Carlo I (21 Maret 1227 – 7 Januari 1285), dikenal juga sebagai Charles d'Anjou, merupakan Raja Sisilia melalui penaklukkan tahun 1266,[1] meskipun ia menerima wilayah tersebut sebagai hibah kepausan pada tahun 1262 dan diusir dari pulau itu setelah pemberontakan Vespiri Sisilia pada tahun 1282. Setelah itu, ia menuntut pulau itu, meskipun kekuasaanya dibatasi di wilayah-wilayah semenanjung kerajaan, dengan ibu kotanya berada di Napoli (dan untuk itu ia biasanya bergelar Raja Napoli setelah tahun 1282, begitu juga dengan para penggantinya).
Carlo dilahirkan pada bulan Maret 1227, empat bulan setelah kematian ayahandanya, Raja Louis VIII. Seperti kakandanya, Philippe Dagobert, ia tidak menerima provinsi sebagai Apanase, seperti kakandanya yang lain. Pada tahun 1232, saudara-saudaranya Philippe Dagobert dan Jean, Comte Anjou dan Maine, meninggal. Carlo menjadi ahli waris berikutnya yang menerima provinsi-provinsi namun hanya diresmikan pada tahun 1247.[2] Kasih sayang ibundanya Blanca tampaknya sebagian besar telah diberikan kepada saudaranya, Louis, dan Louis cenderung mendukung adiknya yang lain, Robert dan Alphonse. Sifat mandiri yang lahir di dalam diri Carlo akan tampak di dalam ambisi yang ditunjukkannya di kemudian hari.[3]
Aksesi di Provence
Setelah aksesinya sebagai Comte Provence dan Forcalquier pada tahun 1246, Carlo dengan cepat mengalami kesulitan. Saudari-saudari iparnya merasa ditipu oleh wasiat ayahanda mereka, dan ibu mertuanya, Janda Comtesse Beatrice, menuntut seluruh provinsi Forcalquier dan Usufruct Provence sebagai Jointurenya. Lebih dari itu, ketika Provence secara teknis bagian dari Bourgogne dan karenanya Kekaisaran Romawi Suci, di dalam praktiknya bebas dari otoritas pusat. Para comte yang baru memerintah dengan tangan ringan, dan bangsawan dan kota-kota telah menikmati kebebasan yang besar. Tiga kota, Marseille, Arles, dan Avignon adalah kota-kota kerajaan yang secara teknis terpisah dari provinsi. Carlo di buang ke administrasi yang kaku;[4] ia memerintah he ordered penaklukkan pada tahun 1252 dan 1278 untuk memastikan hak-haknya[5] Carlo memecahkan kekuatan tradisional kota-kota besar (Nice, Grasse, Marseille, Arles, Avignon) dan memicu permusuhan bagi yang tidak menyukainya menikmati hak-hak penuhnya beserta biaya-biayanya. Pada tahun 1247, ketika Carlo berada di Prancis, ia menerima provinsi-provinsi Anjou dan Maine, bangsawan lokal (diwakilkan oleh Barral I dari Baux dan Bonifaci VI dari Castellana) bergabung dengan Beatrice dan tiga kota kerajaan untuk membentuk liga pertahanan terhadapnya. Malangnya bagi Carlo, ia telah berjanji untuk bergabung dengan saudaranya ke Perang Salib Ketujuh. Untuk sementara, Carlo kompromi dengan Beatrice, yang memungkinkan dirinya untuk memiliki Forcalquier dan sepertiga dari hak pakai Provençal.[6]
Provence yang kaya raya menyediakan dana-dana yang mendukung kariernya lebih jauh. Namun hak-haknya sebagai penguasa mengijinkannya atas pendapatan Gabelle garam (terutama garam), dari alberga (pergantian Gîte) dan Cavalcata (pergantian tugas-tugas pelayanan militer) dan quista ("bantuan-bantuan") (Baratier 1969). Dari gereja, tidak seperti saudara-saudaranya di utara, ia hampir tidak menerima apa-apa. Agen Carlo yang efisien, kota-kota yang makmur, para petani membeli tugas-tugas corvée dan membangun pemerintahan sendiri konsulat di pedesaan: Provence menjadi makmur.
Carlo berlayar dengan sisa tentara perang salib dari Aigues-Mortes pada tahun 1248[6] dan berperang di Dimyath dan bergelut di Mansourah, Mesir. Namun kesalehannya tampaknya tidak sama dengan saudaranya, (Jean de Joinville, menurut cerita Louis menangkapnya sedang berjudi di dalam perjalanan dari Mesir ke Akko), dan ia kembali dengan saudaranya Alphonse pada bulan Mei 1250. Selama ia absen, suatu pemberontakan terbuka pecah di Provence. Carlo bergerak untuk memadamkannya, dan Arles, Avignon, dan Barral dari Baux menyerah padanya pada bulan Juni 1251. Marseille dipegang sampai Juli 1252, tetapi kemudian menuntut untuk damai. Carlo memberlakukan perdamaian lunak, tetapi bersikeras untuk mengakui hak-haknya secara penuh, dan pengakuan atas kedaulatannya dengan Marseille.[7]
Ambisi lebih besar
Pada bulan November 1252, kematian ibundanya Blanca dari Kastilia menyebabkannya pergi ke utara Paris dan bertugas sebagai rekan-pemimpin dengan saudaranya Alphonse.[8] Ketika berada di Paris, ia didekati oleh utusan-utusan dari Paus Innosensius IV. Innosensius IV kemudian berusaha untuk melepaskan Kerajaan Sisilia dari Kekaisaran Romawi Suci (di dalam pribadi Konrad IV dari Jerman), dan menawarkannya pada Carlo, setelah saudara iparnya, Richard dari Cornwall menolaknya. Namun Alphonse setuju dengan gagasan tersebut; dan Raja Louis langsung melarangnya. Menolak dengan keras, Carlo mendukung Marguerite II dari Flandria melawan putranya, Jan I dari Hainaut, di dalam Perang suksesi Flandria dan Hainault. Ia menjaminnya Provinsi Hainaut atas jasanya. Raja Louis sekali lagi tidak setuju, dan sekembalinya dari Outre-mer pada tahun 1254 ia mengembalikan Hainaut kepada Jan.[8]
Dengan kecewa Carlo kembali ke Provence, yang kembali bergolak. Mediasi Raja Louis menyebabkan suatu penyelesaian dengan Beatrice dari Savoia, yang mengembalikan Forcalquier dan melepaskan tuntutannya untuk pembayaran tunai dan uang pensiun. Marseille berusaha untuk melibatkan Pisa dan Alfonso X dari Kastilia di dalam pertengkaran, tetapi mereka terbukti tidak dapat diandalkan sebagai sekutu, dan sebuah kudeta oleh pendukung Carlo mengakibatkan penyerahan kekuasaan politik kota. Carlo menghabiskan beberapa tahun berikutnya diam-diam dengan meningkatkan kekuasaannya di perbatasan Provence. Pemberontakan yang terakhir terjadi pada tahun 1262, ketika absen di Prancis; Boniface dari Castellane memberontak lagi, juga Marseille dan Hugues dari Baux. Namun Barral dari Baux sekarang setia kepada Carlo, dan Carlo dengan cepat kembali untuk menghancurkan para pemberontakan. Mediasi Chaime I dari Aragon mengantar penyelesaian; sementara itu Marseille dipaksa untuk membongkar benteng dan menyerahkan senjata, jika tidak akan dijatuhkan hukuman.[9] Anehnya kelonggaran ini berjalan dengan baik; akhirnya, rakyat Provençal terbukti sebagai pednukung setia Carlo dengan memberikan uang dan pasukan untuk penaklukkan selanjutnya. Banyak dari mereka yang diberikan jabatan tinggi di dalam wilayah-wilayahnya yang baru.
Dengan perampasan takhta Sisilia dari Konradin oleh Manfredi dari Sisilia pada tahun 1258, hubungan di antara kepausan dan Wangsa Hohenstaufen berganti lagi. Konradin dengan aman diasingkan di pegunungan Alpen, kepausan sekarang menghadapi pemimpin militer yang cakap di Italia. Dengan demikian, ketika negosiasi rusak dengan Manfredi pada tahun 1262, Paus Urbanus IV sekali lagi menghalangi Hohenstaufen dari kerajaan, dan menawarkan mahkota kepada Carlo sekali lagi. Perampasan takhta Manfredi dari Konradin dinyatakan dari keberatan Louis; kali ini ia dibujuk untuk menerima tawaran itu, dan Carlo meratifikasi perjanjian dengan Paus pada bulan Juli 1263. Kondisi-kondisinya sangat menguntungkan paus; kerajaan tidak boleh bersatu kembali dengan kekaisaran, dan raja tidak pernah memegang jabatan Imperial atau kantor kepausan, atau ikut campur dengan hal-hal gerejawi di kerajaan. Namun demikian, Carlo menerima dengan penuh semangat. Untuk uang, ia memanggil bantuan dari bankir Sienese Orlando Bonsignori. Sepupu Carlo, Enrique dari Kastilia, meminjamkannya empat puluh ribu ons emas untuk membiayai perang melawan Raja Manfredi. Pinjaman ini tidak pernah dilunasi. Enrique dari Kastilia marah atas kelalaian Carlo dan berganti pihak kepada Konradin dan berperang dengan sejumlah ksatria Spanyol melawan Carlo di Tagliacozzo. Enrique yang kalah dipenajra oleh Carlo selama 22 tahun di Canosa di Puglia dan Castel del Monte, di mana ia menulis novel ksatrianya yang terkenal, Amadis de Gaula.[10]
Setelah mensahkan perjanjian, Carlo dapat bermain dengan waktu. Karena pasukan Manfredi maju ke negara-Negara Gereja, Carlo menegosiasikan perjanjian di baris yang lebih menguntungkan. Karena petunjuk-petunjuk menuju ke pendeta untuk menyerahkan kontribusi untuk perang, Urbanus IV meninggal pada bulan Oktober 1264 di Perugia, dan Manfredi yang melarikan diri. Hal ini meningkatkan kemungkinan pembalikan kebijakan kepausan. Untuk menekankan tekadnya, Carlo menegaskan kebijakan ringan sebelumnya dan memerintahkan eksekusi beberapa pemberontak Provençal yang ditawannya selama setahun. Untungnya bagi Carlo, Paus Klemens IV yang baru adalah mantan penasehat saudaranya Alphonse dan mendukung sekali aksesi Carlo. Carlo memasuki Roma pada tanggal 23 Mei 1265 dan diumumkan sebagai Raja Sisilia.
Carlo menjadi populer di Roma, di mana ia dipilih sebagai Senator tunggal, dan diplomasinya telah dirusak oleh pendukung Manfredi di Italia utara. Sementara kampanye-kampanye Carlo tertunda karena kekurangan dana, Manfredi, anehnya bermalas-malasan dengan berburu di Puglia, sementara dukungannya di Italia utara berkurang. Carlo mampu membawa tentara utamanya melalui Alpen, ia dan Beatrice dimahkotai pada tanggal 6 Januari 1266. Ketika pasukan Carlo memulai suatu kampanye yang besar, Manfredi tiba-tiba lesu dan bergerak menemuinya. Khawatir akan penundaan lebih lanjut dapat membahayakan kesetiaan para pendukungnya, ia menyerang pasukan Carlo, yang kemudian menyebar dari persimpangan bukit-bukit menuju Benevento, pada tnaggal 26 Februari 1266. di dalam Petempuran Benevento yang menyusul, pasukan Manfredi dikalahkan dan ia tewas terbunuh. Setelah kematiannya, perlawanan di seluruh kerajaan runtuh, dan Carlo menjadi penguasa Sisilia.
Sementara administrasi Carlo di dalam kerajaannya yang baru umumnya adil, jujur, dan juga ketat. Seperti di Provence, ia bersikeras memaksimalkan pendapatan dan hak istimewa yang diperolehnya dari bawahan-bawahan barunya. Ia sangat tidak puas namun untuk sementara Carlo hanya dapat memfokuskan diri pada perluasan kekuasaannya di Italia utara (yang mengkhawatirkan Paus, yang cemas akan seorang raja yang kuat di seluruh Italia layaknya seorang kaisar). Namun Paus bersedia untuk memungkinkan hal tersebut, pada bulan September 1267 Konradin berbaris ke selatan untuk menuntut hak-haknya atas Hohenstaufen, dan salah satu pengikutnya menghasut pemberontakan di Sisilia. Ia memasuki Roma pada tanggal 24 Juli 1268, di mana kedatangannya disambut meriah. Pada Perang Tagliacozzo, tanggal 23 Agustus 1268, tampaknya ia akan menang, tetapi serangan mendadak Carlo mengacaukan pasukan Konradin dan ia terpaksa melarikan diri ke Roma. Diberitahu tidak aman lagi, ia berusaha melarikan diri ke Genova, tetapi tertangkap dan ditawan di dalam Castel dell'Ovo di Napoli. Di dalam uji coba yang secara saksama dikelola oleh Carlo, Konradin dituduh berkhianat dan dihukum penggal pada tanggal 29 Oktober 1268 pada usia 16 tahun. Pada akhir tahun 1270, Carlo merebut Lucera[11] dan memadamkan suatu pemberontakan di Sisilia, ia mengeksekusi banyak tawanan. Dengan seluruh kerajaan yang gentar akan kepemimpinannya yang ketat dan adil ia siap untuk mempertimbangkan penaklukkan yang lebih besar.
Setelah kekalahan Manfredi di Benevento, Carlo segera memulai rencana ekspansinya ke Mediterania. Secara historis, Kerajaan Sisilia pernah memiliki bagian-bagian yang mengendalikan wilayah pesisir Adriatik timur, dan Manfredi memiliki pulau Kerkyra dan kota-kota Butrint, Vlorë dan Syvota, yang membentuk mahar istrinya Helena. Carlo menyita wilayah-wilayah tersebut pada akhir tahun 1266. Dari situ, ia lolos dari intrik bangsawan Kekaisaran Romawi Timur yang tersisa. Pada bulan Mei 1267, ia menyimpulkan Traktat Viterbo dengan Baudouin de Courtenay yang diasingkan dan Pangeran Achaea, Guillaume de Villehardouin (melalui kanselirnya Leonardo da Veroli). Mengambil keuntungan dari situasi genting sia-sisa Kekaisaran di dalam menghadapi meningkatnya kekuasaan Yunani, ia memperoleh konfirmasi kepemilikannya dari Kerkyra, hak-hak kekuasaan atas wilayah Achaea, dan kedaulatan atas sebagian besar Kepulauan Aegean. Selanjutnya, ahli waris dari kedua pangeran Kekaisaran Romawi Timur yang menikahi keturunan Carlo, dan Carlo akan memiliki kembali Kekaisaran dan kerajaan jika pasangan yang dinikahkan tidak memiliki keturunan.
Istri Carlo Beatrice meninggal pada tanggal 23 September 1267, dan ia segera mencari pernikahan baru dengan Margit, putri Béla IV dari Hungaria. Namun Margit berkeinginan menjadi seorang suster (yang kemudian dikanonisasikan); Carlo sebaliknya menikahi (pada tanggal 18 November 1268), Marguerite, Comtesse Tonnerre (1250 – 4 September 1308, Tonnerre), putri Eudes dari Bourgogne. Namun ia mampu membuat aliansi perkawinan dengan Hungaria: putranya Carlo, Pangeran Salerno, menikahi Maria, putri István V, sementara putri Carlo Elizabeth, menikah dengan putra István V, László IV.
Untuk mengamankan posisinya di timur, ia mulai mempersiapkan perang salib untuk memulihkan Kekaisaran Timur. Kaisar Romawi Timur, Mikhael VIII Palaiologos, sangat khawatir dengan prospek: ia menulis kepada Raja Louis, menunjukkan bahwa ia terbuka untuk sebuah serikat sukarela Kekaisaran Timur dan gereja-gereja Yunani, dan menunjukkan gangguan penurunan atas konstantinopel akan berdampak pada proyek Perang salib Louis sendiri. Louis memandang ringan ketulusannya; namun ia sangat ingin memikul salib lagi, dan ia memberitahukan Carlo mengenai niat-niatnya itu. Carlo melanjutkan persiapannya melawan Konstantinopel, berharap salib akan ditunda, tetapi ia juga siap untuk mengubah perang salib saudaranya untuk keuntungannya sendiri. Khalifah Tunis, Muhammad I al-Mustansir, yang telah menjadi vasal Sisilia, tetapi tergoncang kesetiannya dengan jatuhnya Manfredi.[12] Namun terdapat rumor bahwa ia diduga bersimpati kepada Kristen. Dengan demikian, Carlo menyarankan kepada saudaranya bahwa kedatangan Perang Salib yang mendukungnya mungkin membawa konversi Mustansir. Dengan demikian Louis mengarahkan Perang Salib Kedelapan melawan Tunis. Carlo belum tiba sampai akhir hari tanggal 25 Agustus 1270, hanya untuk menemukan bahwa saudaranya telah meninggal karena disentri pagi itu. Carlo mengambil kepemimpinan, dan setelah beberapa pertempuran, Mustansir menyimpulkan perjanjian perdamaian dan setuju untuk membayar upeti kepada Carlo. Penyakit itu terus menyerang pasukan dan badai menghancurkan armada perang yang terdiri dari 18 orang dan kapal-kapal kecil yang tak terhitung kembali ke Sisilia. Carlo sekali lagi terpaksa menunda rencana-rencananya melawan Konstantinopel.
Penaklukkan Albania dan Perang Genova
Pada bulan Februari 1271, Carlo memperluas wilayah Adriatiknya dengan menangkap Durazzo, dan segera menguasai wilayah dalam Albania. Pada bulan Februari 1272, ia mengumumkan dirinya sendiri Raja Albania dan melantik Gazzo Chinardo sebagai jenderal vikarisnya. Ia berharap untuk melasanakan ekspedisinya ke Konstantinopel lagi, tetapi ditunda oleh pemilihan Paus Gregorius X, yang ditahbiskan pada tanggal 27 Maret 1272. Gregorius berharap untuk mendamaikan Eropa, menyatukan gereja-gereja Yunani dan Latin, dan meluncurkan Perang Salib baru. Untuk itu, ia mengumumkan Konsili Lyon, yang akan diselenggarakan pada tahun 1274, dan bekerja untuk mengatur pemilihan seorang kaisar.
Pada bulan November 1272, hubungan tegang di antara Carlo dan Ghibellin yang memerintah Genova akhirnya pecah menjadi perang. Pemberontakan Ghibellin pecah di seluruh bagian utara Italia, dan semakin menyita perhatian Carlo, bahkan Mikhael VIII Palaiologos bernegosiasi penyatuan gereja dengan Paus. Pada saat yang sama, ia mengontak Genova dan mengirim uang untuk mendorong pemberontakan di utara. Pada akhirnya ternyata Konsili Lyon sukses dan penyatuan gereja-gereja dinyatakan, Carlo dan Philippe I, Kaisar Romawi Timur terpaksa memperpanjang gencatan senjata dengan Mikhael. Hal ini merupakan berkah tersembunyi untuk Carlo, untuk Ghibellin sekarang menguasai sebagian besar utara, dan ia terpaksa mundur dari Piemonte pada akhir tahun 1275. Sebenarnya, Paus Gregorius tidak sepenuhnya merasa senang; ia menganggap Italia utara sebagai wilayah terbaik yang ditangani kaisar yang baru, Rudolf I, dan lebih memilih Carlo dibatasi di selatan. Jika ia ingin berperang, membiarkannya melihat ke Outre-mer. Untuk tujuan ini, Gregorius mendukung penjualan ke Carlo tuntutan-tuntutan Marie dari Antiokhia atas Kerajaan Yerusalem, yang telah ditolak oleh Haute Cour disana. Pada tanggal 18 Maret 1277, ia membeli tuntutannya dan mengambil gelar Raja Yerusalem, mengirim Roger dari San Severino sebagai bailli ke Akko. Disana Roger mengusir Balian dari Arsuf, bailli Hugues III, dan memaksa para bangsawan untuk bersumpah setia. Sementara itu, Gregorius telah digantikan oleh Paus Innosensius V, yang mengatur perdamaian di antara Carlo dan Genova.
Perpecahan Persatuan
Sementara itu, di Konstantinopel, Persatuan gereja-gereja terbukti sulit diatur, dan Kaisar Mikhael memiliki kesulitan besar memaksakannya kepada rakyatnya. Namun demikian, ia membujuk Innosensius V kesungguhannya di dalam mengerjakan hal tersebut, dan Carlo sekali lagi dilarang untuk menyerang Konstantinopel. Mengetahui hal ini, Mikhael mulai kampanye di Albania pada akhir tahun 1274, di mana ia menangkap Berat, Albania dan Butrint. Ia juga menikmati beberapa keberhasilan di dalam kampanye di Euboia dan Peloponnesos.
Urusan-urusan itu berlangsung selama beberapa tahun, sampai aksesi Paus Martinus IV pada tanggal 23 Maret 1281. Paus Martinus adalah orang Prancis, dan tidak memiliki wewenang dari beberapa prekursor baru-baru ini. Ia membawa kekuatan penus kepausan ke garis belakang rencana-rencana Carlo. Perserikatan yang telah terbukti tidak mungkin dipaksakan pada Konstantinopel dibubarkan, dan Carlo diberikan otoritas untuk memulihkan Kekaisaran Romawi Timur.
Ia memulai kampanyenya di Albania, di mana jenderalnya Hugues dari Sully dengan 8,000 tentara (termasuk 2,000 kavaleri ) merebut Butrint dari Kedespotan Epirus pada tahun 1280 dan mengepung Berat. Sebuah pasukan Romawi Timur bantuan di bawah Mikhael Palaiologos Tarchaneiotes tiba pada bulan Maret 1281: Hugues dari Sully beserta pasukannya disergap dan ditangkap. Romawi Timur menguasai wilayah dalam Albania. Carlo juga tidak begitu sukses di Peloponnesos, di mana ia telah menjadi (oleh Traktat Viterbo) Pangeran Achaea setelah kematian Guillaume II Villehardouin pada tahun 1278. Baillinya Galeran dari Ivry dikalahkan di Escorta di dalam salah satu upayanya untuk melibatkan Romawi Timur, dan dipanggil kembali pada tahun 1280 dan digantikan oleh Philippe dari Lagonesse. Meskipun demikian, Carlo meluncurkan Perang Salibnya (400 kapal yang membawa 27,000 ksatria) melawan Konstantinopel di musim semi tahun 1282.
Vespiri siciliani
Mikhael tidak hanya bekerja pada bagian depan militer saja. Banyak pejabat Ghibellin melarikan diri dari Kerajaan Sisilia ke istana Pero III dari Aragon, yang menikahi Custanza, putri dan ahli waris Manfredi. bekas kanselir Manfredi, Giovanni da Procida, telah mengatur hubungan di antara Mikhael, Pero dan pengungsi di istananya, dan konspirator-konspirator di pulau Sisilia itu sendiri. Pero mulai merakit armada di Barcelona, dan berpura-pura untuk Perang Salib ke Tunis. Bahkan rencana utama Goivanni adalah untuk menempatkan Pero di atas takhta Sisilia, warisan Hohenstaufennya. Hasilnya adalah pemberontakan yang dikenal sebagai Vespiri siciliani, yang dimulai di Palermo pada tanggal 29 Maret 1282 dan dengan cepat tumbuh menjadi pembantaian umum bangsa Prancis di Sisilia. Beberapa pejabat penting yang berperilaku baik diampuni, dan kota Messina yang masih dipegang untuk Carlo. Namun karena kesalahan diplomatik dari vikaris Carlo, Herbert dari Orléans, Messina juga ikut memberontak pada tanggal 28 April 1282. Herbert mundur ke kastil Mategriffon, tetapi terpaksa meninggalkan armada tentara salib yang dibakar.
Kabar tersebut mengejutkan Pero dari Aragon, yang berharap untuk ikut campur hanya setelah Carlo pergi ke Konstantinopel. Namun para konspirator, yang dibantu oleh Kaisar Mikhael (yang ingin melihat Carlo gagal di dalam ekspedisinya), mulanya telah mengatur pemberontakan. Pero tidak segera melibatkan diri; ia berlayar dengan armada ke Tunis, di mana ia menemukan bahwa orang-orang yang akan dikonversi atas nama Perang Salib telah ditangkap atau dieksekusi. Sementara ia menanti saatnya, bangsa Sisilia mengajukan kasasi ke Paus Martinus untuk mengambil Komune kota mereka di bawah perlindungannya. Namun Martinus terlalu komitmen pada Carlo dan berpihak pada Prancis, ia sebaliknya mengucilkan para pemberontak, Kaisar Mikhael dan Ghibellin di Italia utara. Carlo mengumpulkan pasukannya di Calabria, dan mendarat di dekat Messina, dan mulai melakukan pengepungan. Beberapa upaya untuk menyerang kota tidak berhasil. Ditolak oleh Paus, bangsa Sisilia sekarang mengajukan banding ke Raja Pero dan Ratu Custanza; ia menerimanya dna mendarat di Trapani pada tanggal 30 Agustus 1282. Ia diumumkan raja di Palermo pada tanggal 4 September, tetapi karena keuskupan agung Palermo lowong, ia tidak dapat segera dimahkotai. Di dalam menghadapi pendaratan bangsa Aragon, Carlo terpaksa mundur ke selat Messina ke Calabria pada bulan September, tetapi bangsa Aragon bergerak cukup cepat untuk menghancurkan sebagian pasukan dan bawaannya. Dengan demikian wangsa Angevin selamanya diusir dari Sisilia.
Perang dengan Aragon
Meskipun mundur ke Calabria, Carlo tetap berada di dalam posisi yang kuat. Keponakannya, Philippe III dari Prancis, mengabdi padanya dan Paus Martinus menganggap pemberontakan sebagai pelajaran baik bagi kepetingan-kepentingan Prancis dan hak-haknya sendiri sebagai wilayah kekuasaan kerajaan. Kedua belah pihak menunggu kesempatan yang baik; suatu perang yang panjang mungkin akan menjadi bencana bagi keduanya, sedangkan Pero dan Carlo mengatur sebuah pertempuran, masing-masing dengan seratus orang ksatria pada tanggal 1 Juni 1283 di Bordeaux. Penyerangan dan penjarahan terjadi terus menerus: pada bulan Januari 1283, gerilyawan Aragon menyerang Catona dan membunuh Comte Pierre I d'Alençon di dalam penginapannya. Pada bulan Februari bangsa Aragon menyeberangi Calabria untuk berhadapan dengan Carlo dari Salerno. Namun ketegangan di antara bangsa Aragon dan Sisilia mulai memuncak. Kedua pria yang sekarang berharap untuk mengubah perang untuk keuntungan mereka sendiri, dan duel tersebut menjadi sebuah lelucon, kedua raja tiba pada waktu yang berbeda, menyatakan kemenangan atas lawan mereka yang absen, dan berlalu. Sekarang perang menjadi memuncak: Paus Martinus mengekskomunikasikan Pero dan mengumumkan perang melawan Sisili dan Perang Salib pada bulan Januari, dan pada bulan Maret mengurangi wilayah-wilayah Pero. Pada tanggal 2 Februari 1284, Aragon dan Valencia secara resmi dianugerahkan kepada Charles dari Valois.
Perang berlanjut di Italia: sementara sedikit kemajuan terjadi di Calabria, satu detasemen dari armada Aragon memblokade Malta. Carlo dari Salerno mengirim armada Provençal untuk membantu Malta, tetapi dikalahkan oleh armada utama Aragon dibawah pimpinan Ruggeru dari Lauria dan dihancurkan di dalam Perang Malta. Namun bangsa Aragon sekarang kehabisan dana, dan Pero terancam oleh prospek serangan Prancis atas Aragon. Raja Carlo berencana menaikkan pasukan baru dan armada Provence, dan menginstruksikan Charles dari Salerno untuk mempertahankan sikap defensif yang ketat sampai ia kembali dari Prancis. Namun Ruggeru dari Lauria terus memerintah di laut dan melancarkan serangan membabi buta ke pesisir pantai Calabria, dan pada bulan Mei 1284 ia berhasil memblokade Napoli, mendaratkan sebuah skuadron kecil di pulau Nisida untuk melakukannya. Bangsa Neapolitan yang marah dengan pemblokadean tersebut, dan pada bulan Juni Charles dari Salerno mempersenjatai armada yang baru diluncurkan di Napoli dan memulainya pada tanggal 5 Juni untuk menghancurkan skuadron pemblokadean. Terbukti mempercayai armada utama Aragon dijarah sampai ke pesisir, ia berharap untuk mengahncurkan skuadron pemblokadean dan kembali ke Napoli sebelum armada musuh kembali. Namun Ruggeru dari Lauria telah mengetahui rencananya, dan Carlo merasa terperangkap oleh jumlah yang lebih besar. Setelah perjuangan yang singkat dan tajam, sebagian besar armadanya tertangkap, dan ia sendiri menjadi tawanan.
Berita sebaliknya menyebabkan kerusuhan anti Prancis di Napoli, dan Ruggeru dari Lauria dengan cepat mengambil keuntungan dari penangkapan Carlo untuk membebaskan Beatrice, putri Manfredi dari Sisilia, yang pada saat itu ditahan di Napoli. Raja Carlo tiba di Gaeta pada tanggal 6 Juni dan mengetahui bencana tersebut. Ia sangat marah pada putranya dan ketidaktaatannya; pada saat ia mencapai Napoli, pemberontakan telah diredamkan. Ia maju ke Calabria dan berusaha mendarat di Sisilia, tetapi pasukan utamanya diblokir di Reggio, dan ia mundur dari Calabria sepenuhnya pada tanggal 3 Agustus. Ia terus melakukan persiapan untuk sebuah kampanye melawan Sisilia pada tahun baru; namun kesehatannya menurun. Pada tanggal 7 Januari 1285 ia meninggal di Foggia.
Kematian dan peninggalan
Setelah kematiannya, Carlo meninggalkan seluruh wilayah-wilayahnya kepada putranya Carlo, kemudian seorang tawanan di Catalunya. Untuk sementara waktu, pemerintahan tersebut dilakukan bersama-sama dengan wakil paus dan Robert II dari Artois. Carlo menghabiskan hidupnya berjuang untuk merancang sebuah kerajaan Mediterania dari wilayah apapun yang dapat dimilikinya secara hukum atau dengan kekuatan senjata. Tampaknya ia melakukan hal tersebut dengan sadar; ia menganggap dirinya sebagai alat Tuhan untuk menegakkan kepausan dan menghukum Hohenstaufen. Ia memerintah dengan adil, tetapi dengan tangan dingin dan kejam. Pada akhirnya, sikapnya itu tidak dapat menghasilkan pengabdian yang diperlukan untuk menahan penaklukkan bersama-sama.
Namun ia meninggalkan warisan besar untuk ahli warisnya. Henri II dari Siprus menuntut Kerajaan Yerusalem setelah kematiannya, selama beberapa tahun namun hartanya yang lain tetap tinggal dengan Wangsa Angevin yang didirikannya, atau keturunannya. Baik Angevin dan saingan-saingan Aragonnya menuntut gelar "Raja Sisilia"; namun Angevin, dibatasi ke daratan, yang dikenal di dalam sejarah sebagai "Raja Napoli". Namun gaya "Raja Sisilia" bertahan, dan ketika kedua kerajaan bersatu gelar tersebut menjadi "Raja Dua Sisilia".
Charles dari Anjou berkontribusi terhadap kebangkitan awal pendidikan di abad pertengahan, yang kerap disebut sebagai Renaisans "Latin", dengan menggunakan beberapa sarjana Yahudi di Universitas Salerno dan Napoli yang ahli penerjemah. Yang paling terkenal adalah Moses dari Palermo, ie mengajar Latin, sehingga Musa bisa menerjemahkan karya medis berbahasa Arab ke dalam bahasa Latin. Para sarjana Yahudi menterjemahkan puluhan filosifis dan media risalah ke dalam bahasa Latin, yang membawa warisan dari zaman klasik dan budaya muslim kontemporer yang besar untuk pre-Renaisans Eropa.[13][14]
Namun perang Carlo mengakibatkan konsekuensi yang lebih serius daripada partisi Kerajaan Sisilia. Paus Martinus IV dengan putus asa mengkompromikan kepausan mengenai tujuannya; dan "Perang Salib" yang gagal melawan Sisilia dan (setelah kematian Carlo) kekuatan spiritual Aragon sangat menurun. Runtuhnya Otoritas moral dan kebangkitan nasionalisme membunyikan lonceng kematian untuk Perang Salib, dan akhirnya mengarah ke Kepausan Avignon dan Skisma Barat. Carlo adalah seorang prajurit yang cakap dan seorang administrator yang baik, tetapi ia gagal untuk memahami sifat rakyatnya yang beragam.
Pernikahan dan keturunan
Carlo menikahi Beatrice dari Provence pada tanggal 31 Januari 1246, di Aix-en-Provence. Beatrice adalah putri bungsu Ramón Berenguer IV dari Provence dan Forcalquier, yang meninggal pada tanggal 19 Agustus 1245 denga istrinya Beatrice dari Savoia. Karena ketiga putrinya yang lebih tua semuanya telah meniakh dengan raj-raja dan menerima mahar yang besar, Ramon menyerahkan seluruh hartanya kepada Beatrice, yang menjadikan Carlo Comte Provence dan Forcalquier. Mereka memiliki keturunan sebagai berikut:
^These enquêtes conserved in the Bibliothèque Nationale are the equivalent of Domesday for 13th-century Provence. They have been edited by Edouard Baratier, Enquêtes sur les droits et revenus de Charles I d'Anjou en Provence (1252 et 1278) (Paris 1969).
^Runciman 1958, hlm. 73–74: "In 1248 the discontent flared up into rebellion ... Arles submitted to [Charles] in April 1251, and Avignon in May. In June Barral of Les Baux surrendered. Marseilles ... sued for peace next July. Charles treated the leaders of the revolt with personal leniency, but insisted on his legal rights being clearly and definitively stated and recognized. The Marseillais ... recognized him as suzerain."
^During the siege of Lucera, Peter of Maricourt (Petrus Peregrinus), who was serving in Charles' army, wrote his famous work on magnetism, Epistola de magnete.
^Fischer, Klaus Dietrich (1982). "Moses of Palermo: Translator from the Arabic at the Court of Charles of Anjou". Histoires des sciences médicales. 17 (Special 17): 278–281.
Referensi
David Abulafia, The state of research. Charles of Anjou reassessed, in Journal of Medieval History, 26 (2000), pp. 93–114.
Jonathan Harris, Byzantium and the Crusades, London, 2nd ed., 2014 ISBN 978-1-78093-767-0
Jean Dunbabin, Charles I of Anjou. Power, Kingship and State-Making in Thirteenth-Century Europe, London-New York 1998