Nimrud (bahasa Arab: كال) adalah nama Arab kemudian untuk kota Asiria kuno yang terletak 30 kilometer (20 mil) selatan dari kota Mosul, dan 5 kilometer (3 mil) selatan dari desa Selamiyah (Arab: السلامية), di dataran Niniwe di utara Mesopotamia. Itu adalah kota Asiria utama antara sekitar 1250 SM dan 610 SM. Kota ini terletak di posisi strategis [1] 10 kilometer (6 mil) utara dari titik sungai Tigris bertemu sungai Zab Besar.[1] Kota ini membentang pada area 360 hektare (890 ekar).[2] Reruntuhannya ditemukan dalam jarak 1 kilometer dari desa Asyur modern Noomanea di Kegubernuran Ninawa, Irak. Terletak sekitar 30 kilometer (19 mi) di sebelah tenggara Mosul.
Arkeolog menyebut kota ini Nimrud menurut nama raja Nimrod yang tercatat dalam Alkitab sebagai seorang pemburu yang terkenal (lihat Kejadian 10:11–12, Mikha 5:5, dan 1 Tawarikh 1:10). Kota ini dikenal sebagai Kalah (Kalakh) dalam Alkitab.
Sejarah
Raja Asyur Salmaneser I (1274 SM – 1245 SM) membangun Kalhu (Kalah/Nimrud) selama masa Kekaisaran Asyur Pertengahan. Namun, kota kuno Assur tetap menjadi ibu kota Asyur, sejak kira-kira 3500 SM.
Sejumlah sejarawan seperti Julian Jaynes, percaya bahwa tokoh Alkitab Nimrod (yang namanya berabad-abad kemudian dipakai oleh orang Arab untuk menamai kota ini) diilhami oleh tindakan raja Asyur sesungguhnya Tukulti-Ninurta I (1244-1207 SM), putra Salmaneser I, dan seorang penakluk kuat. Yang lain percaya nama itu diturunkan dari dewa Asyur Ninurta, yang mempunyai pusat pemujaan utama di Kalhu /Nimrud.[3]
Kota ini menjadi terkenal setelah raja Ashurnasirpal II dari Kekaisaran Asyur Baru (883 SM - 859 SM) menjadikannya ibu kota menggantikan Ashur. Ia membangun istana dan kuil-kuil besar di kota yang kemudian menjadi reruntuhan selama Zaman Kegelapan dari pertengahan abad ke-11 sampai pertengahan abad ke-10 SM.
Upacara pembukaan dengan keramaian dan perjamuan mewah pada tahun 879 SM dituliskan pada suatu prasasti yang ditemukan pada ekskavasi arkeologi. Kota ini dihuni oleh sekitar 100.000 penduduk dan juga mempunyai kebun raya dan kebun binatang. Putranya, Salmaneser III (858–824 SM), membangun monumen yang dikenal sebagai Ziggurat Raksasa, dan sebuah kuil yang berhubungan.
Namun pada tahun 706 SM Sargon II (722-705 SM) memindahkan ibu kota kekaisaran ke Dur Sharrukin, dan setelah kematianya, Sanherib (705-681 SM) memindahkannya ke Niniwe. Kota ini tetap menjadi kota besar dan tempat kediaman raja sampai dihancurkan sebagian besar pada waktunya jatuhnya kekaisaran Asyur di tangan pasukan gabungan bekas bangsa taklukannya termasuk orang Babel, Kasdim, Madai, Persia, Skit dan Kimeria (antara 616 SM dan 605 SM).
Kegubernuran Ninawa di mana reruntuhan Nimrud ditemukan, masih menjadi pusat populasi penduduk asli Asyur di Irak yang sekarang seluruhnya adalah orang Kristen berbahasa Aram timur, sampai hari ini.
Nama Nimrud dalam kaitan dengan situs ini tampaknya pertama kali digunakan dalam tulisan Carsten Niebuhr, yang mengunjungi Mosul pada bulan Maret 1760.
Arkeologi
Situs ini pertama kalinya dilaporkan oleh seorang pengelana Britania Claudius James Rich pada tahun 1820, sesaat sebelum kematiannya.
Ekskavasi di Nimrud pertama kali dilakukan oleh Austen Henry Layard, yang bekerja dari tahun 1845 sampai 1847 dan dari tahun 1849 sampai 1851.
[4][5][6] Waktu itu Layard percaya situs itu adalah bagian dari kota Niniwe, dan publikasi ekskavasinya diberi label demikian. Kemudian pekerjaan diserahkan kepada Hormuzd Rassam, seorang Asyur asli, pada tahun 1853-54 dan kemudian W.K. Loftus pada tahun 1854-55.
[7]
Setelah George Smith bekerja sesaat lamanya di situs itu pada tahun 1873 dan Rassam kembali ke sana pada tahun 1877 sampai 1879, Nimrud ditinggalkan dan tidak disentuh selama hampir 60 tahun.
[8] Sebuah British School of Archaeology di Irak mengirim tim yang dikepalai oleh Max Mallowan melanjutkan penggalian di Nimrud pada tahun 1949. Pekerjaan dilanjutkan sampai tahun 1963
ketika David Oates menjadi direktur pada tahun 1958 dilanjutkan oleh Julian Orchard pada tahun 1963.
[9][10][11]
Pekerjaan selanjutnya dilakukan oleh Directorate of Antiquities of the Republic of Iraq (1956, 1959–60, 1969–78 dan 1982–92), Janusz Meuzynski (1974–76), Paolo Fiorina (1987–89) bersama Centro Ricerche Archeologiche e Scavi di Torino yang berfokus terutama pada Fort Shalmaneser, dan John Curtis (1989).
[12]
Dari tahun 1974 sampai kematiannya yang mendadak pada tahun 1976 Janusz Meuszynski, direktur proyek Polish Center for Mediterranean Archaeology, dengan izin dari tim ekskavasi Irak, mendokumentasikan seluruh situs dalam film — slide 35 mm dan film cetak hitam putih 120 mm. Setiap pahatan yang terdapat di sana, termasuk yang jatuh, bagian-bagian hancur yang tersebar di ruangan-ruangan pada situs itu difoto. Meuszynski juga mengatur bersama arsitek proyeknya, Richard P. Sobolewski, untuk meneliti situs dan mencatatnya dalam peta dan ketinggian.
[13]
Istana-istana Ashurnasirpal II, Salmaneser III, dan Tiglat-Pileser III sudah berhasil ditemukan lokasinya. Prasasti Obelisk HitamSalmaneser III yang terkenal ditemukan oleh Layard pada tahun 1846. Layard dibantuk oleh Hormuzd Rassam. Monumen itu berdiri setinggi enam kaki setengah dan memperingati kemenangan raja itu dalam berbagai peperangan pada tahun 859–824 SM. Berbentuk seperti menara kuil di atasnya dan berakhir pada tiga anak tangga. Pada satu panel, orang Israel yang dipimpin oleh raja Yehu digambarkan membayar upeti dan menyembah di tanah di kaki raja Salmaneser III, yang melakukan pemujaan kepada dewanya. Teks kuneiform pada obelisk itu berbunyi "Yehu putra Omri", dan menyebut hadiah dari emas, perak, timah hitam, dan tombak-tombak.
Harta karun Nimrud
"Treasure of Nimrud" ("harta karun Nimrud") digali pada ekskavasi ini merupakan suatu koleksi 613 biji perhiasan emas dan batu-batu mulia. Berhasil diselamatkan dari kekacauan dan penjarahan arkeologi setelah serangan tahun 2003 pada Irak. Disimpan dalam suatu kotak penyimpanan di bank dan diketemukan kembali setelah 12 tahun disimpan, pada tanggal 5 Juni 2003.[14]
Patung-patung raksasa dipindahkan ke London
Pada tahun 1847 setelah menemukan lebih dari separuh dusin pasangan patung raksasa singa atau banteng bersayap yang dikenal sebagai lamassu dengan berat mencapai 30 ton pendek (27 t) Henry Layard membawa dua patung raksasa seberat 10 ton pendek (9,1 t) masing-masing termasuk satu singa dan satu banteng ke London. Setelah 18 months dan hampir terkena musibah, ia berhasil membawanya ke British Museum.
Penghancuran
Berbagai monumen Nimrud telah menghadapi ancaman dari paparan elemen keras dari iklim Irak. Kurangnya atap pelindung yang tepat memungkinkan relief kuno di situs rentan terhadap erosi dari pasir yang tertiup angin dan hujan musiman yang kuat.[15]
Ancaman terbesar bagi Nimrud adalah dari Negara Islam Irak dan Syam (ISIS), yang menempati daerah pada pertengahan 2014. ISIS menghancurkan tempat-tempat suci lainnya, termasuk Masjid Nabi Yunus di Mosul. Pada awal 2015, mereka mengumumkan niat mereka untuk menghancurkan banyak artefak kuno, karena bagi mereka patung berhala atau sebaliknya tidak Islami, serta menghancurkan ribuan buku dan manuskrip di perpustakaan Mosul ini.[16] Pada bulan Februari 2015, ISIS menghancurkan monumen Akkadia di Museum Mosul, dan pada tanggal 5 Maret 2015, Irak mengumumkan bahwa militan ISIS telah membuldoser Nimrud dan situs arkeologi atas dasar bahwa mereka menghina Tuhan,[17][18][19] yang salah satu perusak dalam video menyatakan, "reruntuhan ini yang berada di belakang saya, mereka adalah berhala dan patung-patung orang-orang pada masa lalu digunakan untuk menyembah selain Allah. Nabi Muhammad menurunkan berhala dengan tangan kosong ketika ia pergi ke Mekkah. Kami diperintahkan oleh nabi kita untuk mencatat berhala dan menghancurkan mereka, dan para sahabat nabi melakukan ini setelah waktu ini, ketika mereka menaklukkan negara. "[20] ISIS menyatakan niat untuk menghancurkan gerbang kota restorasi di Niniwe.[18] ISIS melanjutkan untuk melakukan pekerjaan pembongkaran dan penghancurakn di kota Parthia dari Hatra.[21][22] Pada tanggal 12 April 2015, sebuah video yang diunggah konon menunjukkan militan ISIS menampilkan aksi pentraktoran dan akhirnya menggunakan peledak untuk meledakkan bagian dari Nimrud.[23] Irina Bokova, direktur Jenderal UNESCO, menyatakan "penghancuran disengaja terhadap warisan budaya merupakan suatu kejahatan perang".[24] Presiden Liga Suriah di Lebanon membandingkan kerugian penghancuran di situs budaya seperti yang dilakukan Kekaisaran Mongol.[25]
Henry C. Rawlinson, On the Birs Nimrud, or the Great Temple of Borsippa, The Journal of the Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland, vol. 18, pp. 1–34, 1861
D. J. Wiseman, The Nabu Temple Texts from Nimrud, Journal of Near Eastern Studies, vol. 27, no. 3, pp. 248–250, 1968
D. J. Wiseman, Fragments of Historical Texts from Nimrud, Iraq, vol. 26, no. 2, pp. 118–124, 1964
Barbara Parker, Seals and Seal Impressions from the Nimrud Excavations, Iraq, vol. 24, no. 1, pp. 26–40 1962
Barbara Parker, Nimrud Tablets, 1956: Economic and Legal Texts from the Nabu Temple, Iraq, vol. 19, no. 2, pp. 125–138, 1957