tersebut, yang berlangsung sesaat sebelum pengumuman resmi darurat militer, mayoritas dari 19 anggotanya "sangat menentang" keputusan tersebut tetapi diabaikan oleh Yoon.[27] Menurut Kentor Berita Yonhap, Menteri Pertahanan Kim Yong-hyun memerintahkan pertemuan dengan ketua Kepala Staf Gabungan Laksamana Kim Myung-soo.[28][29] Yoon kemudian melantik Park An-su as komandan darurat militer.[30] Menyusul deklarasi darurat militer, pemerintah mengatakan bahwa aktivitas di lembaga pendidikan dan layanan transportasi akan tetap beroperasi seperti biasa.[31][32] DekretPada 3 Desember 2024 pukul 23:00 WSK (21:00 WIB), Park An-soo dari Komando Darurat Militer mengeluarkan dekret berikut terkait darurat militer:[33][34][35]
Pemungutan Suara Majelis NasionalSetelah pengumuman darurat militer, sekitar 280[36] sampai 300[26] Personel militer memasuki gedung Majelis Nasional dan mencoba memasuki aula utama, tempat pemungutan suara berlangsung. Sebagai tanggapan, pejabat partai menyemprot mereka dengan alat pemadam kebakaran dan berhasil menghentikan mereka masuk. Beberapa tentara mencoba masuk melalui lantai empat, tetapi dihentikan oleh karyawan.[37] Juru bicara Partai Demokrat, An Gwi-ryeong terlihat berusaha merebut senapan dari seorang prajurit sebelum prajurit tersebut mengarahkannya sebentar ke arahnya, yang mengakibatkan dirinya memarahi prajurit tersebut.[38] Dia kemudian mengatakan kepada BBC Korean Service bahwa “Saya tidak berpikir… Saya hanya tahu kita harus menghentikan ini.”[39] Tentara memecahkan jendela beberapa kantor anggota parlemen, sementara beberapa orang terluka selama bentrokan di dalam gedung.[40] Akhirnya, para prajurit tidak dapat mengakses ruang sidang utama, yang pintu masuknya dibarikade menggunakan perabotan yang dipasang oleh staf.[38] Setidaknya tiga helikopter juga mendarat di lokasi titik berkumpul sementara dua lainnya terlihat melayang di atasnya.[4] Tank terlihat di jalanan pusat kota,[41] sementara komando darurat militer juga memerintahkan pengusiran korps pers kantor kepresidenan dari gedungnya di Seoul.[42] Konfrontasi terjadi di gerbang utama kompleks Majelis Nasional antara aparat keamanan dan warga sipil.[43] The Korea Times dan partai-partai oposisi mengidentifikasi unit-unit pasukan keamanan yang terlibat dalam penyerbuan di pertemuan tersebut sebagai Brigade Pasukan Khusus Lintas Udara ke-1 dari Komando Perang Khusus Angkatan Darat dan Agensi Kepolisian Metropolitan Seoul, sedangkan Badan Kepolisian Nasional diyakini telah dilewati oleh deklarasi tersebut.[24] Badan Kepolisian Nasional mengumumkan Keadaan Darurat Level B.[44] Kyunghyang Shinmun menerbitkan gambar tentara di samping kotak-kotak yang tampaknya berisi peluru tajam dan amunisi pada pertemuan tersebut.[45] Demonstrasi menolak darurat militer juga diselenggarakan di Gwangju.[46] Semua partai utama, termasuk Partai Kekuatan Rakyat dimana Presiden Yoon menjadi anggotanya, menentang langkah tersebut. Pemimpin PPP Han Dong-hoon berkata: "Pernyataan darurat militer presiden itu salah. Kami akan menghentikannya bersama rakyat."[47] Wali kota Seoul, Oh Se-hoon, yang juga merupakan anggota PPP, mengatakan ia menentang deklarasi Yoon.[48] Lee Jae-myung, pemimpin partai oposisi Partai Demokrat, mendesak warga untuk berkumpul di Majelis Nasional dan menyatakan bahwa Yoon "bukan lagi presiden Korea Selatan"; Lee difilmkan memanjat pagar gedung Majelis Nasional untuk masuk ke dalam, setelah tentara memblokir pintu masuk.[49] Pemimpin Partai Membangun Kembali Korea Cho Kuk juga menyebut deklarasi darurat militer itu "ilegal" dan mengatakan hal itu memenuhi syarat untuk pemakzulan Yoon dan menteri pertahanan Kim Yong-hyun.[50] Konfederasi Serikat Buruh Korea, kelompok serikat buruh terbesar di negara tersebut menyerukan mogok kerja nasional untuk membatalkan deklarasi darurat militer dan memakzulkan presiden.[51] Sebaliknya, beberapa tokoh konservatif mendukung deklarasi darurat militer. Beberapa diantaranya adalah mantan Perdana Menteri Hwang Kyo-ahn, yang menyerukan penangkapan Ketua Majelis Nasional Woo Won-shik dan Han Dong-hoon. Wali kota Daegu, Hong Joon-pyo, tanpa secara eksplisit menyatakan pendapatnya, mengatakan bahwa ia memahami "kesetiaan Yoon" sambil menggambarkan tindakannya sebagai "membuat keributan" dan "gegabah".[52] Para pengunjuk rasa bentrok dengan polisi di luar Gedung Majelis Nasional.[53] Ketua Majelis Nasional Woo Won-shik meminta semua anggota parlemen untuk berkumpul di Majelis Nasional.[4] Partai Demokrat Cabang Incheon mengkritik langkah tersebut sebagai awal dari "era kediktatoran Yoon".[54] Para anggota parlemen bermanuver di sekitar barikade polisi untuk memasuki Majelis Nasional. Lee Seong-yoon dari Partai Demokrat menyiarkan langsung dirinya memanjat pagar setinggi 1,5 m (4 ft 11 in) untuk mendapatkan akses masuk.[55][56] Majelis Nasional memulai sidang darurat pada tanggal 4 Desember pukul 00:48 dini hari WSK (3 Desember pukul 22:48 WIB).[57] Pada pukul 01:00 dini hari (3 Desember pukul 23:00 WIB),[58] Majelis Nasional, yang dihadiri 190 dari total 300 anggota parlemen, memberikan suara bulat untuk mencabut darurat militer.[21] Mereka yang mendukung pencabutan darurat militer terdiri dari 172 anggota parlemen dari partai oposisi dan 18 anggota lainnya dari PPP.[59] Setelah pemungutan suara, Ketua Majelis Nasional Woo Won-shik meminta militer meninggalkan Majelis Nasional, sementara Lee Jae-myung mengatakan bahwa Partai Demokrat akan tetap berada di Majelis Nasional sampai presiden mencabut darurat militer.[60][61] Mereka juga bergabung dengan anggota PPP.[57] AkibatUsai pemungutan suara, sejumlah prajurit yang bertugas terlihat mulai meninggalkan gedung Majelis Nasional,[62] dan kantor Ketua Majelis Nasional kemudian mengatakan bahwa pasukan tersebut sudah meninggalkan Majelis Nasional pada tanggal 4 Desember pukul 01:18 dini hari WSK (3 Desember pukul 23:18 WIB).[63][64] Pasukan lain mulai mendorong mundur kerumunan pengunjuk rasa yang berkumpul di sana,[65] yang berumlah 2.000 demonstran.[37] Demonstran juga mulai menyerukan Penangkapan dan Pemakzulan Yoon.[65][66] Lee Jae-myung mengatakan deklarasi darurat militer dilakukan tanpa persetujuan kabinet[67] dan anggota pasukan keamanan yang terus mematuhi perintah darurat militer Yoon melakukan "tindakan ilegal".[68] Kementerian Pertahanan mengatakan bahwa darurat militer akan tetap berlaku sampai dicabut secara resmi oleh presiden.[69][70] Pencabutan darurat militerDalam pidato yang disiarkan televisi pada pukul 04:27 dini hari WSK (02:27 WIB), Yoon mengumumkan bahwa ia akan mencabut darurat militer segera setelah kuorum dapat diperoleh untuk rapat kabinet, dan bahwa ia telah menarik personel militer dari Majelis Nasional.[71] Sekitar pukul 04:30 dini hari WSK (02:30 WIB), para anggota kabinet menyetujui usulan pencabutan darurat militer.[72] Komando Darurat Militer juga dibubarkan.[73][74] Setelah pencabutan darurat militer, Partai Demokrat mengadakan pertemuan darurat di Majelis Nasional, mengumumkan bahwa mereka akan memulai proses pemakzulan jika Yoon tidak mengundurkan diri dari jabatannya. Dalam sebuah resolusi, disebutkan bahwa "pernyataan darurat militer oleh Yoon merupakan pelanggaran yang jelas terhadap Konstitusi", dan menambahkan bahwa itu adalah "tindakan pemberontakan yang serius dan alasan yang tepat untuk pemakzulan".[75] AnalisisDominic Waghorn dari Sky News mencatat dari pengamatan awal bahwa militer tampaknya tidak siap untuk menegakkan darurat militer dan menduga bahwa Yoon bertindak secara sepihak.[76] Majalah The Economist menggambarkan peristiwa tersebut sebagai krisis konstitusional.[77] BBC News melaporkan seorang warga membandingkannya dengan Kudeta Myanmar 2021.[78] Hal ini dapat dibandingkan dengan Penyerbuan Gedung Capitol Amerika Serikat tanggal 6 Januari 2021, dimana seorang pakar mengatakan bahwa dampak deklarasi tersebut terhadap politik Korea Selatan dan reputasinya akan jauh lebih buruk daripada apa yang terjadi di Amerika Serikat.[79] Youngshik Bong, penasihat Kementerian Unifikasi Korea Selatan dan profesor tamu di Universitas Yonsei, mengatakan bahwa penerapan darurat militer harus diterapkan pada situasi yang paling serius, seperti perang. Dia menambahkan bahwa hal ini akan menjadi bumerang bagi presiden karena "pemakzulannya benar-benar sudah direncanakan sekarang".[80] Majalah Foreign Policy dan ilmuwan politik Sidney Tarrow sama-sama menggambarkan peristiwa tersebut sebagai swakudeta.[81][82] ResponPasar saham dan valasPengumuman darurat militer tersebut menimbulkan kejutan dan kepanikan di kalangan masyarakat Korea Selatan karena sifatnya yang tiba-tiba.[83] Setelah pengumuman tersebut, nilai tukar won turun menjadi 1.444,93 per dolar AS, nilai terendah dalam 25 bulan; kemudian pulih ke sekitar 1.416,31 per satu dolar AS, masih turun dari nilai tertinggi hari sebelumnya di 1.403 per dolar AS.[84][85] Indeks iShares MSCI ETF Korea Selatan turun sebesar 5%. Franklin FTSE ETF Korea Selatan turun 4,4% dan Matthews Korea Active ETF turun 4,5%.[86]Reuters melaporkan bahwa: "Seorang pejabat bank sentral Korea Selatan Bank Korea mengatakan bahwa pihaknya sedang mempersiapkan langkah-langkah untuk menstabilkan pasar jika diperlukan. Menteri Keuangan dan Wakil Perdana Menteri Choi Sang-mok mengadakan pertemuan darurat di antara para pejabat ekonomi tinggi."[9] DomestikPemimpin Sidang Majelis Nasional Choo Kyung-ho mengatakan dia tidak mengetahui keputusan tersebut dan hanya mengetahuinya dari berita media massa.[87] Inspektur Jenderal Kementerian Hukum, Ryu Hyuk, mantan jaksa yang diangkat pada posisi tersebut pada tahun 2020 mengundurkan diri sebagai bentuk protes setelah tiba di gedung kementerian untuk menghadiri pertemuan mengenai darurat militer yang diselenggarakan oleh Menteri Hukum Park Sung-jae .[88][89] Tak lama setelah Yoon mencabut darurat militer pada 4 Desember, pihak oposisi mulai mempertimbangkan untuk memakzulkan Yoon.[90][91] Beberapa analis Korea Selatan menggambarkan episode ini sebagai swakudeta untuk merebut kekuasaan.[81] Akibatnya, puluhan ajudan Yoon mengundurkan diri secara massal.[92] Di hari yang sama, Mahkamah Agung Korea Selatan mengumumkan pihaknya akan menyelidiki apakah pernyataan darurat militer yang dibuat Yoon itu ilegal atau tidak, mengingat ia gagal mematuhi berbagai ketentuan wajib mekanisme darurat militer, seperti memberi tahu kabinet dan legislatif bahwa mekanisme itu akan digunakan.[93] Saat pertemuan pimpinan Partai Kekuatan Rakyat, mereka membahas pemberhentian Yoon dari keanggotaan partai .[94] PPP juga mendesak pencopotan menteri pertahanan Kim Yong-hyun setelah dipastikan bahwa Kim telah mengusulkan deklarasi darurat militer kepada Yoon.[95] Partai Demokrat kemudian mengonfirmasi bahwa mereka akan memulai proses pemakzulan terhadap Yoon, bersama dengan Kim Yong-hyun dan Menteri Dalam Negeri Lee Sang-min pada tanggal 5 Desember jika Yoon tidak mengundurkan diri.[96] Kim kemudian meminta maaf dan bertanggung jawab atas tindakan tentara tersebut. Ia juga mengajukan pengunduran dirinya kepada Presiden.[97] Pada siang hari, Perdana Menteri Han Duck-soo mengadakan pertemuan dengan para pembantu Yoon yang tersisa dan para pemimpin partai politik untuk membahas dampak dari deklarasi darurat militer.[98] Reaksi atas darurat militer tidak hanya terjadi di dunia politik, melainkan juga di dunia hiburan, pendidikan, dan sosial. Seketika setelah Presiden Yoon mencabut darurat militer, semua surat kabar utama di Korea Selatan dengan suara bulat mengutuk Yoon dan menyerukan penangkapannya. Mereka mengatakan darurat militer itu ilegal, dan tindakan ini merupakan upaya untuk mengulangi kudeta brutal tahun 1980-an.[99] Pada saat yang sama, sejumlah selebriti Korea Selatan juga mengecam Yoon.[100] Di lingkup organisasi keagamaan, Konferensi Uskup Katolik Korea, Gereja Metodis Korea, Dewan Gereja Nasional di Korea dan Pusat Hak Asasi Manusia Gereja Korea mengkritik keras deklarasi darurat militer, sementara organisasi ulama Buddha Won menyerukan pemakzulan Yoon Suk-yeol.[101] Di lingkup dunia pendidikan, sebuah deklarasi bersama ditandatangani oleh 370 profesor dan peneliti di Universitas Korea yang menyerukan pemakzulan Presiden Yoon.[102] Proses pemakzulanPada 4 Desember pukul 14:40 WSK (12:40 WIB), pihak oposisi mengumumkan niatnya untuk mengajukan mosi untuk memakzulkan Yoon.[103] Di saat itu, sekitar 190 anggota Majelis Nasional dari enam partai oposisi menyerahkan mosi pemakzulan, dimana mosi tersebut akan didiskusikan pada sidang paripurna parlemen pada keesokan harinya serta merencanakan pemungutan suara antara tanggal 6 atau 7 Desember.[104] Setelah sebelumnya menyerukan aksi mogok nasional hingga darurat militer dicabut dan Yoon dimakzulkan,[51] Konfederasi Serikat Buruh Korea menyerukan mogok nasional tanpa batas waktu hingga Yoon mengundurkan diri sebagai Presiden.[104] Karena Kim Yong-hyun mengusulkan darurat militer kepada Yoon, proses pemakzulan juga disiapkan terhadap Kim, dimana Partai Demokrat bermaksud untuk mengajukan tuntutan pidana terhadapnya. Juru bicara utama Partai Demokrat, Jo Seoung-lae, mengeluarkan pernyataan yang mengatakan "DPK akan menghukum darurat militer yang tidak konstitusional dan ilegal dari pemerintahan Yoon [...] Kami mendesak lembaga penegak hukum untuk segera meluncurkan penyelidikan atas kasus pengkhianatan yang kini diketahui seluruh negara dan membawa para pelakunya ke pengadilan."[10] Lihat pulaReferensi
Pranala luar
|