Krisis Israel–Palestina 2021 diawali dengan bentrokan yang melibatkan pengunjuk rasa dari Palestina dan Polisi Israel pada Mei 2021, bersamaan dengan libur Lailatulqadar dan Hari Yerusalem. Bentrokan tersebut merupakan akibat dari rencana pengusiran beberapa warga Palestina yang bermukim di Sheikh Jarrah, Yerusalem Timur oleh Mahkamah Agung Israel. Bentrokan ini mengakibatkan 300 orang luka-luka dan sebagian besar merupakan warga Palestina.[15] Hal ini memicu kecaman dari dunia internasional dan menyebabkan pengambilan keputusan oleh Mahkamah Agung ditunda selama 30 hari.
Pada 9 Mei, polisi Israel menyerang Masjidilaqsa, salah satu tempat suci umat Islam.[20][21][22] Sebagai balasannya, pada 10 dan 11 Mei, Hamas dan Jihad Islam Palestina meluncurkan 400 roket ke wilayah Israel yang mengakibatkan 2 warga Israel tewas serta 70 lainnya terluka.[23][24] Israel merespon serangan tersebut dengan melakukan serangan udara ke wilayah Gaza yang mengakibatkan 26 warga Palestina tewas (termasuk 9 anak-anak) dan 103 lainnya terluka.[25][26]
Latar belakang
Mahkamah Agung Israel kabarnya akan memutuskan rencana pengusiran enam keluarga Palestina dari Sheikh Jarrah, Yerusalem Timur pada Mei 2021. Klaim kepemilikan Sheikh Jarrah sudah menjadi masalah sejak beberapa abad yang lalu. Awalnya, dua warga Yahudi membeli sebagian Sheikh Jarrah dari pemilik beretnis Arab pada 1876, atau pada masa Kesultanan Utsmaniyah. Ketika Perang Arab–Israel tahun 1948, Yordania mengambil alih wilayah tersebut. Yordania yang kala itu didukung oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa membangun 28 rumah untuk pengungsi Palestina yang berhasil melarikan diri dari Wilayah Israel. Ketika terjadinya Perang Enam Hari pada 1967, wilayah ini kembali diambil alih oleh Israel dan kepemilikannya diserahkan ke warga Yahudi. Warga Yahudi kemudian menjual rumah-rumah di sana kepada organisasi sayap kanan yang telah berulang kali mencoba mengusir warga Palestina. Dalam Hukum di Israel, warga Israel mempunyai hak untuk mengambil alih properti yang dimiliki oleh Yahudi sebelum Perang Arab–Israel tahun 1948 di Yerusalem Timur. Namun di sisi lain, tidak ada peraturan yang menyatakan bahwa warga Palestina dapat mengambil alih properti mereka yang direbut di Israel.[27][28][29]
Itamar Ben-Gvir, seorang politisi kanan jauh Israel, sempat mengunjungi Sheikh Jarrah sesaat sebelum bentrokan terjadi. Ketika itu, ia mengatakan bahwa rumah-rumah di sana dimiliki Yahudi dan polisi harus "melawan" siapapun yang memprotes hal tersebut.[30]Agence France-Presse melaporkan bahwa penduduk Israel mulai tampak berdatangan di Sheikh Jarrah dengan membawa senapan serbu dan revolver sehingga menimbukan bentrokan.[30] Sebelumnya, bentrokan juga terjadi setelah Pemerintah Israel menutup Gerbang Damaskus, tempat yang populer bagi umat Islam untuk berkumpul selama bulan Ramadan,[30] dan ketika Pemerintah Israel menerapkan pembatasan di Masijidilaqsa.[31]
Pengunjuk rasa dari Palestina juga menyayangkan sikap Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, yang menunda pemilu legislatif karena diduga tidak ingin Partai Fatah yang diketuai olehnya kalah secara politik.[30]
Bentrokan
Bentrokan pertama antara penduduk Palestina dan Israel pertama kali terjadi pada 6 Mei 2021. Bentrokan tersebut berakhir setelah penahanan setidaknya tujuh orang oleh polisi Israel.[32] Bentrokan kemudian kembali terjadi di Masjidilaqsa. Bulan Sabit Merah Palestina melaporkan 136 orang di Yerusalem terluka sore itu. Pemerintah Israel juga melaporkan setidaknya enam polisi dari Israel terluka akibat kejadian ini.[33]
Bentrokan selanjutnya terjadi pada 8 Mei, saat penantian malam Lailatulqadar.[34] Massa dari Palestina melempar batu, menyalakan api, dan bersaut "Serang Tel Aviv" dan "Umat Yahudi, ingatlah Khaibar, pasukan Muhammad akan kembali"[a] sambil memegang bendera Hamas.[35][36]Polisi Israel yang memakai pakaian anti huru-hara melakukan perlawanan menggunakan stun grenade dan meriam air.[34] Setidaknya 80 orang terluka.[34]
Pagi harinya pada 9 Mei, pasukan Israel menyerbu Masjidilaqsa dan melukai ratusan orang.[37][38] Warga Palestina melawan dengan cara melempar batu, petasan, dan benda berat lainnya, sementara polisi Israel menembakkan stun grenade dan peluru karet.[38] Penyerbuan ini terjadi sebelum nasionalis Yahudi melakukan iring-iringan bendera di Kota Lama Yerusalem saat peringatan Hari Yerusalem.[38][39] Setidaknya 215 warga Palestina terluka, 153 di antaranya harus dirawat di rumah sakit.[40]
Pada 10 Mei, sepanjang sore dan malam hari, warga Arab di Israel yang berada di Lod melempar batu dan bom api ke rumah maupun sekolah milik warga Yahudi, sinagoge, hingga rumah sakit. Akibatnya, satu warga Yahudi tewas dan melukai dua lainnya.[41]
Unjuk rasa dan kerusuhan menyebar luas di seluruh Israel, khususnya wilayah dengan warga Arab yang lebih dominan. Pada 11 Mei, wali kota Lod yaitu Yair Revivio meminta Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk mengirimkan Polisi Perbatasan Israel karena kondisi di sana tidak terkendali.[42]
Serangan udara
Pada 10 Mei, Hamas telah menembakkan lebih dari 150 roket dari Gaza menuju Israel.[43]Pasukan Pertahanan Israel mengatakan bahwa tujuh roket ditembakkan menuju Yerusalem dan Bet-Semes dan telah ditembak jatuh.[44] Israel juga meluncurkan serangan udara menuju Jalur Gaza pada 10 Mei 2021.[45] Sebuah misil antitank juga ditembakkan menuju kendaraan sipil di Israel, melukai pengendaranya.[46] Israel kemudian merespons dengan meluncurkan serangan udara menuju Gaza pada hari yang sama.[47]
Pada 11 Mei, gedung Hanadi Tower yang berpenghuni dan memiliki tinggi 13 lantai di Gaza runtuh akibat serangan udara Israel.[48][49][50] Pasukan Keamanan Israel (IDF) mengatakan bahwa di gedung terdapat kantor yang digunakan oleh Hamas. Pasukan tersebut juga mengatakan bahwa mereka telah memberikan pemberitahuan bagi masyarakat sipil untuk melakukan evakuasi.[50] Hamas dan Jihad Islam merespons dengan menembakkan 137 roket ke Tel Aviv selama lima menit.[51] Serangan pada hari itu merusak pipa minyak bumi milik Israel.[52]
Pada 12 Mei, Angkatan Udara Israel menghancurkan belasan markas polisi dan kemanan di Jalur Gaza. Hamas mengatakan bahwa markas besar polisi milik mereka juga menjadi salah satu sasarannya.[53] Lebih dari 850 roket diluncurkan dari Gaza menuju Israel pada 12 Mei.[54]
Menurut militer Israel, setidaknya 200 roket gagal mencapai wilayah mereka dan jatuh di Jalur Gaza.[55]
Korban
Selama tiga hari serangan udara, 53 warga Palestina tewas, di antaranya adalah 14 anak-anak, tiga wanita, dan lima petani. Sebanyak 320 terluka. Beberapa korban tewas di gedung hunian, mobil sipil, dan jalan.[9]
Seorang Komandan di kelompok Hamas yang teridentifikasi bernama Mohammed Abdullah Fayyad serta tiga anggota Jihad Islam yang berpangkat tinggi dilaporkan tewas.[56][57] Anggota Hamas lainnya dilaporkan tewas pada 11 Mei. Kematian lima komandan tersebut dikonfirmasi melalui pernyataan resmi dari kedua pihak. Kematian militan lainnya diduga terjadi, tetapi tidak dikonfimasi.[58][59][60] Tidak diketahui apakah korban yang tewas pada 10 Mei merupakan akibat dari serangan Israel atau roket Palestina yang salah sasaran.[60][61]
Pada 11 Mei, Hamas dan Jihad Islam merespons dengan meluncurkan ratusan roket menuju Ashdod dan Ashkelon, menewaskan dua orang dan melukai 90 lainnya.[23][24][46][24] Korban wanita ketiga yang tewas berasal dari Rishon LeZion, sementara dua warga sipil dan seorang tentara tewas keesokan harinya.[62]
Dampak dan reaksi
Pihak Israel dan Palestina
Pada 9 Mei 2021, Mahkamah Agung Israel menunda pengambilan keputusan selama 30 hari setelah intervensi yang dilakukan oleh Jaksa Agung, Avichai Mandelblit.[63] Polisi Israel juga melarang umat Yahudi untuk mengunjungi plaza Al-Aqsa selama perayaan Hari Yerusalem.[64] Pada 10 Mei, Israel menutup total perbatasan Kerem Shalom, termasuk untuk bantuan kemanusiaan.[65]
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, membela tindakan polisi Israel dan mengatakan bahwa Israel "tidak dapat membiarkan elemen radikal mengganggu ketenangan".[66] Pihak Israel juga meminta pemerintahan Joe Biden untuk tidak mengintervensi situasi yang terjadi.[67]
Pada 10 Mei 2021, Presiden Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas, memberikan pernyataan yang berbunyi "penyerangan brutal dan kekerasan terhadap jemaah Masjidilaqsa adalah sebuah tantangan baru bagi dunia internasional".[68]
Juru bicara Jihad Islam Palestina mengatakan bahwa Israel "memulai agresi di Yerusalem. Apabila agresi ini tidak berakhir, maka upaya diplomatik tidak lagi berguna untuk mencapai gencatan senjata".[69]Hamas memberikan ultimatum kepada pemerintah Israel dengan mengatakan bahwa apabila mereka tidak mengosongkan masjid hingga pukul 2 dini hari pada 11 Mei, Hamas akan kembali meluncurkan serangan roket.[70]
Pada 10 Mei, kerumunan Yahudi Israel berkumpul di tengah kebakaran dekat masjid sambil menyanyikan yimakh shemam.[71]
Internasional
Multilateral
Perserikatan Bangsa-Bangsa – PBB mengimbau Israel untuk membatalkan rencana pengusiran apapun dan berusaha "semaksimal mungkin untuk tidak menggunakan pasukan" dalam menangani pengunjuk rasa.[72]Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa melakukan pertemuan tertutup pada 10 Mei untuk mendiskusikan masalah ini.[67] Pada pertemuan tersebut, mereka mempertimbangkan untuk merilis sebuah pernyataan, meskipun pada akhirnya batal karena kekhawatiran yang diajukan oleh Amerika Serikat.[73][74]
Uni Eropa – Uni Eropa mengimbau kedua pihak untuk menurunkan ketegangan dan kembali menyatakan bahwa "kekerasan dan penghasutan tidak dapat diterima dan pelaku kriminal dari kedua pihak harus bertanggung jawab".[75]
Regional
Arab Saudi – Kementerian Luar Negeri Arab Saudi merilis pernyataan yang menegaskan bahwa Arab Saudi "menolak rencana Israel untuk mengusir belasan warga Palestina dari rumah mereka di Yerusalem dan memaksakan kedaulatan Israel kepada mereka".[76]
Iran – Pemerintah Iran menganggap tindakan polisi Israel sebagai kejahatan dan menyarankan PBB untuk menjatuhkan hukuman kepada mereka.[75]
Mesir – Kementerian Luar Negeri Mesir mengimbau Israel untuk "menghentikan segala tindakan yang tidak sejalan dengan kesucian Masjidilaqsa" dan menganggap rencana pengusiran sebagai pelanggaran terhadap hukum internasional.[77]
Turki – Presiden Recep Tayyip Erdoğan dalam sebuah pidatonya mendeskripsikan Israel sebagai "wilayah teroris yang kejam" dan berkata bahwa PBB harus melakukan intervensi untuk "menghentikan perksekusi" yang terjadi.[75] Ribuan massa, termasuk warga Suriah dan Palestina, berkumpul dan melakukan aksi protes di depan konsulat Israel di Instanbul pada 10 Mei.[78]
Uni Emirat Arab – Menteri Luar Negeri Uni Emirat Arab, Khalifa al-Marar, mengecam pemberontakan ini dan mengimbau Pemerintah Israel untuk "menyediakan perlindungan yang cukup bagi warga sipil Palestina dalam menjalankan ibadah sesuai keyakinannya dan mencegah hal-hal yang tidak sejalan dengan kesucian Masjidilaqsa".[76]
Yordania – Pemerintah Yordania mendeskripsikan tindakan polisi Israel sebagai "tindakan yang barbar".[66] Ribuan warga Yordania melakukan aksi protes di luar kedutaan Israel di Amman pada 10 Mei.[79]
Bosnia dan Herzegovina – Bakir Izetbegović, kepala Partai Aksi Demokrat, partai politik muslim terbesar dan paling berpengaruh di negara itu, mengeluarkan pernyataan berbunyi, "Pertumpahan darah saat bulan suci Ramadan dan pengusiran warga Palestina dari rumah mereka adalah bentuk penyerangan kepada nilai-nilai kemanusiaan."[81]
Britania Raya – Sekretaris Luar Negeri Dominic Raab meminta dilakukannya "penurunan ketegangan pada semua pihak" dan sebuah "akhir [serangan yang] menargetkan populasi sipil". Raab juga mengecam penembakan roket yang dilakukan oleh Hamas menuju Israel.[82]
Indonesia – Presiden Joko Widodo menyampaikan pernyataannya melalui Twitter berbunyi "Indonesia mengecam tindakan tersebut dan mendesak Dewan Keamanan PBB untuk segera melakukan tindakan terhadap pelanggaran berulang yang dilakukan oleh Israel. Ia juga menyatakan dukungan Indonesia terhadap warga Palestina.[83]
Irlandia – Menteri Luar Negeri Islandia Simon Coveney mengecam "respons brutal keamanan Israel terhadap protes yang dilakukan di kompleks Al Aqsa", menyebutnya "tidak dapat diterima".[84]
Kanada – Menteri Luar Negeri Kanada, Marc Garneau, meminta "penurunan ketegangan dengan segera" dan "pencegahan tindakan-tindakan unilateral" dari kedua pihak.[85]
Pakistan – Perdana Menteri Imran Khan mengecam serangan dan menyatakan bahwa "Kami menyatakan kembali dukungan kepada masyarakat Palestina. Dunia Internasional harus segera mengambil tindakan untuk melindungi warga Palestina & hak-hak mereka."[86]
Prancis – Kementerian Luar Negeri Prancis meminta "semua pihak yang khawatir untuk menunjukkan upaya sebesar-besarnya dalam menahan segala provokasi sehingga kondisi yang terjadi saat ini dapat mereda secepat mungkin".[82]
Pengguna Instagram dan Twitter yang mendukung Palestina menyebut unggahan mereka telah dihapus dan akun mereka dikunci. Kedua perusahaan kemudian meminta maaf dan menganggap kejadian ini sebagai kesalahan teknis.[88]
Catatan
^Kedua kalimat ini diterjemahkan dari sumber berbahasa Inggris yang berbunyi "Strike Tel Aviv" dan "Jews, remember Khaybar, the army of Muhammad is returning". Tidak diketahui maksud "Strike" di sini berarti "serang" atau "hapus".