Emile Gobée
Emile Gobée (3 Desember 1881 – 12 Juli 1954), adalah seorang politikus dan tokoh militer Belanda. Gobée adalah mantan Konsul Hindia Belanda di Mekkah, dan juga pernah menjabat sebagai Asisten Residen Poso yang pertama pada tahun 1924 hingga tahun 1926. Gobée termasuk salah satu orang Belanda yang menandatangani manifesto mendukung Republik Indonesia dan Perdana Menteri Indonesia saat itu, Sutan Sjahrir.[1] Setelah merdeka, reformasi pendidikan besar-besaran di negara yang membawa Gobée -yang telah memiliki keahlian tertentu sepanjang kariernya di Hindia Belanda yang panjang di bidang ini- berkunjung ke Indonesia pada tahun 1949 hingga 1950 atas undangan pemerintah di Jakarta. Setelah kembali di Belanda, bersama dengan C. Adriaanse, mereka menulis buku "Ambtelijke adviezen van C. Snouck Hurgronje, 1889-1936". Sumber-sumber edisi ini akan muncul setelah kematiannya, pada usia 73 tahun, dalam bentuk tiga volume antara tahun 1957 dan 1965.[2] Kehidupan pribadiGobée adalah anak dari Theodor Carel Gobée, perwira angkatan laut, dan Annette Geertruida Kloppert. Pada tanggal 21 Februari 1908, dia menikah dengan Jacoba Cornelia Bosman (1885-1964). Dari pernikahan ini, lahir empat anak perempuan, kecuali satu anak yang mati muda. Dia baru berusia enam tahun ketika ayahnya, prajurit di Angkatan Laut Kerajaan Belanda, meninggal, dan mendorongnya masuk ke Angkatan laut. Setelah tiga tahun sekolah menengah di Rotterdam, dia kemudian mengikuti empat tahun pelatihan taruna di Akademi Angkatan Laut Kerajaan di Willemsoord pada tahun 1897 hingga 1901. Pada bulan Desember tahun 1903, dia menerima pangkat letnan kelas kedua, dan dikirim ke Hindia Belanda. Dia ditugaskan untuk melakukan survei hidrografi di sini. Pengalaman ini dan pembicaraan dengan para pejabat pemerintah Belanda dan misionaris lokal, membuat Gobée memutuskan untuk menukar karier angkatan laut-nya menjadi karier pejabat pemerintahan. Setelah kembali ke Belanda, ia mengundurkan diri dari tugas angkatan laut dan pada bulan September 1906 hingga Desember 1907, dia mengikuti pelatihan pejabat pemerintah Hindia Belanda di Universitas Leiden.[3] Pada tahun 1933, istri Gobée kembali ke Belanda karena alasan kesehatan tiga anak perempuan mereka. Pada bulan Maret 1938, Gobée dan putri sulungnya -yang tetap di Hindia Belanda untuk mengatur rumah tangga ayahnya- bergabung dengan mereka di Bussum. Tahun berikutnya ia pindah ke Leiden. Gobée yang menikmati masa pensiun bekerja di sini pada publikasi. Selama pendudukan Jerman dia dipenjarakan dari bulan Maret 1943 di kamp konsentrasi Vught dan dari Mei hingga September 1944 di kamp sandera "Beekvliet" te Sint-Michielsgestel. Sampai tahun 1948 dia tinggal di Leiden, kemudian di Voorschoten. KarierSetelah mengikuti pelatihan Gobée kemudian berangkat ke Hindia Belanda. Pada bulan Juni, dia ditempatkan di Tentena sebagai calon inspektur yang ditugaskan di sekitar Danau Poso di Sulawesi Tengah. Di wilayah yang sebagian besar belum diselidiki ini, Gobée telah melakukan pekerjaan perintis. Dia bekerja sama dengan teman misionaris A.C. Kruyt dan dengan bantuan staf kecil dari Jawa dan Minahasa, dia berhasil meningkatkan pelayanan kesehatan, memperluas jaringan jalan, membenahi sawah dan berhasil memperkenalkan budidaya kopi. Pada bulan November 1910, Gobée dipromosikan ke pangkat inspektur di pelayanan sipil, dan kemudian pindah bersama keluarganya ke Manado. Pada bulan Februari 1911, dia pindah ke Lirung di Kepulauan Talaud, sebelah timur laut dari Sulawesi. Pada bulan September 1911, dia bekerja di Barus di Sumatera Utara. Pada bulan Juni 1914, dia dipindahkan ke kota pesisir utara Tapak Tuan, di Aceh, tempat dia bekerja selama satu tahun.[4] Konsul MekkahDari bulan September 1915 hingga bulan April 1917, Gobée belajar di Bestuursacademie Hindia Belanda di Den Haag. Setelah menyelesaikan studinya di Bestuursacademie, dia diangkat menjadi konsul di Jeddah, kota pelabuhan Mekkah. Jabatan ini dianggap sebagai posisi yang penting karena merupakan tugas konsul untuk melindungi kepentingan puluhan ribu penduduk Hindia Belanda di Mekkah. Selama kurang lebih empat setengah tahun, dari 15 Juni 1917 sampai dengan 1 November 1921, Gobée meningkatkan kemampuannya berbahasa Arab. Di saat yang sama, nasionalisme Islam meningkat karena gejolak kekerasan yang dihadapi dunia Muslim. Pada awal tahun 1920-an, dia mulai menerbitkan beberapa artikel.[5] Asisten Residen PosoPada Agustus 1924, Gobée meninggalkan keluarganya untuk kembali ke wilayah Poso, dan diangkat sebagai Asisten Residen. Enam belas tahun sebelum dia mengabdikan dirinya untuk peran manajemen di sebuah daerah yang sekarang jauh lebih besar, Poso mendapatkan peningkatan infrastruktur dan perluasan perhatian kesempatan pendidikan. Masa baktinya di Poso berakhir pada bulan April tahun 1926, ketika dia dipanggil kembali ke Batavia, untuk mengambil alih jabatan penasehat untuk Kantor Urusan Pribumi.[6] Kantor Urusan PribumiPada bulan Juli 1929, ketika Gobée kembali ke Eropa untuk liburan selama delapan bulan, dia menyimpulkan bahwa tensi di Hindia Belanda, sebagian besar karena meningkatnya perlawanan revolusioner Soekarno, telah meningkat tinggi. Secara khusus, Jaksa Agung, Gubernur Jawa Barat dan komandan tentara, khawatir dengan kemungkinan penyusupan oleh pihak Sukarno di dalam polisi dan tentara, dan melarang semua pegawai negeri dan bahkan anggota keluarga mereka untuk bergabung dengan PNI, partai Soekarno. Gobée memprotes keputusan ini atas dasar hak-hak sipil atau permintaan dari Soekarno sendiri. Karena rumor yang mengancam pemberontakan, pada awal tahun 1930, pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk menangkap Soekarno dan beberapa anggota PNI lainnya.[7] Dalam masa kepemimpinan Gubernur Jenderal Bonifacius Cornelis de Jonge yang memerintah pada tahun 1931 hingga 1936, dia tidak lagi berkonsultasi dan tidak ada perhatian yang diberikan terhadap nasihatnya. Kontak Gobée dengan de Jonge juga sangat minim.[8] Di masa Gubernur Jenderal terakhir, Tjarda van Starkenborg Stachourwer (1936-1945), Urusan Pribumi kembali dalam pengaruhnya. Ketika perjuangan kemerdekaan Indonesia -seperti yang telah diantisipasi- pecah, dia bergabung pada bulan Januari 1946 bersama Asosiasi Belanda-Indonesia. Dia termasuk orang yang menandatangani manifesto mendukung Republik yang baru dan Perdana Menteri Sutan Sjahrir.[9] ReferensiCatatan kaki
Daftar pustakaSumber primer
|