The Slave Community: Plantation Life in the Antebellum South adalah buku karangan sejarawan Amerika John W. Blassingame. Terbit pada tahun 1972 melalui Oxford University Press, buku ini merupakan salah satu kajian pertama mengenai perbudakan di Amerika Serikat yang ditulis dari sudut pandang para budak. The Slave Community menentang para sejarawan yang menafsirkan sejarah sedemikian rupa sehingga mengajukan bahwa budak Afrika Amerika adalah "Sambo" yang patuh dan tunduk serta diuntungkan dengan hubungan majikan–budak yang paternalis di plantase Amerika Serikat Selatan. Menggunakan psikologi, Blassingame menganalisis narasi budak buronan yang terbit pada abad ke‑19 guna menyimpulkan bahwa di kalangan para budak telah berkembang kebudayaan yang merdeka dan bahwa para budak menunjukkan tipe kepribadian yang berbeda-beda.
Meskipun diakui atas signifikansinya, The Slave Community banyak dikritik atas kesimpulan, metodologi, dan sumber-sumbernya. Para sejarawan mengecam penggunaan narasi budak yang dipandang terbias dan tidak terpercaya. Mereka mempertanyakan keputusan Blassingame melalaikan lebih dari 2.000 wawancara dengan mantan budak yang dilaksanakan Administrasi Kemajuan Kerja (Works Progress Administration; WPA) pada tahun 1930‑an. Para sejarawan berargumen bahwa penggunaan teori psikologis oleh Blassingame terbukti tidak berguna dalam penafsirannya. Blassingame membela kesimpulannya pada pertemuan Asosiasi Studi Kehidupan dan Sejarah Afro-Amerika tahun 1976 dan menerbitkan edisi revisi dan perluasan The Slave Community pada tahun 1979. Kendatipun menuai kritik, The Slave Community adalah teks fundamental dalam kajian mengenai kehidupan dan sejarah para budak selama Periode Antebellum.
Latar belakang historiografis
Ulrich Bonnel Phillips mengarang kajian sejarah utama abad ke‑20 pertama tentang perbudakan. Dalam American Negro Slavery(1918), Phillips menyebut para budak sebagai "negro, yang sebagian besar menurut sifat ras lebih tunduk dan tidak melawan, baik hati alih-alih murung, ramah dan menyenangkan alih-alih cemberut, dan kecacatan mereka mengundang paternalisme alih-alih pengekangan".[1]American Negro Slavery diilhami oleh retorika rasial dan menegaskan persepsi terhadap kerendahan orang-orang kulit hitam yang lazim di Amerika Serikat Selatan pada masanya. Meskipun para akademisi Afrika Amerika seperti W. E. B. Du Bois mengkritik cara Phillips menggambarkan para budak,[2] buku tersebut dianggap sebagai teks andal mengenai perbudakan di Amerika sampai dengan tahun 1950‑an.[3]
Interpretasi Phillips akan perbudakan ditantang oleh Kenneth M. Stampp dalam The Peculiar Institution: Slavery in the Ante-Bellum South(1956) dan Stanley M. Elkins dalam Slavery: A Problem in American Institutional and Intellectual Life(1959). Kajian Stampp tidak berisi penafsiran rasis yang terdapat dalam American Negro Slavery dan mendekati isu tersebut dari kedudukan bahwa tidak ada perbedaan bawaan antara orang kulit hitam dan kulit putih. Ia mempertanyakan kenyataan paternalisme plantase yang digambarkan Phillips: "Kenyataan paternalisme antebellum... perlu dipisahkan dari khayalan di sekitarnya dan dianalisis secara kritis."[4] Elkins turut menolak klaim Phillips bahwa budak Afrika Amerika secara alami merupakan "Sambo" yang tunduk. Ia berargumen bahwa para budak telah terinfantilisasi, atau "dibuat" menjadi Sambo, dengan perlakuan bengis dari tangan para pemilik dan pengawas budak. Elkins membandingkan proses tersebut dengan infatilisasi orang-orang Yahudi di kamp konsentrasi Nazi.[5]
Seperti Phillips, Stampp dan Elkins bergantung pada catatan plantase dan tulisan-tulisan majikan budak sebagai sumber primer utama mereka. Stampp mengaku bahwa "hanya sedikit yang bertanya kepada para budak tentang apa pendapat mereka akan pengekangan".[4] Para sejarawan menolak karya tulis para budak, seperti narasi budak buronan abad ke‑19, dan menganggap mereka terbias dan tidak terpercaya akibat penyuntingan oleh para abolisionis.[6] Para pengkaji juga melalaikan 2.300 wawancara yang dilaksanakan bersama mantan budak pada tahun 1930‑an oleh Proyek Penulis Federal WPA. Sebagaimana yang dikemukakan sejarawan George P. Rawick, sumber-sumber kulit putih dipandang lebih berbobot: para "majikan tidak hanya menguasai masa lampau", tetapi juga "menguasai sejarah tertulisnya".[7]
Namun, tahun 1970‑an menyaksikan penerbitan kajian-kajian revisionis yang menyimpang dari historiografi perbudakan tradisional. Berpusat pada sudut pandang para budak, kajian-kajian baru pun menyertakan narasi-narasi budak dan wawancara WPA: From Sundown to Sunup: The Making of the Black Community(1972) karya George Rawick, Roll, Jordan Roll: The World the Slaves Made(1972) karya Eugene D. Genovese, Black Majority: Negroes in Colonial South Carolina from 1670 Through the Stono Rebillion(1974) karya Peter H. Wood, This Species of Property: Slave Life and Culture in the Old South(1976) karya Leslie Howard Owens, The Black Family in Slavery and Freedom, 1750–1925(1976) karya Herbert G. Gutman, Black Culture and Black Consciousness: Afro-American Folk Thought from Slavery to Freedom(1977), dan Slave Religion: The "Invisible Institution" in the Antebellum South(1978) karya Albert J. Raboteau. Di antara kajian-kajian tersebut, The Slave Community karya John W. Blassingame adalah salah satu yang paling kontroversial.
Argumen Blassingame
Dalam The Slave Community, Blassingame berargumen bahwa "para sejarawan tidak pernah secara sistematis menjelajahi pengalaman kehidupan budak Amerika". Ia menegaskan bahwa dengan berkonsentrasi pada majikan, para sejarawan telah menunjukkan pandangan kehidupan plantase terdistorsi yang "melucuti para budak dari kebudayaan, kehidupan keluarga, agama, atau kelaki-lakian yang bermakna dan khusus". Blassingame mengikhtisarkan bahwa ketergantungan terhadap sumber-sumber para penanam memicu sejarawan seperti Elkins meniru stereotipe penanam terhadap para budak seperti Sambo, "setengah pria setengah anak, yang tunduk".[8] Mencatat kehendak yang dimiliki para budak sepanjang hayatnya, ia berdalil, "Alih-alih menyamakan diri dan sepenuhnya menunduk kepada sang majikan, si budak berpegang pada sisa-sisa budaya Afrika yang ada padanya, memperoleh nalar nilai di pojok-pojokan, menghabiskan kebanyakan waktunya bebas dari pengawasan orang kulit putih, mengendalikan aspek penting dalam kehidupannya, dan melakukan hal-hal yang bermakna bagi pribadi atas kehendaknya sendiri."[9]
Pelestarian budaya Afrika dan kebudayaan budak
Menurut Blassingame, budaya Afrika tidak seluruhnya hilang dari kebudayaan budak melalui proses pembudakan dan "lebih resistan terhadap penggada yaitu perbudakan daripada yang para sejarawan kira sebelumnya".[10] "Kesintasan Afrika" bertahan dalam bentuk cerita rakyat, agama dan spiritualitas, musik dan tarian, dan bahasa.[11] Ia menegaskan bahwa pelestarian budaya Afrika bertindak sebagai suatu bentuk pertentangan terhadap pembudakan: "Secara umum, sejumlah kecil orang Afrika yang diperbudak di Amerika pada abad ke‑17 dan ke‑18 tampak menyeberangi pengalaman traumatis mereka tanpa merendah jadi patuh, infantil, atau tunduk" dan "sebab sejumlah besar budak Selatan pada abad ke‑19 adalah penduduk asli Amerika, mereka tidak pernah mengalami syok yang serupa dan berada dalam kedudukan yang membolehkan mereka mengonstruksikan pembelaan psikologis terhadap kebergantungan total kepada majikan mereka".[12]
Blassingame menegaskan bahwa para sejarawan telah mendiskusikan apa yang secara umum dapat digambarkan sebagai 'kebudayaan' budak, tetapi memberikan hanya sedikit informasi padat tentang kehidupan dalam pojok".[13] Ia berargumen bahwa kebudayaan yang berkembang dalam komunitas budak terpisah dari pengaruh para majikan. Blassingame mencatat, "Budak kulit hitam Antebellum mencipta beberapa bentuk kebudayaan khas yang meringankan mereka dari beban penindasan, menganjurkan solidaritas kelompok, menyediakan cara untuk melinsankan serangan, mempertahankan pengharapan, membangun harga diri, dan kerap kali mewakili bidang-bidang kehidupan yang sebagian besar bebas dari kekangan orang kulit putih."[14]
Blassingame mencatat bahwa berbagai cerita rakyat yang dituturkan para budak telah ditelusuri oleh para pengkaji Afrika hingga Ghana, Senegal, dan Mauritania, dan sampai dengan suku-suku seperti Ewe, Wolof, Hausa, Temne, Ashanti, dan Igbo. Ia berkomentar, "Sementara banyak di antara cerita tersebut dibawa ke Selatan, elemen-elemen Afrika paling jelas timbul dalam kisah-kisah hewan." Salah satu contoh yang didiskusikan oleh Blassingame adalah cerita "Mengapa si Kelinci Melarikan Diri" ("Why the Hare Runs Away") dari suku Ewe, yaitu kisah penipu dan bayi ter yang dituturkan oleh para budak Selatan dan kemudian dicatat oleh penulis Joel Chandler Harris dalam cerita-cerita Uncle Remus karyanya. Budak-budak Selatan sering kali menyertakan hewan-hewan Afrika seperti gajah, singa, dan monyet sebagai tokoh dalam cerita rakyat mereka.[15]
Walaupun misionaris dan majikan Kristen berupaya menghapus kepercayaan keagamaan dan spiritual Afrika, Blassingame berargumen bahwa "di Amerika Serikat, banyak upacara keagamaan dipadukan menjadi satu—voodoo".[16] Pendeta dan pelaksana voodoo menjanjikan para budak bahwa mereka bisa membuat majikan mereka berbaik hati, membahayakan musuh, memastikan cinta, dan menyembuhkan sakit. Kesintasan keagamaan lainnya yang tercatat oleh Blassingame antara lain upacara permakaman, perhiasan pekuburan, dan tarian dan nyanyian ritual.[17]
Para majikan dan pemerintah negara bagian mencoba mencegah para budak membuat atau memainkan alat musik setelah penggunaan drum untuk menyiarkan Pemberontakan Stono pada tahun 1739. Namun, Blassingame mengemukakakn bahwa meskipun dibatasi, para budak dapat membangun tradisi musik yang kuat berlandaskan warisan Afrika mereka. Musik, lagu, dan tarian mereka menyerupai penampilan dan permainan di Afrika. Alat musik yang ditiru oleh para budak antara lain drum, banjo tiga dawai, marakas, dan mandolin.[18]
Tetap saja, Blassingame menyimpulkan bahwa pertukaran lintas budaya berlangsung di plantase Selatan, berargumen bahwa "akulturasi di Amerika Serikat melibatkan interaksi timbal balik antara dua budaya, dengan orang-orang Eropa dan Afrika meminjam dari satu sama lain".[19] Blassingame menegaskan bahwa contoh yang paling signifikan berkenaan dengan Kristen Protestan (terutama Gereja Baptis dan Metodis): "Jumlah orang kulit hitam yang menerima ajaran agama di gereja-gereja kulit putih antebellum tergolong signifikan karena gereja adalah satu-satunya lembaga selain plantase yang memainkan peran besar dalam mengakulturasi si budak."[20] Kekristenan dan pendeta kulit hitam yang diperbudak perlahan menggantikan kesintasan keagamaan Afrika dan mewakili aspek lain dari kebudayaan budak yang para budak gunakan untuk mencipta komunitas mereka sendiri. Sementara para pendeta berceramah menyebarkan ketundukan dalam kehadiran majikan dan orang kulit putih lain, para budak kerap kali diam-diam bertemu di pelayanan "tidak terlihat" yang tidak diawasi orang kulit putih. Di "gereja-gereja tidak terlihat" ini pula para budak dapat membahas kebebasan, kemerdekaan, dan penghakiman Tuhan terhadap para majikan.[21]
Keluarga budak
Pernikahan budak ilegal hukumnya di negara-negara bagian Selatan, dan pasangan-pasangan budak biasanya dipisahkan dengan jual beli. Blassingame mengajukan bahwa para majikan tidak dapat mengendalikan pernikahan budak. Mereka menganjurkan hubungan monogami untuk "memudahkan mendisiplinkan budak mereka. Seorang kulit hitam, mereka beralasan, yang mencintai istri dan anak-anaknya kecil kemungkinan akan memberontak atau melarikan diri dibandingkan seorang budak 'lajang'".[22] Blassingame mencatat bahwa ketika sepasang budak tinggal di plantase yang sama, sang suami menyaksikan pencambukan dan pemerkosaan istrinya dan penjualan anak-anaknya. Ia berkomentar, "Tidak ada sesuatu hal yang lebih menunjukkan ketidakberdayaannya selain ketidakmampuan si budak mencegah penjualan paksa istri dan anak-anaknya."[23]
Kendatipun demikian, Blassingame berargumen bahwa "seberapa pun sering keluarganya terpisah, keluargalah yang paling bertanggung jawab atas membina kemampuan si budak untuk sintas di plantase tanpa sepenuhnya bergantung dan tunduk pada majikannya". Ia berdalil:[22]
Walaupun bentuk kehidupan keluarga di pojok-pojok secara radikal bertentangan dengan kehidupan Negro bebas dan orang kulit putih, hal ini tidak berarti bahwa keluarga budak gagal menjalankan fungsi tradisional keluarga—dengan pengasuhan anak sebagai fungsinya yang terpenting. Sebab orang tua budak utamanya bertanggung jawab atas melatih anak-anak mereka, mereka dapat meringankan syok pengekangan untuk mereka, membantu mereka memahami keadaan mereka, mengajarkan mereka nilai-nilai yang berbeda dari yang para majikan coba untuk tanamkan pada mereka, dan memberikan mereka acuan untuk harga diri selain dari sang majikan.
Blassingame menegaskan bahwa orang tua budak berupaya melindungi bayi dan anak-anak belia dari kekejaman plantase. Ketika anak-anak mengerti bahwa mereka sedang diperbudak (biasanya setelah mereka pertama kali dicambuk), orang tua menenangkan hasrat-hasrat penuh amarah untuk melarikan diri atau membalas dendam.[24]
Anak-anak mengamati para ayah mencontohkan dua jenis perilaku. Di pojok, ia "bertindak seperti pria", mengecam orang kulit putih atas menganiaya dirinya ataupun keluarganya; ketika bekerja di ladang untuk sang majikan, ia tampak tunduk dan patuh. Menurut Blassingame, "Terkadang anak-anak menginternalisasi baik watak kerpibadian yang sesungguhnya maupun pola perilaku kontradiktif orang tua mereka."[25] Ia meyakini bahwa anak-anak mengenali ketundukan sebagai metode yang nyaman untuk mengelak dari hukuman dan perilaku di pojok adalah model perilaku yang sebenarnya. Blassingame menyimpulkan, "Dalam keluarga [ayah si budak], si budak tidak hanya belajar bagaimana menghindari cambukan sang majikan, tetapi juga mengambil cinta dan simpati dari para kerabatnya untuk membangun semangat. Keluarga, singkatnya, adalah mekanisme kesintasan yang penting."[26]
Tipe kepribadian
Blassingame mengidentifikasi tiga stereotipe dalam literatur Selatan antebellum:[27]
Jack bekerja dengan setia sampai ia teraniaya, selepas itu ia enggan bekerja sama dan terkadang memberontak. Menganalisis kekuatan fisik si orang kulit hitam secara rasional, Jack menghindari kontak dengannya atau tampak hormat ketika berada di dekatnya.
Nat adalah budak yang senantiasa keras kepala dan memberontak yang ditakuti para majikan. Dinamai menurut Nat Turner, tokoh Nat menentang para majikan dan hanya dapat ditenangkan dan dihukum saat dikalahkan dalam jumlah besar.
Menyaggah langsung tesis infantilisasi Elkins, Blassingame berargumen bahwa para sejarawan telah terlalu berfokus tipe kepribadian Sambo dan peran paternalisme. "Stereotipe Sambo amat lazim dalam literatur Selatan antebellum sehingga banyak sejarawan, tanpa meneliti lebih lanjut, berargumen bahwa ia adalah deskripsi yang tepat akan kepribadian budak yang dominan."[28]
Menurut Blassingame, tokoh Sambo berevolusi dari sikap orang Amerika kulit putih terhadap orang Afrika dan Afrika Amerika yang menganggap mereka secara alami bersifat barbar, pasif, takhayuli, dan kekanak-kanakan. Para penulis Selatan merasa perlu membela perbudakan dari tuduhan penganiayaan dan kebrutalan yang dilontarkan para abolisionis Utara, sehingga Sambo menjadi pelukisan yang lazim guna menjustifikasi dan menjelaskan perlunya paternalisme plantase. Pada akhirnya, para majikan menggunakan stereotipe untuk meringankan rasa takut dan gelisah mereka sendiri akan kemungkinan pemberontakan para budak mereka.[29] Blassingame berkomentar, "Sehubungan dengan ini, Nat, pemberontak yang nyata dan mungkin, berada pada inti persepsi kulit putih akan si budak. Dengan Nat senantiasa siap siaga, penciptaan Sambo nyaris diwajibkan demi menjaga ketenangan emosional si orang Selatan. Seperti seorang pria yang bersiul saat malam untuk mendorong keberaniannya, para pria kulit putih harus melukiskan si budak sebagai Sambo."[30]
Terlepas dari paternalisme majikan dan tugas ketundukan, Blassingame berdalil, "Terdapat banyak bukti dalam sumber primer mengenai resistansi si Negro terhadap pengekangannya dan mengenai cinta abadinya terhadap kebebasan."[31] Blassingame menggarisbesarkan usaha-usaha para budak melarikan diri dan memberontak, teruatama Pemberontakan Stono tahun 1739, pemberontakan Charles Deslondes tahun 1811, pemberontakan Nat Turner tahun 1831, dan keikutsertaan para budak burnonan di Florida bertempur bersama suku Seminole selama Perang Seminole.[32] Blassingame menyimpulkan bahwa stereotipe Nat dan Sambo keduanya "nyata". Ia menjelaskan, "Makin orang kulit putih takut akan Nat, makin teguh mereka berusaha meyakini Sambo demi mengelak dari paranoia."[33]
Blassingame menyimpulkan bahwa para budak memperlihatkan berbagai tipe kepribadian dalam skala antara Sambo dan Nat sebagai dua titik ekstrem. Ia berargumen bahwa variasi di plantase, beragamnya perilaku para majikan dan pengawas memberikan para budak "lebih banyak kebebasan dari pengekangan dan lebih banyak kemandirian dan otonomi daripada yang dibolehkan oleh perannya sebagaimana didefinisikan institusi. Akibatnya, si budak tidak perlu bersikap infantil atau tunduk merendah demi bertahan hidup".[34] Blassingame membandingkan perbudakan di plantase Selatan dengan perlakuan terhadap tahanan di kamp konsentrasi Nazi sebagai upaya mencontohkan bahwa "faktor terpenting dalam mengakibatkan infatilisme, kebergantungan total, dan ketundukan di kamp-kamp tersebut adalah ancaman kematian yang nyata, meinggalkan sedikit, jika ada, alternatif bagi para tahanan".[35] Ia berkomentar, "Ditempatkan dalam kontinum institusi total, kamp konsentrasi amat berbeda dari plantase Selatan."[36] Menurut Blassingame, tujuan plantase yang terkelola secara irasional dan kekurangan pekerja bukanlah penyiksaan dan pemusnahan sistematis terhadap para pekerjanya, yang "lebih berharga dari peluru".[36]
Metodologi dan sumber
Dalam The Slave Community, Blassingame menggunakan teori interpersonal yang dikembangkan oleh psikolog Harry Stack Sullivan untuk menafsirkan perilaku para budak di plantase antebellum. Sullivan mengeklaim bahwa "significant others", yakni orang-orang dengan kekuatan terbesar dalam mengimbali dan menghukum perilaku individual, utamanya bertanggung jawab atas menentukan perilaku. Para teoretisi interpersonal berargumen bahwa "pola perilaku ditentukan oleh karateristik situasi, bagaimana seseorang menerimanya, dan sifat perilakunya pada saat itu".[37] Unsur terpenting dari kepribadian adalah harga diri. Blassingame menjelaskan. "Nalar kita akan harga diri ditingkatkan atau dikurangi oleh persepsi kita akan citra yang orang lain pegang terhadap kita."[38] Perilaku interpersonal berpusat pada kapak berkuasa–tunduk: "Salah satu benduk perilaku cenderung menimbulkan pelengkapnya: penguasaan memicu ketundukan dan sebaliknya. Tingkat ketundukan kerap kali bergantung pada struktur kelompok asal orang tersebut."[38]
Satu lagi teori psikologis yang digunakan oleh Blassingame adalah teori peran. Menurut teori tersebut, "perilaku seseorang umumnya ditentukan oleh peran yang didefinisikan secara sosial atau pola perilaku yang diharapkan dari orang tersebut dalam keadaan tertentu".[39] Blassingame menegaskan bahwa dengan menerapkan teori interpersonal dan peran kepada narasi budak buronan, para sejarawan dapat menentukan "seberapa menurut para budak dengan harapan perilaku majikan mereka" dan bagaimana tipe kepribadian Sambo, Jack, dan Nat dapat menyesatkan.[40]
Alih-alih menerima narasi budak buronan tanpa keraguan, Blassingame mengaku memeriksa pembacaannya terhadap teks-teks yang ia gunakan sebagai sumber. Ia mencatat bahwa argumen menentang penggunaan autobiografi serupa yang digunakan oleh para sejarawan berpusat pada keterpercayaan: "Berbagai sejarawan menolak penggunaan kisah-kisah ini karena mereka merasa bahwa para buronan, sebagai penderita utama dalam institusinya, tidak mampu menyampaikan kisah objektif tentang pengekangan."[44] Meskipun demikian, Blassingame membela ketergantungannya kepada autobiografi, mencatat, "Meskipun kebanyakan sejarawan telah membuat kita percaya bahwa narasi-narasi tersebut berisi lukisan sederhana menunjukkan neraka di Bumi, hal ini bukanlah kasusnya. Sebaliknya, plantase para buronan dihuni oleh jangkauan pahlawan dan bandit, baik kulit hitam maupun putih, yang sama dengan yang umumnya ditemukan dalam ras manusia."[45] Maka dari itu, Blassingame berkesimpulan:[44]
Seperti sebagian besar dokumen pribadi, autobiografi menyediakan jendela menuju dunia yang lebih luas. Dengan deimkian, para budak penulis memperlihatkan komentar seorang pengamat peserta tentang masyarakat budak yang lebih luas. Sebagai seorang saksi mata, sang autobiograf menghubungkan para sejawan dengan nyaris segala jenis budak. Ketika autobiografi-autobiografi tersebut diterima baik sebagai catatan pengalaman yang unik dari setiap pengarang individual maupun sebagai kisah saksi mata dari beberapa komunitas budak, mereka jelas "representatif".
Selain narasi budak buronan, Blassingame menggunakan terbitan abolisionis seperti The Liberator, National Anti-Slavery Standard, Pennsylvania Freeman, The Anti-Slavery Bugle, dan Genius of Universal Emancipation. Menurut Blassingame, terbitan-terbitan tersebut mencetak wawancara, surat, dan autobiografi oleh para budak, tetapi "justru memberikan lebih banyak liputan tentang orang kulit putih Selatan alih-alih para budak dan kerap kali mencetak ulang artikel, surat, dan prosiding dari sejumlah besar surat kabar Selatan".[46]
Sumber primer yang tidak Blassingame gunakan dalam kajiannya ialah wawancara WPA bersama para budak. Walaupun ia mengakui bahwa "wawancara budak menyaingi autobiografi dalam pengungkapkan mereka tentang dinamika internal pengekangan,... penyuntingan berat terhadap wawancara WPA membuat mereka jauh lebih sulit diperalat dibandingkan dengan autobiografi kulit hitam".[47] Ia melanjutkan kritiknya terhadap wawancara-wawancara tersebut dalam sebuah artikel tahun 1975 dalam The Journal of Southern History. Ia mendeskripsikan bagaimana para pewawancara kulit putih sering kali menghapus materi yang bertentangan dengan citra paternalis dari Selatan antebellum yang mereka ingin tunjukkan. Blassingame menyimpulkan, "Penggunaan yang tidak kritis dari wawancara-wawancara tersebut hampir akan selalu berujung pada pandangan yang simplistis dan terdistorsi mengenai plantase sebagai institusi paternalis tempat ciri utama kehidupan adalah cinta dan hormat yang timbal balik antara majikan dan budak."[48]
Blassingame membangun di atas historiografi Phillips, Stampp, dan Elkins, tetapi ia juga mengakui pengaruh Slavery in Mississippi(1933) karya Charles S. Sydnor, Negro Slavery in Arkansas(1958) karya Orville W. Taylor, The Political Economy of Slavery(1961) karya Eugene D. Genovese, dan The Debate over Slavery: Stanley Elkins and His Critics(1971), antologi esai karya Ann J. Lane.[49]
Sambutan dan pengaruh
Signifikansi The Slave Community sebagai salah satu kajian pertama tentang perbudakan dari sudut pandang para budak diakui oleh para sejarawan. Buku tersebut bagaimanapun menerima banyak kritikan dari para akademisi yang menyanggah kesimpulan, metodologi, dan sumbernya.[50] Meskipun demikian, George P. Rawick mencatat pada tahun 1978 bahwa kritikan yang dituainya "seharusnya tidak menyamarkan fakta bahwa buku [Blassingame] amatlah cemerlang sehingga tidak sia-sia menghabiskan waktu kita mengkritiknya selama empat tahun setelah penerbitannya. Namun, seperti banyak buku yang baik, [The Slave Community] seharusnya lebih baik lagi".[51]
Kritik
Dalam The History Teacher, Keith Polakof berkomentar bahwa "hanya dengan publikasi karya Blassingame kita memperoleh untuk yang pertama kali pemeriksaan mendetail mengenai kehidupan sehari-hari para budak di plantase besar, dengan beberapa spekulasi cerdas tentang kuasa yang memengaruhi mereka".[52] David Goldfield menulis dalam Agricultural History bahwa buku ini merupakan "upaya yang paling mengesankan dan seimbang dalam memahami tanggapan para budak terhadap kehidupan plantase" hingga saat itu.[53]Carl N. Degler menulis dalam The Washington Post bahwa kajian Blassingame adalah yang "paling mendekati berhasil dalam menjawab pertanyaan 'seperti apa hidup sebagai budak?'"[54]
Tetap saja, kesimpulan, metodologi, dan sumber Blassingame memperoleh kritikan substransial dari para sejarawan. Resensi Marion Kilson dalam The American Historical Review menggambarkan tujuan Blassingame "terwujud dengan cacat" karena ia "kekurangan perspektif analitis yang jelas. Ia mendapati diskusi tipe kepribadian budak olehnya "menakjubkan" dan tujuan metodologisnya "penting", tetapi "tidak diusahakan dengan sistematis". Kilson meyakini bahwa Blassingame pada akhirnya gagal dalam analisisnya sebab "integrasi intelektualnya antara orientasi sosial dan psikologis belum sepenuhnya tercapai".[55] Orville W. Taylor berdalil dalam Journal of Negro History bahwa Blassingame memiliki kecenderungan menggeneralisasi secara berlebihan dan melontarkan "klaim-klaim orisinalitas dan keunikan yang tidak dapat dipastikan".[56]
Dalam Journal of Political Economy, sejarawan ekonomi Stanley L. Engerman mengeluhkan bahwa buku ini "tidak ditulis bagi para ekonom" dan "mempergunakan analisis ekonomi yang terbatas". Ia melanjutkan, "Mengingat perhatian terhadap 'otonomi pribadi' dan kebudayaan para budak, kebanyakan buku ini dikhusukan bagi warisan Afrika; kepada musik, agama, dan folklor budak; dan kepada diskusi tentang keluarga budak dan hubungan pribadi lainnya." Engerman mengaku bahwa The Slave Community adalah "buku yang ditulis pada masa kisaran dalam interpretasi budaya kulit hitam", tetapi "sang pengarang beberapa kali tampak meragu akan arah yang ia tunjuk". Ia menyimpulkan bahwa "analisis [Blassingame] tidak lengkap dalam meperlihatkan adegan yang berbeda dan lebih kompleks" meskipun ia "menunjukkan dengan efektif kesulitan citra kamp konsentrasi dan mitos Sambo".[57]
Para sejarawan mengecam Blassingame atas melalaikan wawancara-wawancara budak dengan WPA dan sepenuhnya bergantung pada narasi budak buronan. Dalam The Journal of American History, Willie Lee Rose menulis bahwa penggunaan narasi budak buronan oleh Blassingame ternodai oleh kelalaiannya terhadap wawancara-wawancara WPA tersebut.[58] Kenneth Wiggins Porter menganggap ketergantungan Blassingame kepada sumber cetak sebagai kelemahan utama dan meyakini bahwa ia tidak cukup menggunakan sumber-sumber kulit putih seperti narasi perjalanan Frederick Law Olmsted mengenai kehidupan di Selatan antebellum, dan bahwa bukunya dipenuhi isi yang mendistraksi.[59] Menurut George Rawick, "Kita amat sangat membutuhkan karya yang menggambarkan dan menganalisis kehidupan wanita kulit hitam di bawah perbudakan. Literatur tentang perbudakan yang kita miliki sekarang sebagian besar dikuasai oleh pria." Ia mencatat, "Blassingame, sayangnya, sama sekali tidak membantu kita dalam tugas ini." Rawick mengajukan bahwa jika Blassingame menggunakan wawancara budak WPA, ia akan mampu mengembangkan potret "perjuangan kepahlawanan wanita kulit hitam atas nama mereka sendiri dan seluruh komunitas kulit hitam".[60]
Para sejarawan menanggapi penggunaan teori psikologis oleh Blassingame dengan beragam. Dalam sebuah resensi The William and Mary Quarterly, George Mullin secara khusus kritis terhadap penggunaan psikologi oleh Blassingame, menyatakan bahwa Blassingame "menyepelekan perilaku dan kebudayaan budak menjadi persoalan peran dan ciri psikologis". Ia menyimpulkan bahwa "belum timbul seorang E. P. Thompson untuk komunitas kulit hitam Amerika selama perbudakan", dan bahwa topik tersebut memerlukan penjelajahan oleh seorang sejarawan sosial atau ekonomi.[61] Rawick menyatakan bahwa "kesalahan besar pertama [Blassingame] berada pada menggunakan teori psikologi sosial determinis yang amat meragukan terkait dengan... Erving Goffman dan Harry Stack Sullivan". Ia mengeluhkan bahwa teori tersebut "memarodikan kompleksitas dasar dari 'psikologi' orang-orang tertindas yang pada saat bersamaan memandang diri mereka dalam keadaan yang negatif secara sosial sementara berjuang menentang pandangan terhadap diri mereka sendiri dan perilaku mereka". Rawick yakin bahwa Blassingame akan mencapai kesimpulan yang sama dari sumber-sumbernya tanpa penggunaan psikologi "sebab bukti sejarah sebagaimana terlihat melalui komitmen mentah kepada perjuangan para budak dan kekasaran yang sama keras kepalanya kepada para majikan akan membawanya ke sana".[62] Di sisi lain, Eugene D. Genovese dan Earl E. Thorpe memuji Blassingame atas penggunaan teori psikologisnya, tetapi mengaku bahwa mereka lebih memilih interpretasi Freudian ataupun Marxis alih-alih teori Sullivanian.[63]
Dampak
Pada tahun 1976, Asosiasi Studi Kehidupan dan Sejarah Afro-Amerika bertemu di Chicago dan mengadakan sesi mengenai The Slave Community. Panelis yang bertugas antara lain Mary Frances Berry, Herbert Gutman, Leslie Howard Owens, George Rawick, Earl Thorpe, dan Eugene Genovese. Blassingame menanggapi pertanyaan dan kritikan dari panel tersebut. Diskusi ini kemudian menghasilakn penerbitan antologi suntingan Al-Tony Gilmore yang berjudul Revisiting Blassingame's The Slave Community: The Scholars Respond(1978). Buku tersebut berisikan esai-esai oleh para penlis beserta James D. Anderson, Ralph D. Carter, John Henrik Clarke, dan Stanley Engerman. Esai Blassingame, "Redefining The Slave Community: A Response to Critics" juga muncul dalam jilid tersebut.[64]
Sejak diteritkan pada tahun 1972 dan direvisi pada tahun 1979, The Slave Community telah memengaruhi sejumlah karya historiografis di Amerika Serikat. Dalam edisi 1976 Roll, Jordan, Roll, Eugene Genovese menjelaskan bahwa buku Blassingame "mencontohkan bahwa kisah-kisah budak pelarian yang terbit dapat mencerahkan".[65] Para pengarang Reckoning with Slavery(1976) menggunakan temuan Blassingame untuk menantang penegasan Robert William Fogel dan Stanley Engerman dalam Time on the Cross: The Economics of American Negro Slavery(1974).[66] Dalam Slave Religion: The "Invisible Instituion" in the Antebellum South(1978), Albert J. Raboteau berkomentar, "Kita sebaiknya membahas 'ketidakterlihatan' agama budak dengan ironi: kelalaian para sejarawan terhadap sumber budak telah menjadi penyebab utama ketidakterlihatan ini". Ia menyanjung Blassingame dan kawan-kawan atas mencontohkan nilai sumber-sumber budak.[67] Kajian berpengaruh oleh Charles Joyner yang berjudul Down by the Riverside: A South Carolina Slave Community(1984) dikuatkan oleh temuan-temuan The Slave Community dan bergantung pada pembuktian serupa.[68]
Sejarawan Deborah Gray White membangun di atas penelitian Blassingame mengenai kehidupan keluarga para budak dalam Ar'n't I a Woman?: Female Slaves in the Platation South(1985). Argumennya pun menyerupai Blassingame: "Kajian ini mengamati budak wanita di Amerika dan berargumen bahwa mereka tidaklah tunduk, patuh, atau puritan dan bahwa mereka tidak diharapkan untuk bersikap demikian."[69] White mendiskusikan stereotipe Mammy dan Izebel yang kerap kali diterapkan para wanita Afrika Amerika oleh pria kulit putih Amerika. Ia menyebut The Slave Community sebagai sebuah karya klasik, tetapi berkomentar bahwa "Blassingame menitikberatkan kenyataan bahwa banyak majikan mengakui pria sebagai kepala keluarga. Ia mengamati bahwa selama berpacaran, pria menggombali para wanita dan melebih-lebihkan kebisaan mereka. Namun, hanya terdapat sedikit diskusi mengenai kegiatan timbal balik para budak wanita." Ia menyimpulkan bahwa Blassingame "mendeskripsikan bagaimana budak pria memperoleh status dalam keluarga, tetapi tidak melakukan hal yang sama bagi wanita".[70]
Elizabeth Fox-Genovese memaparkan pengamatan serupa dalam Within the Plantation Household: Black and White women of the Old South(1988). Ia mencatat bahwa The Slave Community, seperti historiografi lainnya yang dihasilkan pada tahun 1960‑an dan 1970‑an, "tidak secara langsung membahas sejarah wanita, walaupun banyak di antara para sejarawan peka terhadap pengalaman wanita. Kebanyakan pengarang pria telah melaksanakan sebagian besar karya mereka sebelum perkembangan sejarah wanita sebagai sebuah disiplin, dan bahkan yang terpeka di antara mereka terhalangi oleh kekurangan sumber dan ketidaktahuan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang akan segara dikemukakan para feminis."[71]
Edisi revisi
Setelah pertemuan Asosiasi Studi Kehidupan dan Sejarah Afro-Amerika tahun 1976 dan penerbitan Revisiting Blassingame's The Slave Community pada tahun 1978, Blassingame menghasilkan edisi revisi dan perluasan The Slave Community pada tahun 1979. Dalam prakata yang baru, Blassingame menegaskan bahwa buku ini perlu direvisi sebab George Bentley, seorang pendeta Baptis Primitif pro-perbudakan yang diperbudak asal Tennessee yang melayani di gereja kulit putih pada tahun 1850‑an. Blassingame hendak "menyelesaikan berbagai dilema yang diajukan oleh George Bentley", tetapi juga berkeinginan menjawab pertanyaan, sanggahan, dan kritikan yang ditujukan oleh para akademisi sejak penerbitan The Slave Community.[72]
Blassingame menjelaskan bahwa ia menyertakan saran yang terbit dalam Revisiting Blassingame's The Slave Community "tanpa protes atau argumen yang panjang".[73] Perubahan paling signifikan yang diterapkan pada teksnya melibatkan diskusi lanjutan mengenai kesintasan kultural Afrika, kehidupan keluarga budak, kebudayaan budak, dan akulturasi. Blassingame menambahkan bab baru bertajuk "The Americanization of the Slave and the Africanization of the South" yang di dalamnya ia menyejajarkan antara akulturasi budak Afrika Amerika di Amerika Selatan, budak Afrika di Amerika Latin, dan budak Eropa di Afrika Utara dan Kesultanan Utsmaniyah. Ia membandingkan perpindahan agama para budak di Selatan ke Kristen Protestan, budak Eropa di Afrika Utara ke Islam, dan budak Afrika di Amerika Latin ke Kristen Katolik.[74]
Blassingame membahas historiografi perbudakan yang terbit antara tahun 1972 dan 1978 dalam edisi revisi buku ini. Sebagai contoh, ia menyanggah kajian ekonomi dan statistika terhadap perbudakan oleh Robert Fogel dan Stanley Engerman dalam Time on the Cross. Blassingame menulis:[75]
Lantaran kerap kali menyimpan apresiasi yang lebih besar terhadap kelebihan dan kekurangan statistika alih-alih para akademisi yang menggunakan mereka puluhan tahun setelah mereka terhimpun. "Angka" dan "akurasi" tidaklah sama maknanya: kebenaran statistis tidak lebih jelas dari kebenaran sastrawi. Sesungguhnya, analisis statistis amat bergantung pada simpulan sampai-sampai seseorang harus memriksa pangkalan data dengan teliti untuk mengevaluasi kesimpulan yang didasarkan dari mereka. Baik dihimpun oleh para penanam, dokter, pendeta, pejabat tentara, atau pencatat sensus, statistika tentang perbudakan bermakna remeh hingga dipadukan dengan materi sastra. Sebagai tulang kering analisis sejarah, statistika memperoleh kehidupan saat disaring melalui kisah-kisah yang ditinggalkan para saksi mata.
Mengulas edisi revisi The Slave Community pada tahun 1981, Gary B. Mills mengemukaka, "Terlepas dari kontroversi dan perdebatan yang mengelilinginya, The Slave Community tetaplah buku yang signifikan, dan keyakinan sang pengarang bahwa sebagian besar budak dan majikan berada di antara dua stereotipe ekstrem terbukti langgeng. Letak pasti mereka dalam skala satu sampai sepuluh akan senantiasa menjadi persoalan pendapat."[76]
^Lihat catatan-catatan kaki dalam Blassingame 1979, bab 8 dan hlm. 367–374.
^"Middle Passage", terj. har.'Jalan Tengah', adalah perjalanan paksa yang dilalui oleh jutaan budak dari Afrika menyeberangi Samudra Atlantik menuju Amerika. Disebut "Jalan Tengah" karena perjalanan ini berada di tengah-tengah rute perdagangan yang terdiri atas tiga tahapan—pada awalnya, kapal-kapal dari Eropa berlayar menuju pasar di Afrika, menjual komoditas dan dibayar dengan para budak; pada tahap kedua (Jalan Tengah), budak-budak diangkut menuju Amerika dalam kondisi yang buruk, mengakibatkan perebakan penyakit dan kematian besar-besaran, dan diperjualbelikan dengan barang-barang kolonial; terakhir, benda niaga yang terperoleh kembali dilayarkan menuju Eropa. Perdagangan budak Atlantik ini berlangsung sejak abad ke‑16 sampai dengan ke‑19. Lihat Rupprecht 2023.
Gilmore, Al-Tony. "Introduction". Revisiting Blassingame's The Slave Community: The Scholars Respond (dalam bahasa Inggris). hlm. ix–xvi.
Berry, Mary Frances. "The Slave Community: A Review of Reviews". Revisiting Blassingame's The Slave Community: The Scholars Respond (dalam bahasa Inggris). hlm. 3–16.
Rawick, George P. "Some Notes on a Social Analysis of Slavery: A Critique and Assessment of The Slave Community". Revisiting Blassingame's The Slave Community: The Scholars Respond (dalam bahasa Inggris). hlm. 17–26.
Genovese, Eugene D. "Toward a Psychology of Slavery: An Assessment of the Contribution of The Slave Community". Revisiting Blassingame's The Slave Community: The Scholars Respond (dalam bahasa Inggris). hlm. 27–41.
Thorpe, Earl E. "The Slave Community: Studies of Slavery Need Freud and Marx". Revisiting Blassingame's The Slave Community: The Scholars Respond (dalam bahasa Inggris). hlm. 42–60.