Zidovudin (ZDV), yang juga dikenal dengan nama azidotimidin (AZT), merupakan obat antiretroviral yang digunakan untuk mencegah dan mengobati HIV/AIDS.[2] Obat ini mengurangi replikasi dari virus, sehingga gejala dari penyakit AIDS akan berkurang dan tes darah akan menunjukkan viral load yang lebih sedikit.[3] Zidovudin juga dapat digunakan untuk mencegah penularan dari HIV, seperti dari ibu ke bayi selama proses kelahiran. Ketika AZT diberikan pada pasien HIV, AZT memperlambat replikasi HIV pada pasien, tetapi tidak menghentikan replikasi sepenuhnya.[4] HIV dapat menjadi resisten terjadap AZT, dan karena itu AZT sekarang biasanya digunakan dalam bentuk kombinasi dengan obat anti-HIV lainnya yang disebut terapi antiretroviral yang sangat aktif (HAART).
Obat ini merupakan golongan inhibitor transkriptase balik analog nukleosida (NRTI). AZT menghambat enzim transkriptase balik yang HIV gunakan untuk mensintesis DNA, dengan demikian dapat mencegah DNA virus untuk terbentuk.
AZT merupakan terapi pengobatan HIV pertama yang disetujui oleh pemerintah AS. Obat ini dijual dengan nama dagang Retrovir. AZT termasuk dalam komposisi Combivir dan Trizivir. AZT termasuk dalam daftar obat penting dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), obat penting yang dibutuhkan dalam sistem kesehatan yang mendasar.[5] Per tahun 2015 biaya untuk pengobatan bulanan dengan AZT di Amerika Serikat mencapai lebih dari 200 USD.[6]
Kegunaan medis
Pengobatan HIV
Pengobatan HIV menggunakan AZT dengan dosis relatif rendah dan hanya diminum dua kali sehari. AZT hampir selalu dikombinasikan dengan obat-obatan lain (dikenal sebagai "triple cocktail") untuk mencegah resistensi AZT.[7][8]
Pencegahan HIV
AZT telah digunakan sebagai terapi profilaksis pasca-paparan (PEP) dalam bentuk kombinasi dengan lamivudin. Terapi ini mengurangi risiko terjadinya infeksi HIV setelah terjadi paparan terhadap virus (seperti tidak sengaja tertusuk jarum suntik yang telah dipakai untuk pasien yang terinfeksi HIV)[9] (meskipun penggunaan AZT dalam PEP telah digantikan oleh tenofovir sebagai komponen dari kombinasi tiga obat[10]).
AZT menjadi bagian penting dalam terapi profilaksis pra-paparan dan profilaksis pasca=paparan pada transimisi HIV dari ibu ke anak selama kehamilan hingga proses kelahiran dan telah terbukti mencegah infeksi HIV pada masa tersebut.[11][12] Tanpa AZT, sebanyak 10-15% dari janin yang berasal dari ibu yang terinfeksi HIV akan terinfeksi HIV pula.[13] AZT telah menunjukkan dapat mengurangi risiko ini hingga menjadi 8% ketika diberikan dalam tiga bagian yakni pada saat pasca-konsepsi, persalinan, dan enam minggu pasca-persalinan. Dengan langkah dan perhatian khusus, seperti penggunaan obat antiretroviral secara ketat, persalinan sesar, penggunaan masker, sarung tangan karet khus, popok khusus sekali pakai, dan menghindari kontak mulut akan mengurangi risiko penularan HIV bayi-tenaga medis hingga risiko hanya sebesar 1-2%.[14][15][16]
Selama periode dari 1994 ke 1999 ketika AZT menjadi lini pertama untuk pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi, AZT telah mencegah kematian lebih dari 1000 orang tua dan bayi akibat AIDS di Amerika Serikat.[17] Di DI AS saat ini, standar perawatan untuk ibu positif HIV dikenal sebagai regimen 076 yang menggunakan 5 dosis harian AZT dari trimester kedua hingga seterusnya serta AZT yang diberikan secara intravena selama proses persalinan.[18] Hanya saja perawatan seperti itu tidak memungkinkan untuk dilakukan di negara berkembang karena biaya perawatan yang mahal dengan jangka waktu yang lama, sementara penularan HIV dari ibu ke anak masih menjadi masalah besar. Banyak penelitian yang dilakukan sejak tahun 1990-an untuk menguji efikasi dari regimen yang lebih sederhana dengan waktu yang lebih singkar di negara berkembang.[19] Penggunaan AZT dalam jangka pendek merupakan standar perawatan yang buruk sehingga dapat dianggap malapraktik jika dilakukan di AS; namun tetap saja pemberian AZT akan meningkatkan kualitas hidup pada pasien (walau tidak seberapa) di negara berkembang.[19] Percobaan penggunaan AZT dalam jangka pendek sebenarnya sangat kontroversial dan menunjukkan ketidakmampuan peneliti untuk menyesuaikan denga situasi di negara berkembang, seperti sulitnya mendapat AZT, dengan protokol ilmiah dan etik yang dirancang oleh negara maju.[19]
Efek samping
Efek yang dihasilkan setelah penggunaan AZT dengan dosis tinggi dalam jangka panjang awal sangat berkaitan dengan efek samping yang dapat membatasi terapi dengan AZT, antara lain anemia, neutropenia, hepatotoksisitas, kardiomiopati, dan miopati. Semua gejala ini umumnya bersifat reversibel dan dapat menghilang setelah pemberian AZT dikurangi atau dihentikan. Efek samping ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa hal, seperti berkurangnya DNA mitokondria, meningkatnya sensitivitas dari γ-DNA polimerase di beberapa sel mitokondria,[20] berkurangnya timidin trifosfat, stres oksidatif, berkurangnya L-karnitina intraseluler atau apoptosis dari sel-sel otot.[21] Anemia karena AZT dapat diobati menggunakan vitamin yang merangsang produksi sel darah merah.[22][23] Obat-obatan yang menghambat glukuronidasi hepatik, seperti indometasin, nordazepam, asam asetilsalisilat (aspirin) dan trimetoprim dapat menurunkan laju eliminasi obat sehingga meningkatkan kadar obat dalam plasma dan obat akan bekerja lebih lama.[24] Efek samping yang paling umum terjadi antara lain refluks asam di lambung (perih di lambung), sakit kepala, tidur kurang nyenyak, dan kehilangan nafsu makan; sedangkan efek samping yang jarang terjadi antara lain perubahan warna kuku tangan dan kuku kaki, rasa kesemutan atau mati rasa di tangan atau kaki, dan kulit sedikit pucat. Reaksi alergi sangat jarang terjadi.[25] Saat ini, efek samping jarang terjadi karena dosis AZT yang digunakan jauh lebih rendah.[26]
Menurut IARC, ada cukup bukti mengenai risiko karsinogenisitas dari AZT pada percobaan dengan binatang; sehingga AZT digolongkan sebagai senyawa yang mungkin karsinogenik pada manusia (Grup 2B).[27]
Resistensi
Bahkan dengan pemberian dosis tertinggi yang dapat ditoleransi oleh pasien, AZT tidak cukup poten untuk mencegah replikasi HIV secara keseluruhan, dan mungkin hanya sekadar memperlambat replikasi virus dan keparahan dari penyakit ini. Selama pengobatan dengan AZT secara berkepanjangan, HIV dapat mengalami resistensi terhadap AZT karena mutasi dari enzim transkriptase balik.[28][29] Untuk memperlambat perkembangan dari resistensi, dokter umumnya merekomendasikan AZT diberikan dalam bentuk kombinasi dengan penghambat transkriptase balik lainnya dan obat antiretroviral dari kelompok lain, seperti penghambat protease atau penghambat transkriptase balik non-nukleosida; jenis terapi yang dikenal sebagai HAART (terapi antiretroviral yang sangat aktif).
Mekanisme aksi obat
AZT merupakan analog timidin. AZT bekerja dengan menghambat enzim transkriptase balik dari HIV secara selektif, Enzim ini digunakan virus untuk membuat salinan DNA dari RNAnya. Transkripsi balik diperlukan untuk produksi DNA untai ganda dari HIV, yang kemudian terintegrasi ke dalam materi genetik dari sel yang terinfeksi (hal ini disebut provirus).[30][31][32]
Enzim seluler mengkonversi AZT menjadi bentuk 5'-trifosfat yang aktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penghentian dari pembentukan rantai DNA HIV merupakan faktor yang spesifik pada efek penghambatan.
Pada dosis yang sangat tinggi, bentuk trifosfat dari AZT dapat juga menghambat DNA polimerase yang digunakan oleh sel-sel manusia untuk melakukan pembelahan sel. Tetapi terlepas dari dosis AZT yang diberikan, afinitas terhadap transkriptase balik HIV lebih tinggi hingga 100 kali dibandingkan afinitas terhadap DNA polimerase.[33] Sifat AZT yang selektif telah terbukti menyebabkan sel manusia mampu untuk memperbaiki rantai DNAnya sendiri secara cepat rantai jika DNA tersebut dirusak oleh AZT selama pembentukan DNAnya, sedangkan HIV tidak memiliki kemampuan itu.[34] Dengan demikian, AZT menghambat replikasi HIV tanpa mempengaruhi fungsi dari sel-sel yang tidak terinfeksi.[30] Pada dosis yang cukup tinggi, AZT dapat menghambat DNA polimerase pada sel manusia yang digunakan oleh mitokondria untuk bereplikasi, yang memberikan efek pada otot jantung dan otot rangka, sehingga menyebabkan miositis, walau efek tersebut bersifat reversibel dan hilang setelah dosis AZT dikurangi.[35][36][37][38][39]
Sifat kimia dan fisika
AZT mengkristal menjadi garam dengan struktur monoklinik asimetris ternukleasi. Struktur ini dilaporkan pada tahun 1988 dan 1987.[40][41]
Sejarah
Pada tahun 1960-an, teori mengenai kanker disebabkan oleh retrovirus mendapat dukungan dari peneliti dan mendapat pendanaan untuk penelitian tersebut. Teori tersebut menjadi dikenal karena hasil penelitian dari Howard Temin dan David Baltimore,[42] yang menyataka hampir semua kanker pada burung disebabkan oleh retrovirus, tetapi retrovirus yang menginfeksi manusia yang dapat menyebabkan kanker masih belum ditemukan pada waktu itu.
Dalam penelitian yang lain, ditemukan senyawa lain yang dapat memblok sintesis dari asam nukleat sehingga dapat digunakan sebagai agen antibakteri, antiviral, dan antikanker. Penelitian ini dilakukan oleh George Hitchings dan Gertrude Elion. Dan hasil penelitian ini ditemukan dan dikembangkan senyawa antitumor 6-merkaptopurin.[43]
[44][49]Jerome Horwitz dari Barbara Ann Karmanos Cancer Institute dan Wayne State University School of Medicine pertama kali mensintesis AZT pada tahun 1964 dengan bantuan hibah dari National Institutes of Health (NIH) Amerika Serikat.[45][46][47] Pengembangan obat ini dihentikan setelah terbukti tidak memberikan efek pada mencit.[45][48] Pada Tahun 1974, Wolfram Ostertag dari Max Planck Institute for Experimental Medicine di Göttingen, Jerman melaporkan dalam penelitiannya bahwa AZT secara khusus mentarget virus Friend (galur dari virus leukemia murine). Hanya saja hasil peneleitian ini tidak menarik minat peneliti lainnya karena virus Friend merupakan retrovirus dan pada waktu itu masih belum ditemukan penyakit pada manusia yang disebabkan oleh retrovirus.[44][49]
Pada tahun 1983, peneliti di Institut Pasteur di Paris menyatakan retrovirus yang sekarang dikenal sebagai Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyebab yang sindrom imunodefisiensi (AIDS) pada manusia.[50][51] Tidak lama kemudian, Samuel Broder, Hiroaki Mitsuya, dan Robert Yarchoan dari National Cancer Institute (NCI) memulai penelitian untuk mengembangkan metode terapi untuk HIV/AIDS.[52] Menggunakan sel T CD4+ yang telah dimodifikasi, mereka melakukan pengujian untuk melihat obat-obatan mana yang mampu melindungi sel T CD4+ dari HIV. Untuk mempercepat proses penemuan obat, peneliti dari NCI berkolaborasi dengan perusahaan farmasi yang memiliki daftar senyawa dengan potensi aktivitas antiviral.[30] Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui efek anti-HIV efek dari senyawa dan potensi obat terhadap sel T yang terinfeksi.
Di bulan Juni 1984, peneliti dari Burroughs-Wellcome, Marty St Clair melakukan penelitian untuk menemukan obat dengan potensi menghambat replikasi HIV. Burroughs-Wellcome memiliki para ahli dalam bidang analog nukleosida dan penyakit yang disebabkan virus, seperti Gertrude Elion, David Barry, Paul (Chip) McGuirt Jr, Philip Furman, Martha St Clair, Janet Rideout, Sandra Lehrman dan lain-lain. Penelitian ini difokuskan pada bagian enzim transkriptase balik dari virus. Transkriptase balik adalah enzim yang terdapat pada retrovirus, termasuk HIV, yang berfungsi untuk mereplikasi virus tersebut. Pengujian kedua dilakukan pada sel tikus yang terinfeksi dengan virus Friend atau virus sarkoma Harvey yang merupakan retrovirus yang lain. AZT terbukti memiliki efek menghambat replikasi dari virus Friend dan virus sarkoma Harvey, selain itu AZT memiliki toksisitas yang rendah terhadap tikus. Atas dasar hasil penelitian tersebut, AZT dipilih oleh Janet Rideout untuk dikirim ke NCI bersama dengan 10 senyawa lain untuk pengujian dalam efek antiviral HIV.[44]
Di bulan Februari 1985, ilmuwan NCI menemukan AZT memiliki efek pada penelitian in vitro.[30][45]
Beberapa bulan kemudian, Uji klinis fase I dari AZT dimulai oleh NCI dan Universitas Duke.[31][35][53] Pengujian Fase I dilakukan dengan dasar pada pengujian obat sebelumnya, suramin yang telah terbukti memberikan efek anti-HIV. Di awal uji klinisi,AZT terbukti aman untuk diberikan kepada pasien dengan HIV, AZT memperbanyak sel T yang sebelumnya telah hancur oleh virus, dan itu menunjukkan bukti yang kuat jika mempunyai efektivitas klinis, seperti meningkatkan berat badan pada pasien AIDS. Hal ini juga menunjukkan bahwa kadar AZT yang bekerja pada in vitro bisa disuntikkan ke pasien dan dalam bentuk suppositoria, dan obat menembus hanya pada sel yang terinfeksi.
Selanjutnya, Burroughs-Wellcome melakukan uji acak terkendali buta ganda. Studi ini dipuji oleh CDC dan NIH untuk standar yang baik,[54]
membuktikan bahwa AZT dapat memperpanjang hidup pasien dengan HIV.[55]
Burroughs-Wellcome mengajukan hak paten untuk AZT pada tahun 1985. Food and Drug Administration (FDA) kemudian menyetujui AZT untuk digunakan melawan HIV, AIDS, dan penyakit terkait AIDS (istilah medis lama untuk menyebut penyakit pra-AIDS) pada 20 Maret 1987.[56][57] Waktu yang diperlukan dari pembuktian AZT aktif melawan HIV di laboratorium untuk dapat disetujui dalam penggunaan luas hanya memerlukan 25 bulan, waktu tersingkat dalam sejarah pengembangan obat.
AZT adalah kemudian disetujui untuk digunakan oleh bayi dan anak-anak pada tahun 1990.[58] Awalnya AZT diberikan dalam dosis yang agak lebih tinggi dibandingkan dengan saat ini, biasanya 400 mg setiap empat jam, siang dan malam. Kurangnya alternatif dalam pengobatan waktu itu HIV/AIDS pada waktu itu menegaskan rasio risiko/manfaat. Jauh lebih baik menerima efek samping obat seperti anemia dan rasa lemas daripada kematian yang lamban dan menyakitkan yang tak dapat dihindari akibat HIV.
Referensi
^"Zidovudine". PubChem Public Chemical Database. NCBI. Diakses tanggal 2011-04-10.
^"Zidovudine". The American Society of Health-System Pharmacists. Diakses tanggal 31 July 2015.
^Wright, K. (1986). "AIDS therapy: First tentative signs of therapeutic promise". Nature. 323 (6086): 283. doi:10.1038/323283a0. PMID3463865.
^Connor E, Sperling R, Gelber R, Kiselev P, Scott G, O'Sullivan M, VanDyke R, Bey M, Shearer W, Jacobson R (1994). "Reduction of maternal-infant transmission of human immunodeficiency virus type 1 with zidovudine treatment. Pediatric AIDS Clinical Trials Group Protocol 076 Study Group". N Engl J Med. 331 (18): 1173–80. doi:10.1056/NEJM199411033311801. PMID7935654.
^Walensky RP, Paltiel AD, Losina E, et al. (July 2006). "The survival benefits of AIDS treatment in the United States". J. Infect. Dis. 194 (1): 11–9. doi:10.1086/505147. PMID16741877.
^ abcCrane, Johanna (2010). "Adverse events and placebo effects: African scientists, HIV, and ethics in the 'global health sciences'". Social studies of science. 40 (6): 843–870. doi:10.1177/0306312710371145.
^Sun, R.; Eriksson, S.; Wang, L. (2010). "Identification and Characterization of Mitochondrial Factors Modulating Thymidine Kinase 2 Activity". Nucleosides, Nucleotides and Nucleic Acids. 29 (4–6): 382–385. doi:10.1080/15257771003741018. PMID20544523.
^Fisher, J. W. (1997). "Erythropoietin: physiologic and pharmacologic aspects". Proceedings of the Society for Experimental Biology and Medicine. Society for Experimental Biology and Medicine. 216 (3): 358–369. doi:10.3181/00379727-216-44183. PMID9402140.
^Fisher, J. W. (2003). "Erythropoietin: physiology and pharmacology update". Experimental biology and medicine (Maywood, N.J.). 228 (1): 1–14. PMID12524467.
^Richman, D. (1990). "Susceptibility to nucleoside analogues of zidovudine-resistant isolates of human immunodeficiency virus". The American Journal of Medicine. 88 (5B): 8S–10S. doi:10.1016/0002-9343(90)90414-9. PMID2186629.
^ abYarchoan R, Klecker R, Weinhold K, Markham P, Lyerly H, Durack D, Gelmann E, Lehrman S, Blum R, Barry D (1986). "Administration of 3'-azido-3'-deoxythymidine, an inhibitor of HTLV-III/LAV replication, to patients with AIDS or AIDS-related complex". Lancet. 1 (8481): 575–80. doi:10.1016/S0140-6736(86)92808-4. PMID2869302.
^ abYarchoan R, Mitsuya H, Myers C, Broder S (1989). "Clinical pharmacology of 3'-azido-2',3'-dideoxythymidine (zidovudine) and related dideoxynucleosides". N Engl J Med. 321 (11): 726–38. doi:10.1056/NEJM198909143211106. PMID2671731.
^Collins M, Sondel N, Cesar D, Hellerstein M (2004). "Effect of nucleoside reverse transcriptase inhibitors on mitochondrial DNA synthesis in rats and humans". J Acquir Immune Defic Syndr. 37 (1): 1132–9. doi:10.1097/01.qai.0000131585.77530.64. PMID15319672.
^Parker W, White E, Shaddix S, Ross L, Buckheit R, Germany J, Secrist J, Vince R, Shannon W (1991). "Mechanism of inhibition of human immunodeficiency virus type 1 reverse transcriptase and human DNA polymerases alpha, beta, and gamma by the 5'-triphosphates of carbovir, 3'-azido-3'-deoxythymidine, 2',3'-dideoxyguanosine and 3'-deoxythymidine. A novel RNA template for the evaluation of antiretroviral drugs". J Biol Chem. 266 (3): 1754–62. PMID1703154.
^Dyer I, Low JN, Tollin P, Wilson HR, Howie RA (April 1988). "Structure of 3'-azido-3'-deoxythymidine, AZT". Acta Crystallogr C. 44 (4): 767–9. doi:10.1107/S0108270188000368. PMID3271074.
^Douek, D; Roederer, M; Koup, R (2009). "Emerging Concepts in the Immunopathogenesis of AIDS". Annu. Rev. Med. 60: 471–84. doi:10.1146/annurev.med.60.041807.123549.
^Yarchoan R, Klecker RW, Weinhold KJ, Markham PD, Lyerly HK, Durack DT, Gelmann E, Lehrman SN, Blum RM, Barry DW (1986). "Administration of 3'-azido-3'-deoxythymidine, an inhibitor of HTLV-III/LAV replication, to patients with AIDS or AIDS-related complex". Lancet. 1 (8481): 575–80. doi:10.1016/s0140-6736(86)92808-4. PMID2869302.
^Fischl MA, Richman DD, Grieco MH, Gottlieb MS, Volberding PA, Laskin OL, Leedom JM, Groopman JE, Mildvan D (1987). "The efficacy of azidothymidine (AZT) in the treatment of patients with AIDS and AIDS-related complex. A double-blind, placebo-controlled trial". N Engl J Med. 317 (4): 185–91. doi:10.1056/NEJM198707233170401. PMID3299089.