True at First Light adalah buku karya novelis Amerika Ernest Hemingway mengenai safari tahun 1953–1954 yang ia laksanakan di Afrika Timur bersama istri keempatnya, Mary. Buku ini diterbitkan secara anumerta pada tahun 1999 memperingati seabad kelahiran Hemingway. Dalam bukunya, Hemingway menjelajahi perselisihan dalam pernikahan, konflik antara kebudayaan Eropa dan pribumi di Afrika, dan ketakutan yang seorang penulis rasakan saat ia tidak dapat berkarya. True at First Light berisi deskripsi mengenai persahabatan awalnya bersama penulis-penulis lain dan renungan digresif tentang alam penulisan.
Dalam kurun waktu dua hari pada Januari 1954, Hemingway dan Mary mengalami dua kecelakaan pesawat di semak Afrika. Ia dilaporkan meninggal dunia oleh pers internasional, meskipun ia masih hidup dan dapat menanggapi pertanyaan-pertanyaan wartawan di Entebbe. Keparahan luka-luka Hemingway belum sepenuhnya diketahui hingga ia kembali ke Eropa beberapa bulan setelahnya. Hemingway menghabiskan dua tahun berikutnya di Havana, memulihkan diri dan menulis naskah "buku Afrika", sebagaimana ia menyebutnya. Pada Juli 1961, ia wafat akibat bunuh diri tanpa berhasil merampungkan naskah tersebut. Mary menyumbangkan naskah-naskah Hemingway termasuk "buku Afrika" kepada Perpustakaan John F. Kennedy. Naskah tersebut kemudian dilepaskan kepada putra Hemingway, Patrick, pada pertengahan tahun 1990‑an. Patrick menyunting dan memangkas karya tersebut guna menguatkan alur cerita yang mendasarinya serta menitikberatkan aspek-aspek fiktif di dalamnya. Hasilnya, True at First Light, adalah perpaduan antara memoar dan fiksi.
Buku ini menerima ulasan-ulasan yang kebanyakan moderat sampai negatif dari pers populer, dan memicu kontroversi mengenai bagaimana, dan apakah, karya seorang pengarang seharusnya digarap kembali dan diterbitkan setelah kematiannya. Bertolak belakang dengan para kritikus populer, pengkaji Hemingway umumnya menganggap True at First Light sebagai tambahan yang kompleks nan hangat bagi kanon fiksi akhir sang novelis.
Latar belakang
Hemingway bersafari di Afrika pada tahun 1933 dengan istri keduanya, Pauline, dan amat terkesima oleh pengalamannya di sana. Kunjungan mereka pada saat itu mengilhami buku Green Hills of Africa(1935) dan cerpen "The Snows of Kilimanjaro"(1936), yang menjadi bagian-bagian terkenal dari kanon Hemingway.[1] Dua dasawarsa kemudian pada tahun 1952, setelah selesai menulis The Old Man and the Sea(Lelaki Tua dan Laut; 1952), ia merencanakan sebuah perjalanan ke Afrika untuk mengunjungi putranya, Patrick, yang tinggal di Tanganyika. Ketika majalah Look menawarkan untuk mengirimkannya ke Afrika, membayar $15.000 untuk pengeluaran, $10.000 untuk hak atas karangan sepanjang 3.500 kata mengenai trip tersebut, serta Earl Theisen sebagai juru potret yang akan mengiringinya, Hemingway segera mengiakan. Hemingway dan Mary meninggalkan Kuba pada bulan Juni, pertama-tama bepergian menuju Eropa guna bersiap sebelum berangkat ke Afrika beberapa bulan kemudian. Mereka sampai pada bulan Agustus,[2] dan Hemingway gembira saat ditugaskan sebagai seorang jagawana kehormatan, menulis dalam sebuah surat, "Saya... menjadi pelaksana tugas jagawana akibat kegawatan [pemberontakan Mau Mau]."[3]Philip Percival, pemandu safari Hemingway pada tahun 1933, kembali bergabung bersama pasangan tersebut untuk ekspedisi sepanjang empat bulan kali ini; mereka berkelana dari tepian Salengai, tempat Theisen memfoto Hemingway bersama kawanan gajah, menuju Rawa Kimana, Lembah Rift, dan lanjut mengunjungi Patrick di pusat Tanganyika.[4] Setelah mengunjungi Patrick di peternakan milik putranya, mereka menetap selama dua bulan di tebing utara Gunung Kilimanjaro. Selama kurun waktu ini, Percival meninggalkan kemah mereka untuk kembali ke peternakan, dan Hemingway pun menjadi petugas pelestarian yang menerima laporan dari para pengawas lain. Hemingway bangga akan tugasnya dan meyakini bahwa sebuah buku akan dihasilkan dari pengalaman tersebut.[5]
Pada tanggal 21 Januari, Hemingway mencarter penerbangan pemandangan ke Cekungan Kongo sebagai hadiah Natal yang terlambat kepada Mary; dua hari kemudian, dalam perjalanan untuk memotret Air Terjun Murchison dari udara, pesawat mereka menabrak sebuah tiang listrik yang terbengkalai dan meledak. Malam itu mereka berkemah di semak-semak selagi menunggu jawaban untuk isyarat mara bahaya yang mereka kirimkan. Situs kecelakaan tersebut terlihat oleh sebuah pesawat sipil yang tidak melaporkan adanya korban selamat, dan berita kematian Hemingway digemakan ke seluruh dunia.[6] Keesokan harinya mereka ditemukan dan diangkut oleh seorang penerbang semak, tetapi pesawat de Havilland yang mereka tumpangi terbakar saat lepas landas, menabrak dan meledak, yang mengakibatkan Hemingway mengalami gegar otak, luka kulit kepala, penglihatan ganda, kehilangan pendengaran sementara pada telinga kirinya, keremukan tulang punggung, pecahnya hati, limpa, dan ginjal, dan luka bakar. Ledakan tersebut membakar paspor mereka, "tiga rol film yang terekspos, tiga pasang kacamata bifokal Ernest, seluruh uang mereka, dan surat kredit seharga $15.000". Rombongan tersebut berangkat menuju Entebbe menggunakan kendaraan darat, dinanti-nanti oleh para wartawan yang telah berkumpul untuk melaporkan kematiannya.[7] Hemingway diwawancarai oleh pers dan bersenda gurau bersama para wartawan, dan menghabiskan beberapa pekan selanjutnya di Nairobi selagi memulihkan diri dan membaca-baca berita duka tentang kematiannya.[8][9] Dalam pemulihan Hemingway segera mempersiapkan karangannya untuk Look. Majalah tersebut kembali membayarkan $20.000 untuk sebuah cerita eksklusif mengenai kecelakaan pesawat yang ia alami. Pengarang biografi Hemingway, Michael Reynolds, menulis bahwa rencana tersebut mengisi "dua puluh halaman majalah yang direntangkan dalam dua edisi", yang pertama tertanggal 26 Januari.[10][11]
Meskipun masih terluka, Hemingway bergabung bersama Patrick dan istrinya dalam sebuah perjalanan memancing pada bulan Februari, tetapi ia lekas marah dan sukar didekati.[12] Saat sebuah kebakaran hutan merebak, Hemingway terjatuh ke dalam api selagi membantu memadamkannya, membakar dirinya "dari bibir sampai kaki".[13] Berbulan-bulan kemudian di Venesia, Hemingway didiagnosis dengan dua cakram retak, ruptur pada ginjal dan hati, dislokasi pada bahu, dan tengkorak yang patah.[12]
Sesaat setelah kembali ke kediamannya, Finca Vigía di Kuba, ia mulai menggarap sebuah buku mengenai safari yang baru dijalaninya, berkeinginan menulis karya tersebut sementara pengalamannya masih jelas teringat. Ia lekas menulis 10.000 kata, meski masih menahan sakit (pada akhirnya naskah buku tersebut mengembang melebihi 800 halaman[14]).[15] Pada September 1954, Hemingway menulis dalam sebuah surat, "Sekarang saya bekerja dengan sekitar ½ dari kemampuan yang seharusnya saya miliki, tetapi segalanya selalu membaik."[16] Namun, tiga bulan kemudian pada Desember akhir ia kembali menulis: "Tahun ini telah berjalan dengan sulit... dan seharusnya tidak seorang pun mengalaminya. Namun, saya terkadang muak dengan rasa sakit, bahkan jika perasaan tersebut tidaklah mulia."[17]
Hampir setahun kemudian pada bulan Oktober 1955, ia berseru: "Sudah selesai mengetik 650 halaman bukunya. Sekarang tengah berusaha menulis seperti cantrik penyihir yang baik... selalu mulai menulis sebagai cantrik. Pada akhir bukunya kau adalah seorang master, tetapi apabila kau tetap memulai sebagai master penulis, kau akan berakhir sebagai kebosanan yang parah."[18] Dua bulan setelahnya, Hemingway dipaksa berbaring oleh penyakit ginjal.[19] Januari 1956, ia mengaku dalam sebuah surat pada peringatan dua tahun setelah kecelakaan yang menimpanya bahwa ia kesulitan mengingat-ingat perjalanan tersebut.[20] Pada tahun 1956, Hemingway setuju untuk menggarap perekaman The Old Man and the Sea(1958) dan ia pun meninggalkan pekerjaan buku Afrika.[21] Ia menyurati editornya, "Saya rasa mustahil untuk melanjutkan buku Afrika."[22] Hemingway menyimpan naskahnya di brankas deposit di Havana, walaupun selepas revolusi Kuba 1959 ia khawatir naskah tersebut telah hilang.[23]
Sinopsis
Buku ini berlatar di Koloni Kenya pada pertengahan abad ke‑20 selama pemberontakan Mau Mau. Dalam pengantar True at First Light, Patrick Hemingway mendeskripsikan suku Kikuyu dan Kamba semasa pemberontakan Mau Mau. Ia menjelaskan bahwa apabila suku Kamba bergabung bersama pemberontakan tersebut, Ernest dan Mary Hemingway "mungkin sudah dipenggal hingga mati di ranjang mereka sementara tertidur di samping para pelayan yang amat mereka percayai, mereka kira mereka paham betul tentang mereka". Buku ini berlatar pada bulan Desember ketika sang narator, Ernest, dan istrinya, Mary, tengah berada di kemah safari di dataran tinggi Kenya di sisi Gunung Kilimanjaro, tempat mereka berada dalam risiko saat sekelompok pemberontak Mau Mau melarikan diri dari penjara.
Perpaduan antara memoar perjalanan dan fiksi dibuka dengan Philip Percival sang pemburu berkulit putih meninggalkan rombongan safari mereka untuk mengunjungi peternakannya, mengalihkan kendali perkemahan kepada Ernest, yang khawatir akan diserang dan dirampok, sebab terdapat senapan, alkohol, dan makanan di kemah. Ditugaskan sebagai asisten petugas pelestarian, sehari-hari ia mengawasi taman buru dan berkomunikasi dengan suku-suku setempat. Ia diiringi oleh dua pengawas perburuan Afrika, Chungo dan Arap Meina, dan, untuk sementara waktu, sang petugas pelestarian distrik G. C. (Gin Crazed). Anggota perkemahan lainnya ialah Keiti, yang mengelola perkemahan, Mbebia, sang koki safari, dan dua kepala pelayan, Nguili dan Msembi.
Selama enam bulan Mary telah melacak seekor singa bersurai hitam, bertekad akan menyelesaikan perburuannya pada hari Natal. Dalam bab-bab berikutnya, Ernest khawatir Mary tidak akan bisa membunuh singa tersebut karena beberapa alasan: ia terlalu pendek untuk melihat mangsanya di rerumputan tinggi, tembakannya meleset saat menyasar buruan lain, dan ia terlalu berhati lembut untuk mematikan si hewan. Semasa ini Ernest tertarik dengan Debba, seorang wanita dari desa lokal, yang orang-orang lain di kemah sebut sebagai istri kedua Ernest. Ia ingin mempelajari kegiatan dan adat-istiadat setempat dari Debba dan desanya.
Ketika singa Mary akhirnya terbunuh pada pertengahan bukunya, shamba (desa) lokal setempat berkumpul untuk mempersembahkan ngoma (tarian). Karena mengidap disentri, Mary berangkat menuju nairobi untuk menemui dokter; sementara ia meninggalkan kemah, Ernest membunuh seekor macan tutul, dan para pria membawakan ngoma yang lebih panjang dari biasanya. Saat Mary kembali dari Nairobi, ia meminta kepada Ernest untuk diajak menjalani tur udara memandangi Cekungan Kongo sebagai hadiah Natal.
Ernest menggambarkan hubungan dekatnya bersama pria-pria setempat, menikmati kenangan dari hubungan lama dengan penulis seperti George Orwell dan D. H. Lawrence, dan menyindir peran dari agama terorganisasi. Subjek-subjek mulai dari wangi pohon pinus di Michigan, alam kafe-kafe di Paris, dan mutu karangan Georges Simenon semua diperlakukan sebagai digresi aliran kesadaran.
Bagian akhir buku ini menyertakan daftar karakter, sebuah glosarium bahasa Swahili, dan ucapan terima kasih sang editor.
Riwayat penerbitan
Kepemilikan naskah-naskah Hemingway rumit sejarahnya. Dua buku telah terbit dari naskah buku Afrika: True at First Light, suntingan Patrick Hemingway, dan Under Kilimanjaro(2005), suntingan para akademisi Robert Lewis dan Robert Fleming. Pada tahun 1965, Mary Hemingway mendirikan Yayasan Hemingway, dan pada tahun 1970‑an ia menyumbangkan naskah-naskah mendiang suaminya kepada Perpustakaan John F. Kennedy. Sekelompok peneliti Hemingway bertemu pada tahun 1980 untuk memeriksa naskah-naskah yang disumbangkan ketika mereka membentuk Perhimpunan Hemingway, "bertekad untuk mendukung dan membina pengkajian Hemingway". Setelah kematian Mary Hemingway pada tahun 1986, putra-putra Hemingway, John dan Patrick meminta Perhimpunan Hemingway untuk mengambil alih tugas Yayasan Hemingway; pada tahun 1997, pihak pewaris hemingway dan Perhimpunan/Yayasan Hemingway menyetujui dua bagian rencana penerbitan buku Afrika. Penerbitan dagang ringkas dari True at First Light dijadwalkan untuk dipublikasikan pada tahun 1999 dan disunting oleh Patrick Hemingway. Yayasan Hemingway kemudian akan menyelia pengerjaan ulang teks lengkapnya, yang akan diterbitkan sebagai Under Kilimanjaro. Mengenai Under Kilimanjaro, para penyunting mengeklaim "buku ini layak penerbitan selengkap dan sesetia mungkin tanpa distorsi atau spekulasi editorial, maupun percobaan perbaikan yang tak didukung secara tekstual".[24]
Pada awal tahun 1970‑an, sebagian naskah Afrika telah diterbitkan sebagai serial dalam Sports Illustrated.[25] Mary Hemingway menyetujui segmen-semen yang muncul dalam Sports Illustrated, digambarkan oleh Patrick sebagai "kisah faktual mengenai suatu safari menembak".[26] Pada suatu bincang-bincang tahun 1999 di makan malam anual Perhimpunan Hemingway, Patrick mengaku bahwa kepemilikan naskah-naskah Ernest mempunyai "sejarah yang sedikit menyiksa". Akses menuju naskah Afrika—dan bahan-bahan tulisan Hemingway yang lain—memerlukan suatu gugatan hukum dan persetujuan akhir dengan Perhimpunan Hemingway.[27]
Scribner's meminta sebuah buku sepanjang sekitar 150.000 kata. Patrick Hemingway menggarap naskah Afrika yang terdiri dari 200.000 kata selama dua tahun—pertama-tama mengubahnya ke dalam format elektronik, baru menghapus bagian-bagian berlebih. Ia mempertegas alur ceritanya, dan membuang paragraf-paragraf deskriptif dengan komentar menyepelekan terhadap kerabat keluarga dan orang-orang yang masih hidup. Ia menjelaskan bahwa naskahnya merupakan sebuah draf yang kekurangan "pekerjaan rumah biasa" seperti penambahan nama tokoh. Pemotongan yang ia lakukan, ia berkata, mempertahankan wibawa ceritanya dan "sang pembaca tidak terkekang dari kualitas esensial buku tersebut".[28]
True at First Light terbit pada 7 Juli 1999 dengan jumlah cetakan 200.000 eksemplar. Untuk sebuah kampanye publisitas, Patrick Hemingway tampil di Today dan menghadiri wawancara bersama NPR.[29] Buku ini menjadi seleksi utama untuk layanan Book of the Month Club (BOMC), muncul sebagai serial dalam The New Yorker, dan hak-hak penerjemahan bahasa Denmark, Prancis, Jerman, Islandia, Italia, Norwegia, Polandia, Spanyol, dan Swedia pun dijual.[30] Sebuah rekaman suara dari buku ini oleh aktor Brian Dennehy terbit pada tahun 1999.[31]
Genre
Di Afrika suatu hal benar saat fajar dan dusta ketika siang dan kau tidak menakzimkannya lain daripada untuk danau sempurna yang dikelilingi gulma di seberang dataran garam di bawah sinar sang surya. Kau telah berjalan melalui dataran itu pada pagi hari dan kau tahu tidak ada satu pun danau di sana. Namun, kini ia ada, teramat nyata, indah, dan meyakinkan.
Ernest Hemingway, epigraf True at First Light
Dalam The New York Times, James Wood menggambarkan True at First Light sebagai jurnal perjalanan yang menjadi "memoar khayali" dan kemudian separuh novel.[32] Patrick Hemingway teguh meyakini bahwa naskahnya bukanlah sekadar jurnal.[33] Ia menitikberatkan alur ceritanya karena, sebagaimana ia menjelaskan, "Mutu esensial dari bukunya adalah aksi dengan seorang kekasih." Ia mengetatkan adegan-adegan berburu, dan, demi menghormati pernyataan ayahnya kepada pembaca bahwa "ke mana pun kupergi, kau ikuti", ia menggarisbawahi adegan-adegan di Afrika pada pertengahan abad ke‑20 dan "hubungan nyata antara orang-orang... di benua tersebut". Meski ia memfiksikan alur cerita bukunya, Patrick Hemingway mengatakan bahwa ia "mengenal setiap [tokoh]... dengan baik".[34] Peneliti Hemingway sekaligus penyunting Under Kilimanjaro membenarkan suntingan Patrick Hemingway pada intinya sebab ia meyakini bahwa karyanya menunjukkan bukti dari seorang pengarang yang tidak dapat "mematikan mekanisme yang menghasilkan fiksi". Konflik pernikahan dalam bukunya adalah saat yang Fleming pandang sebagai "kisaran metafiktif" dari True at First Light.[35] Versi bukunya yang terbit pun dipasarkan sebagai fiksi.[33]
Fleming menganggap True at First Light mirip dengan Green Hills of Africa dan A Moveable Feast—buku-buku yang memampangkan topik primer sebagai latar belakang dan diselingi dengan dialog internal. Tidak seperti dua buku yang lain, True at First Light muncul tanpa prakata yang "mengindikasikan maksud dari sang pengarang atau mendiktekan bagaimana ia menghendaki bukunya untuk dibaca". Fleming berpikir bahwa Hemingway memandang Green Hills of Africa sebagai eksperimen dan A Moveable Feast sebagai fiksi.[36] Rose Marie Burwell, satu lagi pengkaji Hemingway, meyakini bahwa sang pengarang menikmati menulis "perpaduan ganjil antara memoar dan fiksi". Ia merasa bahwa dalam aspek fiktif True at First Light Hemingway bebas membayangkan seorang istri kedua dan menyingkirkan latar belakang Protestannya.[37]
Tema
Hemingway "tentunya sungguh sedang berlibur" dalam True at First Light, tulis Fleming;[38] dan di dalamnya Burwell menyadari seorang pengarang yang berkehendak dan senang menikmati liburan, berperilaku kekanak-kanakan, terbutakan oleh kebahagiannya sehingga lalai akan dampak perilakunya terhadap anggota perkemahan yang lain.[39] Kesan yang timbul menggugah citra seorang pria yang berusaha mendalami konflik kebudayaan di Afrika, yang mengambil belokan fiktif dalam alur cerita Debba. Mary dicirikan sebagai seorang yang mengomel sementara tokoh sang penulis ditunjukkan "tenang, dewasa, dan mengasihi", membenamkan dirinya dalam budaya pribumi.[40]
Burwell menulis bahwa subteks buku ini adalah tentang penuaan, sebagaimana disimbolkan melalui ketertarikan sang penulis dengan wanita muda yang subur, dan Hemingway menggunakan perumpamaan kesuburan untuk melambangkan "kegelisahan sang penulis yang bertambah tua akan kemampuannya dalam menulis".[41] Citra seekor gajah tua menyimbolkan sang penulis yang menua dan kian tak produktif, dan Burwell menyetujui keputusan Patrick Hemingway untuk mempertahankan bagian-bagian tersebut dari naskahnya.[42] Peneliti Hemingway, Hilary Justice, menulis bahwa karya ini memperlihatkan suatu penitikberatan terhadap keadaan saat "sang penulis tidak menulis", yang bagi Hemingway akan menjadi nasib yang lebih buruk daripada penuaan.[43] Oleh karenanya, Justice mengatakan, True at First Light membangkitkan paradoks dengan seorang "penulis yang menua yang baginya menulis menjadi kian sulit pada saat menulis mengenai pengarang yang tidak menulis".[44] Menulis memang senantiasa sulit bagi Hemingway. Ia merevisi karyanya tanpa henti dan terus berlatih menulis "satu kalimat sejati" dan berhenti setiap suatu sesi menulis selesai bahkan saat masih ada yang perlu dilanjutkan.[45] Tom Jenks, editor satu lagi buku anumerta Hemingway, The Garden of Eden, mengatakan bahwa Hemingway menunjukkan sisi terburuknya dalam True at First Light; mempersembahkan dirinya sebagai persona yang "mengasihani, menikmati, dan melebih-lebihkan diri sendiri" dalam sebuah buku yang tidaklah lebih dari himpunan materi yang fragmentaris. Jenks merasa bahwa Hemingway sekadar menulis tanpa tujuan dan alurnya pun kekurangan ketegangan yang menjadi ciri khas dari karya-karyanya terdahulu seperti The Sun Also Rises(1926). Meski demikian, ia menganggap Hemingway memiliki bahan-bahan yang layak untuk digarap dan beberapa kerangka struktur tematik tampak menjanjikan.[46]
True at First Light menunjukkan keadaan konflik pertengahan abad ke‑20 di Afrika. Kolonialisme dan imperialisme menekan suku-suku dan kehidupan liar Afrika.[47] Hemingway memperlihatkan kesadaran akan masa depan dan pergolakan politik di Afrika menurut Patrick Hemingway, yang walaupun tinggal Tanzania (sebelumnya Tanganyika) selama puluhan tahun tetap tercengang melihat seberapa banyak persepsi mengenai Afrika dalam karangan pertengahan abad ayahnya.[48] Anders Hallengren, seorang pengkaji Hemingway, mencatat bahwa kemiripan tematik dalam fiksi anumerta Hemingway, terutama dalam buku-buku terakhir. Asal-usul True at First Light ialah sebuah pemberontakan Afrika, yang juga digambarkan secara simbolis dalam The Garden of Eden: "Keyakinan dan tekad Maji Maji dalam The Garden of Eden bertalian dengan konteks Mau Mau di Kenya dari novel True at First Light."[49] Menulis untuk The Hemingway Review, Robert Gajdusek mengatakan bahwa perbentrokan kebudayaan "amatlah aktif" dalam buku ini, dengan Hemingway menjelajahi praktik tribal, persandingan Kekristenan dan Islam dengan keagamaan pribumi, dan cinta segitiga Mary/Debba menyimbolkan "sang Memsahib kulit putih dan si gadis pribumi".[50]
Seperti dalam buku Afrika pertamanya, Green Hills of Africa, Hemingway menanamkan digresi dan renungan mengenai alam penulisan, dengan atensi khusus kepada sesama pengarang James Joyce dan D. H. Lawrence.[51] Patrick Hemingway menjelaskan bahwa ayahnya tertarik dengan keyakinan Lawrence bahwa setiap wilayah di dunia "seharusnya memiliki agamanya sendiri"—sebagaimana tampak ketika sang tokoh pria menciptakan agamanya sendiri.[52] Kehendak Mary untuk menghias pohon untuk Natal membuat para anggota pribumi di perkemahan bingung, dan Hemingway tampak menyadari bahwa Afrika adalah tempat tanpa agama yang berpengaruh maupun terpancang, sehingga di sana agama dapat didefinisikan kembali.[53]
Sambutan
Meski sempat menempati Daftar Buku Laris The New York Times selama beberapa pekan,[55] buku ini menerima resensi-resensi buruk dari pers populer, meski ulasan-ulasan dari para peneliti Hemingway lebih positif. Dalam sebuah resensi pra-publikasi untuk The New York Times, Ralph Blumenthal mengatakan bahwa True at First Light tidaklah sebaik fiksi autobiografis Hemingway terdahulu, dan ia mempertanyakan apakah sang pengarang akan menginginkan "nama baik dan kata-kata terakhirnya yang tercetak sepenuhnya dipercayakan kepada seorang penyunting, bahkan putranya sekalipun". Blumenthal bertanya-tanya mengenai aspek-aspek autobiografis karya ini: hubungan antara Hemingway dan Debba, latar belakang pemotretan majalah Look, safari itu sendiri, dan dua kecelakaan pesawat yang menyusul.[25] Dalam ulasan The New York Times tahun 1999, James Wood mengeklaim Hemingway mengetahui bahwa True at First Light bukanlah sebuah novel meski para penyunting mempromosikannya sebagai fiksi. Ia meyakini karya akhir Hemingway telah menjadi parodi karya-karya awal sang pengarang.[32]True at First Light mewakili sisi terburuk dari karya Hemingway menurut resensi The Observer.[56]
Dalam sebuah pidato Christopher Ondaatje menyatakan bahwa keberadaan industri Hemingway cenderung membayangi karya anumertanya. Ondaatje menganggap kisah-kisah Afrika Hemingway sebagai salah satu karya terbaiknya meski banyak terlalaikan atau disepelekan.[57] Untuk The Nation, penulis Brenda Wineapple mencirikan buku ini "menyentuh, tetapi tidak sangatlah bagus". Namun, ia mengatakan bahwa buku tersebut "mengingatkan kita akan karangan Hemingway pada titik yang paling menggugah, tajam, dan indah".[58] Ulasan Publishers Weekly pun tidak jauh berbeda, berkomentar bahwa "keajaiban lama Hemingway terkadang berkilat, bagai petir, tetapi tidak cukup sering".[30]
Pengkaji Hemingway merasa bahwa karya ini lebih rumit dan genting. Dengan penerbitan True at First Light, para kritikus menyaksikan seorang Hemingway yang lebih manusiawi dan empatik, dan mulai menggeser penitikberatan mereka menjauhi citra "pria kulit putih dengan senapan".[59] Robert Fleming menganggap buku ini sebagai bagian dari kanon Hemingway dan menegaskan, "Buku ini lebih rumit dari kelihatannya, dan Hemingway patut mendapat jauh lebih banyak sanjungan daripada yang telah diberikan para pengulas pers populer. Kritikus serius yang akan mengkaji karya-karya akhir [Hemingway] disarankan untuk tidak melalaikannya."[60] Gajdusek memuji gaya prosa di dalamnya, yang ia pandang sebagai sebuah arah baru dalam tulisan Hemingway; ia juga meyakini bahwa terlepas dari penyuntingan terhadap bukunya, True at First Light tetaplah kohesif dan utuh dengan tema-tema yang terurut secara pantas.[61] Burwell menganggap suntingan naskahnya secara umum terlaksana dengan baik, meskipun ia menyesali beberapa penghapusan isi yang ia rasa akan berkontribusi untuk beberapa subteks dalam bukunya.[41] Kenneth Lynn, penulis biografi Hemingway, mengkritik Patrick atas menyunting naskahnya, tetapi mengatakan bahwa di dalamnya Hemingway "sepenuhnya, tentu dengan putus asa, berjujur",[62] dan Paul Gray dari Time mengakui bahwa penerbitan buku tersebut "menggarisbawahi keberanian Hemingway sebagai penulis".[63] Meskipun menganggap kesenian di dalamnya buruk, Wood menerima bahwa bahkan pada saat-saat terburuknya, Hemingway adalah seorang pengarang yang meyakinkan, dan mengatakan bahwa warisan sastranya sebaiknya dibiarkan seperti sediakala demi menyelamatkan pengaruh sastranya.[32]
Kontroversi
Berbagai pengulas dan penulis kritis terhadap sikap Patrick Hemingway dalam menyunting karya ini. Gray bertanya, "Di mana Papa? Sulit menemukannya dalam karya anumerta kelima," menyerang langsung penyuntingan Patrick akan naskahnya.[63] Lynn merasa bahwa Hemingway akan "murka terhadap penolakan putra-putranya untuk menghargai pertimbangannya bahwa naskah tersebut tidaklah layak dipublikasikan", dan terhadap "Patrick Hemingway yang menyatakan kedua saudaranya, Jack dan Gregory, bersama-sama meyakini bahwa 'pekerjaan ini pantas dilakukan'".[64] Burwell juga bertanya-tanya apakah Hemingway ingin buku Afrikanya diterbitkan, menunjuk kepada salah satu pernyataannya, "Saya rasa mungkin lebih baik untuk menunggu hingga saya meninggal sebelum menerbitkannya", meskipun Burwell mengakui bahwa karya-karya Chaucer, Shakespeare, dan Kafka sebagian besar dipublikasikan secara anumerta.[65] Selama dua dasawarsa terakhir hidupnya, Hemingway telah menerbitkan dua novel, tetapi sejak kematiannya, karya-karya sang pengarang terus bermunculan.[63] Menulis dalam The New Yorker pada tahun 1998, Joan Didion mengkritik keras keluarga dan pihak pewaris Hemingway atas mengomersialkan dan mengambil keuntungan dari nama baik dan karangannya alih-alih melindungi peninggalannya. "Penerbitan karya yang belum rampung adalah penyangkalan terhadap gagasan bahwa peran sang penulis dalam karyanya ialah untuk menciptakannya," ia menulis.[66]
True at First Light diterbitkan pada tahun peringatan seabad kelahiran Hemingway dengan kampanye pemasaran yang menuai kritikan. Putra-putra Hemingway melisensikan marga mereka dan merilis beberapa koleksi barang pada tahun tersebut, seperti mebel Thomasville dengan label yang menunjukkan gaya hidup Hemingway—"Sofa Pamplona dan Ranjang Kilimanjaro"[63]—dan merek Hemingway Ltd., yang Lynn deskripsikan sebagai "pancing, pakaian safari, dan (tentunya kemenangan ketamakan atas selera) senapan gentel".[a][64]
Rujukan
^Pada 2 Juli 1961, Hemingway membunuh diri dengan menembak kepalanya menggunakan senapan gentel.[67]
^ abcdGray, Paul (5 Juli 1999). "Where's Papa?". Time (dalam bahasa Inggris). Vol. 154 no. 1. hlm. 76–77. Diarsipkan dari versi asli tanggal 10 April 2024.