Danau Tempe adalah danau tektonik yang membentang di tiga kabupaten di Sulawesi Selatan, di antaranya Kabupaten Wajo, Kabupaten Sidenreng Rappang, dan Kabupaten Soppeng. Danau ini dianggap sebagai danau purba karena terbentuknya danau ini bersamaan dengan terbentuknya daratan Sulawesi yang berada di atas lempeng benua Australia dan Asia. Luasnya sekitar 350 km2 dan menjadikannya sebagai danau terluas kedua di Sulawesi. Danau ini juga memiliki beragam spesies ikan air tawar yang jarang ditemui di tempat lain.[1][2]
Ekosistem
Danau Tempe merupakan danau banjiran yang dapat berubah bentang alamnya menurut musim. Pada musim penghujan, akan terbentuk Kompleks Danau Tempe dapat mencapai luas 26 ribu hektar, bahkan bisa mencapai 47 ribu hektar jika terjadi hujan terus-menerus. Pada musim kemarau, Kompleks Danau Tempe akan terbagi menjadi tiga danau, yaitu Danau Tempe, Danau Sidenreng, dan Danau Taparang Lapompaka (Danau Buaya).[1][2]
Danau Tempe memperoleh pasokan air utama dari Sungai Bila dan Sungai Walanae serta 28 anak sungai lainnya. Curah hujan dari hulu kedua sungai ini yang tinggi mempengaruhi debit air pada Danau Tempe. Curah hujan pada Sungai Bila berkisar antara 2.000 hingga 3.000 mm, sedangkan Sungai Walanae berkisar 1.500 hingga 2.500 mm. Selain itu, danau ini juga menjadi hulu bagi Sungai Cenranae yang mengalir ke laut. Pada saat kondisi hujan di hilir Sungai Cenranae (curah hujan rata-rata 2.000 mm). Sehingga ketika curah hujan tinggi baik di hulu ataupun hilir, debit air Danau Tempe dapat meninggi hinga membanjiri daerah sekitar.[2]
Danau Tempe tidak memiliki kawasan hutan yang cukup di sekelilingnya. Hutan hanya dapat ditemui pada daratan antara Danau Tempe dan Danau Sidenreng yang berupa hutan rawang.[2]
Permasalahan ekosistem
Danau Tempe setiap tahunnya mengalami masalah pendangkalan. Terjadi pendangkalan hingga 30 cm tiap tahun. Hal ini akan terasa ketika musim hujan, air akan melimpah membanjiri kawasan pemukiman. Pendangkalan ini disebabkan karena sedimentasi tanah dan lumpur yang terbawa dari sungai dan anak sungai yang mengairi danau, sedangkan aliran keluarnya hanya satu sungai.[1]
Permasalahan lainnya adalah pertumbuhan eceng gondok yang sangat pesat dan ekspansif yang dapat merusak pemukiman warga sekitar danau. Untuk menghalaunya, Pemerintah Daerah setempat membangun tiang panjang dari kayu, berjejer sepanjang 100 meter.[1]
Penduduk
Penduduk asli yang menghuni sekitar Danau Tempe adalah masyarakat beretnis Bugis dan beragama Islam. Dalam kesehariannya, sebagian besar penduduk bekerja sebagai nelayan sehingga lebih banyak menjalankan aktivitas di atas permukaan danau daripada di daratan. Mereka umumnya kembali ke daratan pada Kamis malam hingga Jumat siang saja. Karena hal ini, penduduk sekitar Danau Tempe memiliki dua rumah, satu rumah di daratan dan satu rumah apung di permukaan danau. Pada saat kondisi danau surut, masyarakat setempat akan kembali berprofesi sebagai petani dan kembali tinggal lebih lama di rumahnya di daratan.[3]
Adat
Keterbutuhan penduduk sekitar dengan danau melahirkan aturan-aturan adat yang bertujuan untuk menjaga kelestarian danau. Pemimpin adat yang juga pemimpin para nelayan disebut sebagai macoa tappareng. Aturan adat di Danau Tempe meliputi aturan pemanfaatan danau, larangan-larangan di sekitar danau, hingga upacara adat untuk tolak bala. Di antara larangan-larangan yang berlaku antara lain:[3]
Larangan menangkap ikan pada Kamis malam hingga Jumat siang
Setiap penduduk yang melihat pelanggaran dapat melaporkannya pada macoa tappareng. Lalu, macoa tappareng akan memberikan sangsi terhadap pelaku. Pelaku diwajibkan menyelenggarakan upacara adat yang dinamakan Maccerak Tappareng dan wajib menanggung sendiri beban biaya penyelanggaraannya.[3]
Upacara Maccerak Tappareng ini sebenarnya adalah festival tahunan untuk menyucikan Danau Tempe, sebagai wujud tolak bala serta rasa syukur atas hasil danau. Upacara ini diawali dengan penyembelihan kepala kerbau (ulu todong) dan makan bersama. Setelah itu, dilanjutkan dengan mappalari lopi (lomba dayung perahu), karnaval perahu, lomba permainan rakyat, pergelaran musik tradisional, dan tari bissu.[3][4] Selain itu juga ada upacara lain yang dilaksanakan secara individu jika seorang penduduk memiliki mesin/perahu baru atau baru pertama kali turun ke danau.[3]
Upacara-upacara adat pada dasarnya dilakukan dengan menyerahkan sesaji pada area-area yang dianggap keramat. Area keramat tersebut ditandai dengan adanya bendera merah, kuning, atau putih. Hal ini dilakukan agar area keramat dapat terlihat dari kejauhan. Area ini menjadi penanda bagi para nelayan jika mereka telah berlayar sekitar satu kilometer menjauhi desa. Masyarakat setempat meyakini bahwa di tempat tersebut terdapat roh halus yang menjaga ekosistem danau, sehingga biasanya mereka mengucapkan bacaan tertentu, seperti "assalamualaikum passalama'ka'lao sappai dalle' hallala'ku" (bahasa Bugis: wahai penunggu danau, selamatkan aku dalam mencari yang halal).[3]
Pemanfaatan
Danau Tempe dapat dimanfaatkan masyarakat sekitar dalam berbagai bidang, seperti perikanan, pertanian, pariwisata, dan transportasi. Pola pemanfaatannya dapat berubah sesuai debit air. Pada kondisi debit air tinggi, semua bidang dapat memanfaatkan kecuali bidang pertanian. Sebaliknya pada debit air rendah, bidang transportasi tidak bisa memanfaatkan danau secara maksimal.[1][2]
Pemanfaatan danau tidak terlepas dari pembagian area danau. Pembagian areal danau ditentukan melalui hukum adat dan hukum pemerintah.[2][3] Menurut aturan adat, ada 4 jenis area danau yang dapat dimanfaatkan untuk menangkap ikan, yaitu cappeang/balete, palawang, bungku, dan makkaja' lalla'.[3] Selain itu, ada juga area tana koti/tana telleng, area ini merupakan area tepi danau yang ketika mengering dapat dialihfungsikan seperti untuk pertanian,[2] beberapa lahan disewakan ke pihak swasta.[1] Adapula, jenis area yang tidak boleh dipergunakan untuk menangkap ikan, seperti area reservaat dan area keramat.[2][3]
Cappeang/balete adalah daerah pesisir danau yang dapat dimanfaatkan beberapa kelompok nelayan untuk membuat penangkaran-penangkaran ikan. Kepemilikan area ini dapat berlangsung hingga tiga tahun melalui pelelangan. Masa berakhirnya ditandai dengan air yang telah surut hingga mencapai ketinggian tertentu pada sebuah bilah bambu yang ditancap jarak tertentu. Bilah bambu tersebut disebut dengan belle.[2][3]
Area setelah cappeang disebut dengan palawang. Area ini dapat dimiliki perseorangan atau kelompok melalui sistem sewa (dapat mencapai tiga tahun). Area palawang ini dimulai dari batas belle hingga ke arah sedikit tengah danau. Area palawang umumnya dipanen ketika danau telah surut dan menghasilkan ikan yang lebih melimpah daripada area cappeang.[2][3]
Bagi nelayan yang kurang mampu menyewa palawang, dapat melakukan penangkapan ikan di area bungku. Pada area bungku, nelayan dapat berkelempok mengelola penangkaran ikan. Area ini letaknya agak ke tengah danau dan ditumbuhi banyak eceng gondok. Untuk menandai kepemilikan sebuah bungku, ditancapkan bungku toddo' atau bambu tinggi pembatas bungku. Pada area yang telah dipatok bungku toddo', nelayan biasanya membentangkan jaring sepanjang maksimal 500 meter. Panjang jaring merupakan aturan dari pemerintah untuk membatasi penangkapan ikan berlebihan. Selain itu, juga diatur jarak antar bungku kira-kira 150 meter. Selain memanfaatkan jaring, nelayan juga memanfaatkan alat tangkap lain seperti ja'bah. Ja'bah diletakan di dasar danau terutama di bawah rimbunan eceng gondok untuk menangkap biota dasar danau.[1][2][3]
Area penangkapan lain adalah makkaja' lalla'. Area ini adalah area penangkapan ikan bebas di luar cappeang, palawang, bungku, reservaat, dan area keramat. Nelayannya disebut sebagai pakkaja' lalla' (bahasa Bugis: nelayan bebas). Siapapun boleh menangkap ikan di area ini dengan syarat menggunakan alat tangkap yang tidak merusak lingkungan.[2][3]
Area keramat dan area reservaat adalah area yang terlarang bagi nelayan untuk menangkap ikan. Area keramat telah ditentukan menurut adat dan letaknya sekitar satu kilometer ke arah tengah danau. Sementara area Reservaat atau Paco Balanda atau patok Belanda, adalah area yang telah ditandai oleh patok-patok sejak zaman Hindia-Belanda. Area reservaat ditujukan sebagai area konservasi ikan dan area tebar benih ikan.[2][3]