Confessiones adalah sebuah karya autobiografis oleh Agustinus dari Hippo, terdiri dari 13 jilid dituliskan dalam bahasa Latin antara tahun 397 dan 400 Masehi.[1] Karya ini menguraikan masa muda Agustinus yang penuh dosa dan pertobatannya menjadi seorang Kristen. Dalam bahasa Indonesia, Confessiones diterjemahkan dengan judul Pengakuan-Pengakuan. Judul orisinalnya adalah Pengakuan-Pengakuan dalam Tiga Belas Jilid, dan karya ini disusun untuk dibaca keras-keras dengan setiap jilid menjadi unit yang lengkap.[2]
Confessiones pada umumnya dianggap sebagai naskah Agustinus yang paling penting. Karya ini secara luas dipandang sebagai autobiografi Barat pertama yang pernah dituliskan[butuh rujukan] (Ovidius telah menciptakan genre tersebut pada awal abad pertama Masehi dengan karyanya Tristia) dan adalah model yang berpengaruh bagi para penulis Kristen selama Abad Pertengahan. Henry Chadwick menulis bahwa Confessiones akan "selalu menduduki peringkat di antara mahakarya besar sastra barat".[3]
Ringkasan
Confessiones bukanlah sebuah autobiografi yang lengkap, karena karya ini dituliskan pada saat Agustinus berusia 40-an awal dan ia masih hidup lama setelahnya, menghasilkan karya penting lainnya, Kota Allah. Meskipun begitu, karya ini tetap memberikan rekaman dari perkembangan pemikirannya dan adalah rekaman yang paling lengkap mengenai individu tertentu dari abad ke-4 dan 5. Karya ini adalah karya teologis yang signifikan, berisi perenungan dan wawasan spiritual.
Dalam karyanya ini, Agustinus menuliskan betapa ia menyesali telah menjalankan hidup yang penuh dosa dan amoral. Ia membahas penyesalannya karena mengikuti agama Manikhean dan memercayai astrologi. Ia menuliskan tentang peran temannya, Nebridius, dalam membantu membujuk dirinya bahwa astrologi tidak hanya salah tetapi jahat, dan peran Santo Ambrosius dalam pertobatannya menjadi Kristen. Sembilan jilid pertama bersifat autobiografis dan empat jilid terakhir adalah tafsiran dan secara signifikan lebih bersifat filosofis. Ia menunjukkan dukacita yang mendalam atas dosa-dosa seksualnya dan menuliskan mengenai pentingnya moralitas seksual. Jilid-jilid ini dituliskan sebagai doa kepada Allah, sehingga judulnya, didasarkan pada Mazmur Daud; dan dimulai dengan "Karena Engkau telah membuat kami untuk Engkau sendiri dan hati kami tidak akan tenang hingga mereka menemukan istirahat dalam Mu."[4] Karya tersebut diperkirakan dapat dibagi menjadi jilid-jilid yang melambangkan berbagai aspek dari Tritunggal dan kepercayaan trinitarian.
Kelahirannya, dan masa kecil hingga usia 14 tahun. Dimulai dengan kelahirannya, Agustinus merenungkan masa kecil pribadinya untuk mengambil kesimpulan yang universal mengenai natur bayi: anak memiliki sifat yang penuh kekerasan secara inheren jika dibiarkan sendiri karena dosa asal. Setelahnya, ia merenungkan tentang memilih kenikmatan dan membaca sastra sekuler daripada mempelajari Kitab Suci, sebuah pilihan yang nantinya ia pahami sebagai pilihan yang layak menerima hukuman dari para gurunya, meskipun ia tidak menyadarinya pada masa kecilnya.
Agustinus melanjutkan dengan merenungkan masa remajanya di mana ia mengingat dua contoh dari dosa beratnya yang ia lakukan ketika ia berusia 16 tahun: perkembangan dari hawa nafsunya yang tanpa Tuhan dan pencurian buah pir dari kebun tetangganya, meskipun ia tidak pernah menginginkan makanan. Dalam jilid ini, ia membahas pertanyaan mengenai mengapa ia dan para kawannya mencuri buah pir ketika ia memiliki lebih banyak buah pir yang lebih baik miliknya. Ia menjelaskan perasaan yang ia alami ketika ia memakan buah-buah pir tersebut dan melemparkan sisanya ke babi-babi. Agustinus berargumentasi bahwa ia kemungkinan besar tidak akan mencuri apa pun jikalau ia tidak ditemani oleh orang lain yang dapat berbagi dalam dosanya.
Ia memulai studi retorika di Kartago, tempat ia mengembangkan kecintaan pada kebijaksanaan melalui membaca karya Cicero, Hortensius. Ia menyalahkan kesombongannya untuk kurang beriman dalam Kitab Suci, sehingga ia menemukan jalan untuk mencari kebenaran mengenai baik dan jahat melalui Manikheisme. Pada akhir jilid ini, ibunya, Monika, memimpikan pertobatan ulang dari putranya kepada Kekristenan.
Di antara usia 19 dan 28 tahun, Agustinus menjalin hubungan dengan seorang wanita yang tidak disebutkan namanya yang, meskipun setia, bukanlah istrinya yang dinikahinya secara sah, yang dengannya ia mempunyai seorang anak, Adeodatus. Pada saat yang sama ia kembali ke kampung halamannya Tagaste untuk mengajar, seorang temannya jatuh sakit, dibaptis dalam Gereja, pulih sebentar, kemudian meninggal. Kematian temannya ini membuat Agustinus depresi, yang kemudian merenungkan arti dari kasih seorang teman dalam arti kefanaan versus kasih seorang teman dalam Allah; ia menyimpulkan bahwa kematian temannya sangat mempengaruhinya karena kurangnya kasihnya dalam Allah. Hal yang ia dulunya cintai menjadi hal yang ia benci karena segalanya mengingatkannya akan apa yang hilang. Agustinus kemudian mengusulkan bahwa ia mulai mencintai kehidupannya yang penuh kesedihan lebih dari temannya yang sudah mati. Ia mengakhiri jilid ini dengan perenungannya bahwa ia telah berusaha mencari kebenaran melalui Manikheisme dan astrologi, tetapi anggota-anggota Gereja, yang ia klaim sebagai kurang berpengetahuan dan sombong, telah menemukan kebenaran melalui iman yang lebih besar di dalam Allah.
Ketika Agustinus berusia 29 tahun, ia mulai kehilangan keyakinan dalam pengajaran Manikhean, sebuah proses uang dimulai ketika uskup Manikhean Faustus mengunjungi Kartago. Agustinus tidak terkesan dengan substansi dari Manikheisme, tetapi ia belum menemukan ajaran lain untuk menggantikannya. Ia merasa pasrah dengan dongeng-dongeng ini karena ia belum membentuk inti rohani untuk membuktikan kepalsuan mereka. Ia pindah untuk mengajar di Roma di mana sistem pendidikannya lebih disiplin. Ia tidak menetap lama di Roma karena ia diminta untuk mengajar di Milan, tempat ia bertemu dengan uskup Ambrosius. Ia memghargai gaya dan sikap Ambrosius, dan Ambrosius memaparkannnya kepada perspektif akan Allah yang lebih spiritual dan figuratif, yang membawanya menjadi seorang katekumen dalam Gereja.
Khotbah-khotbah Ambrosius membawa Agustinus lebih dekat dengan Kekristenan, yang mulai ia lebih sukai ketimbang pilihan filosofis lainnya. Dalam bagian ini, permasalahan pribadinya, termasuk ambisinya, berlanjut, hingga di titik di mana ia membandingkan seorang pengemis, yang kemabukannya adalah "kebahagiaan sementara"nya, dengan kegagalannya hingga saat itu untuk menemukan kebahagiaan. [5] Agustinus menyoroti kontribusi dari teman-temannya Alypius dan Nebridius dalam penemuannya akan kebenaran agamawi. Monika pulang pada akhir dari jilid ini dan mengatur pernikahan untuk Agustinus, yang berpisah dari gundiknya, menemukan selingkuhan baru, dan menganggap dirinya sebagai "budak hawa nafsu."[6]
Dalam misinya untuk menemukan kebenaran di balik kebaikan dan kejahatan, Agustinus diperhadapkan dengan pandangan Neoplatonis tentang Allah. Namun, ia mempersalahkan pandangan ini karena ia berpikir bahwa mereka dapat mengerti natur Allah tanpa menerima Kristus sebagai pengantara antara manusia dengan Allah. Ia memperkuat pendapatnya tentang kaum Neoplatonis melalui ilustrasi tentang puncak gunung: "Adalah satu hal untuk melihat, dari puncak gunung yang berpohon-pohon, tanah kedamaian, dan tidak menemukan jalan ke sana… adalah hal yang berbeda untuk tetap berada di jalan yang menuju ke sana, yang dibuat aman oleh pemeliharaan Panglima surgawi, di mana mereka yang meninggalkan pasukan surgawi tidak dapat melakukan perampokannya, karena mereka menghindarinya sebagai hukuman."[7] Dari titik ini, ia membaca karya-karya Rasul Paulus yang "menangkap[nya] dengan rasa takjub."[8]
Ia menggambarkan lebih lanjut kekacauan batinnya mengenai apakah ia akan menjadi seorang Kristen. Dua orang temannya, Simplicianus dan Ponticianus, memberi tahu Agustinus kisah-kisah mengenai pertobatan Marius Victorinus dan Santo Antonius. Ketika merenungkannya dalam sebuah taman, Agustinus mendengar suara seorang anak menyanyikan "ambil dan baca."[9] Agustinus memgambil sebuah buku berisi tulisan Santo Paulus (kodeks apostoli, 8.12.29) dan membaca bagian yang dibukanya, Roma 13:13–14: "Jangan dalam pesta pora dan kemabukan, jangan dalam percabulan dan hawa nafsu, jangan dalam perselisihan dan iri hati; tetapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya."[10] Tindakan ini mengukuhkan pertobatannya menjadi Kristen. Temannya, Alypius, menyusulnya.
Dalam persiapannya untuk dibaptis, Agustinus mengakhiri pekerjaan mengajar retorikanya. Ambrosius membaptis Agustinus bersama Adeodatus dan Alypius. Agustinus kemudian menceritakan bagaimana gereja di Milan, dengan ibunya dalam peran yang memimpin, membela Ambrosius terhadap penganiayaan oleh Justina. Sekembalinya ke Eropa bersama ibunya, mereka berbagi penglihatan religius di Ostia. Tak lama kemudian, Santa Monika meninggal, disusul oleh teman-temannya, Nebridius dan Verecundus. Di akhir jilid ini, Agustinus mengenang kematian-kematian tersebut melalui doa dalam iman yang baru dianutnya: "Kiranya mereka mengingat dengan perasaan kudus kedua orang tuaku dalam cahaya yang fana ini, dan saudara-saudaraku di bawah-Mu, ya Bapa, di dalam Bunda [Gereja] Katolik kami, dan rekan-rekan warganegara kami di Yerusalem yang kekal, yang untuknya ziarah umat-Mu menghela nafas sejak awal hingga kembali. Melalui jalan ini, permintaan terakhirnya kepadaku akan lebih dikabulkan dalam doa-doa banyak orang melalui pengakuan-pengakuanku ini daripada melalui doa-doaku sendiri."[11]
Agustinus bergeser dari ingatan pribadi ke evaluasi introspektif terhadap ingatan itu sendiri dan terhadap diri, ketika ia terus merenungkan nilai-nilai pengakuan, signifikansi doa, dan sarana-sarana yang melaluinya seseorang dapat menemukan Allah. Melalui poin terakhir ini dan perenungannya tentang tubuh dan jiwa, ia sampai pada pembenaran untuk keberadaan Kristus.
Agustinus menganalisis natur penciptaan dan waktu serta hubungannya dengan Tuhan. Ia mengeksplorasi isu-isu seputar presentisme. Ia berpendapat bahwa ada tiga jenis waktu dalam pikiran: saat ini sehubungan dengan hal-hal yang telah berlalu, yaitu ingatan (memori); saat ini sehubungan dengan hal-hal yang ada saat ini, yaitu kontemplasi; dan saat ini sehubungan dengan hal-hal yang ada di masa depan, yaitu ekspektasi. Dia merujuk pada Kitab Kejadian, terutama teks-teks mengenai penciptaan langit dan bumi, di seluruh jilid ini untuk mendukung pemikirannya.
Melalui pembahasannya mengenai penciptaan, Agustinus mengaitkan natur dari yang ilahi dan yang duniawi sebagai bagian dari sebuah analisis yang menyeluruh mengenai retorika Kitab Kejadian dan pluralitas penafsiran yang dapat digunakan untuk menganalisis Kitab Kejadian. Dengan membandingkan kitab suci dengan mata air dengan aliran-aliran air yang menyebar di hamparan yang luas, ia menganggap bahwa adalah mungkin terdapat lebih dari satu penafsiran yang benar dan setiap orang dapat menarik kesimpulan apa pun yang benar dari teks-teks tersebut.
Ia mengakhiri teks ini dengan mengeksplorasi penafsiran alegoris terhadap Kitab Kejadian, yang melaluinya ia menemukan Allah Tritunggal dan pentingnya penciptaan manusia oleh Allah. Berdasarkan penafsirannya, ia mendukung pentingnya istirahat serta keilahian Penciptaan: "Sebab, dengan demikian Engkau akan beristirahat di dalam kami, sama seperti Engkau bekerja di dalam kami sekarang. Jadi, kami melihat segala sesuatu yang telah Engkau ciptakan, karena mereka ada, tetapi mereka ada karena Engkau melihat mereka. Kami melihat, secara lahiriah, bahwa mereka ada, tetapi secara batiniah, bahwa mereka baik; Engkau telah melihat mereka dijadikan, di tempat yang sama di mana Engkau melihat mereka ketika belum dijadikan."[12]
Tujuan
Confessiones tidak hanya ditujukan untuk mendorong pertobatan, tetapi juga memberikan panduan untuk bagaimana bertobat. Agustinus mengekstrapolasi dari pengalaman pribadinya agar sesuai dengan perjalanan orang lain. Agustinus menyadari bahwa Allah telah selalu melindungi dan membimbingnya. Hal ini direfleksikan dalam struktur dari karya ini. Agustinus memulai setiap jilid dalam Confessiones dengan sebuah doa kepada Allah. Contohnya, jilid VIII dan IX dimulai dengan "Engkau telah merusak belenggu yang mengikatku; aku akan berkorban demi kehormatan-Mu".[13] Karena Agustinus memulai setiap jilid dengan doa, Albert C. Outler, seorang profesor teologi di Universitas Methodis Selatan, berargumen bahwa Confessiones adalah sebuah "ziarah anugerah… sebuah penelusuran kembali dari titik balik krusial yang Agustinus telah lalui. Dan karena ia yakin bahwa adalah anugerah Tuhan yang menjadi penggerak utamanya ke jalan tersebut, itu adalah ekspresi spontan dari hatinya yang melemparkan ingatan dirinya ke dalam bentuk doa yang berkelanjutan kepada Allah."[14]Confessiones bukan hanya memuliakan Allah, tetapi juga menunjukkan pertolongan Allah dalam jalan Agustinus menuju penebusan.
Ditulis setelah Kekristenan menjadi legal, Confessiones berasal dari masa di mana kemartiran bukan lagi ancaman bagi sebagian besar orang Kristen seperti kasusnya dua abad sebelumnya. Alih-alih, pergumulan seorang Kristen biasanya internal. Agustinus dengan jelas memaparkan pergumulannya dengan keinginan duniawi seperti hawa nafsu. Pertobatan Agustinus dengan cepat disusul dengan pentahbisannya senagai imam pada tahun 391 M dan penunjukan sebagai uskup pada tahun 395 M. Kenaikan jabatan yang begitu cepat pasti menimbulkan kritikan terhadap Agustinus. Confessiones dituliskan antara 397–398 M, mengusulkan bahwa pembenaran diri dapat menjadi motivasi yang memungkinkan untuk ditulisnya karya ini. Dengan kata-kata "aku ingin bertindak dalam kebenaran, membuat pengakuanku baik dalam hatiku di hadapanmu dan di dalam buku ini di hadapan orang banyak yang akan membacanya" dalam Jilid X Bab 1,[15] Agustinus mengakui dosa-dosanya dan memuliakan Allah melalui kerendahan hati dalam anugerah-Nya, dua arti yang mendefinisikan "pengakuan",[16] untuk memperdamaikan ketidaksempurnaannya bukan hanya kepada para kritikusnya tetapi juga kepada Tuhan.
Hermeneutika
Agustinus mengusulkan sebuah metode untuk memperbaiki eksegesis Biblika dalam bagian-bagian yang sulit tertentu. Pembaca harus meyakini bahwa seluruh kitab suci diilhamkan oleh Allah dan bahwa setiap penulis tidak menuliskan apa pun yang ia secara pribadi tidak percayai, atau yang ia percayai sebagai hal yang salah. Pembaca harus membedakan secara filologis, dan memisahkan, dalam penafsiran mereka sendiri, pesan yang tertulis dan arti yang diniatkan sebenarnya oleh pembawa pesan dan penulis (dalam bahasa Latin: intentio).[17]
Ketidaksetujuan dapat terjadi "baik pada kebenaran dari pesan itu sendiri, maupun pada arti pembawa pesan" (XII.23). Kebenaran dari pesan itu sendiri diberikan oleh Allah yang mengilhamkannya kepada penyambung dan mereka yang mentransmisikan dan menyebarkan isinya selama berabad-abad dan di antara orang percaya.[17]
Secara prinsip, pembaca tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui dengan pasti apa yang penulis pikirkan ketika ia menulis sebuah kitab dalam Alkitab, tetapi pembaca memiliki tugas untuk melakukan yang terbaik untuk mendekati arti dan niat sebenarnya tanpa berkontradiksi dengan huruf-huruf pada teks yang tertulis. Penafsiran harus tetap berada "di dalam kebenaran" (XII.25) dan bukan di luarnya.[17]
Audiens
Banyak informasi mengenai Agustinus berasal langsung dari tulisannya sendiri. Confessiones karya Agustinus menyediakan wawasan yang signifikan mengenai 33 tahun pertama di hidupnya. Agustinus tidak menggambarkan dirinya sebagai orang kudus, tetapi sebagai pendosa. Dosa-dosa yang Agustinus akui memiliki tingkat keparahan yang berbeda-beda dan natur yang berbeda-beda, seperti hawa nafsu/perzinahan, mencuri, dan berbohong. Contohnya, dalam bab kedua dari Buku IX, Agustinus merujuk pada keputusannya untuk menunggu tiga minggu hingga libur musim gugur untuk meninggalkan jabatannya sebagai pengajar tanpa menyebabkan gangguan. Ia menuliskan bahwa beberapa orang "mungkin akan mengatakan bahwa adalah berdosa untuk saya mengizinkan diri saya menduduki kursi kebohongan bahkan hanya untuk sejam".[18] Dalam pendahuluannya kepada terjemahan tahhn 1961 oleh R. S. Pine-Coffin, ia mengajukan bahwa interpretasi yang keras terhadap masa lalu Agustinus sendiri adalah disengaja sehingga audiensnya melihatnya sebagai pendosa yang diberkati dengan belas kasihan Allah dan bukan sebagai tokoh yang suci.[19] Mengingat fakta bahwa dosa-dosa yang digambarkan Agustinus adalah yang bersifat cukup biasa (contohnya, pencurian buah pir saat masih anak muda), contoh-contoh ini mungkin dapat juga memampukan pembaca untuk mengidentifikasikan diri mereka dengan penulis dan dengan demikian mempermudah mereka untuk mengikuti jejak kaki Agustinus dalam jalannya menuju pertobatan. Identifikasi ini adalah unsur dari sifat protreptik dan paraenetik dari Confessiones.[20][21]
Karena natur dari Confessionss, adalah jelas bahwa Agustinus tidak menulis hanya untuk dirinya sendiri tetapi untuk konsumsi publik. Audiens Agustinus kemungkinan meliputi orang-orang Kristen yang sudah dibaptis, katekumen, dan orang-orang dengan kepercayaan berbeda. Peter Brown, dalam bukunya The Body and Society, menuliskan bahwa Confessiones ditujukan pada "mereka dengan pengalaman yang serupa dengan pengalaman Agustinus."[22] Terlebih lagi, dengan latar belakangnya dalam praktik Manikhean, Agustinus memiliki hubungan yang unik dengan mereka yang berkeyakinan Manikhean. Confessiones dengan demikian merupakan seruan yang mendorong pertobatan.
Warisan
Confessiones adalah salah satu dari karya-karya paling berpengaruh bukan hanya dalam teologi Kristen, tetapi pada filsafat secara keseluruhan.
Kierkegaard dan filsafat Eksistensialisnya sangat dipengaruhi oleh kontemplasi Agustinus tentang natur dari jiwanya.[23]Wittgenstein menganggap buku ini mungkin adalah "buku yang paling serius yang pernah dituliskan".[24]
Edisi
Edisi bahasa Indonesia
Winarsih Arifin dan Th. Van den End, Pengakuan-Pengakuan, Yogyakarta: Kanisius, 1997. ISBN979-497-709-8
Edisi bahasa Inggris
Edward Bouverie Pusey, The Confessions of St. Augustine, 1909.
John K. Ryan, The Confessions of St. Augustine, New York: Image Books,1960 ISBN0-385-02955-1
Maria Boulding, Saint Augustine: The Confessions, Hyde Park NY: New City Press (The Works of Saint Augustine I/1), 2002 ISBN1-56548154-2
^Monk, Ray. "The 'Verificationist Phase'". Ludwig Wittgenstein: The Duty of Genius (dalam bahasa English). hlm. 283.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
Daftar pustaka
Augustine (1966). Confessions. Diterjemahkan oleh Bourke, Vernon J. Washington: Catholic University of America Press. eBook Collection (EBSCOhost). Web. 18 Feb. 2016.
Agustinus (1955). "Introduction". Confessions and Enchiridion. Library of Christian Classics. Diterjemahkan oleh Outler, Albert C. Philadelphia: Westminster Press. Print.
Chadwick, Henry (2008). Saint Augustine: Confessions. Oxford: Oxford University Press. ISBN978-0-19-953782-2. (Terjemahan dalam bahasa Inggris.)
Carolyn Hammond, Augustine: Confessions Vol. I Books 1-8, MA: Harvard University Press (Loeb Classical Library), 2014. ISBN0674996852
Carolyn Hammond, Augustine: Confessions Vol. II Books 9-13, MA: Harvard University Press (Loeb Classical Library), 2016. ISBN0674996933
Warner, Rex (1963). The Confessions of St. Augustine. New York: Penguin Books. ISBN0-451-62474-2. (Terjemahan dalam bahasa Inggris.)
Bacaan lebih lanjut
Brown, Peter (2000). Augustine of Hippo (edisi ke-reprint). Berkeley: University of California Press.
Brown, Peter (2008). The Body and Society: Men, Women, and Sexual Renunciation in Early Christianity (edisi ke-Twentieth Anniversary). New York: Columbia University Press.
Augustine (1969). Confessions. Diterjemahkan oleh de Labriolle, Pierre (edisi ke-3rd). Paris: Société d'édition "Les Belles Lettres. Print. Collection des Universités de France.