Arema FC, dan Persebaya Surabaya merupakan dua klub yang berbeda generasi, Arema berdiri pada tahun 1987 yang kemudian mengalami dualisme sehingga menciptakan Arema FC dan Arema Indonesia pada tahun 2011[4] dan Persebaya berdiri sejak tahun 1927. Perseteruan antara dua kubu ini adalah lebih kepada persaingan dan gengsi demi menunjukkan siapa yang terbaik di provinsi Jawa Timur.
Atmosfer pada awal pertemuan pertama antara Arema Malang vs. Persebaya hanya biasa-biasa saja, karena Persebaya dan Arema Malang berada pada habitat yang berbeda, Persebaya yang merupakan tim sepak bola milik Pemerintah Kota Surabaya berkompetisi di Divisi Utama Perserikatan, sedangkan Arema Malang yang merupakan klub swasta berkompetisi di Galatama.
Awal perseteruan klub sepak bola dua kota bertetangga Surabaya dan Malang ini sebenarnya bukan antara Arema dan Persebaya, karena secara tradisi, pesaing Persebaya di Jawa Timur adalah Persema Malang yang merupakan sesama klub Perserikatan. Sementara saingan Arema sesama klub Galatama adalah NIAC Mitra, klub asal Surabaya yang kemudian bertransformasi menjadi Mitra Surabaya.[5]
Kondisi tersebut berubah sejak kompetisi Divisi Utama Perserikatan dan Galatama dilebur menjadi kompetisi Liga Indonesia pada tahun 1994. Pada masa itu, masih ada Persema dan Mitra Surabaya (suksesor NIAC Mitra). Tetapi basis pendukung yang lebih banyak di Persebaya dan Arema membuat persaingan akhirnya mengerucut ke kedua tim tersebut.
Saat prestasi Arema lebih bagus dari prestasi Persema dan ditambah lagi Mitra Surabaya yang akhirnya bubar, suporter Malang dan Surabaya makin fokus mendukung Arema dan Persebaya. Karena panasnya suasana persaingan, ketika kompetisi Liga Indonesia masih menggunakan sistem dua wilayah Timur dan Barat, Arema dan Persebaya sengaja dipisahkan ke wilayah yang berbeda, tujuannya adalah untuk menghindari bentrokan suporter jika terjadi pertandingan antara Arema vs Persebaya.
Ketika kompetisi tak lagi memakai sistem dua wilayah dan kedua tim dapat bertemu secara kandang maupun tandang, guna menghindari gesekan dan bentrok antar suporter, hingga kini peraturan kesepakatan bersama yang dibuat pada tahun 1988 yang melarang kedua suporter untuk saling mengunjungi masih diberlakukan.[6]
Peristiwa yang mengiringi
Konser Kantata Takwa
Pada 23 Januari 1990, Iwan Fals meluncurkan album Kantata Takwa di Stadion Tambaksari, markas Persebaya sebelumnya. Di 30 menit pertama konser ini, para penggemar Bonek sempat kesal karena area festival ditempati Aremania yang membuat yel-yel pro Arema. Meski begitu, Aremania tetap berusaha mempertahankan diri di area festival, meski Bonek berusaha mengusir Aremania dari konser. Setelah konser berakhir, kerusuhan pecah di luar stadion, yang terus terjadi hingga stasiun kereta Gubeng.[butuh rujukan]
Tur Sepultura di Indonesia
Pada Juli 1992, Sepultura, band heavy metal asal Brazil, mengikuti rangkaian konser tur dunia di Indonesia dengan menggelar roadshow di Jakarta dan Surabaya. Roadshow Surabaya diselenggarakan di Stadion Tambaksari, tempat konser Iwan Fals dua tahun sebelumnya. Sebagai balasan atas konser Iwan Fals, para suporter Bonek menduduki area festival dan menghalau kedatangan Aremania dari Stadion Tambaksari untuk menyaksikan konser tersebut. Kerusuhan juga terjadi di luar stadion.[butuh rujukan]
Insiden Nurkiman
Pada tanggal 26 Desember 1995 saat Liga Indonesia musim 1995-96, Persebaya melakoni laga tandang melawan Persema Malang di Stadion Gajayana, Malang. Pertandingan berakhir dengan skor imbang, 1-1. Dalam perjalanan pulang ke Surabaya, suporter Persema, Ngalamania, melempari bus Persebaya dengan batu. Batu-batu itu merusak kaca spion bus, mengakibatkan mata kiri buta permanen bagi Nurkiman, gelandang serang Persebaya. Peristiwa itu akhirnya membuat Nurkiman kehilangan penglihatan buat selamanya dan ia harus pensiun dini sebagai pemain, yang memengaruhi kemenangan mereka pada musim 1996/1997.[7]
Kasus Asusemper
Pada tanggal 4 September 2006, leg kedua perempat final Piala Indonesia antara Persebaya melawan Arema di Stadion Tambaksari berakhir dengan skor imbang 1-1, tersingkirnya Persebaya dari semifinal karena klub tersebut kalah pada leg sebelumnya yang digelar di Malang.
Hal ini mengakibatkan kerusuhan yang disebut sebagai "Asusemper" ("Amuk Suporter Empat September" - "Kerusuhan Suporter Empat September"), salah satu kerusuhan supporter terbesar dalam sejarah sepak bola Jawa Timur dan Indonesia, hingga Tragedi Stadion Kanjuruhan 2022. Dalam kerusuhan itu, Bonek membakar tiga mobil, dan melukai 14 orang dalam kerusuhan termasuk 13 petugas polisi.[8]
Bentrokan 7 Maret 2013
Kejadian pada kamis sore 7 Maret 2013 terjadi luar Stadion Petrokimia, Gresik. 9 remaja beratribut Bonek diserang oleh ratusan Aremania dengan batu dan potongan pipa. Penyerangan itu dilakukan sebelum kick off pertandingan antara Persegres Gresik United vs Arema FC digelar. Dalam insiden itu, satu orang Bonek tewas dan tiga lainya mengalami luka parah.[9]
Kerusuhan 5 Mei 2014
Bentrokan antara Bonek dan Aremania terjadi pada kamis malam tanggal 5 Mei 2014 di Jalan Tol Surabaya-Gresik tepatnya di ruas Tol Simo, Surabaya. ketika itu rombongan Aremania yang hendak pulang kembali ke Malang dari Gresik setelah menonton pertandingan antara Persegres Gresik United melawan Arema FC dihadang oleh ratusan suporter Bonek. Kerusuhan pun tak dapat dihindarkan, dalam kerusuhan ini 18 suporter Aremania mengalami luka-luka dan 3 orang meninggal dunia. Bonek beralasan bahwa penyerangan terhadap Aremania ini adalah balasan atas meninggalnya seorang Bonek pada 7 Maret 2013 yang lalu di Gresik.[10]
Kerusuhan 19 Desember 2015
Kali ini bentrokan antara Aremania dan Bonek kembali terjadi tepatnya di wilayah kecamatan Sambungmacan, Sragen, Jawa Tengah, pada Sabtu pagi 19 Desember 2015. Bentrokan tersebut terjadi ketika rombongan Aremania yang menaiki bus pariwisata melintasi wilayah Sragen dalam perjalanan menuju Sleman, DI Yogyakarta untuk mendukung tim Arema pada lanjutan turnamen Piala Sudirman. Secara kebetulan, rombongan Bonek sebanyak empat truk yang juga hendak menuju Sleman berada di lokasi yang sama.
Kerusuhan pun pecah. Ratusan Bonek melempari bus Aremania dengan batu. Insiden ini menyebabkan 3 orang meninggal dunia, dua orang Aremania dan seorang pengemudi mobil yang memakai atribut Aremania.[11]
Insiden paling mematikan dalam sejarah Derbi Super Jawa Timur terjadi di Stadion Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022, saat Persebaya memenangkan Arema 3-2 di penghujung pertandingan. Setelah polisi mengambil tindakan keras terhadap beberapa penonton yang berfoto dengan pemain Arema,[12][13] sekitar 3.000 suporter Arema menyerbu lapangan dan membuat kekacauan di sepanjang jalan, menyebabkan pemain Persebaya bersembunyi di dalam kendaraan pribadi lapis baja polisi sebelum mereka bisa meninggalkan stadion.[14] Polisi menangani situasi dengan menggunakan gas air mata untuk membubarkan para penggemar, tetapi situasi memburuk ketika gas air mata terjebak dalam kondisi angin, membuat sesak napas para penggemar Arema yang menyerbu lapangan.[15] Menurut akun resmi polisi, gas air mata menyebabkan para penggemar Arema bergegas ke satu titik keluar, mengakibatkan terinjak-injak dan sesak napas lebih lanjut di sepanjang jalan.[16]
Laporan awal menyebutkan bahwa bencana tersebut menyebabkan 182 korban jiwa,[17] laporan kemudian menunjukkan 131 korban jiwa,[18] dan laporan akhir dari Muhadjir Effendy menunjukkan bahwa jumlah korban tewas adalah 125.[19] Namun, menurut Posko Pos Mortem Crisis Center Pemkab Malang, jumlah korban jiwa awalnya 133, tetapi laporan akhir mereka menyatakan bahwa jumlah kematian akhir adalah 131.[20] Korban yang dikonfirmasi dari laporan polisi adalah 125 penggemar Arema dan 2 petugas polisi Indonesia.[21][22][23][24] Sekitar 180–310 lainnya terluka akibat bencana dalam laporan awal, tetapi laporan Effendy menyimpulkan bahwa 323 lainnya terluka dalam bencana, termasuk 21 dalam kondisi serius.
Akibat bencana ini, semua pertandingan Liga 1 awalnya ditangguhkan selama seminggu, tetapi diperpanjang menjadi 2 minggu dengan penambahan pertandingan Liga 2,[25][26][27] sampai tim pencari fakta bersama memutuskan untuk menangguhkan semua liga PSSI sampai persetujuan presiden tentang normalisasi disetujui.[28]Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) melarang Arema menjadi tuan rumah pertandingan kandang hingga akhir musim,[29] dengan larangan seumur hidup lebih lanjut dari Komisi Disiplin PSSI kepada panitia penyelenggara pertandingan Arema FC, Abdul Haris dan petugas keamanan Arema, Suko Sutrisno dikeluarkan. Selain itu, Arema juga dilarang mengadakan pertandingan dengan penonton sebagai tuan rumah, dan pertandingan mereka harus diadakan jauh dari home base Malang juga dikeluarkan.[30] Presiden Indonesia Joko Widodo menginstruksikan asosiasi untuk menangguhkan semua pertandingan Liga 1 sampai "evaluasi peningkatan prosedur keamanan" dilakukan.[31] Keputusan untuk menggelar pertandingan oleh penyelenggara Liga 1 disepakati oleh pemegang saham.[32][33] Santunan bagi korban yang terkena dampak bencana ini diberikan oleh Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, dengan santunan untuk kerabat yang meninggal sebesar 10 juta rupiah, dan korban luka-luka sebesar 5 juta rupiah.[34]
Penyelidikan terhadap POLRI dilakukan pasca bencana: penggunaan gas air mata oleh polisi juga dicermati oleh Komnas HAM dan Wakil Ketua Komisi III DPR-RI Ahmad Sahroni karena penggunaannya dilarang menurut FIFA, dengan permintaan lebih lanjut dari Sahroni kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk menindak tegas petugas yang bertanggung jawab atas penggunaan gas air mata.[35][36][37] Menanggapi permintaan mereka, Kapolres membela penggunaannya, mengutip ancaman yang dilakukan oleh perusuh kepada pemain dan tim resmi, namun mereka juga menyatakan bahwa mereka akan mengevaluasi penggunaan gas air mata.[38][39] Tim pencari fakta gabungan yang diketuai Menko PolhukamMahfud MD dan Menteri Pemuda dan OlahragaZainudin Amali juga dibentuk, namun tidak ada satupun dari PSSI yang bergabung.[40][41][42]
Proses hukum dari organisasi pihak ketiga juga dikeluarkan: Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), dan Indonesian Police Watch (IPW) memerintahkan untuk memberhentikan Kapolres Malang, Ajun Komisaris Besar Ferli Hidayat, dengan seruan lebih lanjut untuk memecat Kapolres Jatim Irjen Nico Afinta di pihak ISESS, dan permintaan Afinta untuk membawa penyelenggara pertandingan ke pengadilan di pihak IPW.[43][44] Akibatnya, Prabowo memberhentikan Hidayat dan 9 perwira dari Korps Brimob Jawa Timur pada 3 Oktober 2022.[45]
^Piala Utama merupakan turnamen baru yang diciptakan oleh PSSI pada tahun 1990, Kompetisi ini mempertemukan masing-masing empat klub terbaik dari dua kompetisi PSSI yaitu Galatama dan Perserikatan.
^PSM Makassar sebagai tuan rumah group A Piala Utama 1992