Ferenc Raymon Sahetapy (lahir 1 Januari 1957) adalah seorang aktor Indonesia. Ia adalah salah satu aktor paling populer dan disegani di generasinya, sering memerankan pria kompleks dengan nuansa dan karakter yang dalam. Karier beraktingnya membentang lebih dari empat dekade, penampilannya yang mengesankan termasuk yang paling diapresiasi saat itu, dalam film-film drama seperti Ponirah Terpidana (1983), Tatkala Mimpi Berakhir (1987) dan Jangan Bilang Siapa-Siapa (1990). Ia telah dinominasikan untuk Piala Citra di Festival Film Indonesia tujuh kali, enam di antaranya untuk Aktor Terbaik, dan memegang rekor nominasi terbanyak dalam kategori tersebut tanpa kemenangan.
Kehidupan awal
Masa kecilnya dihabiskan di Panti Asuhan Yatim Warga Indonesia, Surabaya.
Ia menikah dengan Dewi Yull pada tanggal 16 Juni 1981, tanpa restu dari orang tua Dewi, karena perbedaan agama (pada saat itu Dewi beragama Islam dan Ray beragama Kristen).[1] Kemudian, Ray memutuskan untuk menjadi seorang mualaf pada tahun 1992.[2] Pasangan ini mempunyai empat orang anak, yakni Giscka Putri Agustina Sahetapy (1982—2010), Rama Putra Sahetapy (1992), Surya Sahetapy (1994), dan Muhammad Raya Sahetapy (2000). Sayangnya, Dewi memilih untuk menolak poligami sehingga memutuskan untuk menggugat cerai Ray. Dewi melakukannya karena Ray hendak menikah lagi dengan Sri Respatini Kusumastuti, seorang janda beranak dua yang merupakan pengusaha kafe dan katering, yang pernah menjadi dosen seni pertunjukan di Institut Kesenian Jakarta. Mereka resmi bercerai pada 24 Agustus 2004.[3] Ray menikah dengan Sri di bulan Oktober 2004.[4] Ia merupakan pemimpin dari organisasi Perhimpunan Seniman Nusantara.
Karier
Film perdananya dirilis pada tahun 1980 dengan judul Gadis yang merupakan arahan dari sutradara Nya' Abbas Akup. Dalam film inilah, ia bertemu dengan Dewi Yull yang merupakan istri pertamanya.
Ketika industri film Indonesia mengalami mati suri, ia tetap eksis di dunia seni peran. Ray membangun sebuah sanggar teater di pinggiran kota dan membentuk komunitas teater di sana. Lewat sanggarnya ini, ia pernah membuat geger lantaran gagasan tentang perlunya mengubah nama Republik Indonesia menjadi Republik Nusantara.
Pada pertengahan 2006, ia kembali aktif di dunia film dengan membintangi Dunia Mereka. Bahkan, kongres PARFI pada tahun yang sama memilih Ray menjadi salah satu ketuanya.