Nabiah merupakan istilah yang ditujukan kepada para nabi perempuan, yakni perempuan yang menerima wahyu Tuhan.
Tradisi Yahudi dan Kristen
Nabiah merupakan istilah yang muncul dalam Tanakh (kitab suci Yahudi) dan Perjanjian Lama di Alkitab (kitab suci Kristen).[1] Mereka mendapat berkat kemampuan sebagai seorang nabi di dalam sejarah Alkitab.[2] Sekalipun demikian nabiah juga dimunculkan dalam Perjanjian Baru sebagai hal yang disinggung dari Perjanjian Lama.[3] Dalam kedua bagian ini, mereka digambarkan dengan paham nabi perempuan yang layaknya sebagai nabi laki-laki.[3] Mereka berfungsi serupa dengan nabi-nabi laki-laki.[1]
Tanakh
Tanakh menyebut secara jelas empat orang nabiah, mereka yaitu:[4]
Miriam, saudari Musa yang memimpin kaum perempuan untuk mendukung Musa[2][5]
Debora, seorang hakim yang memimpin umat Israel ke dalam peperangan[6] dan, bersama Barak, membawa Israel pada kemenangan.[2][7]
Menurut Talmud, ada tujuh perempuan yang dihitung sebagai nabiah yang dilihat dari sejarah yang mencolok, mereka yaitu: Sarah, Miriam, Debora, Hana (ibu dari nabi Samuel), Abigail (istri Raja Daud), Hulda (zaman Yeremia), dan Ester. Sedangkan di dalam tulisan Rashi ada beberapa wanita yang disebut sebagai nabiah seperti Ribka, Rahel, dan Lea.[2]
Perjanjian Baru
Cerita masa kanak-kanak YesusKristus dalam Injil Lukaspasal 2 memuat kisah bahwa seorang nabiah, Hana, menyambut Yesus sebagai Mesias.[1] Dalam Lukas 1, dituliskan aktivitas nabi dari pemimpin agama Hanna seperti halnya Elisabet dan Maria.[2]
Di dalam surat 1 Korintus 11:5, Paulus mengasumsikan bahwa seorang perempuan dapat menjalankan tugas sebagai nabi.[2]
Nabiah Palsu
Dalam Wahyu 2:20, disebutkan Izebel sebagai seorang nabiah palsu.
Tradisi Islam
Para ulama sepakat bahwa semua rasul adalah laki-laki. Namun untuk jenjang kenabian, sebagian ulama menyatakan bahwa ada perempuan yang menjadi nabiah atau nabi perempuan.
Dalam kitabnya, Ibnu Hajar menyampaikan, "Dinukil dari al-Asy’ari bahwa ada beberapa wanita yang diangkat jadi nabi. Mereka ada 6 orang:
Menyambung poin sebelumnya, hal ini mengharuskan nabi berinteraksi dengan masyarakat luas dan menjadi pemimpin umat. Peran ini dipandang tidak cocok untuk perempuan.
Mendapat wahyu bukan berarti menjadi nabi, sebagaimana dalam Al-Qur'an dinyatakan bahwa Allah memberi wahyu kepada lebah.[12]
Tidak setiap manusia yang didatangi malaikat akan menjadi nabi. Dalam hadits, banyak dikisahkan orang yang didatangi malaikat yang menyamar menjadi manusia.
Hasan al-Bashri menegaskan, "Tidak ada nabi di kalangan wanita, tidak pula dari golongan jin."[13]
Terkait ayat Al-Qur'an Surah Yusuf ayat 109, beberapa jawaban dari yang mendukung kenabian perempuan adalah:
Kata "rijal" yang diterjemahkan menjadi "lelaki" ini bermakna "manusia", yang berarti bahwa ayat ini menegaskan bahwa nabi berasal dari kalangan manusia, bukan malaikat. Ayat ini tidak dimaksudkan untuk membedakan laki-laki dan perempuan.[16]
Ayat tersebut bicara mengenai rasul, bukan nabi. Rasul memang diwajibkan untuk menyebarkan wahyu yang dia terima untuk suatu kaum tertentu, sehingga menjadi pemimpin kaum menjadi suatu konsekuensi. Hal ini berbeda dengan nabi yang tidak memiliki kewajiban tersebut. Ibnu Hazm menyatakan bahwa wanita dapat dimasukkan dalam jenjang kenabian, tapi tidak dalam jenjang kerasulan yang hanya dapat dicapai oleh pria.[17]
^Stowasser, Barbara Freyer, 1935-2012. (1994). Women in the Qur'an, traditions, and interpretation. New York: Oxford University Press. ISBN978-0195084801. OCLC29844006.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)