Sudisman
Raden Soedisman Soerowisastro ; EYD : Raden Sudisman Surowisastro (27 Juli 1920 – Oktober 1968), biasa dikenal dengan Sudisman atau Bung Disman[1], adalah seorang politikus Indonesia. Ia merupakan Sekretaris Jenderal Partai Komunis Indonesia (PKI) dari 1965 hingga 1966. Sudisman dijatuhi hukuman mati dan dieksekusi pada bulan Oktober 1968.[2][3][4] Ia merupakan anggota Politbiro PKI yang menduduki jabatan tertinggi keempat, dan merupakan salah satu dari lima pemimpin senior PKI yang diadili.[2][5] Hanya satu dari sepuluh anggota Politbiro PKI yang dieksekusi mati.[5] Sudisman sempat mencoba untuk mengorganisir kembali PKI menjadi gerakan bawah tanah setelah para pemimpin senior lainnya ditangkap dan dieksekusi tanpa pengadilan. Dia bertindak sebagai pemimpin PKI untuk waktu yang singkat sebelum akhirnya ditangkap pada bulan Desember 1966.[5]
Sudisman[6] Riwayat hidupMasa kecil dan awal aktivismeSudisman lahir di Kedung Klinter, Surabaya, pada tanggal 27 Juli 1920. Dia berasal dari keluarga bangsawan kelas bawah. Ayahnya, Raden Surowisastro, adalah seorang pegawai kotapraja yang juga merupakan anggota Partai Indonesia Raya (Parindra).[7][8][9][10] Berkat pengaruh ayahnya, Sudisman sejak remaja sudah menjadi sosok yang nasionalis.[7] Sudisman menempuh pendidikan dasarnya di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Surabaya dan lulus pada tahun 1934.[8] Dia kemudian melanjutkan studinya di MULO Surabaya dan tamat pada tahun 1939.[11] Setelah itu, ia lanjut di AMS Bagian B (Afdeeling B) di Surabaya, tetapi hanya sampai kelas dua karena pada tahun 1942, ia ditangkap oleh Jepang.[12][13] Pada usia 13 tahun, saat masih duduk di bangku HIS, Sudisman terlibat dalam perkumpulan Mardi Guna dan Vrienden van de HIS (Kawan-Kawan HIS), keduanya bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan siswa sekaligus menanamkan kesadaran nasionalisme dan menentang sentimen antipribumi. Saat di MULO, Sudisman aktif di perkumpulan Door Ons voor Ons (Oleh Kita Untuk Kita) dan Pentjak Budi Sedjati (PBS).[14] Saat menjadi pelajar AMS Surabaya, Sudisman pernah diminta oleh gurunya untuk melepaskan peci yang ia pakai saat memasuki kelas. Dia menolak dan mengatakan bahwa peci bukan termasuk topi, tetapi pakaian sehingga tidak perlu dilepas. Argumen itu diucapkannya dengan lantang agar didengar oleh kawan-kawan bekas Door Ons voor Ons yang mengikutinya di AMS.[7] Pada masa mudanya, Sudisman juga terlibat dalam gerakan kepemudaan. Dia merupakan anggota Persatuan Pemuda Indonesia Surabaya (PERPIS) dan menjadi wakil organisasi tersebut dalam Kongres Pemuda Ketiga yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tahun 1939. Selain itu, Sudisman juga menjadi wakil ketua Indonesia Muda (IM) pada tahun 1940. Di tahun yang sama, Sudisman menjabat sebagai ketua perkumpulan seni Jawa, Laras Driyo, yang berpusat di kawasan Grogol Kauman, Surabaya.[15] Selama aktif di perkumpulan tersebut, ia kerapkali mengarang sandiwara dan menjadi sutradara pementasannya. Meski demikian, dia selalu main di belakang layar dan meminta orang lain untuk menjadi pemain utama.[7] Awal karir politikSudisman aktif di Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) sejak tahun 1940 dan menjadi Ketua Barisan Pemuda Gerindo cabang Surabaya.[14][16] Sudisman juga bergerak di dunia pers melalui majalah Tamparan bersama dengan Tjugito, bekas sesama pelajar di MULO Surabaya[11], yang mengakibatkannya dikenai persdelict sebanyak dua kali oleh pemerintah kolonial.[12][17] Akibatnya, dia sempat ditahan selama tiga hari dan harus mempertanggungjawabkan tulisannya di hadapan pemerintah kolonial.[7] Pada masa pendudukan Jepang, dia terlibat dalam gerakan PKI ilegal di bawah pimpinan Pamudji, yang juga menjadi anggota dan ketua Gerindo di Surabaya dari tahun 1939-1940[18], dan berhasil merombak Persatuan Pemuda (PERDA) cabang Surabaya menjadi sebuah organisasi pemuda antifasis dengan nama Komite Pemuda Nasional Indonesia (KPNI). Sudisman juga mengorganisasi para pelajar Sekolah Menengah Tinggi (SMT, dahulu AMS) untuk melawan Jepang.[12] Sudisman ditangkap Jepang pada tanggal 28 September 1942 dan dipenjara di Surabaya, sebelum dipindah ke Penjara Sukamiskin di Bandung pada awal tahun 1943.[13] Masa RevolusiKarir politik semasa perangSudisman keluar dari penjara pada 16 September 1945 dan sempat bergabung dengan BKR di Pasirkaliki, sebelum bergabung dengan Pemuda Republik Indonesia (PRI) Surabaya yang dipimpin oleh Sumarsono. Sudisman lalu menjabat sebagai ketua Pesindo.[12] Saat Pesindo masih berpusat di Madiun, Sudisman tinggal di sana bersama kakak perempuannya. Tidak hanya berperan sebagai orator ulung, Sudisman juga meluangkan waktu di atas panggung untuk menampilkan tarian Jawa, menyanyi, atau menulis serta membaca puisi untuk menghibur anggota laskarnya.[19] Sudisman juga berperan sebagai redaktur majalah Pesindo, Revolusioner, bersama dengan Tjugito.[20] Selain itu, ia sempat menjadi anggota PNI di Jawa Timur, tetapi kemungkinan hanya bertahan selama dua tahun karena pada tahun 1947, dia sudah bergabung dengan Sajap Kiri (kelak menjadi FDR).[12] Pada tahun 1947, Sudisman menjadi anggota dewan harian Sajap Kiri. Pada tahun 1948, ia juga menjadi calon anggota Politbiro CC PKI, sebelum akhirnya terpilih sebagai anggota Politbiro pada bulan Agustus 1948. Kemudian, pada tanggal 18 Desember 1948, Sudisman ikut memimpin demonstrasi pelajar untuk menuntut pemerintah Republik agar membalas ultimatum dari Belanda.[12] Setelah Agresi Militer Belanda II dilancarkan, Sudisman ikut memimpin perlawanan gerilya bersama M.H. Lukman, membangun kembali kekuatan PKI di berbagai daerah setelah sebelumnya melemah akibat Peristiwa Madiun. Sudisman akhirnya ditangkap tentara Belanda pada tanggal 21 Juni 1949 dan dipenjara selama 9 bulan di Semarang dan Ambarawa.[12][21][22] Konflik suksesi PKI ilegalSudisman berkonflik dengan Subandi Widarta mengenai suksesi kepemimpinan PKI Ilegal setelah kematian Pamudji di tangan Jepang. Sudisman dan sekutunya, seperti Tjugito dan Fatkur Hadi, mengklaim bahwa ia mendapat mandat dari Musso saat kunjungannya ke Surabaya pada tahun 1935 melalui perantaraan Djokosoedjono dan Pamudji. Di sisi lain, Widarta mengklaim bahwa mandatnya berasal langsung "dari rakyat". Widarta kemudian mengusulkan agar segera diadakan suatu pertemuan di internal partai untuk menyelesaikan masalah ini.[23] Konflik justru diselesaikan dengan menangkap Widarta di Yogyakarta pada tahun 1947. Widarta kemudian dibawa ke markas besar Pesindo di Madiun, sebelum dibawa ke Parangtritis dan ditembak mati di sana.[24] Pelakunya adalah Fatkur Hadi dan Tjugito, dua sekutu Sudisman dalam tubuh PKI ilegal sekaligus anggota Pesindo.[25] Pasca kemerdekaanKarir di PKISetelah perang berakhir, Sudisman masih mendekam di penjara hingga dibebaskan pada tanggal 21 Maret 1950 dari Penjara Mlaten di Semarang atas perintah Gubernur Militer Jawa Tengah saat itu, Jenderal (saat itu masih berpangkat Kolonel) Gatot Subroto. Sudisman dibebaskan bersama dengan Tjugito.[20] Sudisman resmi kembali memimpin Sekretariat CC PKI pada hari yang sama, bersama dengan Aidit, M.H. Lukman, dan Njoto, yang saat itu masih berada di Yogyakarta dan dalam proses pindah ke Jakarta. Sudisman kembali dipilih sebagai anggota Politbiro CC PKI berdasarkan keputusan Kongres Nasional ke-V PKI pada tahun 1954 dan sidang pleno CC PKI pada tahun 1955. Di tahun yang sama, Sudisman juga terpilih menjadi anggota DPR RI mewakili Fraksi PKI dari daerah pemilihan Jawa Timur.[12] Keterlibatan dalam G-30-S dan penangkapanSekalipun bagian dari Politbiro, Sudisman sendiri tidak banyak terlibat dalam pengorganisasian Gerakan 30 September dan tidak tahu banyak mengenai perencanaan peristiwa penculikan. Sudisman mengaku bahwa dia hanya menaati perintah dari Aidit dan yakin bahwa Sjam juga melakukan hal yang sama. Dia tidak mempunyai hubungan dekat dengan para perwira yang terlibat, seperti Letkol Untung dan Brigjen Soepardjo, atau dengan Sjam dan anggota Biro Chusus.[26] Meski demikian, Iskandar Subekti menyebutnya sebagai anggota dari sebuah tim khusus yang terdiri dari lima anggota Politbiro, yakni M.H. Lukman, Oloan Hutapea, Rewang, Aidit, dan Sudisman sendiri.[27] Tim tersebut berfungsi untuk membahas cara-cara yang akan ditempuh partai untuk mendukung gerakan. Dengan demikian, Politbiro hanya terlibat sebagai pendukung dan bukan pemrakarsa. Pada tanggal 30 September, Sudisman bersama Hasan Raid sedang bersembunyi di sebuah rumah di Jakarta untuk memantau siaran radio.[28] Setelah gagalnya gerakan, Sudisman, seperti kebanyakan pimpinan PKI, menyalahkan Aidit dan mengatakan bahwa ia bergerak atas inisiatif sendiri. Dia menyayangkan bagaimana prinsip sentralisme demokratik partai sudah menyeleweng dan lebih condong pada "sentralisme" ketimbang "demokrasi". Pendapat yang serupa juga diutarakan oleh anggota CC PKI lainnya, Djokosoedjono. Sudisman menegaskan bahwa dominasi Aidit terjadi bukan karena Aidit seorang diktator, tetapi lebih karena penguasaannya terhadap teori yang lebih kuat dari anggota-anggota lainnya. Sudisman juga mempersalahkan pimpinan PKI, termasuk dirinya, yang telah membiarkan Aidit terlalu mendominasi sehingga mampu mewujudkan "avonturismenya".[29] Sudisman kemudian bersembunyi di rumah Tan Swie Ling, salah seorang sekretarisnya, pada tahun 1966.[30] Selama bersembunyi, Sudisman mengambil alih kepemimpinan partai dan menulis sebuah otokritik berjudul Tegakkan PKI yang Marxis-Leninis untuk Memimpin Revolusi Demokrasi Rakyat Indonesia yang diterbitkan atas nama Politbiro pada bulan September 1966. Kepadanyalah otokritik Soepardjo ditujukan.[31] Sudisman akhirnya ditangkap bersama Tan pada bulan Desember 1966.[32] Persidangan dan kematianSudisman adalah satu-satunya anggota Politbiro PKI dengan jabatan tertinggi yang hadir di hadapan Mahmillub (Mahkamah Militer Luar Biasa),[33] sebab anggota lainnya telah dieksekusi mati atau melarikan diri. Pengadilan Sudisman diadakan pada bulan Juli 1967.[5] Kesaksian Sudisman dan para pemimpin PKI lainnya sangat memperkuat kasus yang menimpa mereka dalam persidangan. Mereka kurang lebih mengakui keterlibatan mereka dalam upaya kudeta. Walau demikian, mereka menyatakan bahwa Gerakan 30 September dibenarkan karena memang benar telah terjadi apa yang disebut Dewan Jenderal yang berkomplot dengan Soekarno untuk mengambil alih kekuasaan setelah kematiannya, atau menggulingkannya. Mereka menyangkal tuduhan dan interpretasi bahwa PKI adalah satu-satunya pengatur upaya kudeta tersebut.[33] Versi Angkatan Darat dan Kejaksaan tentang peristiwa tersebut sangat tidak mungkin. Inisiatif pertama untuk upaya kudeta kemungkinan berasal dari perwira Angkatan Darat yang tidak puas, terlepas dari keterlibatan pimpinan PKI.[33] Kesaksian Sudisman memberikan penjelasan yang masuk akal bahwa PKI sebagai sebuah organisasi tidak terlibat dalam upaya kudeta dan Dipa Nusantara Aidit adalah orang yang bertindak atas inisiatif sendiri dan berkomplot dengan para perwira.[2][33] Soeharto berhasil menggunakan tindakan Aidit sebagai pembenaran atas pembantaian di Indonesia 1965-1966. Penghapusan PKI dari politik Indonesia berhasil mencapai tujuan para perwira sayap kanan dan ekstremis Muslim yang didukung oleh Amerika Serikat.[2] Sudisman akhirnya dieksekusi pada bulan Oktober 1968.[5] Lihat pulaReferensi
Daftar Pustaka
|