Tiga Dara
Tiga Dara (artinya Tiga Gadis) adalah film drama musikal Indonesia tahun 1957 yang dibintangi oleh Chitra Dewi, Mieke Wijaya, dan Indriati Iskak. Disutradarai oleh Usmar Ismail untuk Perfini, film ini menceritakan tentang tiga saudara perempuan yang tinggal bersama ayah dan nenek mereka. Ketika saudari tertua, Nunung, tidak tertarik untuk menikah, keluarganya berusaha mencarikan jodoh untuknya, tetapi selalu gagal. Nunung awalnya menolak pendekatan seorang pemuda bernama Toto, yang kemudian menjalin hubungan dengan adiknya. Namun, ketika Toto cemburu dan pergi dari Jakarta ke Bandung untuk menyatakan cintanya, Nunung akhirnya setuju untuk menikah dengannya. Film ini diproduksi menggunakan dana pinjaman dari pemerintah, dengan harapan dapat menutupi hutang Perfini yang menumpuk. Film ini sengaja dibuat untuk tujuan komersial, meskipun Ismail kurang menyukai jenis film seperti ini. Setelah dirilis pada 24 Agustus 1957, film ini sukses besar, melambungkan karier para pemainnya, meraup pendapatan tertinggi dari semua film Perfini, dan ditayangkan di bioskop-bioskop kelas atas. Meskipun diputar di Festival Film Venesia tahun 1959 dan meraih penghargaan untuk Penataan Musik Terbaik di Pekan Film Indonesia tahun 1960, Ismail menganggap film ini telah melenceng dari visi awal Perfini. Sejak perilisannya, Tiga Dara dianggap sebagai film klasik Indonesia dengan tema yang masih relevan dengan masyarakat Indonesia modern. Film ini dibuat ulang dengan judul Tiga Dara Mencari Cinta pada tahun 1980 oleh Djun Saptohadi dan menginspirasi film Pacar Ketinggalan Kereta karya Teguh Karya pada tahun 1989. Pembuatan ulang kedua, berjudul Ini Kisah Tiga Dara, diproduksi oleh Nia Dinata dan dirilis pada bulan September 2016. Pada tahun 2015, Tiga Dara direstorasi dan dikonversi ke format digital 4K oleh L'immagine Ritrovata Laboratory. AlurTiga bersaudari—Nunung (Chitra Dewi), Nana (Mieke Wijaya) dan Nenny (Indriati Iskak). Mereka diasuh oleh nenek mereka (diperankan oleh Fifi Young) di Jakarta setelah kematian ibu mereka. Meskipun ayah Nana dan Nenny, Sukandar (diperankan oleh Hassan Sanusi) tinggal bersama mereka namun terlalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga tidak memperhatikan anak-anaknya. Kisah ini berawal ketika ketiga saudari tersebut sedang keluar bersama Herman (diperankan oleh Bambang Irawan), pacar Nana. Nenek mereka mengungkapkan keinginannya kepada Sukandar bahwa sebelum meninggal, ia ingin Nunung yang berusia 29 tahun menikah, sesuai dengan keinginan ibu mereka. Sukandar kemudian mengundang rekan-rekannya ke rumah, dan Nunung mengesankan mereka dengan kemampuannya bermain piano dan bernyanyi. Namun, semua pria tersebut terlalu tua, sehingga nenek Nunung bersikeras agar Sukandar mencari pria yang lebih muda. Nenny, yang mendengar percakapan tersebut, menyarankan agar mereka mengadakan pesta, namun Nunung sama sekali tidak tertarik. Dalam upaya untuk menemukan pasangan bagi Nunung, Nana diminta mengajak Nunung ke pesta. Di pesta tersebut, sementara Nana bergaul dengan beberapa pria, Nunung hanya duduk dan akhirnya pergi bersama Herman. Nunung kemudian mengeluh kepada neneknya bahwa ia merasa terlalu tua di antara para tamu yang lebih muda dan bertanya mengapa ia disuruh pergi. Nenny, yang sekali lagi mendengarkan, menjelaskan alasan sebenarnya. Meskipun awalnya marah, Nunung akhirnya memahami maksud neneknya. Keesokan harinya, Nunung mengalami kecelakaan motor yang dikendarai oleh Toto (diperankan oleh Rendra Karno). Meskipun kakinya terluka, Nunung bersikeras untuk pulang sendiri dengan becak. Tanpa sepengetahuannya, Toto mengikuti untuk meminta maaf. Meskipun awalnya diperlakukan dengan kasar oleh Nunung, Toto diterima dengan baik oleh Nana dan neneknya. Nana meminta Toto untuk sering berkunjung, dan selama beberapa hari berikutnya, Nana menjauhkan Herman. Sementara itu, Nenny memanfaatkan situasi ini untuk mendekati Herman. Ketika Nana mengumumkan pertunangannya dengan Toto, neneknya sangat marah karena khawatir Nunung tidak akan pernah menikah. Setelah pertengkaran antara Nana dan Nunung, keluarga memutuskan bahwa yang terbaik bagi Nunung adalah pergi ke rumah pamannya, Tamsil (diperankan oleh Usmar Ismail), di Bandung untuk beristirahat. Selama di sana, Nunung menulis surat yang mengabarkan bahwa seseorang bernama Joni menciumnya setiap malam. Berita ini memicu kecemburuan Nenny dan Toto. Nana memaksa Toto untuk memilih antara dia dan Nunung; Toto memutuskan untuk pergi ke Bandung dan menghadapi Joni. Ia menemui Nunung dan menyatakan cintanya, namun Nunung mengungkapkan bahwa Joni adalah anak kecil yang tidur bersamanya setiap malam. Atas desakan Nana, Herman membawa anggota keluarga yang tersisa ke Bandung, di mana mereka bertemu dengan keluarga Toto, Nunung, dan Tamsil. Saat Tamsil memperkenalkan anak-anaknya, terungkap bahwa Joni adalah seorang anak kecil. Akhirnya, Nunung dan Toto berpelukan, sementara Nana dan Herman berdamai.
Pemeran
ProduksiTiga Dara disutradarai dan diproduksi oleh Usmar Ismail untuk Perusahaan Film Nasional, yang lebih dikenal dengan nama Perfini.[1] Pada awal pendirian Perfini pada tahun 1950,[2] Ismail berkeinginan untuk “tidak mempertimbangkan aspek komersial”[a] dalam pembuatan film. Namun, seiring waktu, ia menyadari perlunya membuat film yang menguntungkan karena Perfini terus mengalami kerugian. Menyusul kegagalan film Lagi-Lagi Krisis dan Tamu Agung, situasi keuangan perusahaan memburuk, dan Ismail harus memecat sejumlah stafnya.[3] Dengan hanya tersisa kredit dari pemerintah untuk membiayai produksi berikutnya,[b][4] Ismail berkolaborasi dengan M. Alwi Dahlan untuk menciptakan sebuah film yang akan disukai oleh penonton.[1] Cerita yang dihasilkan, kemungkinan terinspirasi dari komedi musikal Three Smart Girls (Tiga Gadis Pintar) tahun 1936,[5] Tiga Dara.[1] Produksi Tiga Dara dimulai pada Maret 1956. Chitra Dewi, Mieke Wijaya, dan Indriati Iskak berperan sebagai ketiga gadis utama.[3] Chitra Dewi sebelumnya telah tampil dalam Tamu Agung,[6] sedangkan Mieke Wijaya melakukan debutnya dalam film Gagal produksi Perusahaan Film Palembang pada tahun sebelumnya.[7] Indriati Iskak, putri sutradara Raden Iskak yang berusia 14 tahun, memulai debut film layar lebarnya dengan Tiga Dara.[8] Peran-peran pendukung diisi oleh Fifi Young, Rendra Karno, Hassan Sanusi, Bambang Irawan, Roosilawaty, dan Zainab.[1] Untuk peran Joni, Ismail menggandeng anak kandungnya, Irwan Usmar Ismail.[5] Karena film musikal populer di kalangan penonton Indonesia, Tiga Dara dibuat dalam genre tersebut. Film ini menampilkan tujuh lagu karya Saiful Bahri,[c] yang juga menjabat sebagai penata suara, satu lagu karya Ismail Marzuki[d] dan dua lagu karya Oetjin Noerhasjim.[e][9] Hanya Mieke Wijaya yang mengisi suara nyanyiannya sendiri, sementara para pemain lainnya disulihsuarakan oleh penyanyi seperti Sam Saimun, Elly Sri Kudus, Bing Slamet, Djuita, S. Effendy, dan Sitti Nurochma.[10] Sinematografi film hitam-putih ini ditangani oleh Max Tera, menggunakan peralatan yang sudah ketinggalan zaman, dan Soemardjono bertanggung jawab atas penyuntingan.[11]
Jalur suaraPiringan hitam tunggal jalur suara Tiga Dara dirilis oleh perusahaan rekaman asal Jakarta, Dendang. Rekaman ini berbahan dasar shellac dan berisi dua lagu tema yaitu "Tiga Dara" dan "Lagu Gembira".[12] Seluruh lagu ditulis oleh Sjaiful Bachri.
Perilisan dan penerimaanTiga Dara tayang perdana pada tanggal 24 Agustus 1957 di Teater Capitol, Jakarta.[13] Film ini didistribusikan oleh Perfini dan dipromosikan dengan cara yang unik, termasuk menggunakan truk dan pengeras suara.[14] Film ini meraih sukses besar dan disukai banyak penonton,[15] diputar selama delapan minggu berturut-turut di bioskop-bioskop seluruh nusantara,[16] termasuk di bioskop mewah yang berafiliasi dengan American Motion Picture Association of Indonesia (AMPAI), yang biasanya hanya memutar film-film impor.[f][17] Pada tanggal 20 September 1957, Presiden Sukarno mengadakan pemutaran khusus di Istana Kepresidenan di Bogor untuk merayakan ulang tahun istrinya, Hartini.[18] Film ini juga sering diputar di acara pernikahan dan diadakan kompetisi "Tiga Dara" antara kelompok-kelompok yang terdiri dari tiga perempuan bersaudara di sebagian besar wilayah Jawa.[3][14] Istilah Tiga Dara bahkan menjadi populer dan digunakan sebagai nama produk batik, toko, dan minuman.[19] Pada Pekan Film Indonesia 1960, Tiga Dara mendapatkan penghargaan Tata Musik Terbaik.[1] Setelah sukses di Indonesia, Tiga Dara menarik minat penonton di Malaya (sekarang Malaysia) dan diekspor ke sana. Sebagai gantinya, Indonesia mengimpor film Malaya berjudul Mega Mendung.[g][20] Pertukaran film ini sama-sama menguntungkan kedua belah pihak. Pada akhir tahun 1950-an, Tiga Dara mulai menjangkau penonton internasional. Film ini juga diputar di beberapa kota di Italia, termasuk Roma, dan juga di Yugoslavia.[21] Kesuksesan film ini menarik perhatian Floris Ammannati, direktur Festival Film Venesia 1959, yang mengundang Usmar Ismail untuk menayangkan filmnya di Venesia. Meskipun Usmar Ismail merasa pemutaran filmnya di Venesia kurang sukses, Tiga Dara terus mendapatkan pengakuan internasional.[h][22] Pada Agustus 1960, film ini diputar di Nugini Belanda (sekarang Papua Nugini),[23] dan di Suriname pada Agustus 1963.[24]
DampakTiga Dara merupakan film Perfini yang paling laris, menghasilkan hampir Rp 10 juta dari penjualan tiket,[19] dengan keuntungan sebesar Rp 3,080,000 selama masa penayangannya di bioskop.[25] Meskipun begitu, keadaan keuangan Perfini tetap tidak membaik.[3] Usmar Ismail, sang sutradara, merasa Tiga Dara mengecewakan dan tidak sesuai dengan visi awal Perfini.[15] Sutradara film Perfini, D. Djajakusuma, mencatat:
Pada tahun-tahun berikutnya, Perfini merilis sejumlah film yang berorientasi komersial, seperti Delapan Pendjuru Angin (1957) dan Asrama Dara (1958).[26] Meskipun tidak ada yang gagal secara komersial,[27] hanya Asrama Dara yang mendekati kesuksesan seperti Tiga Dara. Ismail mencoba kembali membuat film berkualitas non-komersial lewat Pedjuang (1960),[26] yang diputar dalam kompetisi di Festival Film Internasional Moskow ke-2 pada tahun 1961.[28] Namun, seiring waktu, cita-cita awalnya memudar dan dia mencoba peruntungan di bidang lain seperti dunia perbankan, industri klub malam, dan politik hingga akhir hayatnya pada tahun 1971.[26] Chitra Dewi dan Mieke Wijaya menjadi populer setelah kesuksesan Tiga Dara. Chitra Dewi melanjutkan karier aktingnya selama empat dekade berikutnya, dengan film layar lebar terakhirnya, Pedang Ulung, dirilis pada tahun 1993, lima belas tahun sebelum kematiannya.[6] Sementara itu, Mieke Wijaya terus berakting hingga film Ayat-Ayat Cinta pada tahun 2008.[29] Indriati Iskak, yang dipuji karena gaya aktingnya yang lebih natural dibandingkan rekan-rekannya yang terlatih di panggung juga mencapai popularitas.[3] Ia membentuk grup vokal perempuan Baby Dolls bersama Rima Melati, Gaby Mambo, dan Baby Huwae, dan bermain di delapan film sebelum pensiun dari dunia perfilman pada tahun 1963.[30]
WarisanTiga Dara telah diakui sebagai karya klasik pada perfilman Indonesia dan sering disiarkan di televisi, terhitung sejak TVRI menayangkannya pertama kali pada tahun 1971.[31] Sebuah retrospektif 1989 tentang Perfini dalam majalah Tempo menyatakan bahwa film tersebut masih menampilkan pesona kejujuran dan kenyataan umum dalam karya Ismail sebelumnya,[32] dan dalam sebuah buku memorial 1991 untuk Ismail, Rosihan Anwar menyatakan bahwa tema-tema Tiga Dara masih sejalan bagi bangsa Indonesia.[33] Pendapat yang sama diutarakan oleh sutradara film Nia Dinata pada 2016.[34] Pada 2015, negatif-negatif selulosa asetat untuk Tiga Dara, yang disimpan di Sinematek Indonesia,[j][35] mengalami rusak berat. Negatif-negatif tersebut ada yang dalam keadaan robek, dan dinodai oleh jamur atau hilang. Untuk memperbaiki penyajian film tersebut untuk generasi mendatang, Lisabona Rahman bersama SA Films memutuskan agar Tiga Dara direstorasi oleh Laboratorium L'immagine Ritrovata yang berbasis di Bologna; film tersebut merupakan karya Usmar Ismail kedua yang direstorasi oleh Lisa, setelah Lewat Djam Malam (1954) pada 2012.[36] Pengerjaan restorasi, yang meliputi reinsersi adegan-adegan yang hilang menggunakan sisa-sisa salinan dari film tersebut dan penghilangan debu dan jamur, dimulai pada awal 2015 dan terselesaikan pada 8 Oktober 2015. Restorasi tersebut—yang dialihkan ke digital 4K—ditayangkan di Indonesia pada permulaan 11 Agustus 2016, dengan perilisan DVD dan Blu-ray pada tahun berikutnya.[37] Beberapa film membuat ulang atau terinspirasi dari Tiga Dara. Sebuah remake, Tiga Dara Mencari Cinta, disutradarai oleh Djun Saptohadi dan dirilis pada 1980.[38] Film komedi tersebut dibintangi oleh Ingrid Fernandez, Nana Riwayatie, dan Winny Aditya Dewi sebagai tiga bersaudari[k] yang tinggal dengan ayah mereka dan dihadapkan dengan pertikaian dan godaan kencan.[39] Delapan tahun kemudian, ketika Teguh Karya menyutradarai Pacar Ketinggalan Kereta (1989), ia menyatakan bahwa para pemeran dan kru menonton Tiga Dara dalam upaya untuk melampaui film tersebut.[40] Dalam majalah Tempo, penulis Putu Wijaya kemudian menyatakan bahwa Pacar Ketinggalan Kereta tampaknya berusaha untuk memperlihatkan kembali keluarga dan musikal yang dinamis dari cerita Ismail.[41] Pada 2004, film ini dikabarkan akan dibuat ulang oleh sutradara Rudi Soedjarwo dan diproduksi oleh rumah produksi Christine Hakim. Aktris yang sudah ditawari untuk main film terbaru dari Tiga Dara ini adalah Dian Sastrowardoyo, Siti Nurhaliza dan Krisdayanti. Namun hingga kini, rencana tersebut tak pernah terwujud.[42] Pada tahun 2016, sutradara Nia Dinata berhasil me-remake film ini dengan judul Ini Kisah Tiga Dara, yang mengambil gambar antara 23 Februari dan 27 Maret 2016 di Maumere, Flores. Adapun yang berperan sebagai Tiga Dara adalah Shanty, Tara Basro dan Tatyana Akman. Film yang tayang bulan September 2016 ini tetap mengambil basis tema seperti film aslinya namun setting dan jalan ceritanya disesuaikan dengan konteks kehidupan masa kini.[43] Catatan penjelas
Referensi
Karya yang dikutip
Pranala luar
|