Antropologi ekonomi adalah interdisiplin dari cabang ilmu antropologi yang membahas kaitan antara sejarah, nilai sosial-budaya, dan geografi dari suatu masyarakat terhadap aktivitas atau fenomena ekonomi yang terjadi di dalam masyarakat tersebut.[1] Suatu aktivitas ekonomi sering kali tidak hanya dipengaruhi faktor-faktor produksi, seperti tenaga kerja, modal, dan sumberdaya alam, melainkan dapat juga dipengaruhi oleh nilai sosial atau tradisi yang berlaku di masyarakat. Pun hal yang sebaliknya dapat terjadi yakni aktivitas ekonomi yang kemudian mempengaruhi tatanan sosial yang berlaku di masyarakat.
Walaupun terjadi perbedaan pendapat tentang relevansi ilmu ekonomi untuk studi antropologi ekonomi, ilmu antropologi ekonomi memperlihatkan keunikan tersendiri dalam mengkaji fenomena ekonomi. Ahli antropologi ekonomi menghadapi fenomena ekonomi dalam masyarakat sederhana yang terintegrasi dengan sistem sosial dan budaya, sehingga pada dasarnya pertanyaan yang diajukan ahli antropologi berbeda dengan ahli ekonomi saat menghadapi suatu fenomena.[1] Pokok kajian dari ilmu antropologi pada suatu fenomena ekonomi bukanlah pada aspek ekonomi secara umum; melainkan sesuatu yang disebut ethno-economics yakni berkaitan dengan pemikiran dan bahasa, ide-ide, serta prinsip yang mendasari tindakan ekonomi pada suatu masyarakat. Dalam hal ini, tugas dari ahli antropologi adalah menjelaskan bagaimana suatu masyarakat memperoleh penghidupan, kemudian mengklasifikasikan cara-cara yang diperoleh dan membuat teori bagaimana hal tersebut berkaitan dengan nilai sosial atau kebudayaan.[1][2]
Objek dalam antropologi ekonomi
Pertukaran dalam ekonomi dan antropologi
Antropologi ekonomi memilki kecenderungan yang khas dalam mengkaji masalah perekonomian ; antropologi ekonomi dalam kajiannya banyak menaruh perhatian terhadap berbagai gejala pertukaran yang tidak melibatkan uang sebagai alat pertukaran. Gejala pertukaran ini disebut sering disebut resiprositas dan redistribusi dalam ekonomi.[2] Kecenderungan disiplin ilmu antropologi dalam hal ini berkaitan dengan orientasi studi antropologi yang banyak menaruh perhatian pada masyarakat-masyarakat luar eropa. Ketika awal perkembangan disiplin ilmu antropologi ekonomi, gejala-gejala pertukaran yang terjadi di komunitas masyarakat di luar Eropa umumnya tidak menggunakan mekanisme uang sebagai alat pertukaran sebagaimana yang terjadi di Eropa.[2][3] Dalam membahas gejala yang berkaitan dengan resiprositas dan redistribusi, ilmu antropologi ekonomi tidak hanya membahas aspek ekonomi yang mendasari fenomena tersebut, melainkan juga aspek-aspek lain yang umumnya diluar cangkupan ilmu ekonomi seperti: agama, teknologi, ekologi politik dan organisasi sosial.[2]
Resiprositas
Kajian mengenai resiprositas mencuat pada masanya setelah Bronislaw Malinowski, dalam bukunya Argonauts of the Western Pacific (1922) mengungkapkan fenomena unik berkaitan dengan resiprositas yang ia temui pada masyarakat di Kepulauan Trobriand.[4] Malinowski mengamati keganjilan di mana, masyarakat asli Kepulauan Trobriand mau mempertaruhkan nyawanya untuk berlayar jauh demi memberikan pernak-pernik yang berupa gelang dan kalung (yang menurutnya tidak berharga) secara cuma-cuma. Kemudian ia mengamati proses dan lajur pertukaran pernak-pernik ini di seluruh pulau. Setelah itu Malinowski menyimpulkan bahwa sistem pertukaran ini berkaitan langsung dengan aspek perpolitikan di kepulauan tersebut.[4][5] Malinowski menyebut proses ini sebagai pertukaran Kula.[4][6] Pertukaran Kula menurut Malinowski bukanlah barter; Barter merupakan proses pertukaran langsung antara barang atau jasa yang secara kuantitas atau kualitas bernilai sama, serta diawali persetujuan kedua belah pihak sebelum berlangsungnya pertukaran.[7][8] Sementara pertukaran Kula merupakan proses penghadiahan suatu pernak-pernik, yang kemudian diikuti proses penghadiahan lainnya sehingga terjadi pertukaran. Malinowski menekankan pendapatnya bahwa pertukaran ini terjadi antar individu dan hadiah yang diberikan tidaklah "murni" sebagai hadiah, karena individu yang berkaitan mengharapkan suatu hadiah kembali dengan nilai yang sama atau lebih besar dari pemberiannya.[6]
Dalam kelanjutannya terdapat berbagi pro dan kontra terhadap gagasan yang dikemukakan oleh Malinowski. Marcel Mauss dalam tulisannya The Gift (Essai sur le Don (Prancis)) mengemukakan bahwa pertukaran ini merupakan bagian dari kelompok alih-alih individu seperti yang dikemukakan Malinowski.[6][9] Malinowski juga dalam gagasannya tidak mengemukakan dampak apabila sang pemberi hadiah tidak menerima suatu hadiah kembali di akhir pemberian. Mauss berpendapat bahwa pertukaran hadiah dilakukan untuk menjaga hubungan baik antara kelompok pemberi hadiah, di mana jika pemberi hadiah tidak memperoleh suatu hadiah balasan, maka kejadian ini akan berdampak pada tradisi pemberian hadiah selanjutnya dan hubungan antar kelompok tersebut. Secara ringkas Mauss menegaskan "tidak ada yang gratis" dalam fenomena yang diamati Malinowski.[6]
Redistribusi
Redistribusi merupakan istilah lainnya yang berkaitan dengan pertukaran namun memiliki makna yang berbeda dengan resiprositas. Terdapat batasan pada pendefinisian istilah resiprositas ; Resiprositas merupakan perpindahan barang atau jasa yang terjadi secara timbal balik dari kelompok-kelompok yang berhubungan secara simetris.[10] Hubungan simetris yang dimaksud yakni, hubungan di mana masing-masing pihak menempatkan diri dalam kedudukan dan peranan yang sama ketika proses pertukaran berlangsung.[2][10] Sebagai contoh, misalnya seorang petani mengundang tetangganya, termasuk kepala desanya, untuk ikut pesta selamatan atas kelahiran anaknya. Pada waktu lain sang kepala desa akan mengundang petani itu untuk peristiwa serupa. Dalam aktivitas ini baik kepala desa, petani maupun masyarakat lainnya tidak menempatkan diri pada kedudukan sosial yang berbeda, inilah yang disebut hubungan yang simetris, sehingga fenomena ini masuk dalam kategori resiprositas. Sementara redistribusi memerlukan syarat hubungan yang asimetris, yang ditandai peranan individu-individu tertentu dengan wewenang yang dimiliki untuk mengorganisir pengumpulan barang dan jasa dari anggota-anggota kelompok kemudian didistribusikan kembali dalam bentuk barang atau jasa yang sama atu berbeda. Contoh redistribusi misalnya kewajiban iuran warga untuk suatu kegiatan yang memerlukan kontrol dan pengawasan dari suatu kelompok atau individu.[2]
Kaitan singkat antropologi ekonomi terhadap sosial-politik
Manusia pada umumnya tumbuh dalam suatu kelompok keluarga sehingga memperoleh pengetahuan dasar dalam bekerja sama, berbagi, dan mengidentifikasi diri sebagai bagian dari suatu kelompok dengan identitas kolektif. Karena hal ini, kebanyakan ilmuwan dalam kajian sosial memperlakukan manusia sebagai kelompok sosial alih-alih individu. Dalam disiplin ilmu sosial seperti sosiologi, psikologi sosial, dan antropologi sosial, dapat ditemukan berbagai ide dan gagasan tentang alasan mengapa manusia cenderung hidup berkelompok, bagaimana kelompok mengatur individu di dalamnya, serta bagaimana kelompok beradaptasi dan berevolusi dilingkungan sosial. Banyak dari teori ini kemudian memiliki implikasi pada aktivitas dan institusi ekonomi. Implikasi lainnya adalah pada bidang politik, di mana identitas kolektif dapat membentuk suatu ideologi politik-ekonomi pada kelompok yang bersangkutan akibat adanya persamaan ketertarikan sosial (social interest).[11]