Untuk ulama Muhammadiyah dan politikus Masyumi masa Orde Lama, lihat
Duski Samad.
Prof. Dr. H. Duski Samad, M.Ag. gelar Tuanku Mudo (lahir 18 Juli 1960) adalah dosen, akademisi, ulama, dan pendakwah Indonesia dari Sumatera Barat. Ia merupakan Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) periode 2022-2027. Ia mengajar di Universitas Islam Negeri Imam Bonjol (dahulu IAIN Imam Bonjol) sejak 1993 dan diangkat sebagai guru besar tahun 2008. Ia sering menulis buku mengenai keislaman. Ia juga masuk dalam Dewan Pembina Nasional Kesatuan Mahasiswa Tarbiyah Islamiyah (KMTI) periode 2022-2025 serta pernah menjabat sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Kota Padang dua periode sejak 2012 hingga 2021.[1]
Kehidupan awal
Duski Samad lahir dari pasangan Djalaluddin dan Maimunah sebagai anak dari 12 bersaudara. Ayahnya seorang tokoh agama di kampungnya. Jabatan ayahnya sebagai qadi nikah di Sikabu, Lubuk Alung, pengurus masjid, dan pengajar Al-Qur'an bagi anak-anak. Ayah dan ibunya diberi gelar Guru Tuo (guru yang dituakan) oleh masyarakat. Ibunya juga menjadi guru mengaji dan ilmu dasar keislaman bagi anak-anak perempuan di Sikabu. Sebelum menikahi ibunya, ayahnya baru menceraikan istri pertamanya yang hanya berkawin selama tiga bulan. Duski Samad mengingat ayahnya sebagai orang berwatak tegas dan keras dalam mendidik anak-anaknya. Ketika perintah ayahnya tidak diindahkan anak-anaknya, ayahnya tak segan-segan memakai ikat pinggang untuk menghukum mereka.
Duski Samad mulai belajar agama kepada ayahnya di Surau Balenggek Sikabu Bukik dekat rumahnya sejak usia enam tahun, satu tahun sebelum memasuki sekolah dasar (SD). Ia belajar bacaan salat, rukun tiga belas, dan mendengar kaba atau cerita sebelum tidur adalah rutinitasnya kala tinggal di surau. Setiap hari libur, anak-anak surau bergotong royong membersihkan surau lalu pergi mandi ke Tapian Puti, sekitar 2 kilometer dari surau.
Duski Samad memasuki Sekolah Dasar Nomor 2 Sikabu pada 1968. Awalnya ia tidak mau bersekolah dan lebih menyukai membantu ayahnya bertani dan bermain di sawah. Namun, seorang tuo kampung bernama Muhammad Djamil menasihatinya apakah kamu ingin jadi koncek (katak) yang sukanya di sawah. Ia mendapatkan pendidikan keagamaan langsung dari ayahnya. Sebelum dan sepulang sekolah ia belajar agama kepada ayahnya. Ia diajari ayahnya di surau bersama anak-anak lainnya. Ia belajar matan bina, matan ajrumiah, matan taqrib, dan Tafsir Jalalain kepada ayahnya.
Pada awal bersekolah, Duski Samad merasa ia tidak tertarik dengan pelajaran sekolah tetapi karena ada teman di sekolah ia terus bersekolah. Dalam otobiografinya ia mengaku bukan termasuk siswa cerdas di awal-awal masa sekolahnya, tetapi berhasil naik kelas. Saat bersekolah, sesuai pesan ayahnya ia selalu memakai peci karena berkopiah adalah tanda orang siak atau orang alim. Ketika kelas V SD, ia terpilih mewakili Kecamatan Lubuk Alung mengikuti Pekan Olahraga Seni dan Agama (Porseda) antar SD, SMP, dan SMA di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Padang Pariaman. Saat mengikuti lomba tingkat kabupaten, ia tidak berhasil menang dan pingsan saat tampil tanpa diketahui sebabnya.
Sebelum ayahnya sakit keras menjelang meninggal, ayahnya berwasiat agar ketika dia sudah meninggal dunia, janganlah menangis lalu ambil Al-Qur'an dan bacalah. Nasihat ini berkesan di hatinya. Ketika ayahnya benar-benar meninggal dunia, tanpa berpikir panjang ia langsung membaca Al-Qur'an sampai tertidur di dekat jenazah ayahnya, sementara ibu, kakak, dan adiknya dalam keadaan menangis.
Saat Duski Samad berumur 11 tahun, ayahnya meninggal dunia pada 31 Mei 1971. Ia masih duduk di bangku kelas IV sekolah dasar ketika itu.
Sepeninggal ayahnya, masyarakat Sikabu meminta Tuanku Salih, seorang ulama dari Balah Air VII Koto, menggantikan peran ayahnya sebagai ulama. Ia pindah belajar kitab kepada Tuanku Salih di Surau Lereng Kampung Tangah Sikabu. Duski Samad menjadi asisten Tuanku atau disebut "Sampan" Tuanku. Ia mengikuti tugas Tuanku dalam memimpin acara kenduri, kematian, dan hari besar Islam seperti Maulid Nabi. Sebagai "Sampan", ia mendapat berkah berupa imbalan dari tugasnya mendampingi pekerjaan Tuanku.
Duski Samad merasakan ibunya sebagai sosok pekerja keras dan setia dalam mendampingi suaminya. Setelah masa Pemberontakan Gerakan 30 September (G30SPKI), ia membantu ekonomi keluarga dengan berjualan makanan dan minuman di kedai atau balapau di Simpang Empat Sikabu. Setelah suaminya meninggal dunia, sebagai orang tua tunggal bagi anak-anaknya, ia semakin keras dalam mencari nafkah bagi keluarga. Ia menjajakan berjualan kain berjalan kaki hingga lebih dari 10 km dalam sehari dari Sikabu hingga ke kampung tetangga seperti Surantih, Kayu Gadang, Koto Buruk, hingga Kampung Koto. Ia tidak hanya menerima kredit kain menggunakan uang, tetapi juga menerima barter dengan barang lain seperti ayam, telur, beras dan barang lain yang bisa dibawa. Anak-anaknya termasuk Duski Samad mendampingi ibunya berjualan.
Pendidikan santri
Setelah tamat SD, pada 13 Agustus 1973, sesuai wasiat ayahnya, Duski Samad dibawa ibunya melanjutkan pendidikan ke Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Batang Kabung, Koto Tangah, Kota Padang (saat itu masih termasuk daerah Kabupaten Padang Pariaman hingga tahun 1980). Madrasah ini dipimpin oleh Syekh H. Salif Tuanku Sutan yang dikenal luas oleh masyarakat Sumatera Barat sebagai Buya Batang Kabung. Syekh ini juga teman dekat ayah Duski Samad. Ia adalah kakak kandung dari Bupati Padang Pariaman tahun 1970-an Muhammad Nur. Kemasyhuran nama Buya Batang Kabung membuat MTI didatangi oleh murid-murid dari luar Sumatera Barat bahkan dari pulau Jawa.
Saat seleksi masuk pesantren, karena sudah mampu membaca tafsir dan nahwu saraf, Duski Samad ditetapkan Buya Batang Kabung langsung masuk ke Kelas II.
Sebagai anak pesantren, Duski Samad hidup di asrama pesantren. Ia tinggal di asrama anak-anak dari Tandikat yang disebut Anak Desa Tandikat disingkat Andestan. Ia mengaku pertemanan dengan anak-anak Tandikat itu membentuk pemikiran dan pergaulannya. Ia mengikuti guru tuo atau kakak-kakak seniornya mamakiah. Ia pertama kali mengikuti seorang senior bernama Tamar Jaya yang berasal dari Padangsago. Mereka mamakiah hingga Kasang, Kuliek, dan Salisikan Pasar Usang. Tamar berbadan besar dan menakut-nakuti Duski Samad ketika sedang berjalan di hutan dan sepi di tempat mamakiah. Akhirnya Duski tidak lagi mengikuti mamakiah dan lebih memilih bekerja di sawah orang untuk menambah biaya pendidikan karena kiriman uang yang terbatas dari kampungnya.
Saat kelas IV di madrasah, Duski membiayai sekolahnya secara mandiri. Ia bekerja di sawah, bertanam cabai dan bengkuang bersama Buya Jamaris di lahan milik Buya Imam Maulana Batang Kabung. Selain bertani, ia juga mulai berdakwah di tengah-tengah masyarakat. Dengan kesibukannya sebagai santri di surau, terbatas dengan orang-orang surau seperti orang-orang tua dan anak-anak mengaji.
Saat dua tahun menyantri di MTI Batang Kabung, pada 1975 ia mewakili madrasahnya mengikuti lomba pidato antar madrasah se-Kota Padang yang bertempat di MTI Batang Kabung. Ia berhasil meraih juara pertama dan mendapatkan hadiah jam weker yang diserahkan di Mushalla Darus Salikin Batang Kabung saat peringatan Isra Miraj.
Aktivisme
Saat kelas III pesantren Duski Samad aktif berorganisasi dengan menjadi pimpinan Ikatan Pelajar Tarbiyah Islamiyah (IPTI) atau juga disebut ittihadut thalabah. Saat kelas V tahun 1975 ia sudah menjadi Ketua Umum IPTI.
Ketika memimpin organisasi IPTI MTI Batang Kabung antara 1975 hingga 1980, Duski Samad aktif terlibat dalam menggerakkan dukungan kepada Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada pemilihan umum legislatif Indonesia 1977 sesuai afiliasi Tarbiyah Islamiyah yang dipilih oleh pemimpin madrasahnya Buya Batang Kabung. Pada tahun 1975, ketika diadakan Musyawarah Kerja Daerah (Mukerda) PERTI se-Sumatera Barat, anak-anak MTI Batang Kabung sebagai tuan rumah pelaksananya.
Saat itu Persatuan Tarbiyah Islamiyah terpecah karena pilihan partai politik. Pecahan pertama yang memakai nama TARBIYAH mendukung Golongan Karya (Golkar) dan pecahan kedua memakai nama PERTI mendukung Partai Persatuan Pembangunan. MTI Batang Kabung dipimpin Buya Batang Kabung memilih tegas memihak PPP ketika banyak tawaran untuk mendukung Golkar datang kepadanya. Duski Samad sendiri selama Pemilu 1977, 1982, dan 1987 mengaku aktif dalam Dewan Pimpinan Cabang Partai Persatuan Pembangunan (DPC PPP) Kabupaten Padang Pariaman dan Kota Padang.
Pendidikan tinggi dan karier
Setelah menamatkan pendidikan di MTI Batang Kabung pada 1982, Duski meneruskan pendidikan dengan mengambil Fakultas Ushuluddin di IAIN Imam Bonjol Padang. Ia lulus meraih gelar sarjana muda (B.A.) pada 1985.[19] Ia meraih gelar doktorandus/sarjana lengkap Aqidah Filsafat dari kampus yang sama pada 1988.[20] Sambil berkuliah ia juga mengajar sebagai guru di MTI Batang Kabung sejak 1980 dan menjadi kepala madrasah aliyah sejak 1988 hingga 1993. Pada 1988, ia juga menjadi dosen kader Fakultas Ushuluddin IAIN Imam Bonjol hingga 1993. Dalam waktu bersamaan, ia juga mengajar sebagai dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Syekh Burhanuddin (STIT SB) Pariaman antara 1988 hingga 1997 dan juga menjabat Pembantu Ketua I Bidang Akademis STIT SB Pariaman periode 1992–1997. Selain itu, ia juga menjadi dosen tetap Sekolah Tinggi Agama Islam Yayasan Tarbiyah Islamiyah Padang antara 1988 hingga 1997.[21]
Duski diangkat sebagai dosen calon pegawai negeri sipil pada 1 Maret 1992 di IAIN Imam Bonjol Padang dan dosen tetap pegawai negeri sipil pada 1 Desember 1993.[21] Pada 1997, ia mendapatkan beasiswa Departemen Agama Republik Indonesia untuk mengikuti program magister pemikiran Islam di Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia meraih gelar magister agama pada 1999. Ia meraih gelar doktor kajian Islam dari UIN Syarif Hidayatullah pada 2003.[23]
Catatan kaki
- Rujukan
- Daftar pustaka