Inisiatif ini berawal dalam bentuk rangkaian kesepakatan pertukaran bilateral setelah negara-negara ASEAN Plus Three bertemu pada rapat tahunan Bank Pembangunan Asia di Chiang Mai, Thailand, tanggal 6 Mei 2000. Setelah krisis keuangan Asia 1997, negara-negara anggota merintis inisiatif ini untuk menangani permasalahan likuiditas jangka pendek dan membantu kinerja kesepakatan serta organisasi keuangan internasional lainnya seperti Dana Moneter Internasional.
Sejarah
Pembentukan
Pada puncak krisis keuangan Asia 1997, pemerintah Jepang mengusulkan pembentukan Dana Moneter Asia sebagai versi regional dari Dana Moneter Internasional (IMF). Namun demikian, rencana ini batal setelah ditentang habis-habisan oleh Amerika Serikat.[3] Seusai krisis, menteri keuangan negara-negara anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), Republik Rakyat Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan bertemu pada Rapat Tahunan Dewan Gubernur Bank Pembangunan Asia (ADB) di Chiang Mai, Thailand, tanggal 6 Mei 2000 untuk membahas pembentukan jaringan kesepakatan pertukaran mata uang bilateral.[4] Rencana ini disebut Inisiatif Chiang Mai dan bertujuan untuk menghindari berulangnya krisis keuangan Asia. Inisiatif ini mencakup pembentukan dana cadangan valuta asing yang dapat diakses bank sentral negara-negara anggota untuk melawan spekulasi mata uang.[5] Inisiatif ini juga akan melengkapi sumber daya uang lembaga-lembaga internasional seperti IMF.[6][7] Joint Ministerial Statement (JMS) yang dirilis setelah Rapat Menteri Keuangan ASEAN+3 menyebutkan pembentukan CMI.[8]
Para kritikus pertamanya mempertanyakan alasan insiatif ini. Asia Times Online menulis dalam sebuah editorial beberapa hari setelah pertemuan tersebut, "Gagasan bahwa kesepakatan pertukaran mata uang atau perluasan konsep dana moneter Asia [...] akan mencegah krisis Asia atau krisis yang lebih buruk justru keliru dan berbahaya secara politik."[9] Setelah Direktur Pelaksana IMF Horst Köhler mengunjungi lima negara Asia, termasuk Thailand, bulan Juni 2000, Asia Times Online mengkritik dukungannya terhadap "rencana pertukaran mata uang [...] ASEAN Plus Three yang penuh kekurangan dan tampaknya tidak akan mungkin tercipta".[10] Dalam sebuah wawancara tahun 2001 dengan Far Eastern Economic Review, Köhler menyatakan bahwa CMI akan mendorong kerja sama dan pembangunan ekonomi kawasan dan ia tidak menolak terbentuknya Persatuan Moneter Asia.[2]
Perluasan
Pada 16 Oktober 2009, jaringan ini terdiri dari 16 kesepakatan bilateral di antara negara-negara ASEAN Plus Three senilai US$90 miliar. Selain itu, ASEAN Swap Arrangement memiliki dana cadangan sebesar US$2 miliar.[11]
Multilateralisasi
Rapat ke-10 Menteri Keuangan ASEAN+3 bulan Mei 2007 menyepakati perkembangan CMI lebih lanjut.
CMI bertujuan memperluas pertukaran bilateral ASEAN. Selain itu, CMI bertujuan membantu fasilitas keuangan IMF yang sudah ada. Namun demikian, krisis keuangan global membuktikan bahwa CMI tidak berfungsi sebagaimana mestinya dan masih perlu diperbaiki lagi. Alih-alih mencari perlindungan likuiditas CMI, Korea Selatan dan Singapura menggunakan Federal Reserve Amerika Serikat untuk melindungi likuiditasnya, sedangkan Indonesia meminta bantuan Tiongkok dan Jepang.[12] Para pembuat kebijakan pun menyadari bahwa CMI butuh kesepakatan dana cadangan dan memutuskan untuk melakukan multilateralisasi terhadap CMI. CMIM terbentuk karena keputusan tersebut.
Pada bulan Februari 2009, ASEAN+3 setuju untuk memperbesar dana cadangannya menjadi $120 miliar dari $78 miliar yang diusulkan tahun 2008.[13][14]
Pada pertemuan menteri keuangan ASEAN di Pattaya, Thailand, bulan April 2009, kontribusi setiap negara anggota untuk dana cadangan ini ditetapkan. Masing-masing anggota pendiri ASEAN—Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand—menyumbangkan US$4,77 miliar, sedangkan lima anggota sisanya menyumbang antara US$30 juta dan US$1 miliar.[15] Kesepuluh negara ini rencananya bertemu dengan para mitra seusai rapat menteri keuangan, tetapi dibatalkan karena peresmian perjanjian multilateralnya ditunda akibat krisis politik Thailand.[16][17] Ketika pemimpin tiga belas negara bertemu di Bali bulan Mei 2009, mereka menetapkan kontribusi Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan.[18] Dalam pertemuan ini, Hong Kong hadir sebagai peserta baru yang kontribusinya disatukan dengan Tiongkok walaupun Hong Kong memiliki "kewenangan keuangan terpisah". Keterlibatan Hong Kong meningkatkan total kontribusi Tiongkok menjadi US$38,4 miliar, setara dengan Jepang, dan Korea Selatan dengan kontribusi sebesar US$19,2 miliar.[19] Tiongkok dan Jepang masih menjadi kontributor terbesar karena masing-masing menyumbang 32% total kontribusi. Bersama Korea Selatan, ketiga negara ini mencakup 80% total kontribusi untuk CMIM, sedangkan 20% sisanya dari negara-negara ASEAN.[20]
Pada Rapat Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral ASEAN+3 ke-15 di Manila, Filipina, tanggal 3 Mei 2012, semua peserta sepakat memperluas CMIM dari $120 miliar menjadi $240 miliar. ASEAN+3 juga setuju untuk mengadopsi CMIM Precautionary Line (CMIM-PL) yang dirancang sesuai program PPL di IMF untuk mencegah krisis keuangan. Selain itu, pangsa lepas IMF dinaikkan dari 20 persen menjadi 30 persen dan rencananya naik menjadi 40 persen pada tahun 2014. Mengenai perluasan pendanaan CMIM, negara-negara pesertanya dapat menerima maksimal $30 miliar.[21]
Chiang Mai Initiative Multilateralisation (CMIM) Agreement ditandatangani tanggal 28 Desember 2009,[22][23] dan berlaku tanggal 24 Maret 2010.[24][25][26]
^"Asians will defend their money". Manila Standard. Associated Press. 8 May 2000. hlm. 1–2. Countries would lend dollars to each other to help defend the value of their currencies during speculative attacks or other currency problems. The loans would be paid back in local currencies at a fixed rate. It would complement existing international institutions, the statement said, acknowledging likely opposition from the United States if a deal eventually led to an attempt to replace the Washington based International Monetary Fund. Malaysia, which has long urged fellow Asian nations to rely on each other for help, rather than on the West, refused the IMF's treatment and suffered less in the crisis than others.