Sejarah Kepulauan RyukyuArtikel ini membahas tentang sejarah Kepulauan Ryukyu yang terletak di sebelah barat daya dari pulau-pulau utama Jepang. EtimologiNama "Ryūkyū" berasal dari tulisan-tulisan bangsa Tionghoa.[1][2] Rujukan paling awal terhadap "Ryūkyū" diketahui sebagai 琉虬 dan 流求 (Pinyin: Liúqiú; Jyutping: Lau4kau4, bahasa Tionghoa Pertengahan: /ljuw gjuw/) dalam Kitab Sui yang membahas sejarah Tiongkok, pada tahun 607. Nama ini adalah deskriptif, yang bermakna "naga bertanduk kaca". Asal-usul istilah "Okinawa" belum bisa dipastikan, meskipun "Okinawa" (bahasa Okinawa: Uchinaa) sebagai sebuah istilah, digunakan di Okinawa. Ada satu dewa perempuan bernama "Uchinaa" dalam buku Omoro Sōshi, sebuah kumpulan puisi dan lagu kuno dari Pulau Okinawa. Hal ini menunjukkan adanya tempat suci bernama Okinawa. Biksu Tiongkok bernama Jianzhen, yang mengunjungi Jepang pada pertengahan abad ke-8 untuk menyebarkan agama Buddha, menulis kata "Okinawa" sebagai 阿児奈波 (anjenaʒpa).[3] Dalam serial peta Jepang dari tahun 1644, yaitu Ryukyu Kuniezu, pulau tersebut bernama 悪鬼納 (Wokinaha). Karakter Tionghoa (kanji) saat ini untuk kata Okinawa (沖縄) pertama kali ditulis dalam Ryukyu Kuniezu versi tahun 1702. Sejarah awalPeriode prasejarahGenetik orang Ryukyu pada zaman modern masih diperdebatkan. Satu teori menyebut bahwa penduduk paling awal di kepulauan Ryukyu menyeberangi sebuah jembatan darat prasejarah dari Tiongkok masa kini, kemudian datang orang Austronesia, orang Mikronesia, dan orang Jepang menyatu dengan populasi setempat.[4] Waktu saat manusia tiba di Okinawa masih belum diketahui. Tulang-tulang manusia paling awal adalah tulang milik Manusia Gua Yamashita, berumur 32.000 tahun, disusul dengan Manusia Gua Pinza-Abu dan Miyakojima, berumur 26.000 tahun, dan Manusia Minatogawa, berumur 18.000 tahun. Mereka kemungkinan datang melalui Tiongkok dan pernah dianggap sebagai nenek moyang langsung dari penduduk di Okinawa. Tidak ada perkakas batu yang ditemukan bersama mereka. Selama 12.000 tahun selanjutnya, tidak ada jejak situs arkeologis yang dapat ditemukan setelah situs manusia Minatogawa.[5] Budaya tumpukan kerang di OkinawaBudaya tumpukan sampah kerang di Okinawa terbagi menjadi periode tumpukan kerang pertama yang setara dengan periode Jōmon di Jepang dan periode tumpukan kerang kedua yang setara dengan periode Yayoi di Jepang. Namun, penggunaan Jōmon dan Yayoi di Jepang, dipertentangkan di Okinawa. Di Jepang, mereka adalah masyarakat pemburu-pengumpul, dengan bukaan seperti gelombang tembikar Jōmon. Pada bagian kedua periode Jōmon, situs-situs arkeologis berpindah ke dekat pesisir, menunjukkan masyarakat yang terlibat dalam penangkapan ikan. Di Okinawa, beras tidak dibudidayakan semasa periode Yayoi tetapi mulai dibudidayakan semasa periode kedua zaman tumpukan kerang. Cincin untuk lengan yang terbuat dari kerang ditemukan di Kepulauan Sakishima, tepatnya di Miyakojima dan kepulauan Yaeyama, dibawa ke Jepang. Di pulau-pulau tersebut, keberadaan kapak kerang, 2500 tahun yang lalu, menunjukkan adanya pengaruh dari budaya Pasifik tenggara.[6][7] Mitologi, dinasti Shunten dan dinasti EisoSejarah pertama Ryukyu tertulis dalam Chūzan Seikan ("Refleksi Chūzan"), yang disusun oleh Shō Shōken (1617–75), juga dikenal sebagai Haneji Chōshū. Ada mitos penciptaan di Ryukyu, yang mencakup pengangkatan Tenson sebagai raja pertama di Kepulauan Ryukyu dan penciptaan Noro, imam perempuan dalam agama Ryukyu. Takhta tersebut direbut dari salah satu keturunan Tenson oleh pria bernama Riyu. Chūzan Seikan kemudian menceritakan kisah seorang samurai Jepang, Minamoto no Tametomo (1139–70), yang bertempur dalam Pemberontakan Hogen tahun 1156 dan melarikan diri pertama ke Pulau Izu dan kemudian ke Okinawa. Dia memiliki hubungan dengan saudarinya Aji (Raja) Ōzato dan menjadi ayahnya Shunten, tokoh yang memimpin pemberontakan rakyat melawan Riyu dan mendirikan pemerintahan miliknya di Kastel Urasoe. Namun, sebagian besar sejarawan mengabaikan sejarah Tametomo karena dianggap sebagao sejarah revisionis yang dimaksudkan untuk melegitimasi dominasi Jepang atas Okinawa.[8] Dinasti Shunten berakhir di generasi ketiga ketika cucunya, Gihon, turun takhta, mengasingkan diri, dan digantikan oleh Eiso, tokoh yang memulai silsilah baru keluarga kerajaan. Dinasti Eiso berlanjut selama lima generasi. Periode GusukuGusuku adalah istilah yang digunakan untuk jenis kastel atau perbentengan Okinawa yang khas. Banyak gusuku dan peninggalan kebudayaan terkait di Kepulauan Ryukyu telah diinput oleh UNESCO sebagai Situs Warisan Dunia dengan judul "Situs Gusuku dan Properti Terkait di Kerajaan Ryukyu". Setelah budaya tumpukan kerang, pertanian dimulai pada abad ke-12, dengan pusat yang berpindah dari pesisir ke tempat tinggi. Periode ini disebut periode gusuku. Ada tiga perspektif mengenai sifat gusuku: 1) tempat yang suci, 2) tempat berteduh yang dikelilingi batu, 3) kastel pemimpin rakyat. Pada periode ini, perdagangan porselen antara Okinawa dan negara lain menjadi sibuk, dan Okinawa menjadi titik hubung penting dalam perdagangan Asia timur. Raja-raja Ryukyu, semisal Shunten dan Eiso, dianggap sebagai pemimpin penting. Pada tahun 1272, Kublai Khan memerintahkan Ryukyu untuk tunduk pada kekuasaan Mongol, tetapi Raja Eiso menolak. Pada tahun 1276, utusan Mongol kembali, tetapi diusir oleh orang-orang di Ryukyu.[9] Periode Tiga KerajaanPeriode Tiga Kerajaan, juga dikenal sebagai Sanzan period (三山時代 , Sanzan-jidai) (Tiga Gunung), berlangsung dari tahun 1322 hingga 1429. Terdapat konsolidasi kekuasaan secara bertahap di bawah keluarga Shō. Shō Hashi (1372–1439) menaklukkan Chūzan, kerajaan yang ada di tengah, pada tahun 1404 dan mengangkat ayahnya, Shō Shishō, sebagai raja. Dia menaklukkan Hokuzan, kerajaan yang ada di utara, pada tahun 1416 dan menaklukkan kerajaan yang ada di selatan, yaitu Nanzan, pada tahun 1429, dengan demikian menyatukan tiga kerajaan menjadi satu Kerajaan Ryukyu. Shō Hashi kemudian diakui sebagai penguasa di Kerajaan Ryukyu (atau Kerajaan Liuqiu dalam bahasa Tionghoa) oleh Kaisar Tiongkok dari dinasti Ming, yang memberinya sebuah plakat pernis merah yang disebut Tablet Chūzan.[10] Meskipun independen, raja-raja di Kerajaan Ryukyu membayar upeti kepada penguasa Tiongkok. Kerajaan Ryukyu
1429–1609Pada tahun 1429, Raja Shō Hashi telah menyelesaikan penyatuan tiga kerajaan dan mendirikan satu Kerajaan Ryukyu dengan ibu kota di Kastel Shuri. Shō Shin (尚真 ) (1465–1526; berkuasa: 1477–1526) menjadi raja ketiga dari Dinasti Sho Kedua - masa pemerintahannya dideskripsikan sebagai "Masa-masa Hebat di Chūzan", sebuah periode perdamaian besar dan relatif makmur. Dia adalah putra dari Shō En, sang pendiri dinasti, ibunya Yosoidon, yaitu istri kedua Shō En, sering dirujuk sebagai ibu suri. Dia menggantikan pamannya, Shō Sen'i, yang terpaksa turun takhta demi kepentingan Shō Shin. Sebagian besar organisasi dasar pemerintahan dan ekonomi kerajaan berasal dari perkembangan yang terjadi semasa pemerintahan Shō Shin. Pada masa pemerintahan Shō Shin terjadi ekspansi kendali kerajaan atas beberapa pulau Ryukyu yang jauh, seperti Miyako-jima dan Pulau Ishigaki. Banyak orang Tiongkok pindah ke Ryukyu untuk bekerja di pemerintahan atau untuk melakukan bisnis selama periode ini. Pada tahun 1392, semasa pemerintahan Kaisar Hongwu, Tiongkok di kekuasaan dinasti Ming mengirim 36 keluarga Tiongkok asal Fujian atas permintaan Raja Ryukyu untuk mengelola urusan kelautan di kerajaan tersebut. Banyak pejabat Ryukyu yang keturunan imigran Tiongkok tersebut, dilahirkan di Tiongkok atau memiliki kakek berdarah Tiongkok.[13] Mereka membantu bangsa Ryukyu dalam memajukan teknologinya dan hubungan diplomatis.[14][15][16] Dominasi Satsuma, 1609–1871Invasi Kerajaan Ryukyu oleh klan Shimazu dari Domain Satsuma, Jepang, terjadi pada bulan April 1609. Tiga ribu orang dan lebih dari seratus kapal jung berlayar dari Kagoshima di ujung selatan pulau Kyushu. Para penjajah mengalahkan bangsa Ryukyu di Kepulauan Amami, kemudian di Kastel Nakijin yang berada di Pulau Okinawa. Samurai Satsuma melakukan pendaratan kedua di dekat Yomitanzan dan berbaris melalui darat menuju Kastel Urasoe, tempat yang berhasil mereka rebut. Kapal jung mereka mencoba merebut kota pelabuhan bernama Naha, tetapi dikalahkan oleh pertahanan pesisir Ryukyu. Akhirnya Satsuma merebut Kastel Shuri,[17] yaitu ibu kota Ryukyu, dan menangkap Raja Shō Nei. Baru pada saat inilah sang Raja terkenal dengan mengatakan kepada pasukannya bahwa "nuchidu takara" (hidup adalah hal yang berharga), dan menyerah.[18] Banyak harta budaya bernilai tinggi yang dijarah dan dibawa ke Kagoshima. Akibat perang tersebut, Kepulauan Amami diserahkan kepada Satsuma pada tahun 1611; kekuasaan langsung Satsuma atas Kepulauan Amami dimulai pada tahun 1613. Setelah tahun 1609, raja-raja Ryukyu menjadi vasal di bawah Satsuma. Meskipun diakui sebagai kerajaan independen,[19] kepulauan ini terkadang juga disebut sebagai sebuah provinsi di Jepang.[20] Klan Shimazu memperkenalkan kebijakan yang melarang kepemilikan pedang oleh warga biasa. Hal ini menyebabkan terciptanya seni bela diri Okinawa lokal, yang memanfaatkan barang-barang rumah tangga sebagai senjata. Periode kontrol eksternal yang efektif ini juga menampilkan pertandingan internasional Go yang pertama, saat pemain Ryukyu datang ke Jepang untuk menguji kemampuan mereka. Pertandingan ini terjadi pada tahun 1634, 1682, dan 1710.[21][22] Pada abad ke-17, Kerajaan Ryukyu dengan demikian menjadi bawahan Tiongkok dan vasal di bawah Jepang. Karena Tiongkok tidak mau membuat perjanjian dagang resmi kecuali negara tersebut adalah negara bawahan, kerajaan ini berfungsi sebagai celah yang nyaman bagi perdagangan Jepang dengan Tiongkok. Ketika Jepang secara resmi menutup perdagangan dengan pihak luar, satu-satunya pengecualian untuk perdagangan luar adalah dengan Belanda melalui Nagasaki, dengan Kerajaan Ryukyu melalui Domain Satsuma, dan dengan Korea melalui Tsushima.[23] Kapal-kapal Hitam Komodor Perry, utusan resmi dari Amerika Serikat, tiba pada tahun 1853.[24] Pada tahun 1871, insiden Mudan terjadi, di mana lima puluh empat orang Ryukyu tewas di Taiwan. Mereka berkeliaran di bagian tengah Taiwan setelah kapal mereka rusak. Domain Ryukyu, 1872–1879Pada tahun 1872, Kerajaan Ryukyu dibentuk ulang sebagai sebuah domain feodal (han).[25] Penduduk Ryukyu dideskripsikan sebagai tampak seperti "penghubung" antara bangsa Tiongkok dan Jepang.[26] Setelah Ekspedisi Taiwan 1874, peran Jepang sebagai pelindung rakyat Ryukyu telah diakui; tetapi khayalan independensi Kerajaan Ryukyu sebagian dipertahankan hingga tahun 1879.[27] Pada tahun 1878, kepulauan ini terdaftar sebagai "bawahan" Jepang. Pulau terbesar terdaftar dengan nama "Tsju San", bermakna "pulau tengah". Pulau lainnya terdaftar dengan nama Sannan di selatan dan Sanbok di Nawa Utara. Pelabuhan utama terdaftar dengan nama "Tsju San". Pelabuhan ini dibuka untuk perdagangan luar.[26] Hasil pertanian antara lain teh, beras, gula, tembakau, kamper, buah-buahan, dan sutra. Produk manufaktur antara lain kapas, kertas, porselen, dan barang yang dipernis.[26] Prefektur Okinawa, 1879–1937Pada tahun 1879, Jepang mengumumkan niatnya untuk mencaplok Kerajaan Ryukyu. Tiongkok memprotes dan meminta mantan Presiden A.S. Ulysses Grant, yang saat itu sedang melakukan lawatan diplomatik di Asia, untuk campur tangan. Salah satu opsi yang dipertimbangkan adalah Jepang mencaplok kepulauan dari utara Pulau Amami, Tiongkok mencaplok kepulauan Miyako dan Yaeyama, dan pulau-pulau di tengah tetap menjadi Kerajaan Ryukyu yang independen. Ketika negosiasi akhirnya gagal, Jepang mencaplok seluruh kepulauan Ryukyu.[28] Dengan demikian, han Ryukyu dihapuskan dan digantikan dengan Prefektur Okinawa oleh pemerintah Meiji. Monarki di Shuri dihapuskan dan raja Shō Tai (1843–1901) yang telah digulingkan terpaksa pindah ke Tokyo. Sebagai kompensasinya, dia diangkat menjadi marquis dalam sistem kebangsawanan Meiji.[29] Permusuhan terhadap daratan utama Jepang meningkat di Kepulauan Ryukyu segera setelah digabungkan ke Jepang sebagian karena adanya upaya sistematis dari daratan utama Jepang untuk menyingkirkan budaya Ryukyu, antara lain bahasa, agama, dan praktik kebudayaan. Jepang memperkenalkan pendidikan publik yang hanya mengizinkan penggunaan bahasa Jepang baku sambil mempermalukan siswa yang menggunakan bahasa lokalnya dengan memaksa mereka mengenakan plakat di sekitar leher mereka yang menyatakan mereka sebagai "pengguna dialek". Hal ini menimbulkan kenaikan jumlah pengguna bahasa Jepang di Kepulauan Ryukyu, sehingga tercipta hubungan dengan daratan utama. Ketika Jepang menjadi kekuatan dominan di Timur Jauh, banyak warga Ryukyu yang bangga menjadi warga negara Kekaisaran Jepang. Namun, selalu ada arus bawah ketidakpuasan karena diperlakukan sebagai warga negara kelas dua. Okinawa dan Perang Dunia IIBeberapa tahun menjelang Perang Dunia II, pemerintah Jepang berusaha untuk memperkuat solidaritas nasional demi kepentingan militerisasi. Sebagian, mereka melakukannya melalui wajib militer, mobilisasi, dan propaganda nasionalis. Banyak penduduk di Kepulauan Ryukyu, meskipun hanya menghabiskan satu generasi sebagai warga negara Jepang secara penuh, tertarik untuk membuktikan nilai mereka kepada Jepang meskipun ada prasangka yang diungkapkan oleh penduduk daratan utama Jepang.[30] Pada tahun 1943, semasa Perang Dunia II, presiden Amerika Serikat bertanya kepada sekutunya, yaitu Republik Tiongkok, apakah mereka akan mengklaim Kepulauan Ryukyu seusai perang.[31] "Presiden saat itu menyinggung masalah terkait Kepulauan Ryukyu dan bertanya lebih dari sekali apakah Tiongkok menginginkan Kepulauan Ryukyu. Generalissimo menjawab bahwa Tiongkok akan setuju untuk melakukan pendudukan Kepulauan Ryukyu oleh Tiongkok bersama Amerika Serikat dan, kemudian, pemerintahan gabungan antara dua negara tersebut di bawah perwalian sebuah organisasi internasional."[32] Pada tanggal 23 Maret 1945, Amerika Serikat memulai serangannya ke pulau jauh terakhir, sebelum invasi yang diperkirakan akan terjadi ke daratan utama Jepang. Pertempuran Okinawa: 1 April – 22 Juni 1945Pertempuran Okinawa adalah salah satu pertempuran besar terakhir pada Perang Dunia II,[33] merenggut nyawa sekitar 120.000 tentara. Kepulauan Ryukyu adalah satu-satunya bagian berpenghuni di Jepang yang mengalami pertempuran darat semasa Perang Dunia II. Selain daripada personel militer Jepang yang tewas dalam Pertempuran Okinawa, lebih dari sepertiga penduduk sipil tewas, yang kira-kira berjumlah 300.000 orang. Banyak dokumen, artefak, dan situs penting mengenai sejarah dan budaya Ryukyu juga hancur, termasuk Kastel Shuri.[34] Amerika Serikat mengira penduduk Okinawa akan menganggap mereka sebagai penyelamat tetapi Jepang telah menggunakan propaganda untuk membuat orang Okinawa takut kepada Amerika Serikat. Akibatnya, beberapa orang Okinawa bergabung dengan milisi dan bertempur di pihak Jepang. Hal ini menyebabkan jatuhnya korban sipil, karena tentara Amerika Serikat tidak bisa membedakan antara pejuang dan warga sipil. Karena takut akan nasib mereka semasa dan seusai invasi, orang Okinawa bersembunyi di gua-gua dan di dalam makam keluarga. Beberapa kematian massal terjadi, misalnya di dalam "Gua Perawan", di mana banyak gadis pelajar Okinawa melakukan bunuh diri dengan melompat dari tebing karena takut diperkosa. Serupa, sekeluarga lengkap melakukan bunuh diri atau dibunuh oleh kerabat dekat dengan tujuan menghindari penderitaan yang mereka percaya akan lebih bernasib buruk di tangan tentara Amerika Serikat; misalnya, di Pulau Zamami tepatnya di Desa Zamami, hampir semua orang yang tinggal di pulau tersebut melakukan bunuh diri dua hari setelah tentara Amerika Serikat mendarat.[35] Amerika Serikat telah membuat rencana untuk melindungi penduduk Okinawa;[36] ketakutan mereka tidaklah berdasar, karena pembunuhan terhadap warga sipil dan penghancuran properti sipil memanglah terjadi; misalnya, di Pulau Aguni, 90 penduduk terbunuh dan 150 rumah dihancurkan.[37] Saat pertempuran semakin intensif, tentara Jepang bersembunyi di gua-gua bersama warga sipil, dengan begitu semakin banyak korban sipil. Selain itu, tentara Jepang menembak orang Okinawa yang berusaha menyerah kepada Blok Sekutu. Amerika Serikat memanfaatkan orang Okinawa imigran dalam perang psikologis, disiarkan dalam bahasa Okinawa, menyebabkan Jepang berpikir bahwa orang Okinawa yang tidak berbahasa Jepang adalah mata-mata atau tidak patuh pada Jepang, atau keduanya. Orang-orang ini akhirnya sering kali dibunuh. Ketika makanan menjadi langka, beberapa warga sipil tewas karena makanan yang kurang. "Pada tengah malam, tentara membangunkan orang Okinawa dan membawa mereka ke pantai. Kemudian memilih orang Okinawa secara acak dan melemparkan granat genggam kepada mereka."[38] Korban yang banyak di Kepulauan Yaeyama membuat militer Jepang memaksa warga untuk mengungsi dari kota ke pegunungan, meskipun malaria tersebar luas di pegunungan. Lima puluh empat persen dari populasi pulau tersebut tewas akibat kelaparan dan penyakit. Kemudian, penduduk pulau tersebut menggugat pemerintah Jepang, namun gagal. Banyak sejarawan militer meyakini bahwa keganasan Pertempuran Okinawa secara langsung mempengaruhi keputusan Amerika Serikat untuk menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Orang terkenal yang berpandangan seperti ini adalah Victor Davis Hanson, yang menyebutkan secara eksplisit dalam bukunya Ripples of Battle: "karena orang Jepang di Okinawa, termasuk orang Okinawa asli, sangat tangguh dalam bertahan (bahkan ketika diputus, dan tidak memiliki suplai), dan karena jumlah korban jiwa yang sangat banyak, banyak ahli strategi Amerika Serikat mencari cara alternatif untuk menundukkan daratan utama Jepang, daripada melakukan invasi langsung."[39] Gadis Bunga LiliSetelah dimulainya Perang Dunia II, militer Jepang merekrut gadis-gadis pelajar (usia 15 hingga 16 tahun) untuk bergabung ke kelompok yang dikenal sebagai Gadis Bunga Lili (Hime-yuri) dan dikirim ke medan pertempuran sebagai perawat. Ada tujuh sekolah menengah untuk perempuan di Okinawa pada saat Perang Dunia II. Dewan pendidikan, yang seluruhnya terdiri dari orang daratan utama Jepang, meminta partisipasi anak-anak perempuan. Gadis Bunga Lili bekerja di dua bidang tersebut, dan total 297 murid dan guru akhirnya bergabung ke kelompok itu. Para guru, yang bersikeras agar para murid dievakuasi ke tempat aman, dituduh sebagai pengkhianat. Sebagian besar anak-anak perempuan ditempatkan di balai-balai pengobatan sementara di gua-gua untuk mengobati tentara yang cedera. Akibat kekurangan makanan, air dan obat-obatan yang parah, 211 anak perempuan tewas saat bekerja mengobati tentara yang cedera. Militer Jepang telah memberitahu para anak perempuan ini bahwa, jika para tentara ditangkap, pihak lawan akan memerkosa dan membunuh para anak perempuan; pihak militer memberikan granat kepada anak-anak perempuan agar mereka melakukan bunuh diri daripada ditangkap. Salah satu orang di Gadis Bunga Lili menjelaskan: "Kami mengikuti pendidikan yang ketat dari kekaisaran, dengan demikian menjadi tawanan dianggap sama saja seperti menjadi pengkhianat. Kami diajarkan untuk lebih memilih bunuh diri daripada dijadikan tawanan."[38] Banyak murid yang mengatakan, " Tennō Heika Banzai", yang bermakna "Hidup Kaisar!". Tokoh terkenal
Lihat jugaCatatan
Referensi
Bacaan lebih lanjut
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai History of Okinawa prefecture.
|