PT Toba Pulp Lestari Tbk (IDX: INRU, sebelumnya bernama PT Inti Indorayon Utama Tbk) adalah perusahaan industri pulp asal Indonesia berdiri di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia, pada tahun 1983 dan dimiliki oleh pengusaha asal Indonesia, Sukanto Tanoto. Pada awal mula berdirinya perusahaan ini bernama Inti Indorayon Utama dan memiliki kode saham INRU. Perusahaan ini berdiri pada tanggal 26 April 1983 dan memulai kegiatan usaha komersialnya pada tanggal 1 April 1989. Toba Pulp Lestari berkantor pusat di Uniplaza, East Tower, Lt 3, Jl. Letjen. Haryono MT A-1, Medan sementara pabriknya berlokasi di Desa Pangombusan, Kecamatan Parmaksian, Kabupaten Toba, Sumatera Utara.[1][2]
Hingga akhir 2021, pemegang saham utama dari Toba Pulp Lestari adalah Pinnacle Company Pte Ltd, yang saham mayoritasnya dibeli pada akhir tahun 2007.[3][4] PT Toba Pulp Lestari Tbk berkomitmen dalam berkontribusi kepada masyarakat dengan dana CSR sebesar 1% dari penjualan bersih perusahaan (Net Sales)[5][6]
Sama seperti beberapa kerajaan bisnis Sukanto lainnya, kehadiran PT TPL/INRU sejak awalnya terbilang kontroversial. Perusahaan ini diklaim telah banyak merugikan masyarakat lokal yang kehidupannya tergusur dengan pabrik PT TPL.[7]
Sejarah
Perseroan ini didirikan dengan nama awal PT Inti Indorayon Utama berdasarkan akta No. 329 tanggal 26 April 1983 oleh notaris Misahardi Wilamarta, SH. Akta pendirian ini mendapat persetujuan dari Menteri Kehakiman Republik Indonesia dalam surat keputusannya No. C2-5130.HT01-01 TH.83 tanggal 26 Juli 1983, serta diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia No. 97 tanggal 4 Desember 1984, Tambahan No. 1176.[2] Sesuai nama pertamanya, INRU didirikan sebagai perusahaan yang memproduksi kain rayon dan kertas dari pohon eukaliptus yang pabriknya berlokasi di Sumatera Utara, tepatnya sekitar Sungai Asahan. Pabriknya dibangun mulai Februari 1986, dengan modal US$ 200 juta dan mulai berproduksi sejak 1989.[8][9] Kepemilikan awalnya terdiri dari Sukanto Tanoto (RGM), perusahaan asal Kanada dan Korea Selatan, serta salah satu putra presiden Soeharto.[10][11] Pada tanggal 16 Mei 1990, INRU melakukan IPO di Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan Bursa Efek Surabaya (BES) kepada masyarakat sebanyak 27.200.000 lembar saham,[1] yang masih tercatat sampai saat ini di BEI.
Pendirian pabrik tersebut tidak berjalan mulus, karena bermasalah dengan masyarakat setempat, yang menyebutkan adanya pencemaran tanah, deforestasi besar-besaran, dan perampasan tanah secara tidak adil di daerah tersebut. Sejak awal, pabrik pulp pertama di Indonesia penuh dengan sejarah konflik. Tuntutan masyarakat berisi sengketa tanah, penurunan kualitas udara dan air di sekitar Sungai Asahan, yang juga dikatakan bertanggung jawab atas penyakit kulit tertentu, menurunkan produksi perusahaan, dan masalah pencemaran air,[12]pertanggungjawaban atas beberapa bencana tanah longsor di daerah tersebut, dan pelepasan gas klorin beracun selama ledakan boiler yang terjadi pada tahun 1993.[13] Namun, pada masa pemerintahan Suharto, Indorayon menikmati kebebasan kegiatannya karena hubungan yang erat antara pemiliknya dengan Suharto. Demonstrasi dan tindakan hukum kepada instansi pemerintah yang telah dimulai sejak 1986 gagal menghentikan aktivitas pabrik yang pada gilirannya dijawab dengan penahanan, penangkapan, pemukulan, penggerebekan dan tindakan kekerasan oleh aparat keamanan setempat.[13]
Menyusul jatuhnya Soeharto pada tahun 1998, tekanan publik mulai tumbuh, tetapi selalu dijawab dengan kekerasan dan teror oleh petugas polisi yang disewa oleh perusahaan. Bentrokan antara penduduk setempat, staf dan anggota pasukan keamanan tidak dapat dihindarkan dan mengakibatkan enam kematian dan ratusan luka-luka pada tahun 1999.[14] Akibatnya, Presiden Habibie menghentikan sementara pabrik pada 19 Maret 1999 dan menunjuk audit independen untuk menilai kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh pabrik, yang auditnya tidak pernah dilakukan. Keputusan tersebut kemudian didukung oleh Menteri Lingkungan Hidup Indonesia saat itu Sony Keraf dari pemerintahan Presiden Gusdur bahwa produksi pulp kertas dan serat rayon Indorayon harus ditutup atau direlokasi.[15]
Beberapa pendukung Indorayon, termasuk Menteri Perdagangan Jusuf Kalla saat itu, membantah tuduhan kasus pencemaran pabrik dan meminta perusahaan tetap dapat melanjutkan operasinya. Masalah tersebut juga meningkat menjadi masalah internasional karena Indorayon 86% dimiliki oleh orang asing.[16] Sebuah arbitrase internasional di Washington kemudian dibuka dan Presiden Gusdur menyatakan bahwa Indonesia harus mematuhi keputusan arbitrase tersebut. Khawatir akan ganti rugi US$600 juta atau menghadapi gugatan internasional, menteri kabinet Indonesia memberi 'lampu hijau' bagi pabrik untuk kembali beroperasi pada Mei 2000 dengan persyaratan penghentian produksi rayon. Keputusan tersebut kemudian ditanggapi oleh oposisi lain dari masyarakat setempat dan beberapa kelompok lingkungan hidup seperti WALHI.[12] Seorang mahasiswa ditembak mati oleh polisi selama demonstrasi pada 21 Juni 2000, puluhan tewas dan ratusan lainnya terluka parah selama 27 bulan konflik.[17]
Kisah panjang antara Indorayon Tanoto dengan masyarakat lokal berakhir dengan status ditutup pada masa pemerintahan Presiden Habibie dan Gusdur.[17][18] Pemangku kepentingan berhenti melakukan pembayaran operasional bulanan sebesar US$1 juta sejak 1 September 2000. Melalui Rapat Umum Pemegang Sahan (RUPS) pada 15 November 2000, perusahaan berubah nama menjadi PT Toba Pulp Lestari.[19] Perusahaan telah mencoba mengubah nama menjadi PT Toba Pulp Lestari untuk memastikan masyarakat setempat tidak lagi memproduksi rayon, tetapi masih gagal untuk melanjutkan operasinya karena perlawanan masyarakat lokal.[13] Perusahaan memberhentikan 7.000 tenaga kerjanya dalam beberapa minggu dan menyetujui utang US$400 juta ditukarkan menjadi saham, ditambah upaya restrukturisasi lainnya.[20] Pada tahun 2002, saham INRU resmi dihapus dari BEJ sehingga hanya bisa dicatatkan di BES, dengan alasan tidak mampu beroperasi kembali.[21]
Pada Maret 2003, setelah mengklaim memenuhi corporate social responsibility dengan memberikan bantuan, PT TPL kembali beroperasi dengan sistem yang diklaim ramah lingkungan.[22] Namun, hingga saat ini masalah PT TPL tetap tidak pernah hilang, baik dari masyarakat lokal[23] seperti isu pencemaran, deforestasi, pelanggaran hak ulayat, maupun upaya permainan pajak perusahaan ini.[24]
Referensi