Duski Samad
Buya Duski Samad (bahasa Arab: دوسق صمد, nama lahir: Dusqu Samad; 23 September 1905 – 3 Mei 1985)[1] adalah ulama, politisi, dan tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia yang merupakan anggota Muhammadiyah. Ia memulai kiprah politiknya di Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) selama lima tahun sebelum akhirnya bergabung dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Partisipasinya dalam Pemilu 1955 turut mendorongnya untuk menjadi anggota Konstituante pada 1956. Kehidupan awalDuski Samad dilahirkan dengan nama Dusqu Samad di Kampung Air Hangat (bahasa Minangkabau: Kampuang Aie Angek), Onderfadeeling Danaudistricten en Matoer, Tanjung Raya, Afdeeling Agam pada hari Kamis, 23 September 1905 pukul lima sore (dalam biodata Konstituante tertulis kelahirannya tanggal 23 Agustus 1905).[2][3] Ia merupakan anak keempat dari enam bersaudara, yaitu Ahmad Rasyid, Abdul Wahab, Abdul Aziz, Abdul Razak, dan Fatimah.[4] Ayahnya adalah seorang ulama bernama Haji Abdul Samad Al Kusai dan ibunya bernama Siti Abbasyiyah atau lebih dikenal dengan Uncu Lumpur yang merupakan istri kedua dari Abdul Samad. Nama Dusqu Samad merupakan pemberian sang ayah yang berasal dari nama "Dasuqi" (bahasa Arab: دسوق), seorang penulis kitab tentang aqidah Islamiyah. Ketika menjadi pelajar di suatu perguruan Islam di Padang Panjang, ia mengubah namanya sendiri menjadi "Dusqi Samad" untuk meringkaskan pelafalan dan memudahkan panggilannnya.[2] PendidikanPendidikan Duski Samad dimulai ketika bersekolah di Sekolah Kelas Dua (setara dengan Sekolah Rakyat). Setelah lulus, ia meneruskan pendidikan ke Sekolah Menengah Islam Sumatera Thawalib.[3] Ketika di Thawalib, ia sempat terpengaruh propaganda komunis (tahun 1926); namun setelah jelas bahwa komunis memusuhi agama, ia keluar dan bergabung dengan Permi, dan kemudian Muhammadiyah.[5][6] KiprahSetelah menyelesaikan pendidikannya, Duski Samad bekerja sebagai seorang guru di Sumatra Thawalib dari tahun 1928 hingga 1930.[3] Setelah itu, ia mulai terlibat aktif dalam dunia politik melalui Persatuan Muslimin Indonesia selama lima tahun, hingga akhirnya memutuskan istirahat berpolitik untuk menjadi mubalig atau pendakwah pada 1935 sampai 1945. Keterlibatannya dalam organisasi tetap diteruskan. Setelah masa pendudukan Jepang, tepatnya pada tahun 1942, ia bergabung dengan Muhammadiyah.[6] Pada 25 Desember 1945, Duski bersama dengan Malik Ahmad membentuk barisan pemuda yang dikenal dengan nama Laskar Hizbullah.[7] Selama perang kemerdekaan Indonesia, ia diangkat sebagai Pimpinan Tertinggi Hizbullah Fi-Sabilillah untuk daerah Sumatra Tengah dari 1945 sampai 1949. Ia juga membentuk barisan putri Sabil Muslimat.[5] Ia pernah pergi mencari bantuan persenjataan ke Aceh bersama Mayor Maksum.[8] Ia kembali ke gelanggang politik dan diangkat sebagai anggota Partai Masyumi sejak 1946 hingga 1947.[3] Duski turut bersama para mubalig lainnya mengadakan tablig melawan penyebaran surat berantai propaganda komunis di Sumatera Tengah, menyusul kegagalan Pemberontakan PKI (Musso) tahun 1948.[5] Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia, Duski kembali melanjutkan karier sebagai pendakwah di Sumatra Tengah pada tahun 1950. Pada Pemilu 1955, ia terpilih dan duduk sebagai anggota Konstituante dari Partai Masyumi untuk daerah pemilihan Sumatra Tengah. Pada 1958, ia bergabung dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI),[9] sehingga ia bersama pemimpin PRRI, Ahmad Hussein ditahan di Jakarta.[10][11] Duski dan para pimpinan PRRI lainnya mengalami karantina politik tanpa proses pengadilan selama bertahun-tahun, dan ditempatkan secara terpisah-pisah.[11] Ia bersama Moh. Natsir, Maludin Simbolon, serta keluarga mereka dipindahkan ke kota Batu, Malang, Jawa Timur.[11][12] Selama berada di Jawa Timur, Duski tetap aktif beraktifitas sebagai mubalig.[10] Keadaan tersebut berlangsung hingga ia memperoleh kebebasan dari penguasa Orde Baru, yang berkuasa setelah kegagalan Pemberontakan G30S/PKI.[12] Kehidupan pribadi
Pada 1928,[13] atau sebagian besar menulis 1929, Duski Samad menikahi Rasuna Said, yang kelak menjadi pahlawan nasional Indonesia. Duski Samad adalah guru dan mentor bagi Rasuna Said di Sumatra Thawalib. Mereka bertemu sebagai sesama anggota Permi.[14] Awalnya, pernikahan ini ditentang oleh keluarga dari Rasuna Said karena perbedaan status sosial-ekonomi keluarga.[15][16] Selain itu, Rasuna juga sudah direncanakan akan dijodohkan dengan kerabatnya yang terpandang dan kaya. Pada akhirnya, mereka menikah dengan amat sederhana, ketika itu Duski Samad berusia 24 tahun, sedangkan Rasuna Said berusia 19 tahun.[17] Pasangan suami dan istri ini dikaruniai seorang putra bernama Darwin Duski (lahir di Maninjau pada 1929) dan disusul seorang putri bernama Auda Zaschkya Duski (lahir di Maninjau pada 1931).[18][19] Darwin meninggal dunia saat masih kecil, sehingga tinggal Auda anak satu-satunya.[20] Akibat kesibukan masing-masing dalam perjuangan kemerdekaan, mereka jarang bertemu satu sama lain sehingga mereka memutuskan untuk bercerai.[21] Mereka bercerai pada tahun 1932.[13] Pada 1936, Duski Samad menikahi Sab'atun Adam, seorang wanita bersuku Melayu. Dari pernikahannya tersebut, mereka dikaruniai anak bernama Azimah (lahir di Padang pada 1939),[22] Amna (lahir di Padang Panjang pada 1947),[23] Ashim (lahir di Padang Panjang pada 1952),[24] Yusra (lahir di Padang Panjang pada 1954),[25][26] Silmi (lahir di Padang Panjang pada 1956), dan Zulfa (lahir di Maninjau pada 1959).[27] Meninggal duniaDuski Samad meninggal dunia pada 3 Mei 1985 di Jakarta. Hamka mengenang Duski sebagai "mubalig ulung yang telah menyediakan segenap tenaganya menegakkan agama".[5] Referensi
|