Mereka Bilang, Saya Monyet! (ditayangkan internasional They Say I'm a Monkey!) adalah film Indonesia tahun 2008 yang disutradarai oleh Djenar Maesa Ayu. Film ini diperankan oleh Titi Rajo Bintang, Henidar Amroe, dan Ray Sahetapi, tentang kisah hidup perempuan bernama Adjeng yang mengalami pelecehan seksual oleh pacar ibunya. Film ini disadur dari dua antologi cerita pendek pertama karya Ayu dengan judul yang sama, dan melalui proses pengembangan selama beberapa tahun sebelum akhirnya difilmkan dalam waktu 18 hari dengan anggaran rendah, yaitu Rp620 juta. Para pemeran dan kru film ini sebagian besar adalah amatir dan pelajar, meskipun ada beberapa aktor terkenal dengan bayaran murah.
Film Mereka Bilang, Saya Monyet! digambarkan sebagai "anti-Sjuman" karena gaya penyutradaraan Ayu yang lebih personal dan realisme sosial ayahnya, Sjumandjaja. Meskipun gagal secara komersial, film ini dapat diterima dengan baik oleh para kritikus dan memenangkan lima penghargaan tingkat nasional, serta ditayangkan di beberapa festival film internasional. Dua media Indonesia, Tempo dan The Jakarta Post memilih film ini sebagai salah satu film terbaik di tahun 2008.
Alur
Adjeng (Titi Rajo Bintang) adalah seorang penulis cerita anak-anak yang tinggal sendirian di apartemen yang dibiayai oleh pacarnya, seorang pengusaha kaya (Joko Anwar). Namun, Adjeng ingin menulis cerita pendek untuk orang dewasa, dan ia dibimbing oleh Asmoro (Ray Sahetapy), yang juga menjalin hubungan dengannya. Sementara itu, ibu Adjeng (Henidar Amroe) terus meneleponnya dan melakukan kunjungan mendadak yang membuat teman-teman Adjeng, Venny (Ayu Dewi) dan Andien (Fairus Faisal) menyindir dirinya karena merasa ibunya sombong.
Suatu malam, Adjeng pergi ke kelab dengan teman-temannya dan minum terlalu banyak hingga muntah dan pingsan di toilet. Saat terbaring di sana, ia teringat masa kecilnya (Nadya Romples) yang penuh dengan trauma, termasuk ketika ia dipaksa makan sayuran yang sebelumnya telah ia muntahkan. Saat Andien menginap semalam di apartemennya, Adjeng mengintip dan mengingat bagaimana ia melihat ibunya berhubungan seks dengan kekasihnya (Bucek Depp), yang pernah mencabulinya. Latar belakang ini, serta ingatannya tentang kehidupan Adjeng saat remaja (diperankan oleh Banyu Bening) di rumah ayahnya yang suka main perempuan (August Melasz), digabungkan ke dalam cerita pendek Adjeng yang berjudul "Lintah".
Ketika Asmoro membaca cerita tersebut, ia mengatakan bahwa cerita tersebut tidak realistis dan pembaca membutuhkan klimaks. Namun, Adjeng bersikeras bahwa kenyataannya memang tidak realistis dan tidak semua korban pemerkosaan mau melapor ke polisi. Beberapa hari berselang, ketika mereka sedang berbaring di tempat tidur, Asmoro menunjukkan kepada Adjeng bahwa "Lintah" telah dimuat di surat kabar Kompas. Ibu Adjeng, yang mengetahui bahwa cerita tersebut bersifat otobiografi menjadi sangat marah dan setelah dirinya pergi ke apartemen Adjeng, Ibunya menyalahkan semuanya kepada ayah Adjeng yang telah menelantarkan mereka.
Karena kesal, Adjeng pergi bersama Venny dan Andien, namun ketika keduanya mulai berdebat tentang keibuan, Adjeng meninggalkan mereka berdua di jalan. Ia kemudian pergi ke sebuah kafe untuk minum-minum dengan Asmoro yang telah menghiburnya. Ketika kembali ke rumah, ia memeriksa pesan-pesannya yang sebagian besar berisi tentang cerpen tersebut. Sementara itu, Venny dan Andien kembali ke rumah dan mengurusi anak-anaknya.
Sehari berselang, Asmoro melihat kekasih Adjeng meninggalkan apartemennya dan membuatnya marah. Mereka bertengkar dan membuat Asmoro hampir membekap Adjeng dengan bantal sebelum mengatakan mengakhiri hubungan mereka. Saat Adjeng berbaring di tempat tidur, ia teringat bagaimana kekasih ibunya itu memperkosanya dan bagaimana ibunya membunuhnya. Saat telepon berdering, Adjeng mengingat masa lalunya dan menemukan kenyamanan dalam menulis.
Pemeran
Titi Sjuman sebagai Adjeng, seorang penulis muda yang pernah mengalami pelecehan saat kecil
Henidar Amroe sebagai ibu Adjeng, seorang mantan aktris yang sangat posesif dengan anaknya
Ray Sahetapy sebagai Asmoro, penasihat dan kekasih Adjeng
Bucek Depp sebagai pacar ibu Adjeng, seorang musisi yang pernah mencabuli Adjeng saat masih kecil
Joko Anwar sebagai bos yang dikencani oleh Adjeng untuk mendapatkan dukungan finansial
Riyadh Assegaf sebagai Lounge Crowd
Produksi
Film ini awalnya akan dibuat berdasarkan antologi cerita pendek karya Djenar Maesa Ayu pada tahun 2002, yakni "Mereka Bilang, Saya Monyet!", yang sukses secara komersial.[2][3] Namun, Djenar kemudian memilih untuk mendasarkan film ini pada dua cerita lain dari antologi tersebut, yakni "Lintah" dan "Melukis Jendela".[4] Djenar awalnya tidak berniat untuk memfilmkan cerita tersebut, tetapi ia kemudian setuju setelah didekati oleh sebuah konsorsium investor yang menawarkan untuk mendanainya.[5] Djenar lalu meminta Indra Herlambang, seorang penulis sekaligus pewara televisi,[6] untuk membantunya menulis skenario, karena ia "tidak pernah bisa menulis cerita dengan alur",[a][7] dan ia membutuhkan Indra untuk membuatnya tetap termotivasi.[8] Keduanya pun menulis skenario selama dua tahun,[4] dan sempat mengalami kesulitan untuk menemukan investor baru setelah investor awal memutuskan untuk keluar.[9]
Pada tahun 2004, Djenar mulai mengambil kelas pembuatan film untuk mempersiapkan dirinya menyutradarai film.[2] Ia juga menonton sejumlah film yang disutradarai oleh ayahnya, Sjumandjaja, sebagai bagian dari persiapan produksi.[4] Produksi akhirnya dimulai pada bulan Oktober 2006, dengan sejumlah kru film, termasuk penata artistik Hardiyansah B. Yasin, baru bergabung setelah Djenar bertemu dengan mereka di sebuah kafe di Jakarta Selatan dan mengetahui bahwa mereka aktif di kancah film indie lokal. Mereka pun membantu mengumpulkan uang sebanyak Rp 620 juta yang dibutuhkan untuk produksi.[1][10] Sebagai bagian dari upaya untuk menghemat biaya, banyak anggota kru masih merupakan mahasiswa jurusan perfilman.[11]
Sejumlah peran ditulis dengan telah mempertimbangkan aktor tertentu untuk memerankannya,[12] sementara seleksi untuk peran lain dipromosikan dari mulut ke mulut.[13] Titi Rajo Bintang, seorang dosen di Institut Musik Daya Kemang, dipilih untuk berperan sebagai Adjeng, setelah Djenar dan suami Titi saat itu, Sri Aksana Sjuman (kakak Ayu), berhasil meyakinkannya. Awalnya Titi merasa tidak nyaman dengan sejumlah adegan dan kurangnya latihan yang ia lakukan, karena ini adalah peran film pertamanya. Namun, ia mendapat dukungan dari suaminya, yang mengatakan bahwa ia harus berperan secara profesional dan bahwa "dalam adegan ciuman...tubuh[nya] tidak boleh menolaknya".[14] Titi dan Aksana juga menyediakan lagu tema untuk Mereka Bilang, Saya Monyet!, termasuk tiga lagu asli, yakni "When You Smile", "Someday", dan "Love, Sadness & Happiness", yang dibawakan sendiri oleh Titi.[15]
Model yang beralih menjadi aktris, Henidar Amroe dipilih untuk berperan sebagai ibu Adjeng. Djenar kemudian mengatakan bahwa peran tersebut memang ditulis dengan telah mempertimbangkan Henidar untuk memerankannya.[16] Meski khawatir dengan konten seksual dari film ini, Henidar tetap menerima peran tersebut, dan menyebutnya sebagai plot "gila" yang "terlihat seperti film luar negeri".[16] Adjeng muda diperankan oleh putri dari Djenar, Banyu Bening.[17] Sejumlah aktor terkemuka, seperti Jajang C. Noer, Ray Sahetapy, dan August Melasz, setuju untuk muncul di film ini dengan upah yang lebih rendah dari biasanya.[18] Proses produksi akhirnya berlangsung selama 18 hari, padahal awalnya direncanakan hanya berlangsung selama 14 hari.[19]
Gaya dan tema
Mereka Bilang, Saya Monyet! menggambarkan dampak penganiayaan anak dengan cara yang digambarkan oleh majalah Tempo sebagai sebuah "eksperimen permainan waktu yang menarik", yakni penuh dengan kilas balik[4] yang dengan jelas menetapkan kerangka waktu kapan adegan tersebut terjadi.[20] Menurut Wicaksono Adi, dalam ulasannya untuk Kompas, tulisan Adjeng adalah terapinya, karena tulisan tersebut terus-menerus merekonstruksi dan mendekonstruksi masa lalunya yang bermasalah. Wicaksono berpendapat bahwa tulisan tersebut pada akhirnya memungkinkan Adjeng untuk melawan figur otoritas yang mengganggunya sejak masih kecil.[21] Dalam sebuah dokumenter mengenai pembuatan film ini, Djenar mengatakan bahwa ia tidak memikirkan pesan moral atau kritik sosial apapun saat membuat film ini, tetapi ia hanya menganggap film ini sebagai bentuk eksplorasi diri.[22] Walaupun begitu, ia mengakui bahwa film ini dapat dilihat sebagai sebuah kritik untuk kekerasan terhadap perempuan dan anak.[23]
Wicaksono juga melihat adanya hubungan cinta-benci antara Adjeng dan ibunya, yang berujung pada pergaulan bebas Adjeng, sebuah alur yang lazim digunakan dalam gerakan Sastra Wangi, yang mana Djenar dianggap termasuk di dalamnya. Hubungan antara ibu dan anak juga pernah dimunculkan di film-film sebelumnya, seperti Pasir Berbisik (2001) karya Nan Achnas dan Eliana, Eliana (2003) karya Riri Riza. Namun, berbeda dengan dua film tersebut, film ini tidak berakhir dengan ibu dan anak memilih jalan yang berbeda.[21] Pengulas Totot Indrarto, yang juga menulis untuk Kompas, menulis bahwa Adjeng adalah karakter "monyet" di film ini, karena dipandang rendah oleh orang-orang di sekitarnya. Namun, orang-orang di sekitar Adjeng sebenarnya tidak mengenalnya dengan baik, sehingga menurut Indrarto, orang-orang di sekitar Adjeng lah yang sebenarnya "monyet".[1]
Sebuah ulasan di Tempo menggambarkan film ini sebagai "anti-Sjuman", karena terdapat perbedaan gaya antara Sjumandjaja dan anaknya, Djenar. Film-film karya Sjumandjaja cenderung berada di bawah realisme sosial, sementara film karya Djenar ini lebih bersifat personal dan simbolis[4] dengan sentuhan surealisme.[21] Film ini tidak menampilkan pencabulan Adjeng, tetapi hanya menyimbolkannya dengan menampilkan lintah yang sedang makan. Pada saat Adjeng diperkosa di bak mandi dan akhirnya kehilangan keperawanannya, film ini juga hanya menyimbolkannya dengan menampilkan air berwarna merah darah dan banyak lintah yang sedang makan.[4]
Perilisan dan penerimaan
Mereka Bilang, Saya Monyet! dirilis secara luas pada tanggal 3 Januari 2008.[24] Secara komersial, film ini kurang sukses di Indonesia.[25] Film ini lalu ditayangkan di sejumlah festival film internasional, seperti Festival Film Internasional Singapura (SIFF) 2008,[26]Festival Film Black Nights Tallinn 2008 di Estonia,[27] dan Asian Hot Shot Film Festival 2009 di Berlin.[28] Film ini kemudian dirilis dalam bentuk DVD di Indonesia pada tanggal 9 Mei 2008 oleh Jive! Collection, setelah lulus sensor pada bulan Maret 2008. DVD tersebut dilengkapi dengan terjemahan bahasa Inggris, edisi bahasa Inggris dan bahasa Indonesia dari cerita pendek yang menjadi sumber film ini, serta sebuah dokumenter mengenai pembuatan film ini.[29][30]
Film ini umumnya mendapat ulasan positif. Seno Joko Suyono, dalam ulasannya untuk Tempo, menyatakan bahwa alur krisis keluarga yang klise menjadi lebih menarik dengan pengenalan seks. Ia juga menyebut bahwa klimaks film ini "manis yang justru mengganggu".[31] Pada tahun 2008, Tempo memilih Mereka Bilang, Saya Monyet! sebagai film lokal terbaik tahun 2008, dengan menulis bahwa Djenar sebagai sutradara film ini seperti "ikan yang telah lama menggelepar di tanah kering dan akhirnya kembali ke laut."[4] Iskandar Liem, yang menulis untuk The Jakarta Post, juga menyebut film ini sebagai salah satu dari sepuluh film teratas pada tahun 2008, bersama film-film internasional seperti The Dark Knight karya Christopher Nolan dan film Indonesia lainnya, Laskar Pelangi karya Riri Riza. Ia menggambarkan film ini sebagai "tidak tergoyahkan dalam kejujurannya yang brutal dan luwes dalam alegori visualnya", serta menyambut Djenar sebagai "suara baru yang memberontak" di industri film Indonesia.[32]
Ening Nurjanah, seorang penyelenggara festival film bertema perempuan V, menggambarkan Djenar sebagai "contoh sutradara yang dapat menampilkan perempuan kuat dalam filmnya", dengan film ini menjadi "terobosan baru" dalam menampilkan seksualitas perempuan.[33] Aktor Vietnam-AmerikaDustin Nguyen, yang menilai film ini di SIFF, menganggap film ini tidak terduga dan "tidak Indonesia", "dibuat dengan baik, diperankan dengan baik, tetapi [dengan] lebih banyak kepekaan Barat".[26]Lisabonar Rahman, yang menulis untuk Rolling Stone Indonesia, memuji peran Rajo Bintang dan penggambaran latar belakang Adjeng di film ini, di mana ia menulis "tuturan [latar belakang] yang sangat kuat terus membuat kita tergugu". Namun, ia menemukan bahwa kualitas suara di film ini kurang memadai.[20]
Dalam ulasannya untuk Kompas, Adi menulis bahwa Djenar telah membuat sebuah film yang dikembangkan dan diperankan dengan baik, sebuah "debut yang bagus untuk sutradara masa depan kita [Indonesia]". Walaupun begitu, ia menganggap bahwa sinematografi film ini tidak mampu mengekspresikan dengan penuh siksaan psikologis yang dialami oleh Adjeng.[21] Indrarto menggambarkan Mereka Bilang, Saya Monyet! sebagai sebuah film yang menarik walaupun terdapat sejumlah kekurangan teknis dan mengandung pesan yang kuat bahwa penonton seharusnya tidak menilai atau mengganggu orang lain jika penonton tidak mengetahui latar belakang yang sebenarnya dari orang lain tersebut.[1]
Adi, Wicaksono (13 Januari 2008). "Monyet Itu Baik-Baik Saja". Kompas. hlm. 1, 15.
Ayu, Djenar Maesa (sutradara dan produser) (2008). Di Balik Layar Mereka Bilang, Saya Monyet! (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Jive! Collection. OCLC298868155.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
Ayu, Djenar Maesa (sutradara dan produser) (2008). Mereka Bilang, Saya Monyet! (DVD liner notes). Jakarta: Jive! Collection. OCLC298868155.
"Di Layar Lebar, Djenar Berenang". Tempo (dalam bahasa Indonesia). 29 Desember 2008. Diarsipkan dari versi asli tanggal 31 Maret 2012. Diakses tanggal 5 November 2011.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
Edmond, Bruce (29 Januari 2009). "Taking Things in Stride". The Jakarta Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 16 Januari 2012. Diakses tanggal 5 November 2011.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
García, Michael Nieto (1 Oktober 2004). "More than Just Sex". Inside Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 November 2011. Diakses tanggal 5 November 2011.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
"Idealis dan Komersial". Kompas. 18 Desember 2008. Diakses tanggal 14 Agustus 2012.(perlu berlangganan)
Indrarto, Totot (6 Januari 2008). "Demokratisasi Selera Monyet Djenar". Kompas. hlm. 28. Diarsipkan dari versi asli tanggal 18 Oktober 2011. Diakses tanggal 15 Agustus 2012.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Liem, Iskandar (28 Desember 2008). "Top ten theatrical releases of 2008". The Jakarta Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 Maret 2016. Diakses tanggal 14 Agustus 2012.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
"Mereka Bilang, Saya Monyet!" (dalam bahasa Indonesia). Disc Tarra. Diarsipkan dari versi asli tanggal 28 Juni 2012. Diakses tanggal 14 Agustus 2012.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
"Mereka Bilang, Saya Monyet!". filmindonesia.or.id (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Konfidan Foundation. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 April 2014. Diakses tanggal 14 Agustus 2012.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
"No monkey business". The Jakarta Post. 16 Oktober 2005. Diarsipkan dari versi asli tanggal 3 Februari 2011. Diakses tanggal 14 Agustus 2012.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
"Penghargaan Mereka Bilang, Saya Monyet!". filmindonesia.or.id (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Konfidan Foundation. Diarsipkan dari versi asli tanggal 27 November 2016. Diakses tanggal 14 Agustus 2012.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
Rahman, Lisabona (13 Mei 2007). "Selamat Datang, Djenar". Rolling Stone Indonesia (dalam bahasa Indonesia). Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 April 2014. Diakses tanggal 17 Agustus 2012.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
Siregar, Lisa (9 Agustus 2011). "Indonesia on the Silver Screen". The Jakarta Globe. Diarsipkan dari versi asli tanggal 14 Agustus 2012. Diakses tanggal 14 Agustus 2011.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Suyono, Seno Joko (21 Januari 2008). "Pergulatan Ajeng, Pergulatan Djenar". Tempo (dalam bahasa Indonesia). Diarsipkan dari versi asli tanggal 31 Maret 2012. Diakses tanggal 5 November 2011.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
"They Say I'm a Monkey". Tallinn Black Nights Film Festival. 2008. Diarsipkan dari versi asli tanggal 7 Desember 2008. Diakses tanggal 14 Agustus 2012.