Karena kepemimpinannya dalam Perang Dunia I, Pétain dianggap sebagai pahlawan Prancis, tetapi karena tindakannya pada Perang Dunia II menyebabkan dia diadili dan dihukum mati karena pengkhianatan, yang kemudian diringankan menjadi penjara seumur hidup oleh Charles de Gaulle.[2][8]
Riwayat Awal
Selama karier militernya, Pétain adalah salah satu perwira militer Prancis yang sangat berprestasi. Prestasi Pétain yang tertinggi adalah pada saat terlibat dalam Pertempuran Verdun, salah satu pertempuran terpanjang dalam teater Perang Dunia I antara Kekaisaran Jerman melawan Prancis.[2][9]
Karier Politik
Karena kontribusinya pada Prancis selama Perang Dunia I, Pétain dipandang sebagai seorang negarawan terkemuka, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Sejak saat itulah, karier politik Pétain terus menanjak. Puncaknya adalah ketika Perdana Menteri Prancis saat itu, Paul Reynaud mengangkat Pétain sebagai menteri dalam kabinetnya, bersama-sama dengan Jenderal Maxime Weygand dan Kolonel Charles de Gaulle.[1] Nama terakhir kemudian menjadi musuh politik Pétain ketika Prancis hidup dibawah kuasa Jerman.
Awalnya pengangkatan Pétain oleh Reynaud sebagai Menteri Perang diharapkan agar Sang Marshal bisa menjadi inspirasi bagi tentara Prancis, terutama mengingat tentara Jerman sudah semakin kuat dibawah rezim Reich Ketiga. Namun Pétain justru melihat kondisi sosial-politik Prancis sudah tidak sehat, ia justru melawan Reynaud. Kondisi semakin buruk bagi pemerintahan Reynaud, terutama setelah Jerman berhasil menembus pertahanan Prancis pada Mei 1940.[1]
Ketika tentara Jerman sudah berhasil menaklukkan sebagian besar Prancis, terjadi perselisihan di dalam kabinet Reynaud, terutama di Kementerian Perang yang dipimpin oleh Pétain. Sebagian menteri yang masih setia pada Reynaud meminta pemerintah Prancis untuk mengasingkan diri ke wilayah koloni Prancis di Afrika Utara atau ke wilayah Britania Raya. Sementara yang menentang Reynaud (termasuk Pétain) tetap ingin bertahan di Paris. Karena perpecahan ini, Perdana Menteri Reynaud memutuskan untuk mundur dan Presiden Albert Lebrun memberikan amanah kepada Pétain untuk membentuk pemerintahan baru.[1]
Setelah mendapatkan amanah dari Lebrun, posisi politik Pétain semakin kuat. Atas desakan dari publik Prancis, Lebrun memutuskan untuk mundur sebagai Presiden Prancis dan menyerahkan jabatan itu kepada Pétain. Puncaknya setelah Pétain memiliki otoritas tertinggi dalam pemerintahan Prancis, ia menandatangani perjanjian penyerahan kepada Jerman pada 22 Juni 1940. Hasil dari perjanjian itu adalah Jerman menguasai seluruh wilayah Normandia di utara dan barat Prancis, dan termasuk ibukota Paris. Sementara pemerintah Prancis menguasai sisa wilayah Prancis dengan pusat pemerintahan baru di Vichy, oleh karena itulah pemerintahan Pétain disebut sebagai rezim Prancis Vichy.[10][11]
Rezim Vichy
Setelah penyerahan kalah Prancis atas Jerman, Parlemen Prancis atau Assembleé Nationale segera mengadakan rapat paripurna. Parlemen memutuskan untuk mereduksi konsep trias politica dalam sistem politik Prancis, dan kemudian menyerahkan semua urusan yudikatif dan legislatif ke lembaga eksekutif yang dipimpin Pétain. Pada awalnya rencana parlemen ini hanya sementara sampai konstitusi baru dibentuk, tetapi hal ini sekaligus membuka kesempatan bagi Pétain dan faksi konservatif di parlemen untuk mendirikan rezim diktator baru di Prancis.[10]
Kebijakan
Dengan kekuasaan yang hampir tidak terbatas, Pétain langsung bertindak keras pada lawan-lawan politiknya. Ia memecat, mengasingkan, dan menangkap banyak pejabat sipil dan militer yang dianggap tidak mendukungnya, termasuk Charles de Gaulle yang terpaksa melarikan diri ke Britania Raya. Selain itu Pétain mendirikan unit militer baru yang diberinama Légion Française des Combattants, sebuah unit militer yang tidak pernah bertempur tetapi hanya untuk kepentingan politik praktis Pétain di tubuh militer Prancis. Ia juga menerapkan kebijakan antisemitisme sebagai upaya meraih simpati dari Jerman.[12]
Menjadi Kolaborator Nazi
Rezim Vichy semakin jelas terindikasi menjadi boneka Jerman, hal ini terlihat ketika Pétain bertemu dengan pemimpin Reich Ketiga, Adolf Hitler pada Oktober 1940. Dalam pertemuan tersebut, Hitler memberikan penjelasan kepada Pétain tentang posisi Vichy dalam tatanan baru Eropa di bawah kekuasan Jerman. Selain itu Petain setuju untuk memberikan bantuan logistik kepada tentara Jerman dalam kampanye militernya selama Perang Dunia II.[13]
Selain memberikan dukungan logistik ke Jerman di Eropa, Pétain juga memberikan dukungan militer ke Korps Afrika, unit militer Jerman dalam kampanye Afika yang dipimpin oleh Marsekal Erwin Rommel. Salah satu dukungan Pétain ke Korps Afrika adalah menyetujui pembentukan milisi bersenjata yang bernama Milice, sebuah unit paramiiter yang berada di bawah rantai komando perwira Schutzstaffel SS-Sturmbannführer,Joseph Darnand. Tugas dari unit ini adalah untuk menghadapi pasukan Britania Raya yang mendukung kelompok perlawanan Prancis di negara-negara koloni Prancis di Afrika.[12]
Dukungan yang diberikan Pétain kepada Jerman membuat pasukan Blok Poros lebih leluasa bergerak, khususnya untuk mengakses wilayah yang menjadi koloni Prancis. Wilayah-wilayah koloni Prancis yang dimanfaatkan oleh Blok Poros antara lain; Tunisia, Maroko, Aljazair, Madagaskar, Senegal, Oran, dan Suriah. Berkat dukungan ini, Blok Poros dapat secara strategis bisa membentuk pertahanan hampir di seluruh Mediterania dan mengancam kedudukan Britania Raya dan pasukan Sekutu secara keseluruhan.[13]
Akhir Kekuasaan
Memasukin periode pertengahan perang, pasukan Sekutu banyak melancarkan operasi militer termasuk Operasi Torch di Afrika, salah satu operasi militer Sekutu yang paling berhasil dalam mendesak pasukan Blok Poros. Setelah pasukan Sekutu yang dipimpin oleh Britania Raya berhasil menguasai Afrika Utara dan Italia, Jerman memutuskan untuk menempatkan pasukan di selatan Prancis, wilayah otoritas rezim Vichy pimpinan Pétain. Penempatan pasukan Jerman di wilayah otoritas Vichy membuat Pétain secara de facto tidak lagi berkuasa, ia hanya simbol belaka.[14]
Secara keseluruhan, Sekutu berhasil merebut Prancis pada 7 September 1944. Pasukan Jerman dan Prancis Vichy tersudut setelah Sekutu berhasil dalam Operasi Torch dari selatan dan Operasi Overlord dari utara. Posisi ini membuat Jerman memaksa Pétain dan kebinetnya untuk mengasingkan diri ke Sigmaringen, Jerman. Namun tidak lama kemudian, Pétain menyatakan mundur sebagai pemimpin Prancis Vichy, hal ini secara de jure membuat pemerintahan darurat Prancis di bawah pimpinan Charles de Gaulle sebagai pemerintah Prancis yang sah.[8]
Pada akhir Perang Dunia II, Pétain ditangkap oleh Sekutu atas tuduhan menjadi kolaborator musuh negara.dan pengkhianatan. Ancaman hukuman yang dihadapkan pada Pétain adalah hukuman mati, seperti apa yang terjadi pada rekan sejawatnya, Pierre Laval. Namun pemerintah Prancis merdeka di bawah Charles de Gaulle memberikan keringanan kepada Pétain dengan dasar usia tua dan jasa-jasanya dalam Perang Dunia I, oleh karena itu hukuman yang diterimanya bukan lagi hukuman mati, tetapi penjara seumur hidup.[8][2][6]
Akhirnya Pétain dipenjara di sebuah benteng pulau di wilayah Île d'Yeu yang berbatasan langsung dengan Samudra Atlantik. Ia meninggal di benteng tersebut pada usia 95 tahun dan dimakamkan di sana. Benteng tempat penahanan Pétain kemudian dijadikan monumen oleh Charles de Gaulle, hal ini sebagai peringatan terhadap ideologi reaksioner yang disebutnya sebagai Pétainisme.[8][2][6]
Srivanto, Fernando R. Kolaborator Nazi: Sepak Terjang Para Simpatisan Nazi Selama Perang Dunia II.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)