Musik Okinawa sangat kaya jenisnya, mulai dari musik klasik, musik rakyat, musik ritual, hingga musik pop yang menghasilkan identitas Okinawa yang berbeda dari musik di daratan utama Jepang.
Musik Okinawa dapat juga disebut dengan nama Musik Ryukyu yang umumnya dimainkan dengan skala Ryukyu, sebuah skala musik yang mirip dengan skala pelog dari Indonesia.
Sejarah
Musik Okinawa berbeda dengan musik daratan utama Jepang, karena pada masa lalu Okinawa adalah negara independen yang berhubungan baik dengan Tiongkok dan Asia Tenggara, maka budaya Okinawa mendapat banyak pengaruh dari negeri-negeri itu. Kerajaan Okinawa mengadaptasikan alat musik dawai dari Tiongkok bernama sanxian menjadi alat musik mereka yang paling utama, sanshin. Alat musik tabuh berupa gendang diadaptasikan dari gendang Jepang dan Korea.[1]
Tidak diketahui secara jelas bagaimana asal mula skala pentatonik diadopsi oleh Kerajaan Ryukyu. Menurut sejarawan, pertukaran kebudayaan berlangsung secara intensif antara rakyat Ryukyu dan negara-negara di laut selatan pada masa lalu, salah satunya adalah dengan Kerajaan Majapahit di Nusantara. Kemajuan Majapahit ikut memberi pengaruh kepada Ryukyu dalam bidang sastra, tari, musik dan tenun.[4] Beberapa musikolog mengenali kemiripan skala Ryukyu dengan skala pelog dari Nusantara.[1][3]
Musik dan tari merupakan bentuk kesenian yang terpenting bagi rakyat Okinawa sejak lama.[5] Pada masa Kerajaan Ryukyu berkuasa, banyak komposisi musik dan puisi diciptakan di lingkungan Istana Shuri. Musik Okinawa mencapai zaman keemasannya pada periode ini. Rakyat jelata pun memiliki tradisi musik tersendiri. Mereka telah mengenal lagu-lagu sakral yang dinyanyikan di bukit dan ladang-ladang.[6] Lagu-lagu "doa" merupakan dasar bagi seni pertunjukan Okinawa, termasuk balada dan lagu kuno yang disebut Umui dan Omoro.[6] Buku kumpulan balada dan puisi kuno Omoro Sōshi disusun pada masa Kerajaan Ryukyu.[6] Omoro Sōshi kemungkinan mulai disusun semenjak pengenalan alat musik tiga dawai dari Tiongkok pada abad ke-16 kepada kalangan istana.[7] Sanhsin ikut berkontribusi menciptakan musik yang dinamakan dengan "uta-sanshin", lagu-lagu yang diiringi petikan sanshin. Para pemusik istana dididik di tiga sekolah musik pada saat itu: Nomura-ryu, Afuso-ryu, dan Tansui-ryu.[7] Sejenis musik istana yang bernuansa Tionghoa bernama Uzagaku diciptakan untuk menghibur para duta Tiongkok. Musik ini punah pada akhir periode jatuhnya Kerajaan Ryukyu.[7]
Engelbert Kaempfer, seorang Belanda yang mengunjungi Okinawa pada tahun 1690-an menulis: "setelah jam kerja usai, mereka akan minum minuman keras dan memainkan alat musik dawai yang mereka bawa ke ladang".[5] Situasi yang sama tidak berubah sampai kunjungan terakhir Komodor Matthew Perry ke Naha (pertengahan abad ke-19).[2] Rakyat Okinawa sangat senang bernyanyi dan menari.[2]
Setelah Perang Dunia II berakhir, Okinawa mengalami kehancuran hebat.[8] Di tengah-tengah keadaan yang tidak menguntungkan tersebut rakyat Okinawa masih melewati hidup dengan bermain musik.[8] Dengan menggunakan kaleng-kaleng bekas dan benang parasut, orang Okinawa menciptakan sanshin model baru, kankara sanshin ("sanshin kaleng").[8] Rakyat Okinawa dapat memainkan musik dalam waktu kapan pun untuk menuangkan bermacam-macam perasaan.[8] Menurut ethnomusikolog Amerika, Bob Brozman, musik merupakan salah satu faktor disamping aktivitas sehari-hari, pola makan dan kehidupan santai yang berkontribusi membuat orang-orang Okinawa memiliki harapan hidup terpanjang di dunia.[2]
Kategori
Musik klasik dan aliran-alirannya
Pembagian antara musik klasik dan musik rakyat Okinawa tidak begitu jelas, karena keduanya berkaitan.[9] Pada awalnya musik klasik hanya dimainkan di istana saja. Ciri musik klasik ialah lambat, tenang dan anggun, biasanya dimainkan baik dalam bentuk orkestra instrumental atau sebagai musik pengiring tari klasik.
Pada zamannya, musik klasik dari istana ini dinamakan Tō-ryū. Sampai kini terdapat tiga sekolah aliran musik klasik Ryukyu yang masih bertahan: Afuso-ryu (安冨祖流), Nomura-ryu dan Tansui-ryu. Meski istana yang menjadi pelindung musik dan tari akhirnya dihapuskan, namun sekolah-sekolah ini bertahan dari masa ke masa lewat pengajaran dari guru kepada murid.
Sekolah Musik Afuso didirikan oleh Afuso Pechin Seigen (1785-1865).[10] Afuso merupakan murid dari Chinen Sekkō (1761-1828). Chinen memeriksa catatan-catatan musik yang dikumpulkan oleh Yakabi, musisi yang menjadi abdi Raja Shō Kei (1700-1752).[10] Melalui perbaikan-perbaikan, ia menciptakan suatu sistem pencatatan musik bernama kunkunshi, khusus untuk musik Ryukyu.[10]
Semasa pemerintahan Raja Sho Tai tahun 1856-1879, dua sekolah musik baru dibentuk. Salah seorang murid Chinen yang bernama Ansho Nomura, menjadi guru musik raja.[11] Ia diminta untuk menyederhanakan pencatatan musik serta mendirikan Sekolah Musik Nomura.[11] Sementara itu, kepemimpinan Chinen dilanjutkan oleh seorang murid bernama Seigen Afuso. Afuso juga kemudian mendirikan sekolah musik tersendiri.[11]
Kin Ryojin membentuk asosiasi pelestari musik klasik aliran Afuso dibentuk bernama Afuso-ryu Gensei Kai pada tahun 1927.[11] Melewati masa-masa sulit dalam periode perang dan pasca perang Pasifik, organisasi ini bertahan.[9] Beberapa tahun sebelum perang, Kin Ryosho telah mengunjungi Hawaii dan mengajar musik di sana. Sebelum tutup usia pada tahun 1928, ia telah membuat beberapa rekaman. Tradisi musik Afuso lalu dilanjutkan oleh muridnya yang bernama Furugen Seiho.[9] Setelah Furugen, Afuso diteruskan oleh Miyazato Haruyuki. Saat perang meletus di Okinawa, Miyazato dimasukkan sebagai tentara oleh Jepang dan dikirim ke Manchuria. Ia tertangkap oleh Rusia dan dibebaskan lebih dari 10 tahun kemudian. Pasca perang, tradisi Afuso di Okinawa telah melemah karena sedikitnya peminat.
Sementara itu di luar negeri, aliran Nomura mulai berkembang pesat berkat pengajaran Kochi Kamechiyo, yang diundang oleh pengusaha Okinawa di Honolulu bernama Harry Nakasone untuk mengajar di Hawaii.[9] Tradisi Nomura cepat berkembang karena antusiasme yang cukup tinggi. Tak hanya di Hawaii, sekolah musik Nomura membuka kelas-kelas di Kalifornia, Brazil dan Argentina. Kembali ke Okinawa, Miyazato mulai kembali mengajar musik aliran Afuso. Walau aliran Nomura memiliki peminat yang lebih besar, aliran Afuso telah cukup kokoh dengan peminat tersendiri berkat upaya Miyazato.[9]
Sejenis seni musik yang bernuansa Tionghoa tercipta semasa zaman kerajaan Ryukyu.[12] Musik ini khusus dimainkan untuk hiburan bagi utusan dan tamu negara dari Tiongkok atau ketika rombongan utusan raja berkunjung ke Edo.
Terdapat 19 jenis alat musik yang digunakan dalam sebuah orkestra, yang terutama ialah Biwa (alat musik dawai), Erhu (alat musik gesek), Shiko dan sebagainya yang merupakan alat musik tradisional Tiongkok. Karena hanya sedikit orang yang bisa memainkannya, setelah kerajaan Ryukyu dihapuskan, kesenian ini punah.[12]
Pada tahun 1994, sebuah asosiasi peneliti musik istana kerajaan dibentuk guna memulihkan kembali Uzagaku. Penelitian dilakukan dengan melihat arsip dan catatan sejarah mengenai utusan kerajaan Ryukyu kepada Shogun di ibu kota Jepang.[12] Dalam kunjungan dari pihak Ryukyu pada tahun 1796, ternyata dipersembahkan banyak alat musik istana Ryukyu kepada Shogun Tokugawa.[12] Alat-alat musik itu tersimpan dalam museum pribadi klan Tokugawa di Nagoya serta Prefektur Ibaraki. Melalui penelitian dan percobaan berulang kali musik Uzagaku sekarang telah berhasil direkonstruksi kembali.[12][13]
Musik rakyat
Berbeda dengan musik istana, musik rakyat tercipta dari berbagai aktivitas sehari-hari dan umumnya memiliki ritme yang cepat dan ceria. Sebelum sanshin dikenal luas oleh rakyat jelata, rakyat Okinawa umumnya menyanyikan lagu-lagu ritual tanpa iringan alat musik. Setelah sanshin kian populer, lagu-lagu diiringi dengan petikan alat musik itu, atau ditambah tabuhan taiko dan paranku untuk menambah kemeriahan. Istilah untuk lagu rakyat Okinawa ialah Ryuka.
Tema-tema utama lagu rakyat Okinawa biasanya berhubungan dengan pekerjaan sehari-hari, hubungan antara kekasih, keindahan alam atau bakti terhadap ayah dan ibu.
Musik Pop Okinawa dan pesan-pesan yang disampaikan
Kehadiran budaya Amerika di Okinawa tak bisa dihindari telah menciptakan campuran musik baru antara musik tradisional dan musik barat.[1] Musik pop Okinawa (Uchinaa Pop) adalah salah satu dari produk campuran tersebut dan dikenal pendengar musik internasional sebagai kontribusi Jepang bagi genre musik dunia.[5][14]
Genre musik ini terbentuk dari elemen musik Okinawa (alat musik, skala, lagu, bahasa) dan musik barat, alat musik populer seperti gitar listrik dan keyboard serta skala dan ketukan musik reggae atau rock.[14] Ada yang menyebutnya musik champuru[5] (meminjam Bahasa Indonesia "campur") yang terdiri dari warna musik yang baru dan beragam. "Okinawa Boom", kegemaran akan musik Okinawa terjadi tahun akhir dekade 80a-an hingga dekade 90-an berkat grup-grup musik dan penyanyi Okinawa seperti Rinken Band, Shokichi Kina and Champloose, Nenes, Rimi Natsukawa dan sebagainya.
Minat besar orang muda di Jepang terhadap hal-hal yang berbau etnik seperti makanan, benda, atau musik dunia dimulai sejak dekade 80-an akhir.[14] Pada saat yang bersamaan para musisi asal Okinawa seperti Kina Shoukichi and Champloose, The Rinken Band dan The Nenes merilis album yang kental dengan nuansa musik Okinawa dan berhasil cukup baik memperkenalkannya.
Umumnya musik pop Okinawa berisi lirik yang sebagian besar tentang peristiwa-peristiwa yang menyedihkan dalam sejarah Okinawa.[14] Lagu-lagu ini dapat dianggap sebagai lambang identitas Okinawa di tengah-tengah arus musik pop Jepang.[14] Tema-tema yang diangkat umumnya tentang keteguhan dan perjuangan, kerinduan akan kampung halaman serta protes terhadap politik dan pangkalan militer Amerika.[14]
Di Kepulauan Yaeyama, rakyatnya memiliki bahasa yang agak berbeda dengan Pulau Okinawa dan daerah lain.[3] Walau letaknya jauh dan jumlah penduduknya kecil, pengaruh musiknya besar di Okinawa.[3] Rakyat Yaeyama terkenal sebagai pemusik dan pencerita. Lagu-lagu yang dinyanyikan di istana Kerajaan Ryukyu banyak yang diciptakan oleh seniman dari kepulauan ini. Di Yaeyama terdapat dua kategori utama musik tradisional, musik petani dan musik elit.[3] Musik petani terbagi lagi menjadi nyanyian tanpa iringan alat musik berupa lagu-lagu kerja (yunta dan jiraba), lagu ritual, lagu-lagu komedi (yungutu) dan ucapan-ucapan untuk ritual.[3]