Pondok Indah adalah kawasan permukiman elite di wilayah Pondok Pinang, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Kawasan ini mulai dibangun sejak tahun 1970-an oleh kelompok usaha Pondok Indah Group yang berada di bawah naungan PT Metropolitan Kentjana Tbk. milik Siti Hartati Murdaya.[1] Sebelum dikembangkan menjadi area hunian, Pondok Indah merupakan lahan pertanian dengan luas sekitar 460 ha yang terdiri atas persawahan, perkebunan karet, serta pertanian palawija.[2][3] Pondok Indah juga merupakan kota satelit modern kedua di Indonesia setelah Kebayoran Baru yang selesai pada tahun 1955.
Kawasan Pondok Indah merupakan hunian yang paling dicari-cari oleh para ekspatriat, konglomerat, pesohor, dan pejabat pemerintahan. Harga rumah di kawasan Pondok Indah dapat mencapai triliunan rupiah.
Penamaan
Kawasan tersebut diberi nama "Pondok Indah". Menurut pengembangnya Ciputra, kata "pondok" pada nama Pondok Indah menunjuk pada nama wilayah perkebunan pada kawasan tersebut, yakni Pondok Pinang, yang kini menjadi wilayah Kelurahan dari Kecamatan Kebayoran Lama. Secara harfiah, pondok berarti tempat tinggal atau rumah. Dengan demikian, jika kata "pondok" digabungkan dengan kata "indah", maka akan berarti "rumah yang indah". Nama Pondok Indah sudah sesuai dengan keinginan Ciputra sebagai sebuah kawasan termewah di Jakarta.[4]
Sejarah
Latar belakang
Jauh dari kesan elit seperti saat ini, kawasan Pondok Indah sebelumnya adalah sebuah bentangan ladang kering, persawahan, dan perkebunan karet dan palawija.[2][3][4]
Pada suatu saat, daerah tersebut didatangi oleh seorang arsitek dan pengembang perkotaan, Ciputra. Pada saat itu, Ciputra harus melewati sebuah jalan kecil yang hanya memiliki lebar 6 meter dan berupa jalan bebatuan untuk mencapai kawasan yang akan mejadi cikal bakal Pondok Indah. Kini jalan kecil yang berupa bebatuan tersebut telah menjadi Jalan Radio Dalam Raya.
Menurut Ciputra, kawasan perkebunan tersebut sangat strategis, karena berbatasan dengan Jalan Ciputat Raya (yang sebelumnya merupakan bagian dari Jalan Nasional dari Jakarta menuju Bogor yang melewati Palmerah, Ciputat, dan Parung) disebelah barat dan Lebak Bulus di sebelah selatan. Hal yang paling penting adalah karena kawasan perkebunan tersebut terletak dekat dengan Kota SatelitKebayoran Baru sebagai kota satelit modern pertama di Indonesia. Hal lainnya adalah karena kawasan perkebunan tersebut bukan daerah rawan banjir dan tanahnya tidak mengandung garam seperti di wilayah utara Jakarta. Kawasan tersebut juga masih berupa hamparan hutan yang sejuk dan menjadi sumber air bersih.[4]
Ciputra berfirasat bahwa Jakarta akan mencapai puncak pertumbuhan penduduk di tahun 1970-an karena besarnya arus urbanisasi yang akan membuat Jakarta menjadi sangat padat. Ia juga memprediksi bahwa keterbatasan lahan untuk membangun perumahan akan terjadi di Jakarta, sehingga akan dipenuhi dengan hunian vertikal di masa depan. Oleh karena itu, ia memiliki ide untuk membuat kota satelit baru.[2]
Realisasi pembangunan
Untuk menyulap perkebunan tersebut menjadi sebuah kawasan hunian elit, Ciputra menggandeng pengusaha Liem Sioe Liong. Padahal saat itu, Liem ingin mengembangkan kawasan Sunter, Jakarta Utara. Namun, Ciputra menilai kawasan yang justru berkembang ada di Jakarta Selatan karena kualitas tanah dan udaranya masih bagus. Sementara kualitas tanah dan udara di kawasan Sunter dinilai kurang baik.
Setelah mendengarkan pemaparan Ciputra, Liem pun setuju untuk bekerja sama membiayai proyek Pondok Pinang. Liem memberi pinjaman dan sisanya pinjam dari Bank Dagang Negara (kini menjadi Bank Mandiri) dengan rekomendasi dari Liem dan jaminan proyek.[4] Ciputra menuturkan:
Kawasan itu bisa digarap menjadi perumahan mewah yang akan terus bercahaya dari waktu ke waktu. Saya bisa membuat master plan segara. Mengenai izin untuk menggarap proyek di kawasan ini, saya bisa bicara dengan Pak Ali Sadikin segera.
Awal pembangunan
Setelah menyiapkan badan hukum dan masterplan, Ciputra dan rekan-rekannya mulai membangun kawasan Pondok Indah yang sebelumnya adalah sebuah perkebunan mulai tahun 1970-an, Proyek pertama yang diselesaikan adalah pembangunan jalan yang sesuai dengan pemetaan kavling yang sudah dibuat dan pembangunan saluran air.
Pada awal pembangunan, beberapa rumah hanya dibangun sebagai contoh. Selebihnya Ciputra menjual kavling. Hal ini didasari atas perilaku orang kaya yang ingin membangun rumah sendiri sesuai dengan selera mereka (seperti pada gambar poster). Meski begitu, Ciputra juga membuka permintaan jika ada pembeli yang hendak dibangunkan rumahnya.
Ciputra sempat khawatir karena dana yang dihabiskan untuk membebaskan lahan, serta membangun infrastruktur jalan, dan salur air ternyata sangat besar. Untuk menyiasatinya, Ciputra bersama tim membangun rumah-rumah mungil di utara Pondok Indah, tepatnya di Jalan Pinang Perak, Jalan Pinang Emas. Rumah itu ternyata laku dengan cepat. Di sisi lain, kavling-kavling juga diserbu para pembeli. Dia menuturkan hampir tiap akhir pekan kawasan Pondok Indah yang masih berupa kavling dikunjungi peminat. Kebanyakan peminat adalah orang yang sudah kaya sejak dahulu, dan orang-orang kaya baru yang bermunculan akibat geliat bisnis.[4]
Sebelum kawasan ini mulai dibangun, satu satunya akses jalan ke cikal bakal Pondok Indah adalah Jalan Radio Dalam Raya yang pada saat itu hanya berupa jalan kecil dan bebatuan.[4] Jalan tersebut menghubungkan kawasan cikal bakal Pondok Indah dengan Kota Satelit modern pertama di Indonesia, yakni Kebayoran Baru.
Pada pembangunan tahap pertama, Ciputra dan rekan-rekannya memulai pembangunan jalan utama dan jalan kavling terlebih dahulu, sesuai dengan masterplan yang sudah disusun. Jalan utama ke kawasan Pondok Indah tersebut diberi nama Jalan Metro Pondok Indah, menghubungkan kawasan Kebayoran Lama dengan Lebak Bulus yang sebelumnya harus melewati Jalan Ciputat Raya (yang sebelumnya merupakan bagian dari Jalan Nasional dari Jakarta menuju Bogor yang melewati Palmerah, Ciputat, dan Parung, sebelum digantikan Jalan Metro Pondok Indah).[butuh rujukan]
Pondok Indah juga mempunyai akses dari tol JORR, ruas TMII-Pondok Pinang yang pertama kali dibuka pada tahun 1995.
Pada pertengahan hingga akhir September 2002, masyarakat Jakarta sempat dihebohkan oleh sebuah berita mengenai hilangnya seorang pedagang nasi goreng karena diculik oleh "hantu" yang mendiami salah satu rumah kosong di Jalan Metro Pondok Indah. Sejak berita meghebohkan tersebut beredar, masyarakat yang penasaran berbodong-bondong mendatangi rumah hantu tersebut bahkan diserbu oleh para pencari wangsit. Menurut Kriminolog Ronny Nitibaskoro, kehebohan tersebut menciptakan fenomena "irasionalitas (pikiran di luar nalar) masyarkat" karena adanya perihal dunia gaib yang telah mendarah daging di Indonesia. Pada saat itu, dunia gaib menjadi hiburan menarik bagi masyarakat di tengah krisis multidimensi yang berkepanjangan. Namun ia menghimbau agar cerita-cerita gaib tersebut tidak didramatisir karena dapat membuat masyarakat terperosok ke dalam pikiran irasional.[7]
Tentu saja (besar) dampak-dampaknya misalnya jelas kemarin mengakibatkan kemacetan di Jalan (Metro Pondok Indah). Dampak yang lain adalah bahwa hal-hal irasional itu merupakan hal yang tidak mendidik bagi anak cucu kita. Jadi kepercayaan terhadap hal-hal yang irasional dan sebagainya (seharusnya) tidak perlu ditiru. Itu harus dihilangkan.
— Ronny Nitibaskoro, seorang kriminolog ketika diwawancarai oleh RCTI
Cholil, sang penjaga rumah kosong yang diisukan berhantu tersebut berulang kali membantah adanya hantu karena ia tidak pernah melihat atau merasakan aura si hantu selama ia menjaga rumah kosong tersebut selama 1,5 tahun.
Jawaban: Gak ada. Pertanyaan: Jadi sebenarnya rumah ini (suasananya) kayak apa? Jawaban: Kayak biasa aja. Kita (harus) percaya (hanya) kepada Allah SWT. Nggak ada apa-apa. (Memangnya) masih ada keperluan (?), memang ada. Ya (selama) saya jaga-jaga disini gak ada apa-apa. Alhamdulillah, gak ada apa-apa.
— Cholil, sang penjaga "rumah hantu" ketika diwawancarai oleh RCTI
Sebenarnya, rumah "berhantu" tersebut sedang dalam sengketa dan menjadi aset Bank Mandiri. Diduga ada pihak-pihak yang sengaja menyebarluaskan berita irasional tersebut untuk menjatuhkan nilai jual rumah tersebut.[7]