Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Republik Indonesia telah menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi dalam rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19. Dalam aturan tersebut telah diatur tentang pengendalian transportasi untuk seluruh wilayah di Indonesia, pengendalian jumlah transportasi yang beroperasi pada wilayah yang ditetapkan dan sedang menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) kepada masyarakat, dan pengendalian transportasi untuk kegiatan mudik masyarakat di tahun 2020. Aturan ini juga mencakup terkait penumpang kendaraan umum dan pribadi, operator sarana dan prasarana transportasi baik pada transportasi darat, kereta api, laut serta udara.[1][2][3][4][5][6][7][8]
Larangan untuk mudik dengan menggunakan transportasi baik itu umum atau pribadi berlaku di seluruh Indonesia, terlebih bagi wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Banten (Jabodetabek), daerah yang menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan daerah yang termasuk wilayah zona merah Covid-19. Seperti yang diketahui bahwa Covid-19 dapat menyebar melalui droplet, dan penularan akan terjadi melalui kontak jarak dekat dari satu orang ke orang lainnya. Dikarenakan penularannya yang mudah ini, maka masyarakat dianjurkan untuk menjaga jarak secara fisik saat berada di tempat umum dan tidak melakukan mudik seperti anjuran dari pemerintah pusat.[9] Namun dikecualikan bagi kendaraan pimpinan Lembaga Tinggi Negara Republik Indonesia, kendaraan repatriasi warga dan angkutan barang.[10][11][12][13]
Pandemi Covid-19 tidak menjadi penghalang bagi sebagian besar masyarakat untuk melakukan kegiatan mudik menggunakan transportasi umum. Arus mudik terbesar diperkirakan akan terjadi dari daerah Jabodetabek ke daerah Jateng. Jabodetabek merupakan salah satu daerah dengan jumlah penduduk yang terbilang besar dan menjadi wilayah pengirim pemudik terbesar, sedangkan Jateng dan Jatim dianggap sebagai provinsi penerima pemudik terbesar. Motivasi mudik yang dimiliki sebagian masyarakat pada tahun 2020 juga disebabkan oleh adanya ketidakpastian atau hilangnya pekerjaan akibat dampak dari COVID-19, telah berpisah dari keluarga cukup lama, perubahan lingkungan sosial yang sangat signifikan, dan takut tertular virus yang sedang menyebar dengan cepat.[14]
Sektor transportasi merupakan sektor yang paling parah terdampak pada pandemi Covid-19. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dilaporkan bahwa ekonomi Indonesia pada kuartal dua tahun 2020 mengalami terkontraksi 5,32%, dan kontraksi terdalam terjadi pada sektor transportasi dan pergudangan yang menyumbang 3,57% PDB. Hal ini membuat transportasi nasional secara keseluruhan mengalami penurunan yang sangat drastis hingga merugikan banyak perusahaan yang bergerak di bidang transportasi.[15]
Transportasi laut
Pada sektor transportasi laut, otoritas dari dinas perhubungan telah membatasi jam operasional angkutan penyeberangan hanya untuk mengangkut kendaraan angkutan barang saja. Hal ini membuat terjadinya penurunan permintaan yang sangat drastis yang mempengaruhi produktivitas dan kinerja angkutan penyeberangan. Pemerintah mempertimbangkan kembali pola jam operasional agar dapat mengoptimalkan kinerja angkutan penyeberangan, sehingga tetap dapat melayani distribusi barang antar pulau dan tidak mengalami kerugian dari segi finansial.[16]
Dampak pandemi Covid-19 pada sektor transportasi laut mengakibatkan PT. Pelabuhan Indonesia II (IPC) untuk sementara menghentikan operasi 3 dari 5 terminal penumpang yang dikelolanya. Penutupan terminal yang dilakukan oleh perusahaan tersebut bertujuan untuk mencegah meluasnya penyebaran virus Covid-19. Tiga terminal penumpang yang tutup sementara itu antara lain terminal penumpang Pelabuhan Tanjung Pandan Belitung dan Pelabuhan Pangkal Balam Bangka, serta terminal penumpang Pelabuhan Boom Baru Palembang Sumatera Selatan. Sedangkan untuk 2 terminal penumpang lainnya yang masih beroperasi dengan tetap mematuhi protokol kesehatan yang direkomendasikan oleh pemerintah berada di Pelabuhan Tanjung Priok dan Pelabuhan Pontianak. Keputusan penutupan dilakukan guna membantu pemerintah dalam mencegah penyebaran virus serta mendukung program pemerintah daerah dan provinsi.[17]
Transportasi darat
Pandemi Covid-19 telah mempengaruhi banyak sektor, termasuk sektor transportasi daring. Berkurangnya aktivitas masyarakat dikarenakan adanya kebijakan pembatasan sosial oleh pemerintah dinilai cukup merugikan transportasi daring khususnya ojek daring. Salah satu fenomena yang terjadi adalah sebagian besar pemesanan ke dalam aplikasi beralih ke pengantaran makanan dan minuman dikarenakan minimnya penumpang ojek daring pada masa pandemi. Pengemudi ojek daring mengalami penurunan ekonomi yang sangat tinggi hingga mengalami kesulitan ekonomi dan berdampak pada kesejahteraan hidup dan kondisi psikis ojek daring itu sendiri.[18]
Salah satu perusahaan yang bergerak di bidang transportasi juga mengeluarkan kebijakan baru dalam upaya mencegah penyebaran Covid-19 melalui bentuk komunikasi di fitur layanan aplikasi yang telah diperbarui untuk para penggunanya. Perusahaan tersebut menyarankan agar sebaiknya melakukan pembayaran non tunai) atau menggunakan layanan daring lainnya sehingga dapat lebih mudah melakukan pembatasan sosial dengan pengemudi. Pembayaran secara nontunai dapat mengurangi penyebaran virus melalui uang yang sudah dipegang oleh banyak tangan sebelumnya.[19]
Transportasi udara
Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam kondisi pandemi Covid-19 akan memperngaruhi sektor transportasi karena mobilitas individu akan sangat berkurang dan dapat berimplikasi terhadap ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Dampak Covid-19 terhadap berbagai sektor akibat pembatasan ruang gerak masyarakat, antara lain terjadi penurunan penumpang pada model transportasi udara seperti pesawat baik penerbangan domestik maupun penumpang pesawat internasional. Akibat yang ditimbulkan dari diterapkannya aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), maka sebagian besar operasional pesawat PT. Garuda pada seluruh rute sangat dibatasi dan harus mengikuti protokol kesehatan yang telah direkomendasikan oleh pemerintah pusat. Hal ini membuat nilai saham pada PT. Garuda cenderung akan turun terus menerus seiring dengan semakin menyebarnya virus Covid-19.[20]
Pemberlakuan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diterapkan oleh pemerintah sebagai upaya pencegahan penyebaran virus corona, berdampak pada terhentinya layanan transportasi massa termasuk layanan maskapai penerbangan seperti PT. Garuda Indonesia. Adanya kebijakan PSBB tersebut membuat penjualan tiket mengalami penurunan yang sangat signifikan karena banyak penumpang yang membatalkan rencana perjalanannya karena terlalu banyak aturan yang harus dipenuhi sebelum berangkat menggunakan pesawat, sehingga mengakibatkan turunnya pendapatan sebagian besar perusahaan yang bergerak di bidang transportasi udara tersebut. Hal ini membuat pihak-pihak investor menjadi ragu dan berpikir ulang untuk berinvestasi pada saham perusahaan di bidang transportasi udara ini.[21]