Kepulauan Trobriand atau dikenal juga sebagai Kepulauan Kiriwina, merupakan gugusan pulau yang terdapat di bagian timur Papua Nugini tepatnya di laut Solomon. Daerah Kepulauan Trobriand memiliki luas sekitar 40 kilometer persegi dan dihuni lebih dari 20.000 penduduk asli.[1] Mayoritas penduduk Kepulauan Trobriand menetap di pulai Kiriwina yang juga merupakan pulau terbesar di kepulauan ini sekaligus menjadi pusat aktivitas ekonomi dan pemerintahan. Dari 28 pulau yang terdapat di kepulauan ini, hanya 22 buah pulau yang berpenghuni.[2] Kepulauan Trobriand merupakan bagian dari Provinsi Teluk Milne, Papua Nugini. Nama Trobriand sendiri diberikan oleh Bruni d'Entrecasteaux pada tahun 1793 untuk menghormati Denise Trobrian, letnan pertama di kapalnya.[3]
Kondisi geografis
Kepulauan Trobriand terletak pada koordinat -8°39'59.99" S 150°54'59.99" E, sekitar 384 km di timur Port Moresby, ibu kota Papua Nugini.[4][5] Kepulauan ini terdiri dari 28 buah pulau ; empat pulau terbesarnya adalah Kiriwina, Kaileuna, Vakuta dan Kitava dengan total luas daratan sekurangnya 440 kilometer persegi.[3][5] Pulau terbesar, Kiriwina, memiliki bentuk yang memanjang hingga 40 kilometer dan lebar hanya 3,2-12,8 kilometer, sementara ukuran pulau-pulau lain di kepulauan ini jauh lebih kecil. Topografi dari kepulauan Trobriand relatif datar, terkecuali untuk pulau Kitava dimana terdapat tebing yang menjulang setinggi 90 meter.[3][6] Kondisi pantainya juga dipenuhi oleh karang hingga 10 kilometer dari bibir pantai. Kepulauan ini juga memiliki banyak daerah rawa-rawa dan daratan yang terbentuk dari pasang-surut air laut.[3] Daerah yang relatif kering digunakan oleh penduduk Trobriand untuk bercocok tanam dan hasilnya kemudian menjadi komoditas yang diperdagangkan antar pulau.[5] Karena berada relatif dekat dengan garis kathulistiwa, kepulauan Trobriand memiliki iklim tropis dengan dua musim: musim hujan biasa berlangsung dari Desember hingga April dan musim kemarau berlangsung dari Mei hingga November.[1] Pada musim kemarau atau musim kering, Penduduk kepulauan Trobriand menghabiskan waktu mereka di kebun atau ladang. Hasil utama dari kegiatan agrikultur penduduk kepulauan Trobriand diantaranya: ubi jalar, talas, ubi manis, ketela, dan sayuran hijau. Panen ubi-ubian biasa dilakukan tiap tahun antara bulan Juni dan Agustus.[1]
Kehidupan masyarakat
Pada awal abad ke-19, populasi dari kepulauan Trobriand diperkirakan sekitar 8.000 jiwa, tetapi pada tahun 1990 jumlah penduduk bertambah menjadi sekitar 20.000 jiwa.[1][3] Penduduk usia muda dari kepulauan Trobriand diketahui banyak yang meninggalkan pulau untuk memperoleh perkerjaan atau berkuliah di kota-kota besar di Papua Nugini, tetapi sebagian besar dari mereka kemudian kembali dan hidup di kepulauan ini lagi.[3] Kehidupan masyarakat kepulauan Trobriand dapat dikatakan sangat unik sehingga banyak menarik perhatian ahli antropologi atau ilmu sosial lainnya untuk berdatangan dan mempelajari kehidupan masyarakat di kepulauan ini.[7]
Kebudayaan
Dalam kajian antropologi, hal yang sering mendapat sorotan dari masyarakat luas mengenai kehidupan masyarakat kepulauan Trobriand berkaitan dengan tradisi pernikahan dan aktivitas seksual yang unik, proses pertukaran barang, dan pertandingan olahraga kriket khas kepulauan Trobriand.[7] Masyarakat kepulauan Trobriand menetap di rumah-rumah tradisional yang terbuat dari kayu dan beratapkan rumbia.[6][7] Warga kepulauan ini baik pria dan wanita memiliki pakaian tradisional yang terbuat dari serat rumput dan umumnya bertelanjang dada.[6] Hubungan seksual pra nikah dianggap hal yang sangat wajar dalam komunitas masyarakat asli kepulauan ini. Bahkan, warga desa menyediakan Bukamatula, tempat khusus bagi warganya yang ingin melakukan hubungan seks tersebut.[7] Perganti-gantian pasangan pun merupakan hal yang lumrah pada masyarakat kepulauan Trobriand. Masyarakat kepulauan Trobriand menganggap suatu ruh atau Baloma merupakan ayah sebenarnya dari bayi yang dilahirkan oleh wanita kepulauan Trobriand; pria hanya dianggap sebagai pembuka jalan untuk ruh tersebut.[7] Bayi ini kemudian menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari keluarga sang ibu, sehingga masyarakat kepulauan Trobriand memiliki alur keturunan matrilineal.[6][7] Pernikahan pada masyarakat asli kepulauan Trobriand biasanya terjadi antara warga desa yang berbeda. Namun, pernikahan ini biasanya terjadi karena tujuan politis atau yang berkaitan dengan garis keturunan. Masyarakat kepulauan Trobriand juga melarang terjadinya perang antar suku. Olahraga kriket yang diperkenalkan oleh pemerintah kolonial kemudian menjadi kompetisi populer yang dimainkan oleh pria dan wanita antar desa yang terdapat di kepulauan ini.[3]
Perekonomian
Masyarakat asli kepulauan Trobriand menggunakan ubi jalar dan daun pisang kering sebagai mata uang.[7] Bagi masyarakat asli kepulauan Trobriand, ubi jalar merupakan komoditas yang sangat penting. Selain dikonsumsi dan diperdagangkan, ubi jalar juga dipergunakan dalam ritual-ritual yang berlangsung di kepulauan ini.[3][7][8] Perekonomian masyarakat kepulauan Trobriand juga disokong oleh industri pariwisata. Barang-barang hasil kerajinan tangan merupakan komoditas yang diekspor oleh masyarakat kepulauan Trobriand ke luar wilayahnya.[3]
Literatur terkait Kepulauan Trobriand
Kehidupan masyarakat kepulauan Trobriand yang sangat unik ini kemudian menghasilkan berbagai buku dan jurnal hasil penelitian, bahkan karya Bronislaw Malinowski terkait kebudayaan dan aktivitas ekonomi masyarakat kepulauan Trobriand dianggap sebagai salah satu karya terpenting antropologi pada abad ke-20.[3]
The Trobrianders of Papua New Guinea (1988) oleh Annette B. Weiner[9]
The Happy Isles Of Oceania (1992) oleh Paul Theroux[9]
Women of value, men of renown (1994) oleh Anette B. Weiner[9]
The Trobiand Islanders' Way of Speaking (2010) oleh Gunter Senft
Islands of Love, Islands of Risk: Culture and HIV in the Trobriands (2012) by Katherine Lepani[9]
MacCarthy, Michelle (2012). Playing Politics with Yams: Food Security in the Trobriand Islands of Papua New Guinea. Culture, Agriculture, Food & Environment, 34(2), 136-147. doi:10.1111/j.2153-9561.2012.01073.x[9]
Making the Modern Primitive: Cultural Tourism in the Trobriand Islands (2016) by Michelle MacCarthy[9]