Tole Iskandar adalah sulung dari 7 bersaudara. Adiknya yaitu Tuti, Sukaesih, Sugito, Suyoto, Mulyati dan Slamet Mulyono. Tole merupakan anak dari pasangan Raden Samidi Darmorahardjo dan Sukati Setjodiwiryo. Kakeknya merupakan menteri perairan zaman Hindia Belanda di Depok. Dia lahir di Gg. Kembang, Ratujaya, Kota Depok.[2]
Tole Iskandar gugur saat berperang dengan sekutu di Perkebunan Cikasintu, Kabupaten Sukabumi, pada tahun 1947 bersama Batalion 8. Saat gugur pangkatnya naik menjadi Letnan Dua. Kini makam Tole Iskandar berada di TMP Dreded, Kota Bogor, setelah dipindahkan dari Sukabumi. Saat gugur Tole Iskandar berusia 25 tahun. Keluarga besar Tole Iskandar sekarang bermukim di wilayah Bojong Pondok Terong.[3]
Perjuangan
Tole Iskandar memiliki catatan perjuangan tertulis dalam Laskar Pemuda Depok. Laskar itu tersohor dengan sebutan kelompok 21. Pada 21 September 1945, diadakan rapat pertama kali di sebuah rumah di Jalan Kartini. Tole Iskandar berikut 7 bekas anggota Heiho dan 13 anggota Pemuda Islam Depok mengadakan rapat dan diputuskan membentuk barisan keamanan untuk wilayah Depok.
Tole Iskandar akhirnya terpilih menjadi komandan. Merekalah cikal bakal perjuangan di Depok. Ide pembentukan barisan keamanan karena sehabis kemerdekaan situasi disana tidak menentu. Semua hal berbau Belanda dan tidak mau memasang bendera merah putih dianggap musuh.[4]
Buntutnya, pecah insiden di Jalan Pemuda. Masyarakat kampung merebut semua harta melalui peristiwa Gedoran Depok. Mereka menawan para keturunan Belanda Depok ke Bogor. Belanda Depok merupakan mantan pekerja Cornelis Chastelein. Mereka mendapatkan jatah harta warisan Cornelis berupa tanah untuk dikelola
Pekerja itu didatangkan dari Sulawesi, Kalimantan, Timor dan Bali. Cornelis kemudian membentuk 12 marga untuk mereka setelah penghapusan perbudakan pada 1714. Ke-12 marga itu ialah:
Laurenz
Loen
Leander
Jonathans
Toseph
Yakob
Sudira
Samuel
Sadok
Isac
Bakas
Tholence
Kini keturunan mereka umumnya tinggal di kawasan Depok Lama.
Kelompok 21 dipimpin Tole Iskandar mengumpulkan Belanda Depok di sebuah tempat dekat Stasiun Depok agar tidak menjadi korban dendam terhadap Belanda. Tole juga ikut mengusir pendudukan Belanda di Depok dan terlibat perang di Kali Bata serta Bogor.
Saat itu, senjata yang dimiliki barisan keamanan ini hanya 4 pucuk carabine Jepang. Itu pun hasil rampasan dari kepolisian Jepang yang bertugas di Depok. Kolonel Samuan, salah satu tim penyusun sejarah perjuangan di Bogor, ke 21 orang ini diberi nama Kelompok 21. Pada 15 Oktober 1945, di Bogor dibentuk BKR resimen II yang membawahi 4 batalion, yaitu:
Batalion I Depok
Batalion II Leuwiliang
Batalion III Jonggol
Batalion IV Bogor
Laskar Rakyat Depok yang dipimpin oleh Tole Iskandar langsung meleburkan diri ke dalam Batalion I Depok. Setelah batalion masuk di Depok, berpuluh-puluh pemuda Islam setempat mendaftarkan diri menjadi TKR. Mereka berkali-kali menyerang pasukan Inggris di Pasar Minggu dan markas mereka di Jalan Kalibata.
Saat terjadi pertempuran dengan tentara Belanda di perkebunan Cikasintu, Tole Iskandar gugur setelah sebelumnya melakukan penyerbuan di Bojonggede, melawan pasukan Gurkha di Citayam dan Pabuaran. Begitu hebatnya perjuangan Tole Iskandar, hingga ketika ia gugur merupakan pukulan berat bagi rekan-rekannya yang bertahun-tahun berjuang bersama.
Pada tanggal 16 Juni 1948, Depok diserang secara besar-besaran oleh tentara gabungan Inggris dan Belanda. Perjanjian Renville, 17 Januari 1948, Jawa Barat harus dikosongkan dari para pejuang. Semua pasukan akhirnya hijrah ke Jawa Tengah. Untuk mengisi kekosongan pejuang di Jawa Barat, Jenderal Sudirman dan Tan Malaka berunding. Hasilnya, dibentuklah pasukan rahasia yaitu Devisi Bambu Runcing dibawah pimpinan Sultan Akbar bersama pemuda yang mondok di asrama menteng 31 sekarang Gedung Joang '45.
11 Oktober 1949, Devisi Bambu Runcing mengeluarkan maklumat yang menentang seluruh perundingan dengan Belanda karena menilai seluruh hasil dari perundingan tersebut hanya merongrong dan menggerogoti cita-cita kemerdekaan. Mereka menginginkan kemerdekaan 100%. Mau tak mau mereka berhadap-hadapan dengan republik yang masih seumur jagung. Seteru semakin menjadi-jadi menyusul pemberlakuan restrukturisasi dan rasionalisasi di tubuh angkatan bersenjata.
Perang saudara meletus, daerah yang dikuasai Bambu Runcing bergolak termasuk Depok. Bambu Runcing dipimpin seorang jawara Betawi bernama Sengkud bermarkas di Bulak Garong (sekarang Perumahan Pesona Khayangan). Sengkud tersohor. Sebelum memimpin Bambu Runcing dia pernah bergabung bersama pertahanan desa, Pramoedya Ananta.
Depok pun mencekam, pembunuhan terjadi hampir setiap hari. Laskar Rakyat yang tadinya bergerilya menggencarkan serangan sporadis terhadap pasukan penjajah berubah menjadi perampok yang sadis. Hanya saja yang dirampok orang-orang yang dianggap bersebrangan dengan mereka, tiap malam ada saja yang digedor pintu rumahnya.[5]
Bagi masyarakat Depok, khususnya warga Depok Timur, Jalan Tole Iskandar bukanlah nama asing. Sebab, sebelum Jalan Proklamasi dan Jalan Keadilan dibuka, Jalan Tole Iskandar merupakan akses satu-satunya menuju Stasiun Depok maupun Terminal Depok. Setiap hari jalan itu dilintasi warga untuk menuju ke DKI Jakarta.
Baik oleh pengguna jasa angkutan kereta api, bus, angkot maupun kendaraan pribadi. Aneh rasanya kalau warga Depok Timur tak kenal dengan nama jalan itu. Namun, bukan berarti setiap orang yang melintas di Jalan Tole Iskandar mahfum dengan si pemilik nama tersebut.
Apalagi dulu Jalan Proklamasi dan Jalan Keadilan belum ada. Akses ke DKI Jakarta saat itu hanya melalui Jalan Tole Iskandar menuju Jalan Raya Bogor. Bukan Jalan Margonda seperti saat ini. Letak Jalan Tole Iskandar sekitar 2 kilometer dari Jalan Pemuda melintasi Jembatan Panus peninggalan Belanda.
Nama Tole Iskandar dikukuhkan dalam Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 1999 tentang hari jadi dan lambang Kota Depok. Dia salah satu pahlawan perjuangan Kota Depok selain Margonda.[6]