Tujuh langit bersatu dengan tujuh benda penerang atau tujuh benda langit yang pada Abad Kuno disebut "bintang-bintang siarah" (bahasa Yunani: πλάνητες ἀστέρες, planētes asteres), yakni bulan, bintang utarid (Merkurius), bintang kejora (Venus), matahari, bintang marikh (Mars), bintang mustari (Yupiter), dan bintang zuhal (Saturnus). Para Ahli falak Abad Kuno mengetahui bahwa ketujuh benda langit tersebut melintasi cakrawala dengan kecepatan yang berbeda satu sama lain dan berbeda dari bintang-bintang sejati. Tidak seperti bintang berekor yang muncul tanpa diduga-duga, bintang-bintang siarah bergerak secara teratur sehingga kemunculannya dapat diprakirakan.[2] Ahli falak Abad Kuno juga mengetahui bahwa benda-benda langit mempengaruhi benda-benda di bumi, misalnya pergerakan matahari mempengaruhi perilaku tumbuh-tumbuhan dan pergerakan bulan mempengaruhi pasang-surut air laut.
Gagasan tujuh langit yang berkembang di Mesopotamia kuno mewakili gagasan fisis maupun gagasan metafisis.[3] Dalam bahasa Sumer, kata untuk langit (atau angkasa) adalah An dan kata untuk bumi adalah Ki.[4] Bangsa Mesopotamia kuno menganggap langit adalah berlapis-lapis kubah (biasanya tiga lapis, tetapi kadang-kadang tujuh lapis) yang menudungi hamparan bumi.[5]:180 Tiap lapisan terbuat dari satu jenis batu mulia.[5]:203 Kubah terendah terbuat dari permata nefrit dan merupakan tempat kediaman bintang-bintang.[6] Kubah tengah terbuat dari permata sagilmut dan merupakan tempat kediaman para Igigi.[6] Kubah tertinggi sekaligus terluar terbuat dari permata luludānītu dan dipersonifikasi sebagai An, dewa angkasa.[7][6]Benda-benda langit juga dipersonifikasi sebagai dewa atau dewi tertentu.[5]:203 Planet Venus dipercaya sebagai Inana, dewi asmara, sanggama, dan peperangan.[8]:108–109[5]:203Matahari dipercaya sebagai Utu, dewa keadilan, kembaran dampit Inana.[5]:203Bulan dipercaya sebagai Nana, ayah Inana dan Utu.[5]:203 Manusia biasa tidak dapat naik ke langit karena langit adalah tempat kediaman khusus dewa-dewi.[9] Jika seseorang meninggal dunia, jiwanya berpindah ke Kur (kemudian hari disebut Irkala), pratala gelap redup yang berada jauh di bawah muka bumi.[9][10]Jampi-jampi bangsa Sumer dari akhir milenium ke-2 Pramasehi merujuk kepada gagasan tujuh petala langit dan tujuh petala bumi. Salah satu di antaranya adalah jampi "an-imin-bi ki-imin-bi" (langit bertujuh bumi bertujuh).[1][11]
Pemahaman bahwa langit dapat mempengaruhi benda-benda di bumi melahirkan anggapan bahwa angka tujuh adalah angka surgawi, keramat, atau berkekuatan sihir, seperti yang tampak pada kisah-kisah tentang tujuh roh jahat, tujuh gereja, tujuh roh, maupun tujuh takhta. Angka tujuh kerap muncul di dalam ritual-ritual sihir bangsa Babel.[12] Gagasan tujuh petala langit dalam agama Yahudi dan agama Islam mungkin saja bersumber dari ilmu falak Babel.[1]
Di dalam agama Mesopotamia, pada umumnya langit dianggap bukanlah tempat bagi manusia, sebagaimana yang tersirat dari ucapan Gilgames kepada sahabatnya, Enkidu, dalam wiracarita Gilgames: "Siapatah yang sanggup naik ke langit, Kawan? Dewa-dewi jua yang tinggal bersama Syamas selama-lamanya". Seperti gagasan tujuh petala langit, gagasan tiga petala langit juga tidak asing di Mesopotamia pada Abad Kuno.[13]
Agama Abrahamik
Agama Yahudi
Talmud memuat pandangan bahwa sebelah atas jagat raya terbagi menjadi tujuh petala langit (syamayim), yaitu:[14]
Sastra Merkavah dan Hekhalot merupakan jenis sastra Yahudi yang khusus membahas hal-ihwal ketujuh petala langit tersebut, adakalanya dihubung-hubungkan dengan tradisi-tradisi pengajaran yang dikaitkan dengan tokoh Henokh, misalnya Kitab Henokh III.[15]
Nas-nas apokrip
Kitab Henokh II, yang ditulis pada abad pertama Masehi, mengisahkan perjalanan gaibHenokh menembus sepuluh petala langit. Henokh melewati taman Eden di langit ketiga dalam perjalanannya ke langit kesepuluh untuk bertatap muka dengan Allah (bab 22). Sepanjang perjalanan, ia berjumpa dengan populasi-populasi malaikat yang menyiksa para pendosa. Ia melihat rumah-rumah, minyak zaitun, dan bunga-bungaan.[16]
Penggambaran sepuluh petala langit di dalam Kitab Henokh II tampaknya adalah hasil pengembangan gagasan kuno tentang tujuh petala langit. Kosmologi yang diperluas ini dikembangkan lebih lanjut di dalam agama Kristen pada Abad Pertengahan.
Aku tahu tentang seorang Kristen; empat belas tahun yang lampau, - entah di dalam tubuh, aku tidak tahu, entah di luar tubuh, aku tidak tahu, Allah yang mengetahuinya - orang itu tiba-tiba diangkat ke tingkat yang ketiga dari sorga. Aku juga tahu tentang orang itu, - entah di dalam tubuh entah di luar tubuh, aku tidak tahu, Allah yang mengetahuinya - ia tiba-tiba diangkat ke Firdaus dan ia mendengar kata-kata yang tak terkatakan, yang tidak boleh diucapkan manusia.
Uraian ini biasanya dipahami sebagai penuturan si penulis tentang pengalaman pribadinya dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga, dan terkesan mencerminkan keyakinan umat Yahudi maupun umat Kristen pada abad pertama bahwa alam Firdaus bukan berlokasi di petala langit tertinggi melainkan di petala langit lainnya. Kesan semacam ini mungkin dapat didukung dengan makna kata Yunani pada nas tersebut dalam bahasa asli yang diterjemahkan menjadi "tiba-tiba diangkat" (terjemahan "tiba-tiba dilarikan" lebih mendekati makna kata Yunaninya daripada terjemahan "tiba-tiba diangkat").[17]
Pada abad ke-2 Masehi, Ireneus juga mengenal gagasan tujuh petala langit (baca Demonstrasi Pewartaan Apostolik 9; bdk. Melawan Bidat-Bidat 1.5.2).
Alquran dan Hadis berulang kali menyebut-nyebut keberadaan tujuh samāwāt (سماوات), bentuk jamak dari kata samāʾ (سماء), artinya 'langit, angkasa, cakrawala', dan berkerabat dengan kata Ibrani syamāyim (שמים). Tiga di antara ayat-ayat Alquran yang menyebut-nyebut samāwāt[18] adalah ayat ke-12 Surah Fussilat,[19] ayat ke-12 Surah At-Talaq,[20] dan ayat ke-15 Surah Nūh.[21]
Ada dua macam tafsir mengenai penggunaan angka "tujuh". Menurut salah satu tafsir, angka "tujuh" hanya berarti "banyak" sehingga tidak boleh dimaknai secara harfiah (angka tujuh kerap digunakan untuk mengisyaratkan jumlah yang besar di dalam bahasa Arab).[22] Meskipun demikian, ada banyak mufasir lain yang memaknainya secara harfiah.
Menurut salah satu tafsir modern tentang samāwāt, semua bintang dan galaksi (termasuk Galaksi Bimasakti) adalah bagian dari "langit pertama", dan "sesudah keenam petala langit selebihnya masih ada lagi alam-alam lebih besar" yang belum ditemukan para ilmuwan.[22]
Di dalam sumber-sumber lain, gagasan tujuh petala langit disajikan dengan makna metaforis. Tiap-tiap petala digambarkan terbuat dari unsur tertentu dan dihuni nabi-nabi Islam tertentu.
Langit pertama terbuat dari air, dihuni Adam dan Hawa serta malaikat-malaikat tiap-tiap bintang. Menurut beberapa riwayat, Muhammad berjumpa dengan malaikat separuh api separuh salju (Malaikat Habib) di petala ini.[23]
Langit kedua terbuat dari mutiara-mutiara putih, dihuni Yahya dan Isa.
Langit ketiga terbuat dari besi (sumber lain mengatakan dari mutiara atau batu-batu mulia), dihuni Yusuf dan malaikat maut (Malaikat Izrail).[24]
Langit keempat terbuat dari kuningan (sumber lain mengatakan dari emas putih), dihuni Idris dan malaikat air mata (Malaikat Kasfiyail).
Langit keenam terbuat dari emas (sumber lain mengatakan dari permata delima dan mirah delima), dihuni Musa.[25]
Langit ketujuh, yang meminjam beberapa gambaran langit ketujuh dalam agama Yahudi, terbuat dari nur ilahi yang tak terselami insan fana (sumber lain mengatakan dari permata zamrud), dihuni Ibrahim, dan merupakan petala tempat tumbuhnya Sidratulmuntaha, pohon bidara raksasa penanda ujung langit ketujuh yang tak terlangkahi segala makhluk Allah, sekaligus penanda batas pengetahuan tentang langit.[26]
Agama Hindu
Menurut sejumlah Purana, Brahmanda (jagat raya) terdiri atas empat belas alam, tujuh lapis ke atas dan tujuh lapis ke bawah. Ketujuh lapis alam ke atas adalah Buloka (bumi), Buwarloka, Swarloka, Maharloka, Janarloka, Tapoloka, dan Satyaloka, sementara ketujuh lapis alam ke bawah adalah Atala, Witala, Sutala, Talatala, Mahatala, Rasatala, dan Patala.[27]
^Black, Jeremy; Green, Anthony (1992), Gods, Demons and Symbols of Ancient Mesopotamia: An Illustrated Dictionary, British Museum Press, ISBN0-7141-1705-6
^E. W. Bullinger, A Critical Lexicon and Concordance to the English and Greek, "2, 14, Ke "langit ketiga" dan "Firdaus" inilah Paulus tiba-tiba dilarikan, 2 Kor. xii. 2, 4, (bukan "diangkat", baca lema "tiba-tiba") dalam "penglihatan dan wahyu dari Tuhan", 2 Kor. xii. 1. Sesuatu tiba-tiba melarikan—dengan turunnya wahyu ganda tentang langit yang baru dan bumi yang baru..."
^Pickthall, M.M.; Eliasi, M.A.H. (1999). The Holy Qur'an (Transliteration in Roman Script). Laurier Books Ltd. ISBN81-87385-07-3.