Dayeuhluhur adalah salah satu kecamatan yang ada di Cilacap yang mengamalkan budaya Sunda. Kuatnya tradisi Sunda di Kecamatan Dayeuluhur ditandai dengan bahasa daerah yang digunakan sehari-hari yatu bahasa Sunda dan karena seringnya interakasi dengan warga yang ada di Jawa Barat.
Untuk masalah interaksi dengan daerah di luar Dayeuhluhur, warga kebanyakan berinteraksi dengan warga Jawa Barat, hal ini dikarenakan masalah ekonomi. Warga Dayeuhluhur memiliki ketergantungan terhadap Kota Banjar dalam masalah pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat. Sebagai contoh, apabila warga menjual hasil bumi seperti padi, kelapa, pisang, buah-buahan, dll. 95% akan dijual ke Jawa Barat. Hal ini dipermudah dengan dekatnya akses dari Dayeuhluhur ke Kota Banjar yang cukup ditempuh 15 menit (dari Panulisan) dibandingkan jarak Dayeuhluhur ke Majenang yang bisa memakan waktu sekitar 1 jam.[1]
Dayeuh Luhur identik dengan perbatasan provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat, salah satunya perbatasan provinsi yang dibatasi oleh Gunung Subang dan Gunung Bongkok antara Desa Kutaagung, kecamatan Dayeuh Luhur, Kabupaten Cilacap dengan desa Legokherang, kecamatan Cilebak, Kabupaten Kuningan.[butuh rujukan]
Tradisi
Sungai Cibeet yang mengalir di kecamatan Dayeuhluhur memiliki seorang Juru kunci guna menjaga kerohaniannya. Dalam kepercayaan Dayeuhluhuran (agama Sunda), sungai ini sakral. Tercatat pada tahun 2014 kuncinya dipegang oleh Ceceng Rusmana.[butuh rujukan]
Sebuah jembatan gantung (nama lokal: sasak gayot) berada di atas aliaran Sungai Cibeet menghubungkan Dusun Nambo dan Dusun Aria di Desa Bingkeng, Kecamatan Dayeuhluhur, sejak tahun 1970. Jembatan tersebut panjangnya 50 meter dan lebarnya 1 meter, dengan pijakan terbuat dari anyaman bambu dan pegangannya digantung dengan kawat seling di sisi kiri dan kanan di kedua ujung jembatan. Jembatan gantung tersebut sangat vital gunanya bagi warga masyarakat RW 01 Dusun Nambo, yakni sebagai akses lalu lintas satu-satunya menuju pusat Desa Bingkeng dan jalur perekonomian masyarakat yang digunakan sehari-hari dalam menjual hasil bumi, sekaligus sebagai sarana interaksi warga ke pusat Desa Bingkeng.[2]
Di tepi sungai Cibeet juga terdapat makam sejumlah tokoh tradisional:[3]
Arya Sacanata atau Pangeran Salingsingan: dipusarakan di Dusun Nombo, Desa Bingkeng, yaitu di Kompleks Pemakaman Keramat Arya Desa Bingkeng; selalu diziarahi oleh para keturunan Panjalu dan pernah menjadi satu lokasi tempat pengambilan air suci untuk mencuci Pusaka Panjalu atau disebut Ritual Nyangku. Termasuk situs sejarah yang ikut terancam terendam karena adanya pembangunan Bendung Matenggeng.[3]
Raden Haji Alit Prawatasari, seorang pahlawan asal Cianjur yang juga keturunan Panjalu dan hidup sezaman dengan Arya Sacanata. Makamnya diduga di Keramat Tejakembang Desa Cijeruk.[3]
Tradisi budaya "Babarit kupat" ("sedekah ketupat") atau "babaritan" adalah sebuah acara ritual tahunan adat Suku Sunda yang dilaksanakan pada hari, bulan, dan tempat yang sama setiap tahun menjelang awal bulan maulud. Acara ini merupakan bentuk syukur atas kesejahteraan desa atas kecukupan berupa makanan dan minuman, selain memohon agar terbebas dari segala jenis bencana seperti gempa bumi, wabah penyakit, banjir, dan angin topan. Hampir seluruh warga desa di Kecamatan Dayeuhluhur melaksanakan tradisi itu, di mana warga berduyun-duyun membawa makanan dalam bentuk ketupat untuk digantungkan ke tiang yang sudah dipersiapkan oleh Kokolot Lembur atau sesepuh kampung, dan kemudian sesepuh itu memimpin ritual dan berdoa mohon keselamatan dan keberkahan, tidak hanya untuk semua warga desa setempat tapi juga untuk negara Indonesia. Kemudian semua gantungan ketupat ada yang dimakan di tempat tersebut, serta ada juga yang dibagikan kepada warga yang lewat jalan tersebut. Untuk daerah Desa Cijeruk, acara dipusatkan di jembatan Sungai Cibeet, sedangkan di Desa Kutaagung dilaksanakan di tapal batas desa dan di Desa Panulisan Barat di Sumanding Dusun Pendey.[4]
Komunitas
Warga Kecamatan Dayeuhluhur memiliki komunitas di Facebook namanya Dayeuhluhur On Facebook (DOF) yang di bentuk pada tgl 10 Juli 2009. Komunitas tersebut berisi diskusi dari warga Dayeuhluhur. Seiring dengan berkembangnya komunitas DOF maka nama Dayeuhluhur On Facebook kini diubah menjadi Dayeuhluhur On Forum tujuanya agar komunikasi dan silaturahmi warga tidak terbatas hanya di Facebook saja. DOF sering mengadakan acara diantaranya Ngarumat Lembur.[butuh rujukan]