Prof.Dr.Hj. Zakiah Daradjat (6 November 1929 – 15 Januari 2013) adalah pakar psikologi Islam Indonesia. Berkarier di Departeman Agama Indonesia selama 30 tahun sejak 1964, ia menghabiskan sisa umurnya sebagai pendidik dan guru besar ilmu psikologi di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Setelah menyelesaikan pendidikan doktor di Mesir pada 1964, Zakiah membagi waktu bekerja dan membuka praktik konsultasi psikologi. Ia pernah dipercaya sebagai Direktur Pendidikan Agama dan Direktur Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam di Kementerian Agama, bertanggung jawab atas kebijakan dan eksistensi lembaga-lembaga pendidikan Islam.
Pemikiran Zakiah Daradjat di bidang pendidikan agama banyak mempengaruhi wajah sistem pendidikan di Indonesia. Ia membidani lahirnya kebijakan pembaruan madrasah dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri (Menteri Agama, Mendikbud, dan Mendagri) pada tahun 1975.[1] Melalui surat keputusan tersebut, Zakiah menginginkan peningkatan penghargaan terhadap status madrasah, salah satunya dengan memberikan pengetahuan umum 70 persen dan pengetahuan agama 30 persen.[1][2] Aturan yang dipakai hingga kini di sekolah-sekolah agama Indonesia ini memungkinkan lulusan madrasah berbagai jenjang diterima di sekolah maupun perguruan tinggi umum.[3]
Zakiah merupakan satu-satunya perempuan di Dewan Pertimbangan Agung periode 1983–1988 dan pernah menjadi anggota MPR-RI periode 1992–1997. Selain itu, ia adalah perempuan pertama yang menjabat salah satu Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), mengetuai bidang urusan keluarga dan anak pada masa kepimpinan Hasan Basri.
Riwayat Hidup
Kehidupan awal
Zakiah Daradjat lahir pada 6 November 1929 di Jorong Koto Marapak, Nagari Lambah, Ampek Angkek, Agam. Ayahnya, Husain Daradjat Husain aktif dalam pergerakan Muhammadiyah sementara ibunya, Rafiah adalah anggota Sarekat Islam. Kakeknya dari pihak ayah, Husin Dt. Marajo merupakan Kepala Nagari Lambah. Zakiah merupakan anak tertua dari 11 bersaudara, lima dari mereka berlainan ibu.[a] Meskipun tidak berasal dari figur orang tua ulama, Zakiah bersaudara ditempa pendidikan agama dan dasar keimanan yang kuat.[6] Kiah, panggilan masa kecilnya, sudah dibiasakan oleh sang ibu untuk menghadiri pengajian-pengajian agama dan dilatih berpidato oleh sang ayah.[7]
Pada usia tujuh tahun, Zakiah sudah mulai memasuki sekolah. Pagi ia belajar di Standard School Muhammadiyah dan sorenya belajar lagi di Diniyah School.[6] Semasa sekolah, ia memperlihatkan minat cukup besar dalam bidang ilmu pengetahuan dan agama.[8] Saat masih duduk di bangku kelas empat SD, ia berpidato pertama kali di hadapan guru dan kakak kelasnya.[5] Ia mendapat tugas dari gurunya waktu itu untuk berpidato pada acara perpisahan sekolah. Setelah tamat pada 1941, Zakiah masuk ke salah satu SMP di Padang Panjang sambil mengikuti sekolah agama di Kulliyatul Muballighat, kursus calon mubalig.[6] Ilmu-ilmu yang diperolehnya dari Kulliyatul Mubalighat kelak ikut mendorongnya untuk menjadi mubalig.[9]
Pada tahun 1951, ia menamatkan pendidikan SMA di Bukittinggi.[10] Sebelumnya, ia pernah belajar di Sekolah Asisten Apoteker, tetapi tidak diteruskannya akibat Agresi Militer Belanda II yang diikuti pembumihangusan Bukittinggi. Setelah itu, ia meninggalkan kampung halamannya menjalani pendidikan tinggi di Yogyakarta. Ia mendaftar dan lulus di dua perguruan tinggi dengan fakultas yang berbeda, yaitu Fakultas Tarbiyah Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) Yogyakarta dan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII). Namun, setelah tahun ketiga, ia meninggalkan kuliahnya di UII atas saran orangtuanya untuk fokus pada salah satu jurusan.[11]
Pendidikan di Mesir
Pada tahun 1956, setahun setelah Konferensi Asia–Afrika yang dilangsungkan di Indonesia, Zakiah mendapat tawaran beasiswa ikatan dinas dari Departemen Agama untuk kuliah ke Mesir, seiring kerja sama pemerintah Indonesia dengan Mesir. Ia diterima di Fakultas Pendidikan Universitas Ain Shams, Kairo tanpa tes untuk program S-2.[6] Sebagai satu-satunya mahasiswa perempuan dari Indonesia, kepergian Zakiah dan restu orangtuanya dianggap sebagai keputusan revolusioner. Tesisnya tentang problema remaja di Indonesia mengantarnya meraih gelar magister pada tahun 1959, setelah setahun sebelumnya mendapat diploma pasca-sarjana dengan spesialisasi pendidikan. [12] Tesis ini mendapat sambutan dari kalangan terpelajar di Kairo waktu itu, sebagai rujukan dan bahan pemberitaan.
Pada saat Zakiah belajar, bidang psikologi tidak banyak ditekuni oleh pelajar Islam. Perkembangan ilmu psikologi didominasi oleh psikoanalisis Sigmund Freud, yang mendudukkan alam tak sadar sebagai faktor penting dalam kepribadian manusia. Zakiah mengenalkan metode non-directive dari Carl Rogers yang baru mulai dirintis dan diperkenalkan oleh universitas. Ia mengajukan disertasi mengenai psikoterapi model non-directive dengan fokus psikoterapi bagi anak-anak bermasalah, hingga usulannya ini mendapat persetujuan pihak universitas.[13]
Sambil membagi waktu menyelesaikan kuliah S-3 di universitas yang sama, ia mulai membuka praktik konsultasi kejiwaan di almamaternya. Ia mengambil kesempatan mengajar bahasa Indonesia di Kairo, menjabat sebagai Kepala Jurusan Bahasa Indonesia di Higher School for Language. [12] Dari penghasilan yang diterimanya mengajar bahasa selama tiga tahun, ia dapat membawa kedua orangtuanya ke Mesir selama tujuh bulan dan menunaikan haji di Mekkah. Pada tahun 1964, dengan disertasi tentang perawatan jiwa anak, ia berhasil meraih gelar doktor dalam bidang psikologi dengan spesialisasi psikoterapi dari Universitas Ain Shams.[14][1] Penelitian disertasinya mendapatkan penghargaan dari Presiden Gamal Abdul Nasir, berupa "Medali Ilmu Pengetahuan" yang diberikan pada upacara Hari Ilmu Pengetahuan Mesir 1965.[12]
Karier
Setelah kembali ke Indonesia pada tahun 1964, Zakiah merintis karier di Departemen Agama sebagai pegawai Biro Perguruan Tinggi dan membagi waktu mengajar sebagai dosen keliling untuk perguruan tinggi agama Islam negeri Indonesia.[1] Pada 1967, Zakiah diangkat oleh Menteri AgamaSaifuddin Zuhri sebagai Kepala Dinas Penelitian dan Kurikulum Perguruan Tinggi di Biro Perguruan Tinggi, Kementerian Agama. Sejak 1972, ia menjabat sebagai Direktur Pendidikan Agama sampai tahun 1977.
Pada 1977, ia dipromosikan untuk menjabat sebagai Direktur Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam sampai Maret 1984.[1][15] Sejalan dengan pembenahan internal Departemen Agama oleh pemerintah Orde Baru, Zakiah memimpin pengembangan dan pembaruan dalam bidang pendidikan Islam. Salah satu gagasannya adalah kebijakan pembaruan madrasah dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri (Menteri Agama, Mendikbud, dan Mendagri) pada tahun 1975. SKB ini muncul sebagai salah satu solusi terhadap kemlut yang terjadi antara Depdikbud dengan Depag berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan satu atap. Upaya lainnya adalah peningkatan mutu pengelolaan dan akademik madrasah-madrasah melalui madrasah model.
Zakiah berupaya menyelesaikan kasus Ujian Guru Agama. Program percepatan dalam rangka pengadaan guru agama yang dibutuhkan oleh madrasah-madrasah yang tersebar di seluruh Indonesia. Kendala kurangnya tenaga guru di tengah upaya perbaikan mutu madrasah sehingga pemerintah berupaya mengangkat guru-guru agama dalam jumlah besar. Namun, dalam prosesnya terjadi penyimpangan berupa jual beli SK pengangkatan. Mereka yang tidak memiliki kompetensi sebagai guru telah diangkat menjadi guru karena permainan yang berbagau KKN. Keadaan ini menyebabkan negara dirugikan dalam bentuk diangkatnya orang-orang yang tidak memiliki keahlian sebagai guru yang berakibat pada terjadinya kemunduran dan jatuhnya mutu madrasah.
Setelah itu, ia secara resmi menjadi dekan Fakultas Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Selama berkarier di birokrasi pemerintahan, Zakiah beberapa kali diminta sebagai penerjemah bahasa Arab sewaktu Presiden Soeharto berkunjung ke beberapa negara Timur Tengah. Keahlian ini mengantarnya meraih tanda kehormatan "Order of Kuwait Fourth Class" dari Kerajaan Kuwait pada 1977 dan penghargaan serupa dari Mesir "Fourth Class Of The Order Mesir" dari Presiden Anwar Sadat.
Ketika menempati posisi sebagai Direktur di Direktorat Perguruan Tinggi Agama, seperti dituturkan cendikiawan Azyumardi Azra, Zakiah Daradjat banyak melakukan sentuhan bagi pengembangan perguruan tinggi agama Islam.[15] Salah satu contoh, untuk mengatasi kekurangan guru bidang studi umum di madrasah-madrasah, Zakiah Daradjat membuka jurusan tadris pada IAIN dan menyusun rencana pengembangan Perguruan Tinggi Agama Islam yang menjadi referensi bagi IAIN seluruh Indonesia.[16] Melalui rencana pengembangan ini Kementerian Agama dapat meyakinkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sehingga IAIN memperoleh "anggaran yang lebih masuk akal".[3]
Di luar aktivitasnya sebagai pegawai kementerian, Zakiah mengabdikan ilmunya dengan mengajar sebagai dosen keliling pada IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (kini UIN) dan beberapa IAIN lainnya. Mata kuliah yang diasuhnya adalah ilmu jiwa agama. Setelah meninggalkan jabatan sebagai direktur, ia menduduki jabatan Dekan Fakultas Pasca-sarjana dan Pendidikan Doktoral IAIN Yogyakarta. Pada 1 Oktober 1982, Zakiah dikukuhkan oleh IAIN Jakarta sebagai guru besar di bidang ilmu jiwa agama. Sebagai pendidik dan guru besar, ia setia di jalur profesinya hingga akhir hayatnya. Hingga usia senja, meski telah pensiun dari tugas kedinasan, Zakiah masih aktif mengajar di UIN Syarif Hidayatullah dan perguruan tinggi lain yang membutuhkan ilmunya.[17] Selain itu, ia sering mengisi ceramah agama untuk stasiun pusat RRI sejak tahun 1965 sampai dekade 2000-an. Ia kerap pula diminta mengisi siaran Mimbar Agama Islam di stasiun pusat TVRI. Pada 19 Agustus 1999, Zakiah Daradjat memperoleh Bintang Jasa Mahaputra Utama dari Pemerintah Rapublik Indonesia, setelah sebelumnya mendapat Bintang Jasa Utama pada 1995.
Sebagai realisasi ide-idenya dalam bidang pendidikan dan yang berkaitan dengan kesehatan mental, Zakiah mendirikan Yayasan Pendidikan Islam Ruhama di Jakarta, sekaligus bertindak sebagai pimpinannya. Lembaga ini melingkupi taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah atas, dan sekolah menengah kejuruan.
Psikolog
Zakiah mulai membuka praktik konsultasi psikologi sewaktu bekerja di Departemen Agama. Mulanya, ia membuka praktik dua kali dalam seminggu. Pada 1965, dengan banyaknya klien, ia memutuskan membuka praktik di rumahnya di Wisma Sejahtera, Jalan Fatmawati, Cipete, Jakarta Selatan. Setiap hari kerja, ia rata-rata menerima lima pasien. Ketika diwawancara oleh Republika pada tahun 1994, ia mengaku, sering tidak menerima bayaran apa-apa. "Kalau mereka memberi, saya terima."[10]
Menurut Zakiah. gangguan kejiwaan yang ikut memengaruhi kondisi fisik seseorang dapat ditelusuri melalu kajian psikologi dan penyembuhannya dilakukan mengikuti ajaran Islam. Ilmu jiwa menurut Zakiah sangat berfungsi untuk melakukan penelitian terhadap perilaku keagamaan pada seseorang dan selanjutnya dapat digunakan untuk mempelajari seberapa besar pengetahuan keyakinan keagamaan tersebut terhadap tingkah laku dan keadaan hidupnya. Melalui informasi dan data yang dikumpulkan tentang sikap hidup dan tingkah laku sehari-hari serta kehidupan beragama seseorang padamasa lalu, ditambah dengan informasi terakhir yang menyebabkan seseorang menderita batin, Zakiah mengolahnya ke dalam metode dan langkah penyembuhan.
Dalam satu acara dengar pendapat dengan DPR pada 2004, ia menyoroti banyaknya acara siaran televisi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama maupun etika moral masyarakat. Ia melihat dampak buruk dari siaran televisi yang mengandung unsur kekerasan, seks, dan klenik karena menurutnya hal tersebut dapat menumpulkan akal dan logika penontot. Menurutnya, secara psikologi acara siaran televisi membawa pengaruh kuat dalam waktu yang lama terhadap pikiran penontonnya.
Meninggal
Zakiah Daradjat meninggal di Jakarta dalam usia 83 tahun pada 15 Januari 2013 sekitar pukul 09.00 WIB. Setelah disalatkan, jenazahnya dimakamkan di Kompleks UIN Ciputat pada hari yang sama. Menjelang akhir hayatnya, ia masih aktif mengajar, memberikan ceramah, dan membuka konsultasi psikologi. Sebelum meninggal, ia sempat menjalani perawatan di Rumah Sakit Hermina, Jakarta Selatan pada pertengahan Desember 2012.[18]
Abuddin Nata menyebut Zakiah sebagai seorang pembaru pendidikan Islam pada zamannya. Ia berperan dalam melahirkan SKB Tiga Menteri yang meningkatkan mutu pendidikan Islam serta menjadi peretas jalan intergrasi pendidikan Islam ke dalam sistem pendidikan nasional; lahirnya Madrasah Tsnawiyah Model yang berperan dalam meningkatkan mutu madrasah; keterlibatannya dalam menyelesaikan kasus Ujian Guru Agama yang mengarah pada peningkatan guru agama; serta penyusunan Rencana Induk Pengembangan IAIN untuk jangka waktu 25 tahun.
Semasa hidup, Zakiah Daradjat dikenal sebagai psikolog dan dosen, muballig dan tokoh masyarakat. Rektor UIN Syarif Hidayatullah JakartaKomaruddin Hidayat menyebut Zakiah sebagai pelopor psikologi Islam di Indonesia. Sementara itu, Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar mencatat, Zakiah Daradjat adalah sosok yang bisa diterima dengan baik oleh semua kalangan. Umar menambahkan, sosok Zakiah Daradjat seperti sosok Hamka dalam versi Muslimah.[3]
Pemikiran
Dalam bukunya Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, Zakiah mengulas tentang prinsip-prinsip pendidikan Islam dan implementasinya dalam pendidikan anak di dalam keluarga dan sekolah.
Menurut Zakiah, pendidikan harus mengembangkan dimensi manusia yang terdiri dari tujuh macam: fisik, akal, iman, akhlak, kejiwaan, keindahan, dan sosial kemasyaralkatan. Pendidikan harus ditujukan untuk membangun dan membina manusia yang kuat, sehat dan mampu melaksanakan tugasnya, membina fisiknya yang sehat sehingga tercipta kepribadian yang seimbang dan selaras sebagai pengabdian kepada Tuhan, membina dan mengolah fisik yang kokoh sehingga terbina sikap-sikap terpuji seperti bersikap toleran, sportif, dan kerja sama.
Karya
Ilmu Jiwa Agama
Kesehatan Mental dalam Al-Qur'an
Ketenangan dan Kebahagiaan dalam Keluarga
Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia
Menghadapi Masa Menopause
Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental
Pendidikan Akhlak dalam Al-Qur'an
Perawatan Jiwa untuk Anak-anak
Problema Remaja di Indonesia
Rujukan
Keterangan
^Haji Daradjat Husain memiliki dua orang istri.[4] Dari Rafiah, istri pertama, lahir enam orang anak, sedangkan dari istri kedua, Hajah Rasunah, Daradjat Husain dikaruniai ilma orang anak.[5]