Hubungan Brunei dengan Tiongkok
Hubungan Brunei–China merujuk kepada hubungan luar negeri bilateral antara Brunei dan China. Brunei memiliki sebuah kedutaan besar di Beijing, dan China memiliki sebuah kedutaan besar di Bandar Seri Begawan.[1] SejarahHubungan antara dua negara tersebut telah terjadi sejak 2,000 tahun yang lalu ketika kedua negara tersebut memulai perdagangan satu sama lain pada awal zaman Han Barat.[2] Beberapa sejarawan juga menyatakan bahwa para pemukim Tionghoa dari Provinsi Fujian datang ke Borneo dan bermukim di wilayah yang sekarang disebut "Brunei" pada abad ke-13 dan ke-14.[2] Pada abad ke-15, Sultan Brunei pada waktu itu, Abdul Majid Hassan meninggal pada saat berkunjung ke China, meskipun kaisar Tiongkok mengusahakan yang terbaik untuk menolong mengobati penyakit Sultan.[2] Sultan kemudian dimakamkan dengan sebuah upacara pemakaman kerajaan di Nanjing dan kemudian dijadikan sebagai simbol hubungan antara kedua negara tersebut pada masa sekarang.[2] Pada masa modern, hubuhgan kedua negara tersebut tidak akrab sejak Brunei menjadi protektorat Britania, pada permulaan abad ke-19 sampai negara tersebut meraih kemerdekaan secara resmi pada 1 Januari 1984.[2] Pada masa ini, terdapat juga berbagai ketidaksukaan di Brunei yang sebagian besar terhadap komunisme dan sensitivitasannya terhadap penduduk beretnis Tionghoa.[2] Pada 30 September 1991, Brunei menjadi anggota terakhir Perbara untuk membangun hubungan diplomatik dengan China.[1] Hubungan ekonomiPada 2011, perdagangan antara dua negara tersebut mengucurkan U$1.3 miliar.[2] Kedua negara tersebut mempromosikan praktik kerjasama di beberapa wilayah seperti pembangunan infrastruktur, agribudaya dan perikanan.[3] Beberapa perusahaan Tiongkok juga menyetujui dua proyek keuangan dalam pembuatan aquakultur dan paddy di Brunei yang menghabiskan sekitar U$10 juta.[4] Lihat pulaBacaan tambahan
Referensi
|