Sejarah Kepulauan Ryukyu

Artikel ini membahas tentang sejarah Kepulauan Ryukyu yang terletak di sebelah barat daya dari pulau-pulau utama Jepang.

Etimologi

Nama "Ryūkyū" berasal dari tulisan-tulisan bangsa Tionghoa.[1][2] Rujukan paling awal terhadap "Ryūkyū" diketahui sebagai 琉虬 dan 流求 (Pinyin: Liúqiú; Jyutping: Lau4kau4, bahasa Tionghoa Pertengahan: /ljuw gjuw/) dalam Kitab Sui yang membahas sejarah Tiongkok, pada tahun 607. Nama ini adalah deskriptif, yang bermakna "naga bertanduk kaca".

Asal-usul istilah "Okinawa" belum bisa dipastikan, meskipun "Okinawa" (bahasa Okinawa: Uchinaa) sebagai sebuah istilah, digunakan di Okinawa. Ada satu dewa perempuan bernama "Uchinaa" dalam buku Omoro Sōshi, sebuah kumpulan puisi dan lagu kuno dari Pulau Okinawa. Hal ini menunjukkan adanya tempat suci bernama Okinawa. Biksu Tiongkok bernama Jianzhen, yang mengunjungi Jepang pada pertengahan abad ke-8 untuk menyebarkan agama Buddha, menulis kata "Okinawa" sebagai 阿児奈波 (anjenaʒpa).[3] Dalam serial peta Jepang dari tahun 1644, yaitu Ryukyu Kuniezu, pulau tersebut bernama 悪鬼納 (Wokinaha). Karakter Tionghoa (kanji) saat ini untuk kata Okinawa (沖縄) pertama kali ditulis dalam Ryukyu Kuniezu versi tahun 1702.

Sejarah awal

Periode prasejarah

Genetik orang Ryukyu pada zaman modern masih diperdebatkan. Satu teori menyebut bahwa penduduk paling awal di kepulauan Ryukyu menyeberangi sebuah jembatan darat prasejarah dari Tiongkok masa kini, kemudian datang orang Austronesia, orang Mikronesia, dan orang Jepang menyatu dengan populasi setempat.[4] Waktu saat manusia tiba di Okinawa masih belum diketahui. Tulang-tulang manusia paling awal adalah tulang milik Manusia Gua Yamashita, berumur 32.000 tahun, disusul dengan Manusia Gua Pinza-Abu dan Miyakojima, berumur 26.000 tahun, dan Manusia Minatogawa, berumur 18.000 tahun. Mereka kemungkinan datang melalui Tiongkok dan pernah dianggap sebagai nenek moyang langsung dari penduduk di Okinawa. Tidak ada perkakas batu yang ditemukan bersama mereka. Selama 12.000 tahun selanjutnya, tidak ada jejak situs arkeologis yang dapat ditemukan setelah situs manusia Minatogawa.[5]

Budaya tumpukan kerang di Okinawa

Budaya tumpukan sampah kerang di Okinawa terbagi menjadi periode tumpukan kerang pertama yang setara dengan periode Jōmon di Jepang dan periode tumpukan kerang kedua yang setara dengan periode Yayoi di Jepang. Namun, penggunaan Jōmon dan Yayoi di Jepang, dipertentangkan di Okinawa. Di Jepang, mereka adalah masyarakat pemburu-pengumpul, dengan bukaan seperti gelombang tembikar Jōmon. Pada bagian kedua periode Jōmon, situs-situs arkeologis berpindah ke dekat pesisir, menunjukkan masyarakat yang terlibat dalam penangkapan ikan. Di Okinawa, beras tidak dibudidayakan semasa periode Yayoi tetapi mulai dibudidayakan semasa periode kedua zaman tumpukan kerang. Cincin untuk lengan yang terbuat dari kerang ditemukan di Kepulauan Sakishima, tepatnya di Miyakojima dan kepulauan Yaeyama, dibawa ke Jepang. Di pulau-pulau tersebut, keberadaan kapak kerang, 2500 tahun yang lalu, menunjukkan adanya pengaruh dari budaya Pasifik tenggara.[6][7]

Mitologi, dinasti Shunten dan dinasti Eiso

Sejarah pertama Ryukyu tertulis dalam Chūzan Seikan ("Refleksi Chūzan"), yang disusun oleh Shō Shōken (1617–75), juga dikenal sebagai Haneji Chōshū. Ada mitos penciptaan di Ryukyu, yang mencakup pengangkatan Tenson sebagai raja pertama di Kepulauan Ryukyu dan penciptaan Noro, imam perempuan dalam agama Ryukyu. Takhta tersebut direbut dari salah satu keturunan Tenson oleh pria bernama Riyu. Chūzan Seikan kemudian menceritakan kisah seorang samurai Jepang, Minamoto no Tametomo (1139–70), yang bertempur dalam Pemberontakan Hogen tahun 1156 dan melarikan diri pertama ke Pulau Izu dan kemudian ke Okinawa. Dia memiliki hubungan dengan saudarinya Aji (Raja) Ōzato dan menjadi ayahnya Shunten, tokoh yang memimpin pemberontakan rakyat melawan Riyu dan mendirikan pemerintahan miliknya di Kastel Urasoe. Namun, sebagian besar sejarawan mengabaikan sejarah Tametomo karena dianggap sebagao sejarah revisionis yang dimaksudkan untuk melegitimasi dominasi Jepang atas Okinawa.[8] Dinasti Shunten berakhir di generasi ketiga ketika cucunya, Gihon, turun takhta, mengasingkan diri, dan digantikan oleh Eiso, tokoh yang memulai silsilah baru keluarga kerajaan. Dinasti Eiso berlanjut selama lima generasi.

Periode Gusuku

Kastel Nakijin (今帰仁城) dibangun semasa Periode Sanzan

Gusuku adalah istilah yang digunakan untuk jenis kastel atau perbentengan Okinawa yang khas. Banyak gusuku dan peninggalan kebudayaan terkait di Kepulauan Ryukyu telah diinput oleh UNESCO sebagai Situs Warisan Dunia dengan judul "Situs Gusuku dan Properti Terkait di Kerajaan Ryukyu". Setelah budaya tumpukan kerang, pertanian dimulai pada abad ke-12, dengan pusat yang berpindah dari pesisir ke tempat tinggi. Periode ini disebut periode gusuku. Ada tiga perspektif mengenai sifat gusuku: 1) tempat yang suci, 2) tempat berteduh yang dikelilingi batu, 3) kastel pemimpin rakyat. Pada periode ini, perdagangan porselen antara Okinawa dan negara lain menjadi sibuk, dan Okinawa menjadi titik hubung penting dalam perdagangan Asia timur. Raja-raja Ryukyu, semisal Shunten dan Eiso, dianggap sebagai pemimpin penting. Pada tahun 1272, Kublai Khan memerintahkan Ryukyu untuk tunduk pada kekuasaan Mongol, tetapi Raja Eiso menolak. Pada tahun 1276, utusan Mongol kembali, tetapi diusir oleh orang-orang di Ryukyu.[9]

Periode Tiga Kerajaan

Tiga Kerajaan

Periode Tiga Kerajaan, juga dikenal sebagai Sanzan period (三山時代, Sanzan-jidai) (Tiga Gunung), berlangsung dari tahun 1322 hingga 1429. Terdapat konsolidasi kekuasaan secara bertahap di bawah keluarga Shō. Shō Hashi (1372–1439) menaklukkan Chūzan, kerajaan yang ada di tengah, pada tahun 1404 dan mengangkat ayahnya, Shō Shishō, sebagai raja. Dia menaklukkan Hokuzan, kerajaan yang ada di utara, pada tahun 1416 dan menaklukkan kerajaan yang ada di selatan, yaitu Nanzan, pada tahun 1429, dengan demikian menyatukan tiga kerajaan menjadi satu Kerajaan Ryukyu. Shō Hashi kemudian diakui sebagai penguasa di Kerajaan Ryukyu (atau Kerajaan Liuqiu dalam bahasa Tionghoa) oleh Kaisar Tiongkok dari dinasti Ming, yang memberinya sebuah plakat pernis merah yang disebut Tablet Chūzan.[10] Meskipun independen, raja-raja di Kerajaan Ryukyu membayar upeti kepada penguasa Tiongkok.

Kerajaan Ryukyu

Kerajaan Ryukyu

琉球國 (bahasa Okinawa)
Ruuchuukuku
1429–1879
Lagu kebangsaan"Ishinagu nu uta" (石投子之歌)[11]
Status
Ibu kotaShuri
Bahasa yang umum digunakanRyukyu (bahasa asli), Tionghoa Klasik, Jepang Klasik
Kelompok etnik
Orang Ryukyu
Agama
Agama Ryukyu, Shinto, Buddhisme, Konfusianisme, Taoisme
PemerintahanMonarki
King (國王) 
• 1429–1439
Shō Hashi
• 1477–1526
Shō Shin
• 1587–1620
Shō Nei
• 1848–1879
Shō Tai
Sessei (摂政) 
• 1666–1673
Shō Shōken
Wali penguasa (國師) 
• 1751–1752
Sai On (Sai Un)
LegislatifKabinet Shuri (首里王府), Sanshikan (三司官)
Sejarah 
• Penyatuan
1429
5 April 1609
• Diubah menjadi Domain Ryukyu
1872
27 Maret 1879
Mata uangKoin mon Ryukyu, Tiongkok, dan Jepang[12]
Didahului oleh
Digantikan oleh
Hokuzan
Chūzan
Nanzan
ksrKekaisaran
Jepang
Domain Satsuma
Domain Ryukyu
Sekarang bagian dariJepang
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

1429–1609

Raja Shō Shin

Pada tahun 1429, Raja Shō Hashi telah menyelesaikan penyatuan tiga kerajaan dan mendirikan satu Kerajaan Ryukyu dengan ibu kota di Kastel Shuri. Shō Shin (尚真) (1465–1526; berkuasa: 1477–1526) menjadi raja ketiga dari Dinasti Sho Kedua - masa pemerintahannya dideskripsikan sebagai "Masa-masa Hebat di Chūzan", sebuah periode perdamaian besar dan relatif makmur. Dia adalah putra dari Shō En, sang pendiri dinasti, ibunya Yosoidon, yaitu istri kedua Shō En, sering dirujuk sebagai ibu suri. Dia menggantikan pamannya, Shō Sen'i, yang terpaksa turun takhta demi kepentingan Shō Shin. Sebagian besar organisasi dasar pemerintahan dan ekonomi kerajaan berasal dari perkembangan yang terjadi semasa pemerintahan Shō Shin. Pada masa pemerintahan Shō Shin terjadi ekspansi kendali kerajaan atas beberapa pulau Ryukyu yang jauh, seperti Miyako-jima dan Pulau Ishigaki.

Banyak orang Tiongkok pindah ke Ryukyu untuk bekerja di pemerintahan atau untuk melakukan bisnis selama periode ini. Pada tahun 1392, semasa pemerintahan Kaisar Hongwu, Tiongkok di kekuasaan dinasti Ming mengirim 36 keluarga Tiongkok asal Fujian atas permintaan Raja Ryukyu untuk mengelola urusan kelautan di kerajaan tersebut. Banyak pejabat Ryukyu yang keturunan imigran Tiongkok tersebut, dilahirkan di Tiongkok atau memiliki kakek berdarah Tiongkok.[13] Mereka membantu bangsa Ryukyu dalam memajukan teknologinya dan hubungan diplomatis.[14][15][16]

Dominasi Satsuma, 1609–1871

Invasi Kerajaan Ryukyu oleh klan Shimazu dari Domain Satsuma, Jepang, terjadi pada bulan April 1609. Tiga ribu orang dan lebih dari seratus kapal jung berlayar dari Kagoshima di ujung selatan pulau Kyushu. Para penjajah mengalahkan bangsa Ryukyu di Kepulauan Amami, kemudian di Kastel Nakijin yang berada di Pulau Okinawa. Samurai Satsuma melakukan pendaratan kedua di dekat Yomitanzan dan berbaris melalui darat menuju Kastel Urasoe, tempat yang berhasil mereka rebut. Kapal jung mereka mencoba merebut kota pelabuhan bernama Naha, tetapi dikalahkan oleh pertahanan pesisir Ryukyu. Akhirnya Satsuma merebut Kastel Shuri,[17] yaitu ibu kota Ryukyu, dan menangkap Raja Shō Nei. Baru pada saat inilah sang Raja terkenal dengan mengatakan kepada pasukannya bahwa "nuchidu takara" (hidup adalah hal yang berharga), dan menyerah.[18] Banyak harta budaya bernilai tinggi yang dijarah dan dibawa ke Kagoshima. Akibat perang tersebut, Kepulauan Amami diserahkan kepada Satsuma pada tahun 1611; kekuasaan langsung Satsuma atas Kepulauan Amami dimulai pada tahun 1613.

Setelah tahun 1609, raja-raja Ryukyu menjadi vasal di bawah Satsuma. Meskipun diakui sebagai kerajaan independen,[19] kepulauan ini terkadang juga disebut sebagai sebuah provinsi di Jepang.[20] Klan Shimazu memperkenalkan kebijakan yang melarang kepemilikan pedang oleh warga biasa. Hal ini menyebabkan terciptanya seni bela diri Okinawa lokal, yang memanfaatkan barang-barang rumah tangga sebagai senjata. Periode kontrol eksternal yang efektif ini juga menampilkan pertandingan internasional Go yang pertama, saat pemain Ryukyu datang ke Jepang untuk menguji kemampuan mereka. Pertandingan ini terjadi pada tahun 1634, 1682, dan 1710.[21][22]

Pada abad ke-17, Kerajaan Ryukyu dengan demikian menjadi bawahan Tiongkok dan vasal di bawah Jepang. Karena Tiongkok tidak mau membuat perjanjian dagang resmi kecuali negara tersebut adalah negara bawahan, kerajaan ini berfungsi sebagai celah yang nyaman bagi perdagangan Jepang dengan Tiongkok. Ketika Jepang secara resmi menutup perdagangan dengan pihak luar, satu-satunya pengecualian untuk perdagangan luar adalah dengan Belanda melalui Nagasaki, dengan Kerajaan Ryukyu melalui Domain Satsuma, dan dengan Korea melalui Tsushima.[23] Kapal-kapal Hitam Komodor Perry, utusan resmi dari Amerika Serikat, tiba pada tahun 1853.[24] Pada tahun 1871, insiden Mudan terjadi, di mana lima puluh empat orang Ryukyu tewas di Taiwan. Mereka berkeliaran di bagian tengah Taiwan setelah kapal mereka rusak.

Domain Ryukyu, 1872–1879

Pada tahun 1872, Kerajaan Ryukyu dibentuk ulang sebagai sebuah domain feodal (han).[25] Penduduk Ryukyu dideskripsikan sebagai tampak seperti "penghubung" antara bangsa Tiongkok dan Jepang.[26] Setelah Ekspedisi Taiwan 1874, peran Jepang sebagai pelindung rakyat Ryukyu telah diakui; tetapi khayalan independensi Kerajaan Ryukyu sebagian dipertahankan hingga tahun 1879.[27] Pada tahun 1878, kepulauan ini terdaftar sebagai "bawahan" Jepang. Pulau terbesar terdaftar dengan nama "Tsju San", bermakna "pulau tengah". Pulau lainnya terdaftar dengan nama Sannan di selatan dan Sanbok di Nawa Utara. Pelabuhan utama terdaftar dengan nama "Tsju San". Pelabuhan ini dibuka untuk perdagangan luar.[26] Hasil pertanian antara lain teh, beras, gula, tembakau, kamper, buah-buahan, dan sutra. Produk manufaktur antara lain kapas, kertas, porselen, dan barang yang dipernis.[26]

Prefektur Okinawa, 1879–1937

Raja terakhir, Shō Tai

Pada tahun 1879, Jepang mengumumkan niatnya untuk mencaplok Kerajaan Ryukyu. Tiongkok memprotes dan meminta mantan Presiden A.S. Ulysses Grant, yang saat itu sedang melakukan lawatan diplomatik di Asia, untuk campur tangan. Salah satu opsi yang dipertimbangkan adalah Jepang mencaplok kepulauan dari utara Pulau Amami, Tiongkok mencaplok kepulauan Miyako dan Yaeyama, dan pulau-pulau di tengah tetap menjadi Kerajaan Ryukyu yang independen. Ketika negosiasi akhirnya gagal, Jepang mencaplok seluruh kepulauan Ryukyu.[28] Dengan demikian, han Ryukyu dihapuskan dan digantikan dengan Prefektur Okinawa oleh pemerintah Meiji. Monarki di Shuri dihapuskan dan raja Shō Tai (1843–1901) yang telah digulingkan terpaksa pindah ke Tokyo. Sebagai kompensasinya, dia diangkat menjadi marquis dalam sistem kebangsawanan Meiji.[29]

Permusuhan terhadap daratan utama Jepang meningkat di Kepulauan Ryukyu segera setelah digabungkan ke Jepang sebagian karena adanya upaya sistematis dari daratan utama Jepang untuk menyingkirkan budaya Ryukyu, antara lain bahasa, agama, dan praktik kebudayaan. Jepang memperkenalkan pendidikan publik yang hanya mengizinkan penggunaan bahasa Jepang baku sambil mempermalukan siswa yang menggunakan bahasa lokalnya dengan memaksa mereka mengenakan plakat di sekitar leher mereka yang menyatakan mereka sebagai "pengguna dialek". Hal ini menimbulkan kenaikan jumlah pengguna bahasa Jepang di Kepulauan Ryukyu, sehingga tercipta hubungan dengan daratan utama. Ketika Jepang menjadi kekuatan dominan di Timur Jauh, banyak warga Ryukyu yang bangga menjadi warga negara Kekaisaran Jepang. Namun, selalu ada arus bawah ketidakpuasan karena diperlakukan sebagai warga negara kelas dua.

Okinawa dan Perang Dunia II

Beberapa tahun menjelang Perang Dunia II, pemerintah Jepang berusaha untuk memperkuat solidaritas nasional demi kepentingan militerisasi. Sebagian, mereka melakukannya melalui wajib militer, mobilisasi, dan propaganda nasionalis. Banyak penduduk di Kepulauan Ryukyu, meskipun hanya menghabiskan satu generasi sebagai warga negara Jepang secara penuh, tertarik untuk membuktikan nilai mereka kepada Jepang meskipun ada prasangka yang diungkapkan oleh penduduk daratan utama Jepang.[30]

Pada tahun 1943, semasa Perang Dunia II, presiden Amerika Serikat bertanya kepada sekutunya, yaitu Republik Tiongkok, apakah mereka akan mengklaim Kepulauan Ryukyu seusai perang.[31] "Presiden saat itu menyinggung masalah terkait Kepulauan Ryukyu dan bertanya lebih dari sekali apakah Tiongkok menginginkan Kepulauan Ryukyu. Generalissimo menjawab bahwa Tiongkok akan setuju untuk melakukan pendudukan Kepulauan Ryukyu oleh Tiongkok bersama Amerika Serikat dan, kemudian, pemerintahan gabungan antara dua negara tersebut di bawah perwalian sebuah organisasi internasional."[32] Pada tanggal 23 Maret 1945, Amerika Serikat memulai serangannya ke pulau jauh terakhir, sebelum invasi yang diperkirakan akan terjadi ke daratan utama Jepang.

Pertempuran Okinawa: 1 April – 22 Juni 1945

Pertempuran Okinawa adalah salah satu pertempuran besar terakhir pada Perang Dunia II,[33] merenggut nyawa sekitar 120.000 tentara. Kepulauan Ryukyu adalah satu-satunya bagian berpenghuni di Jepang yang mengalami pertempuran darat semasa Perang Dunia II. Selain daripada personel militer Jepang yang tewas dalam Pertempuran Okinawa, lebih dari sepertiga penduduk sipil tewas, yang kira-kira berjumlah 300.000 orang. Banyak dokumen, artefak, dan situs penting mengenai sejarah dan budaya Ryukyu juga hancur, termasuk Kastel Shuri.[34] Amerika Serikat mengira penduduk Okinawa akan menganggap mereka sebagai penyelamat tetapi Jepang telah menggunakan propaganda untuk membuat orang Okinawa takut kepada Amerika Serikat. Akibatnya, beberapa orang Okinawa bergabung dengan milisi dan bertempur di pihak Jepang. Hal ini menyebabkan jatuhnya korban sipil, karena tentara Amerika Serikat tidak bisa membedakan antara pejuang dan warga sipil.

Karena takut akan nasib mereka semasa dan seusai invasi, orang Okinawa bersembunyi di gua-gua dan di dalam makam keluarga. Beberapa kematian massal terjadi, misalnya di dalam "Gua Perawan", di mana banyak gadis pelajar Okinawa melakukan bunuh diri dengan melompat dari tebing karena takut diperkosa. Serupa, sekeluarga lengkap melakukan bunuh diri atau dibunuh oleh kerabat dekat dengan tujuan menghindari penderitaan yang mereka percaya akan lebih bernasib buruk di tangan tentara Amerika Serikat; misalnya, di Pulau Zamami tepatnya di Desa Zamami, hampir semua orang yang tinggal di pulau tersebut melakukan bunuh diri dua hari setelah tentara Amerika Serikat mendarat.[35] Amerika Serikat telah membuat rencana untuk melindungi penduduk Okinawa;[36] ketakutan mereka tidaklah berdasar, karena pembunuhan terhadap warga sipil dan penghancuran properti sipil memanglah terjadi; misalnya, di Pulau Aguni, 90 penduduk terbunuh dan 150 rumah dihancurkan.[37]

Saat pertempuran semakin intensif, tentara Jepang bersembunyi di gua-gua bersama warga sipil, dengan begitu semakin banyak korban sipil. Selain itu, tentara Jepang menembak orang Okinawa yang berusaha menyerah kepada Blok Sekutu. Amerika Serikat memanfaatkan orang Okinawa imigran dalam perang psikologis, disiarkan dalam bahasa Okinawa, menyebabkan Jepang berpikir bahwa orang Okinawa yang tidak berbahasa Jepang adalah mata-mata atau tidak patuh pada Jepang, atau keduanya. Orang-orang ini akhirnya sering kali dibunuh. Ketika makanan menjadi langka, beberapa warga sipil tewas karena makanan yang kurang. "Pada tengah malam, tentara membangunkan orang Okinawa dan membawa mereka ke pantai. Kemudian memilih orang Okinawa secara acak dan melemparkan granat genggam kepada mereka."[38]

Korban yang banyak di Kepulauan Yaeyama membuat militer Jepang memaksa warga untuk mengungsi dari kota ke pegunungan, meskipun malaria tersebar luas di pegunungan. Lima puluh empat persen dari populasi pulau tersebut tewas akibat kelaparan dan penyakit. Kemudian, penduduk pulau tersebut menggugat pemerintah Jepang, namun gagal. Banyak sejarawan militer meyakini bahwa keganasan Pertempuran Okinawa secara langsung mempengaruhi keputusan Amerika Serikat untuk menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Orang terkenal yang berpandangan seperti ini adalah Victor Davis Hanson, yang menyebutkan secara eksplisit dalam bukunya Ripples of Battle: "karena orang Jepang di Okinawa, termasuk orang Okinawa asli, sangat tangguh dalam bertahan (bahkan ketika diputus, dan tidak memiliki suplai), dan karena jumlah korban jiwa yang sangat banyak, banyak ahli strategi Amerika Serikat mencari cara alternatif untuk menundukkan daratan utama Jepang, daripada melakukan invasi langsung."[39]

Gadis Bunga Lili

Setelah dimulainya Perang Dunia II, militer Jepang merekrut gadis-gadis pelajar (usia 15 hingga 16 tahun) untuk bergabung ke kelompok yang dikenal sebagai Gadis Bunga Lili (Hime-yuri) dan dikirim ke medan pertempuran sebagai perawat. Ada tujuh sekolah menengah untuk perempuan di Okinawa pada saat Perang Dunia II. Dewan pendidikan, yang seluruhnya terdiri dari orang daratan utama Jepang, meminta partisipasi anak-anak perempuan. Gadis Bunga Lili bekerja di dua bidang tersebut, dan total 297 murid dan guru akhirnya bergabung ke kelompok itu. Para guru, yang bersikeras agar para murid dievakuasi ke tempat aman, dituduh sebagai pengkhianat.

Sebagian besar anak-anak perempuan ditempatkan di balai-balai pengobatan sementara di gua-gua untuk mengobati tentara yang cedera. Akibat kekurangan makanan, air dan obat-obatan yang parah, 211 anak perempuan tewas saat bekerja mengobati tentara yang cedera. Militer Jepang telah memberitahu para anak perempuan ini bahwa, jika para tentara ditangkap, pihak lawan akan memerkosa dan membunuh para anak perempuan; pihak militer memberikan granat kepada anak-anak perempuan agar mereka melakukan bunuh diri daripada ditangkap. Salah satu orang di Gadis Bunga Lili menjelaskan: "Kami mengikuti pendidikan yang ketat dari kekaisaran, dengan demikian menjadi tawanan dianggap sama saja seperti menjadi pengkhianat. Kami diajarkan untuk lebih memilih bunuh diri daripada dijadikan tawanan."[38] Banyak murid yang mengatakan, " Tennō Heika Banzai", yang bermakna "Hidup Kaisar!".

Tokoh terkenal

  • Isamu Chō adalah seorang perwira di Angkatan Darat Kekaisaran Jepang dikenal karena dukungannya atas politik ultra-nasionalis dan keterlibatan dalam sejumlah percobaan kudeta militer dan sayap kanan di Jepang pra-Perang Dunia II.
  • Takuji Iwasaki adalah seorang meteorolog, biolog, dan sejarawan etnologis.
  • Uechi Kanbun adalah pendiri Uechi-ryū, salah satu gaya karate utama di Okinawa.
  • Ōta Minoru adalah seorang laksamana di Angkatan Laut Kekaisaran Jepang semasa Perang Dunia II, dan komandan terakhir angkatan laut Jepang dalam melindungi Semenanjung Oroku semasa Pertempuran Okinawa.
  • Akira Shimada adalah seorang gubernur di Prefektur Okinawa. Dia dikirim ke Okinawa pada tahun 1945 dan tewas dalam pertempuran.
  • Mitsuru Ushijima adalah jenderal Jepang dalam Pertempuran Okinawa, semasa tahap akhir Perang Dunia II.
  • Kentsū Yabu adalah guru karate Shōrin-ryū terkenal di Okinawa dari tahun 1910-an hingga 1930-an, dan merupakan salah satu tokoh pertama yang mendemonstrasikan karate di Hawaii.
  • Simon Bolivar Buckner Jr., seorang Letnan Jenderal Amerika Serikat, tewas semasa hari-hari terakhir Pertempuran Okinawa akibat tembakan artileri lawan, menjadikannya perwira militer A.S. berpangkat tertinggi yang terbunuh akibat serangan lawan semasa Perang Dunia II.
  • Ernest Taylor Pyle adalah seorang jurnalis Amerika Serikat yang menulis sebagai seorang koresponden keliling untuk jaringan surat kabar Scripps Howard dari tahun 1935 hingga kematiannya dalam pertempuran semasa Perang Dunia II. Dia meninggal di Ie Jima, Okinawa.

Lihat juga

Catatan

  1. ^ Minamijima Fudoki Chimei-gaisetsu Okinawa, Higashionna Kanjun, hlm.16 dalam bahasa Jepang
  2. ^ The transition of Okinawa and Ryukyu Ryukyu-Shimpo-Sha, 2007, dalam bahasa Jepang
  3. ^ http://lodel.ehess.fr/crlao/docannexe.php?id=1227
  4. ^ An Austronesian Presence in Southern Japan: Early Occupation in the Yaeyama Islands Diarsipkan 20 Februari 2011 di Wayback Machine., Glenn R. Summerhayes and Atholl Anderson, Department of Anthropology, Otago University, diakses tanggal 22 November 2009
  5. ^ Toshiaki, Arashiro (2001), High School History of Ryukyu, Okinawa, Toyo Kikaku, hlm. 10–11, ISBN 4-938984-17-2  dideskripsikan 3 situs lagi yang ada di Okinawa. Pulau-pulau karang mendukung terawetnya tulang manusia purba.
  6. ^ Toshiaki 2001, hlm. 12, 20.
  7. ^ Ito, Masami, "Between a rock and a hard place", Japan Times, 12 Mei 2009, hlm. 3.
  8. ^ Tze May Loo, Heritage Politics: Shuri Castle and Okinawa's Incorporation into Modern Japan (New York: Lexington Books, 2014), 94-96.
  9. ^ George H. Kerr, Okinawa: History of an Island People (Tokyo: Charles E. Tuttle Company, 1958), 51.
  10. ^ Kerr, George (Oktober 2000). Okinawa: The History of an Island People. Tuttle. ISBN 978-0-80482087-5. 
  11. ^ Arben Anthony Saavedra, Fernando Inafuku (21 April 2019). National Anthem of the Ryukyu Kingdom 琉球王国国歌 (YouTube) (dalam bahasa Okinawan). Okinawa. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-21. Diakses tanggal 17 April 2021. 
  12. ^ "Ryuukyuuan coins". Luke Roberts at the Department of History – University of California at Santa Barbara (dalam bahasa Inggris). 24 October 2003. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 August 2017. Diakses tanggal 1 June 2017. 
  13. ^ Shih-shan Henry Tsai (1996). The eunuchs in the Ming dynasty (edisi ke-ill.). SUNY Press. hlm. 145. ISBN 0-7914-2687-4. Diakses tanggal 2011-02-04. 
  14. ^ Schottenhammer, Angela (2007). Schottenhammer, Angela, ed. The East Asian maritime world 1400–1800: its fabrics of power and dynamics of exchanges. East Asian economic and socio-cultural studies: East Asian maritime history. 4 (edisi ke-ill.). Otto Harrassowitz. hlm. xiii. ISBN 978-3-447-05474-4. Diakses tanggal 2011-02-04. 
  15. ^ Gang Deng (1999). Maritime sector, institutions, and sea power of premodern China. Contributions in economics and economic history. 212 (edisi ke-ill.). Greenwood. hlm. 125. ISBN 0-313-30712-1. Diakses tanggal 2011-02-04. 
  16. ^ Hendrickx, Katrien (2007). The Origins of Banana-fibre Cloth in the Ryukyus, Japan (edisi ke-ill.). Leuven University Press. hlm. 39. ISBN 978-90-5867-614-6. Diakses tanggal 2011-01-11. 
  17. ^ Okinawa Prefectural reserve cultural assets center (2015). "首里城跡". sitereports.nabunken.go.jp. Okinawa Prefectural Board of Education. Diakses tanggal 2016-09-02. 
  18. ^ Turnbull, Stephen. The Samurai Capture a King: Okinawa 1609. 2009.
  19. ^ Smits, Gregory (1999). Visions of Ryūkyū: Identity and Ideology in Early-Modern Thought and Politics, hlm. 28.
  20. ^ Toby, Ronald P. (1991). State and Diplomacy in Early Modern Japan: Asia and the development of the Tokugawa bakufu, hlm. 45–46, citing manuscripts at the Historiographical Institute of the University of Tokyo: "Ieyasu granted the Shimazu clan the right to "rule" over Ryukyu... [and] contemporary Japanese even referred to the Shimazu clan as 'lords of four provinces', which could only mean that they were including the Ryukyu Kingdom in their calculations. However, this does not mean that Ryūkyū ceased to be a foreign country or that relations between Naha and Edo ceased thereby to be foreign relations."
  21. ^ Sensei's Library: Ryukyuan players
  22. ^ Go – Feature: Go in old Okinawa, MindZine Diarsipkan 5 Maret 2006 di Wayback Machine.
  23. ^ Hamashita Takeshi, "The Intra-Regional System in East Asia in Modern Times", in Network Power: Japan and Asia, ed. P. Katzenstein & T. Shiraishi (1997), 115.
  24. ^ "Okinawa, Commodore Perry, and the Lew Chew Raid". III publishing (World wide web log). 2010-03-08. 
  25. ^ Lin, Man-houng. "The Ryukyus and Taiwan in the East Asian Seas: A Longue Durée Perspective," Asia-Pacific Journal: Japan Focus. 27 Oktober 2006, diterjemahkan & diringkas dari Academia Sinica Weekly, No. 1084. 24 Agustus 2006.
  26. ^ a b c Ross/Globe Vol. IV: Loo-Choo, 1878.
  27. ^ Goodenough, Ward H. GEORGE H. KERR. Okinawa: The History of an Island People. Hlm. xviii, 542. Rut land, Vt.: Charles E. Tuttle Company, 1958. $6.75 Book Review: "George H. Kerr. Okinawa: the History of an Island People..., The Annals of the American Academy of Political and Social Science, Mei 1959, Vol. 323, No. 1, hlm. 165.
  28. ^ The Demise of the Ryukyu Kingdom: Western Accounts and Controversy. Ed by Eitetsu Yamagushi and Yoko Arakawa. Ginowan-City, Okinawa: Yonushorin, 2002.
  29. ^ Papinot, Edmond. (2003). Nobiliare du Japon – Sho, p. 56 (PDF@60); Papinot, Jacques Edmond Joseph. (1906). Dictionnaire d'histoire et de géographie du Japon. diakses tanggal 7 November 2012.
  30. ^ Kerr hlm. 459–64
  31. ^ Foreign Relations of the United States: The Conferences at Cairo and Tehran, 1943 p. 324 Chinese Summary Record.
  32. ^ "Foreign Relations of the United States: Diplomatic Papers, The Conferences at Cairo and Tehran, 1943 - Office of the Historian". history.state.gov. Diakses tanggal 2022-06-30. 
  33. ^ Okinawa Prefectural reserve cultural assets center (2015). "沖縄県の戦争遺跡". Comprehensive Database of Archaeological Site Reports in Japan. Diakses tanggal 2016-09-02. 
  34. ^ The Age of Shuri Castle, Wonder Okinawa.
  35. ^ Geruma Island[pranala nonaktif permanen], Wonder Okinawa.
  36. ^ Appleman, Roy E. (2000) [1948]. "Chapter I: Operation Iceberg". Okinawa:The Last Battle. The United States Army in World War II, The War in the Pacific. Washington, DC: United States Army Center of Military History. CMH Pub 5-11. Diarsipkan dari versi asli tanggal 8 November 2010. Diakses tanggal 15 Juli 2010. 
  37. ^ Aguni Island Diarsipkan 13 November 2005 di Wayback Machine., Wonder Okinawa.
  38. ^ a b Moriguchi, 1992.
  39. ^ Hanson, Victor Davis, (12 Oktober 2004). "Ripples of Battle: How Wars of the Past Still Determine How We Fight, How We Live, and How We Think", Anchor, 12 Oktober 2004, ISBN 978-0-38572194-3

Referensi

Bacaan lebih lanjut

  • John McLeod (1818), "(Lewchew)", Voyage of His Majesty's ship Alceste, along the coast of Corea to the island of Lewchew (edisi ke-2), London: J. Murray 

Pranala luar

24°26′N 122°59′E / 24.433°N 122.983°E / 24.433; 122.983