Semasa menjadi wali kota Semarang, ia pernah dikenal berhasil membangun Monumen Tugu Muda yang terletak di Lapangan Wilhelmina yang berada di kawasan Lawang Sewu yang diresmikan pada tanggal 20 Mei 1953.[5] Ia juga pernah mengajak kelompok Ngesti Pandowo untuk menetap di Semarang serta menyediakan tempat tinggal untuk kelompok tersebut setelah terpukau dengan pertunjukan kelompok tersebut (Gedung GRIS/ Gedung Rakyat) pada tahun 1953.[6][7]
Terkait Gedung GRIS/Gedung Rakyat, ia termasuk sosok yang mengetahui pembentukan kepanitiaan untuk renovasi gedung tersebut serta menjadi Ketua Yayasan Gedung Rakyat dan juga Ketua Kesejahteraan Kota Semarang. Hal ini dilakukan demi memperindah gedung tersebut untuk fungsi yang lebih besar.[7]
Selain Gedung GRIS/Gedung Rakyat, ia juga berperan dalam pembangunan Panti Marhaen yang menjadi kantor pusat PNI Jawa Tengah (kini menjadi Kantor Pusat DPD PDI Perjuangan Jawa Tengah) pada tahun 1960.[8] Pembangunan gedung tersebut sama seperti pembangunan Gedung GRIS/Gedung Rakyat, yaitu dilakukan secara gotong royong.[8]
Setelah tidak menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah, ia tetap aktif di kepartaian. Salah satu momen terpenting adalah kemelut di dalam PNI yang melibatkan dirinya dan Hardi melawan Ali Sastroamidjojo-Surachman.[10]
Peristiwa 30 September 1965
Sebelum Peristiwa 30 September 1965 terjadi, ia termasuk beberapa tokoh dari PNI yang dipecat oleh Ali Sastroamidjojo pada tanggal 5 Agustus 1965 selain Hardi, Mohammad Isnaeni, Osamaliki, R.M. Karim Durjat, Sabilal Rasjad, dan Achmad.[11]
Ketika terjadi kericuhan terkait Peristiwa 30 September, oleh beberapa kalangan ia termasuk ke dalam "Marhaen Gadungan" (atau PNI non PNI A-Su) bersama dengan Hardi (ahli hukum dan mantan Wakil Perdana Menteri 1957 dan 1959) karena dianggap menentang keputusan Presiden Soekarno pada saat itu.[2] Meskipun demikian, ia pernah dituduh menjadi calon Menteri Dalam Negeri dalam susunan kabinet Dewan Jenderal yang keluar sebelum Peristiwa 30 September.[11]
Meskipun dianggap berseberangan dengan PNI Ali Sastroamidjojo-Surachman, Ia menunjukkan kekagumannya pada Soekarno secara frontal. Hal ini bisa dilacak dalam pidatonya pada saat Apel Siaga PNI di Stadion Kridosono, Yogyakarta pada bulan Juni 1966. Hadisubeno mengatakan bahwa apapun yang terjadi, Presiden sukarno masih dicintai rakyatnya.[2]
Pasca 30 September 1965 (Ketua umum PNI)
Meskipun demikian, ia menjadi salah satu pihak yang terjebak oleh permainan politik Soeharto melalui Ali Moertopo. Dalam Kongres Persatuan, April 1966, Hardi dan Hadisubeno berhasil menguasai partai. Menurut Harold Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia, Soeharto bermaksud untuk mempertahankan PNI supaya berada di bawah kepemimpinannya. Ia pun menunjuk Osamaliki sebagai pemimpin PNI. Sayang, Osamaliki wafat pada tahun 1971 sehingga pemerintah saat itu mengawasi betul PNI dalam pemilihan pemimpin baru.[2]
Dua kandidat kuat dalam pemilihan ketua umum PNI adalah Hardi dan Hadisoebeno. Pihak pemerintah mencurigai Hardi akan bekerjasama dengan partai-partai lain untuk menentang tentara. Oleh karena itu, pemerintah menginginkan Hadisubeno menjadi ketua umum. Dalam kongres partai yang diadakan di Semarang pada April 1970, Ali Murtopo selaku asisten pribadi presiden menugaskan asisten pribadinya untuk memastikan kemenangan Hadisubeno. Asisten Ali itulah yang menyebarkan desas-desus kalau Hadisubeno tidak dimenangkan dalam kongres tersebut, siap-siap saja PNI akan dibubarkan. Pada akhirnya, Hadisubeno terpilih sebagai ketua umum PNI.[2] Seorang pendukung Hardi kemudian menulis dalam harian partai, Suluh Marhaen, bahwa dalam kongres terdapat campur tangan pihak Angkatan Darat. Mereka menekan anggota kongres untuk menuruti keinginan pemerintah memenangkan Hadisubeno.
Dengan adanya dukungan dari pemerintah, PNI bermaksud untuk memberikan timbal balik dengan menunjukkan bahwa pendukung PNI masih banyak. Salah satu harapannya, setelah Pemilihan Umum 1971 Soeharto menunjuk seorang pemimpin dari PNI untuk menjadi wakil presiden. Namun demikian, kampanye yang dilakukan PNI menimbulkan ketegangan antara PNI dan pemerintah. Hadisubeno yang sebelumnya dianggap penurut, mengundang kewaspadaan penguasa ketika dengan bersemangat melancarkan kampanye anti-Golkar dan menyatakan kedekatan hubungan antara PNI dengan Sukarno. Manuver Hadisubeno terbilang nekat karena kala itu terdapat larangan Kopkamtib tentang penyebaran ide-ide Sukarno. Hadisubeno menantang pemerintah untuk membubarkan PNI kalau larangan tersebut diberlakukan. Bahkan ia mengucapkan salah satu kalimat legendaris “Sepuluh Soeharto, sepuluh Nasution, dan segerobak penuh jenderal tidak akan dapat menyamai satu Sukarno,”[2][12][13]
Usaha Hadisubeno untuk mendapatkan kembali suara rakyat terputus karena ia meninggal sebelum pemilu dilaksanakan. Harian Sinar Harapan edisi Sabtu, 24 April 1971 menyebutkan Hadisubeno meninggal pada Sabtu pukul 7 di RSUP dr. Kariadi, Semarang akibat komplikasi pascaoperasi.[2]
Kehidupan pribadi
Ia memiliki seorang anak perempuan yang aktif di GMNI bernama Sri Hartati Wulandari yang merupakan istri dari (alm). Soerjadi.
Referensi
^ abKesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah;
tidak ditemukan teks untuk ref bernama :0
^ abcdefg"PNI Pasca-Peristiwa 1965". Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia. 2019-09-28. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-13. Diakses tanggal 2020-11-27.
^Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah;
tidak ditemukan teks untuk ref bernama :1