2°39′22″S 115°12′46″E / 2.65611°S 115.21278°E / -2.65611; 115.21278
Danau Bangkau adalah danau yang berada di di perbatasan antara Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan. Danau ini difungsikan sebagai pemukiman dan dan area penangkapan ikan oleh penduduk sekitar. Danau ini tidak pernah kering meski di musim kemarau, sehingga menyebabkan kelimpahan ikan. Limpahan air dari daerah penyangga seperti Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara dan Hulu Sungai Selatan menyebabkan area yang berada di dataran rendah ini tidak pernah kekurangan air.
Danau Bangkau memiliki luas yang bervariasi. Pada musim hujan, luasnya meliputi lahan rawa banjiran dan ketika musim kemarau hanya seluas galian rawa atau terperangkap dalam kolam rawa. Hal ini berpengaruh terhadap keberadaan ikan di setiap musimnya. Pada musim hujan, ikan akan berada di tepi rawa yang penuh dengan rumput untuk mencari makanan. Sebaliknya pada musim kemarau, ikan akan berkumpul di bagian lebak atau di cekungan-cekungan kecil.[1]
Akses
Danau Bangkau berada di sisi barat Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan berjarak 17 km dari ibu kota kabupaten, Kandangan serta berjarak 156 km dari ibukota provinsi.
Ekosistem
Untuk kelimpahan ikan di danau Bangkau terdapat 13 famili dan 26 spesies dengan Famili yang tercatat adalah Belontiidae, Cyprinidae, Bagridae, Channidae, Claridae, Anabantidae, Helostomatidae, Mastacembelidae, Osphronemidae, Pristolepididae, Siluridae, Synbranchidae dan Tetraodontidae.[2]
Adapun kelimpahan jenis ikan ada ikan Papuyu, Baung, Sanggiringan, Lundu, Sapat siam, Sapat rawa, Sapat layang, Kelatau, Kapar, Haruan, Toman, Kihung, Pintit, Saluang, Puyau, Dara manginang, Adungan, Jelawat, Biawan, Sili-sili, Kalui, Patung, Lais, Walut dan Buntal.[2] Beberapa jenis ikan sudah mulai berkurang keberadannya seperti ikan Kihung dan ikan Kerandang.
Sedangkan untuk tanaman yang tumbuh di sekitar area danau ini adalah eceng gondok, kayu apu, kiambang, kangkung, teratai, genjer, lukut cai, kumpai, ganggang dan kiambang.
Masyarakat lokal
Sebanyak 87% masyarakat yang tinggal di sekitar danau menggantungkan hidupnya dengan menjadi nelayan ikan disini.[3] Sejak puluhan tahun lalu, warga sekitar menangkap ikan di Danau Bangkau hanya menggunakan cara tradisional seperti melunta, merengge, melukah, malalangit dan memancing. Namun dalam 15 tahun belakangan, cara itu berubah semenjak warga mengenal alat tangkap yang merusak lingkungan seperti alat setrum. Namun, pada 2018 lalu telah diserahkan alat setrum tersebut kepada pihak berwenang untuk mengurangi dampak negatif pada ekologi dan konlik sosial yang terjadi.[4]
Terdapat tradisi yang dilaksanakan di danau Bangkau yang masih dipertahankan oleh warga. Tradisi ini bernama Menyanggar yang berarti menebarkan sesaji di danau. Tradisi ini dilakukan sebagai bentuk ucapan terima kasih kepada alam dan danau yang telah menjadi sumber kehidupan mereka.[5]
Permasalahan
Berlimpahnya ikan di danau ini membuatnya menjadi incaran pencuri dan penyetrum ikan. Tercatat sejak 2002, telah ada 140 kasus pelanggaran penangkanpan ikan.[6] Selain kasus pencurian ikan, danau Bangkau juga mengalami pendangkalan akibat gulma air, kurangnya pengembangan usaha budidaya ikan air tawar dan juga pencemaran alamiah atau bangai.
Perlingungan hayati
Pemerintah kabupaten Hulu Sungai Selatan menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 17 tahun 2005 tentang Perlindungan Sumber Daya Ikan dan Larangan Penangkapan Ikan dengan Setrum, Putas dan Sejenisnya untuk melindungi sumber daya alam di Danau ini. Selain itu, perda ini juga melarang penangkapan anakan ikan Haruan, Papuyu, Toman, Sepat siam dan Biawan. Pelanggar yang kedapatan melakukan penangkapan ilegal akan dikenai denda Rp. 50.000.000.[6]
Topografi
Danau Bangkau adalah perairan rawa yang selain memiliki keragaman ikan juga memiliki keragam topografi yang berbeda di setiap sudut. Pada desa Sungai Karang Rati misalnya, area danau banyak ditumbuhi oleh eceng gondok yang padat namun pada musim kemarau, lahannya dimanfaatkan oleh warga untuk bertanam jagung. Sedangkan di desa Sungai Bangkau, merupakan area pemukiman dan tidak ada lahan yang dimanfaatkan untuk berladang. Hanya ada pohon jambu dan mangga yang tumbuh di pinggir jalan raya.[2]
Untuk area rawa di desa Sungai Jarum merupakan area sungai yang lebih lebar dan dijadikan jalur transporatasi sampan dan perahu warga. Sedangkan untuk area rawa di Sungai Garis dijadikan lahan perkebunan semangka dan sebagai tempat penjualan ikan.[2]
Referensi