Perubahan iklim mengacu pada perubahan suhu dan pola cuaca dalam jangka panjang. Pergeseran ini mungkin bersifat alami, tetapi sejak periode 1800-an, aktivitas manusia telah menjadi pendorong utama perubahan iklim, terutama dengan pembakaran bahan bakar fosil (seperti batu bara, minyak, dan gas) yang menghasilkan gas yang memerangkap panas.
Perubahan iklim di Indonesia merupakan permasalahan yang penting, karena banyaknya populasi yang hidup di tepi pantai yang dapat terkena dampak kenaikan permukaan laut dan karena kehidupan banyak penduduknya bergantung pada pertanian,marikultur dan perikanan,yang semuanya dapat terkena dampak dari perubahan suhu, curah hujan dan perubahan klimatik lainnya.
Dampak perubahan iklim yang dapat dirasakan di sebagian wilayah pesisir adalah krisis air, tercemarnya air sumur dengan air laut, banjir dan rob/ abrasi. Hal tersebut membuat penduduk kesulitan dalam memenuhi kebutuhan air bersihnya. Padahal air bersih merupakan komponen yang sangat penting dalam melaksanakan aktivitas kehidupan sehari - hari. Krisis iklim menyebabkan kandungan air tanah berkurang. Sehingga warga berupaya memperoleh air bersih menggunakan desalinasi air laut, memanen air hujan, membeli air dari daerah terdekat.[1] Indonesia adalah "salah satu dari penghasil gas rumah kaca terbesar".[2] Pengukuran tahun 2013 menunjukkan total emisi GRK Indonesia adalah 2161 juta metrik ton ekuivalen karbon dioksida yang mencapai 4.47 persen dari total global.[3] Pada 2014, Indonesia berada pada peringkat kedelapan pada daftar negara menurut emisi gas rumah kaca.
Emisi
Emisi GRK di Indonesia berasal dari kebakaran liar, deforestasi, dan pembakaran gambut. Bergantung pada keparahan kebakaran liar, Indonesia dapat berada pada peringkat ketiga sampai keenam penghasil GRK tahunan terbesar.[4]
Selama abad ke-21, hutan dengan luas yang kira-kira sebanding dengan negara bagian AS Michigan (240.000 km2) telah ditebang, terutama untuk memperluas perkebunan kelapa sawit.[5]
Batu bara dan energi terbarukan
Batu bara diharapkan dapat menyediakan sebagian besar energi Indonesia hingga tahun 2025. Indonesia adalah salah satu produsen dan eksportir batu bara terbesar di dunia.[6] Indonesia merencanakan untuk menggandakan konsumsi batu bara pada 2027 untuk membangun pembangkit listrik tenaga batu bara baru.[5] Untuk menjaga komitmennya pada Persetujuan Paris, Indonesia harus berhenti membangun pabrik batu bara baru, dan berhenti membakar batu bara pada tahun 2048.[7]
Ini terjadi pada musim kemarau pada Oktober ketika kebakaran hutan dilakukan secara ilegal oleh petani-petani kecil di Dumai dan Bengkalis, di Provinsi Riau di Sumatra.[11] Petani-petani ini menggunakan metode peladangan untuk membuka lahan pertanian secara cepat.[12] Jumlah kebakaran di Sumatra mencapai puncak pada 18 Oktober, dengan 358 titik panas.[10]
Pada 2015, di Indonesia terjadi kebakaran parah yang berlangsung selama hampir dua bulan. Gambut adalah bahan bakar utamanya. Sebuah El Niño menyebabkan musim kemarau yang sangat kering yang memperburuk situasi.[13] Kebakaran ini menghasilkan GRK yang cukup bagi Indonesia untuk menghasilkan lebih banyak emisi per hari daripada Amerika Serikat selama 38 hari.
Pemerintah Indonesia telah berkomitmen secara sukarela untuk pengurangan emisi GRK minimum 26 persen pada 2020 dan 29 persen pada 2030.[14] Namun, Indonesia tidak efektif dalam menerapkan kebijakan untuk memenuhi target dari Persetujuan Paris. Pada 2018, kebijakan yang diambil pemerintah meningkatkan emisi. Kebijakan ini mencakup pembangunan 100 pembangkit listrik tenaga batu bara, perluasan produksi minyak sawit, dan peningkatan konsumsi bahan bakar hayati.[4]
Indonesia mengembangkan kebijakan iklim terkait guna lahan dan emisi kehutanan. Sebuah moratorium untuk penebangan hutan primer dan pembukaan lahan gambut diperpanjang dari 2 menjadi 4 tahun.[15]
Pemerintah Indonesia berusaha mengurangi kemiskinan sebanyak 4 persen pada 2025, tetapi kebijakan iklim yang kuat dapat membuat target ini mustahil dicapai. Bantuan internasional dapat memungkinkan Indonesia untuk mengurangi emisinya sebanyak 41 persen pada 2030.[2]
Pada tahun 2020, "Indonesia akan mulai mengintegrasikan rekomendasi dari Inisiatif Pembangunan Rendah Karbon yang baru ke dalam rencana pembangunan nasional 2020-2024." Perlindungan dan restorasi mangrove akan memainkan peran penting dalam memenuhi tujuan pengurangan emisi gas rumah kaca hingga lebih dari 43 persen pada tahun 2030.[16]
Juga pada bulan Februari 2020, perubahan yang diusulkan untuk deregulasi lingkungan telah menimbulkan keprihatinan baru, dan dapat "memungkinkan perkebunan dan tambang ilegal untuk menutupi operasinya."[17]
Dampak perubahan iklim
Perubahan iklim global diperkirakan meningkatkan suhu di Indonesia sebanyak 0,8 °C pada 2030.[18]
Pada 2019, sekitar setengah dari ibukota Indonesia, Jakarta, terletak di bawah permukaan laut, dengan beberapa daerah menurun "secepat 9 inci [23 cm] per tahun."[19] Jika emisi karbon terus berlanjut dengan laju pada 2019, dikombinasikan dengan penggunaan air tanah ilegal, diperediksikan 95% dari Jakarta Utara akan tenggelam pada 2050.[19]
Perubahan pola curah hujan diprediksikan berdampak buruk pada pertanian di Indonesia, karena musim hujan yang lebih pendek.[18] Indonesia mengalami kerugian panen dan dampak buruk pada perikanan sebagai akibat perubahan iklim paling awal sejak 2007.[20]
Pada tahun 2020, perubahan iklim telah berdampak pada nelayan Indonesia.[21]
Dampak pemanasan global
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan bakal terjadi peningkatan suhu udara di Indonesia sebesar 0,5 derajat celsius pada 2030. Selain kenaikan suhu udara, kasus kekeringan juga akan meningkat di Pulau Sumatera bagian selatan, sebagian besar Pulau Jawa, Madura, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), hingga Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 2030. Sebaliknya pada musim hujan, jumlah hujan lebat hingga ekstrem juga cenderung meningkat hingga 40 persen dibandingkan saat ini.[22]
Akibat perubahan iklim, menyebabkan pengurangan kadar oksigen di daerah khatulistiwa, termasuk Indonesia, dapat berdampak lebih serius, dibanding kawasan negara empat musim. Selama ini di dalam lautan ada perbedaan berdasarkan kedalamannya, laut membuat stratifikasinya sendiri. Proses stratifikasi ini membuat oksigen banyak terkonsentrasi di bagian atas sehingga menghasilkan banyak biomassa berupa ikan dan ganggang. Dalam studi yang terbit dalam jurnal Science edisi 5 Januari 2018 disebutkan perubahan iklim, membuat kadar oksigen di dalam lautan menurun. Akibatnya rantai makanan dan biota laut yang membutuhkan oksigen jelas akan terganggu. Dari studi itu terungkap bahwa wilayah laut terbuka yang minim oksigen meningkat empat kali lipat. Hal itu juga terjadi di wilayah muara, teluk, dan pesisir, sejak 1950. Studi berjudul "Declining Oxygen in the Global Ocean and Coastal Waters" itu menjelaskan suhu permukaan air naik. Suhu panas ini menyerap oksigen di permukaan. Perubahan ini bisa merusak rantai makanan, di mana kehidupan manusia basisnya adalah rantai makanan. Pemanasan global juga akan berdampak pada naiknya suhu sehingga bila ini terjadi maka yang ditakutkan adalah kurang konsistennya produktivitas biomassa akibat kenaikan suhu. Yang seharusnya panen jadi tidak panen, yang kuat jadi lemah, maka rantai makanan akan semakin timpang.[23]
Perubahan suhu permukaan laut yang lebih hangat menjadi ancaman bagi kehidupan terumbu karang. Padahal, keberadaan terumbu karang sangat penting bagi kembang biak ikan. Jika laut di Indonesia sumber makanan sudah berkurang, ikan tentu akan bermigrasi. Dampaknya adalah nelayan akan semakin sulit mencari ikan. Selain sulit mencari kumpulan ikan, ancaman badai besar dan gelombang tinggi juga semakin besar buat para nelayan.[23]